Ukhuwah Insaniah
Ada kata
mutiara yang cukup terkenal, terutama di kalangan cendekiawan muslim, yaitu:
الناس صنفان إما أخ لك في الدين أو نظير لك في الإنسانية
(Manusia ada dua: saudaramu dalam
agama atau mitramu dalam kemanusiaan)
Ungkapan ini bukan baru lahir
hari ini, bukan pula muncul pada waktu yang belum lama, saat era globalisasi
sudah memangkas jarak dan menjadikan semua orang merasa perlu menghormati
hak-hak asasi manusia dan membangun kerja sama dengan semua orang. Ungkapan
tersebut sudah dikenal sejak masa yang sangat lampau. Kata-kata itu
disandangkan kepada Ali bin Abi Thalib yang disebutkannya dalam sepucuk surat
yang dia kirimkan kepada gubernur Mesir, Al-Asytar an-Nakha‘i, saat Ali
menjabat sebagai khalifah pada abad ke-7 Masehi (656-661 M.).
Ungkapan singkat itu
menggambarkan kecenderungan humanisme luar biasa. Di dalamnya berdetak semangat
membangun hubungan dengan semua orang tanpa ada pembedaan. Semua manusia setara
bagaikan gigi sisir. Mereka semua berasal dari satu unsur. Tidak ada seorang
pun yang memiliki keistimewaan atas orang lain dari segi kemanusiaan. Bahkan,
dari segi kemanusiaan, seharusnya tidak ada “orang lain”. Semuanya berasal dari
Adam, sedangkan Adam berasal dari tanah. Agama mengajarkan kepada kita untuk
mencintai saudara kita sebagaimana kita mencintai diri kita sendiri.
Demikianlah. Kita dapat berkata
bahwa ungkapan itu terinspirasi dari kitab suci al-Qur’an sebagaimana juga
didukung oleh sunah Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan maupun persetujuan
beliau. Dalam al-Qur’an, kata ikhwān (saudara) muncul lebih dari sekali.
Terkadang disandingkan dengan kata ad-dīn (agama) dan sekali waktu tidak
disandingkan. Bahkan, para rasul yang diutus kepada umat mereka disebut dalam
al-Qur’an dengan istilah akh (saudara) meskipun umat-umat itu menolak kerasulan
mereka bahkan memusuhi mereka. Allah swt. berfirman, “Dan kepada kaum Tsamud
(Kami utus) saudara mereka, Saleh”; “Dan kepada kaum ‘Ad (Kami utus) saudara
mereka, Hud”; “Dan kepada kaum Madyan (Kami utus) saudara mereka, Syuaib.”
Allah swt. berfirman, “Kami
jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”
(QS. Al-Hujurat: 13). Dari saling mengenal akan lahir pengakuan dan kerjasama.
Dari saling mengenal akan muncul saling menghormati. Menghormati tidak
selamanya identik dengan menerima pandangan orang lain, apalagi meridai,
menyukai, atau mengikutinya. Akan tetapi, yang dimaksud menghormati adalah
menerima orang lain untuk hidup berdampingan dalam suasana damai demi
kemaslahatan bersama tanpa mengusik agama dan kepercayaan masing-masing.
Tantangan terbesar dalam
mewujudkan persaudaraan antar umat manusia terletak pada peradaban modern yang
memberikan perhatian berlebih pada materi dengan penuh ketamakan dan egoisme,
sementara manusia dan kemanusiaannya dipinggirkan. Ya, secara jujur kita harus
mengakui. Umat manusia memang sudah maju di segala bidang ilmu dan teknologi.
Tetapi, dalam waktu yang sama, kemajuan tersebut juga membahayakan
kemanusiaannya. Umat manusia pada saat ini tak ubahnya seperti anai-anai yang
menari gembira di sekeliling api, namun sesaat kemudian terbakar dan mati.
Perhatian sebagian besar ahli dan ilmuwan zaman ini terhadap alam lahiriah dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan materi jauh melebihi perhatian mereka
terhadap manusia, mencakup jiwanya, rohnya, dan nilai-nilainya. Sehingga,
pengetahuan tentang manusia—yang terdiri dari jasad dan roh ini—pun amat sangat
sedikit bila dibandingkan dengan pengetahuan mereka tentang alam lahiriah.
Bahkan, seperti dikatakan oleh Alexis Carlyle dalam bukunya, Man The Unknown,
“Betapa banyak pertanyaan tentang manusia yang disampaikan oleh para ahli tidak
kunjung menemukan jawabannya hingga kini.”
Dr. Carlyle kemudian menandaskan
bahwa keterbatasan pemahaman manusia terhadap dirinya tidak hanya timbul dari
keterlambatannya dalam mencari jati diri karena sibuk menghadapi ancaman alam
pada kurun waktu tertentu, tetapi juga timbul dari kompleksitas objek
bahasan—yakni makhluk istimewa ini; sementara manusia biasanya tidak suka
memikirkan masalah-masalah yang pelik.
“Namun, yang lebih penting dari
sebab ini dan ini,” lanjut Dr. Carlyle, “adalah akal manusia yang memang tidak
mampu mengetahui segala sesuatu.”
Saya katakan, apa yang disebutkan oleh Dr. Carlyle mengenai sebab yang lebih penting, mengisyaratkan perlunya kita untuk kembali kepada Pencipta manusia untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang manusia. Ini tidak akan terlaksana kecuali dengan membuka kembali lembaran-lembaran kitab suci lalu memahaminya secara benar sesuai dengan spirit zaman.
Demikianlah. Selanjutnya mari berpindah ke tantangan kedua terkait topik bahasan kita kali ini.
Saya katakan, apa yang disebutkan oleh Dr. Carlyle mengenai sebab yang lebih penting, mengisyaratkan perlunya kita untuk kembali kepada Pencipta manusia untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan tentang manusia. Ini tidak akan terlaksana kecuali dengan membuka kembali lembaran-lembaran kitab suci lalu memahaminya secara benar sesuai dengan spirit zaman.
Demikianlah. Selanjutnya mari berpindah ke tantangan kedua terkait topik bahasan kita kali ini.
Sangat disayangkan ada sekelompok
anak zaman ini yang menganggap persaudaraan agama tidak sejalan dengan
persaudaraan kemanusiaan karena pemahaman buruk mereka terhadap agama atau
karena tidak menguasai perubahan yang terjadi. Apa yang kami sebutkan tentang
sikap sekelompok anak zaman ini telah dan akan terus melahirkan sikap menutup
diri bahkan memisahkan diri, meski kenyataan menuntut—mau atau tidak mau—adanya
hubungan dan upaya untuk memahami orang lain.
Itu di masa lalu.
Itu di masa lalu.
Lalu, bagaimana
dengan masa kini saat penghalang telah roboh; ketika tapal batas telah runtuh;
kala tidak berguna lagi segala bentuk pemisah meski kita berusaha untuk
membangunnya lagi?
Saat ini, hidup kita yang berada di tengah suasana globalisasi tidak akan mungkin dilindungi dari sentuhan dan pengaruh pihak lain.
Lalu, bersamaan dengan sikap menutup diri dan memutus hubungan dengan pihak lain, gagasan persaudaraan antar manusia telah hilang di banyak kawasan. Salah satu bukti dari hilangnya ide persaudaraan kemanusiaan itu adalah apa yang dihasilkan oleh sejumlah sensus bahwa pada setiap menit ada dua puluh empat orang yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penindasan atau untuk mencari kedamaian; setiap hari ada sekitar tiga puluh empat ribu orang yang terpaksa meninggalkan negerinya beserta segala yang mereka miliki untuk mencari perlakuan manusiawi yang selama ini tidak mereka temukan.
Saat ini, hidup kita yang berada di tengah suasana globalisasi tidak akan mungkin dilindungi dari sentuhan dan pengaruh pihak lain.
Lalu, bersamaan dengan sikap menutup diri dan memutus hubungan dengan pihak lain, gagasan persaudaraan antar manusia telah hilang di banyak kawasan. Salah satu bukti dari hilangnya ide persaudaraan kemanusiaan itu adalah apa yang dihasilkan oleh sejumlah sensus bahwa pada setiap menit ada dua puluh empat orang yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari penindasan atau untuk mencari kedamaian; setiap hari ada sekitar tiga puluh empat ribu orang yang terpaksa meninggalkan negerinya beserta segala yang mereka miliki untuk mencari perlakuan manusiawi yang selama ini tidak mereka temukan.
Demikian keadaan itu terus
berlangsung hingga jumlah pengungsi di seluruh dunia pada saat ini mencapai
lebih dari enam puluh juta jiwa berdasarkan sensus PBB. Anehnya, separuh dari
jumlah itu ditampung oleh negara berkembang atau negara berpenghasilan
menengah, padahal penghasilan negara-negara itu jika dijumlahkan hanya sekitar
2,5% dari total penghasilan dunia. Lalu, di mana negara-negara kaya?
Ini tentang masalah pengungsi; sementara masalah-masalah lain juga banyak yang butuh bantuan dan penyelesaian, minimal untuk meringankan penderitaan anak manusia.
Ini tentang masalah pengungsi; sementara masalah-masalah lain juga banyak yang butuh bantuan dan penyelesaian, minimal untuk meringankan penderitaan anak manusia.
Kemanusiaan—sebagaimana diketahui—bukan
hanya manusia. Persaudaraan manusia juga bukan sekadar hubungan, melainkan
konsep manusia sosial dan hubungan yang terbangun di atas dasar nilai-nilai
keadilan, perlakuan baik, kasih sayang, dan kedamaian, bahkan mementingkan
orang lain dan berkorban. Yang menyandang sifat kemanusiaan adalah akal, rasa,
emosi, dan perilaku. Akal berpikir secara benar; rasa dengan sangat peka ikut
merasakan penderitaan orang lain; emosi selalu mendorong untuk meraih kebaikan
dan keindahan; perilaku selalu berusaha membangun kerjasama dengan semua orang
demi mewujudkan kepentingan semua makhluk.
Itulah, bapak-bapak, nilai-nilai yang sepertinya sudah hilang dari masyarakat kita.
Itulah, bapak-bapak, nilai-nilai yang sepertinya sudah hilang dari masyarakat kita.
Pada hari ini, kita lebih layak
daripada filosof Yunani yang—menurut cerita—tak pernah berhenti menyusuri lorong-lorong
dengan membawa lentera untuk mencari orang yang menyandang sifat kemanusiaan.
Ada sebagian anak Adam yang dengan jujur merasa malu menjadi anggota keluarga
manusia setelah mereka melihat sejumlah binatang—tidak seperti manusia—membantu
binatang lain meskipun berbeda jenis.
Inilah beberapa problem kita.
Inilah bagian dari tantangan zaman kita. Pihak yang pertama-tama diharapkan
mampu meringankan problem itu adalah mereka yang mengampu urusan agama dan
pemerhati masalah-masalah akhlak dan kemanusiaan.
Kondisi dunia kita saat ini
berbeda dengan kondisi kemarin-kemarin. Dunia kita saat ini harus dikelola
dengan pemikiran-pemikiran yang berbeda dengan pemikiran-pemikiran kemarin,
dengan syarat tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama dan nilai-nilai
moral. Betapa banyak pemikiran-pemikiran masa lalu yang bisa jadi cocok dengan
masanya, tetapi tidak sesuai lagi dengan zaman kita. Lalu, betapa banyak
pemikiran-pemikiran yang pernah diterapkan di masa lampau, endapannya masih
melekat dalam diri sebagian orang, meski kemanusiaan berteriak meminta untuk
membuangnya. Rasisme atau gagasan superioritas suatu suku di atas suku lain
masih hadir—terang-terangan atau samar-samar—termasuk di negara yang mengaku
beradab. Perbudakan masih ada hingga kini—dengan bentuk berbeda dengan yang ada
di masa lalu—meski sudah ada deklarasi hak-hak asasi manusia.
Sikap sebagian orang yang tetap
berpegang pada pemikiran-pemikiran usang itu—juga pemikiran-pemikiran lain,
meskipun tidak diungkapkannya secara terang-terangan, disimpan di alam bawah
sadarnya—telah memberikan sumbangan besar terhadap bertahannya—bahkan timbul
baru—berbagai problem sosial yang mengakibatkan hilangnya persaudaraan
kemanusiaan.
Lalu, lebih parah lagi, para
pemangku urusan agama atau orang-orang yang berpegang teguh pada tradisi usang
itu juga ikut andil dalam melestarikan problem-problem tersebut melalui
khutbah-khutbah, bimbingan-bimbingan, dan sikap-sikap yang mereka ambil,
sehingga permasalahan bertambah runyam.
Di antara mereka ada yang
meyakini bahwa berbuat baik kepada non-Muslim atau sekadar menyampaikan salam
atau mengucapkan selamat saat memperingati hari besar nasional maupun hari
besar agama merupakan perbuatan yang dilarang agama Islam. Saya katakan, bagaimana
mungkin ada keyakinan seperti itu, sedangkan al-Qur’an yang dibaca kaum Muslim
tiap hari telah mengatakan:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ (الممتحنة 8).
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbagi (harta untuk menjaga hubungan baik) terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu (QS. Al-Mumtahanah: 8).
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ (الممتحنة 8).
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbagi (harta untuk menjaga hubungan baik) terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu (QS. Al-Mumtahanah: 8).
Meski kata tabarrūhum (berbuat
baik) sudah mencakup pemberian materi kepada mereka, tetapi firman Allah
tuqsiṭū menegaskan salah satu jenis perbuatan baik. Ibnu al-‘Arabiy mengatakan
dalam kitabnya, Aḥkām al-Qur’ān, “Ungkapan itu bermakna: kamu memberikan
sebagian hartamu kepada mereka untuk menjaga hubungan baik, dan tidak
dimaksudkan untuk menunjuk makna adil, karena bersikap adil memang wajib
diambil, baik kepada orang yang memerangi kita maupun orang yang tidak
memerangi kita. Allah swt. berfirman, “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu
kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil)
itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Mā’idah: 8).
Itu dari pihak kaum Muslim.
Itu dari pihak kaum Muslim.
Dari pihak lain, juga ada
sejumlah tokoh sangat terkenal dari kalangan non-Muslim yang biasa menyampaikan
pemikiran-pemikiran yang disebutnya islami tetapi sebenarnya tidak islami sama
sekali karena diambil dari sumber-sumber non-islami yang berisi banyak
kesalahan dan kebohongan. Di samping itu, kita juga sering mendengar pernyataan
tak pantas dari tokoh-tokoh pemerintahan. Jika harus digambarkan dengan
ungkapan yang paling halus: mereka itu sedang mengatur negaranya dengan cara
yang tidak mendukung tegaknya persaudaraan kemanusiaan sama sekali.
Selanjutnya,
bercampurnya agama dengan politik—politik dalam arti upaya memperebutkan
kekuasaan dengan cara apapun—juga telah menarik sebagian orang untuk
menceburkan diri dalam beberapa hal yang bisa mengeruhkan hubungan kemanusiaan.
Didorong oleh semangat yang menggebu-gebu, mereka tak segan melontarkan
kata-kata yang rasa-rasanya berat untuk diucapkan oleh lidah orang yang adil,
terasa jijik untuk ditulis oleh pena-pena yang netral, bahkan rasa-rasanya, si
penutur sendiri pun menolaknya.
Di samping pemikiran yang harus diluruskan, di sana ada juga sejumlah tindakan sebagian orang pada zaman ini yang tidak sejalan dengan prinsip persaudaraan kemanusiaan. Mohon dikatakan dengan jujur: apakah masuk akal, memusnahkan hasil panen dengan tujuan untuk menjaga harga agar tetap tinggi demi memperoleh keuntungan berlipat? Juga bisakah kita menggambarkan perilaku sebagian orang yang membuang-buang makanan dan minuman? Apakah Anda pernah membayangkan seberapa banyak sisa makanan yang dibuang ke tong sampah dan bahkan jalanan?
Organisasi pangan dan pertanian
(FAO) yang menginduk pada PBB menaksir sisa makanan yang terbuang itu, di Eropa
saja, cukup untuk memberi makan 200 juta jiwa, yang terbuang di Amerika Latin
cukup untuk memberi makan 300 juta jiwa. Bahkan, menurut taksiran FAO, jika
seperampat volume makanan yang dibuang dari seluruh dunia dikumpulkan maka akan
cukup untuk memberi makan 870 juta jiwa. Alangkah jauhnya kita—karena perilaku
semacam itu—dari prinsip ukhuwwah insāniyyah atau persaudaraan
kemanusiaan, sementara saudara-saudara kita di berbagai penjuru dunia sedang
berperang melawan lapar? Tentu saja, kita semua tahu bahwa lapar serta rasa
tertindas dan terzalimi merupakan sebab utama munculnya permusuhan dan saling
benci.
Itulah beberapa permasalahan dan tantangan yang menghambat proses lahirnya persaudaraan kemanusiaan. Permasalahan dan tantangan itu tidak mungkin dipecahkan oleh tangan-tangan yang terhimpun dalam persaudaraan agama saja; harus dipecahkan oleh banyak tim yang terhimpun dalam wadah persaudaraan kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai agama yang dimiliki oleh semua.
Akhirnya, apakah di sana masih ada peluang?
Itulah beberapa permasalahan dan tantangan yang menghambat proses lahirnya persaudaraan kemanusiaan. Permasalahan dan tantangan itu tidak mungkin dipecahkan oleh tangan-tangan yang terhimpun dalam persaudaraan agama saja; harus dipecahkan oleh banyak tim yang terhimpun dalam wadah persaudaraan kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai agama yang dimiliki oleh semua.
Akhirnya, apakah di sana masih ada peluang?
Tentu! Di sana masih ada peluang!
Demikian, kami katakan dengan tegas. Bukan saja karena manusia tidak boleh
berputus asa atau kita yakin bahwa benih-benih kebaikan tetap ada di dalam diri
manusia meski terkadang bersembunyi di dasar perasaan, melainkan juga—kami
mengatakannya—karena tanda-tanda peluang itu terlihat jelas di depan mata. Di
antaranya adalah hubungan baik, kebiasaan saling mengunjungi, pembicaraan jujur
dan ikhlas antar para pemuka berbagai agama, pemikiran-pemikiran mencerahkan
dan sejalan dengan kondisi kekinian yang sering kita dengar dari para pemuka
agama dan masyarakat umum. Al-Azhar, misalnya, tak pernah berhenti menyajikan
pemikiran-pemikiran dan usulan-usulan yang menerangi jalan untuk meraih tujuan.
Imam besarnya, Prof. Dr. Ahmad Thayyib dengan tegas mengatakan bahwa Dunia
Timur, baik sebagai peradaban dan agama, tidak punya masalah dengan Barat, baik
Barat yang diwakili oleh organisasi-organisasi keagamaannya maupun Barat
sebagai peradaban ilmiah materialis.
Dalam waktu yang sama, kita
menemukan sejumlah gagasan dan kegiatan yang disarikan dari keputusan Konsili
Vatikan II yang—menurut pengetahuan saya yang serba terbatas—menunjukkan
keterbukaan Gereja dan adanya penafsiran agama Nasrani yang sejalan dengan
kondisi dunia masa kini yang menuntut adanya pemahaman terhadap manusia modern
dan uluran tangan untuk bekerjasama dengan para penganut agama lain. Di samping
itu, keputusan-keputusan tersebut juga merekam pengakuan Gereja tentang adanya
ajaran Islam yang sejalan dengan ajaran Kristen. Sikap ini jauh berbeda dengan
sikap-sikap Gereja sebelumnya yang pernah menjadi ajang mengail ikan di air
keruh.
Selain hal-hal positif itu, kita juga menemukan penegasan-penegasan dari sejumlah negara dan pemerintahan, terutama negara Emirat Arab, tentang perlunya berusaha tiada henti untuk mengukuhkan toleransi, kerjasama, dan karya membangun demi terwujudnya persaudaraan kemanusiaan yang dapat dinikmati oleh semua manusia.
Selain hal-hal positif itu, kita juga menemukan penegasan-penegasan dari sejumlah negara dan pemerintahan, terutama negara Emirat Arab, tentang perlunya berusaha tiada henti untuk mengukuhkan toleransi, kerjasama, dan karya membangun demi terwujudnya persaudaraan kemanusiaan yang dapat dinikmati oleh semua manusia.
Semua faktor itu, jika kita
niatkan dengan tulus dan dibarengi kerjasama yang baik, tentu akan menjadi
peluang besar untuk mewujudkan persaudaraan kemanusiaan di dunia kita ini.
Semoga Allah melimpahkan taufik kepada kita semua.
Kontributor:
Prof. DR Muhammad Quraish Shihab, MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaot Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofya@gmail.com
Comments
Post a Comment