Skip to main content

PERLU SALING MENGHARGAI TENTANG QUNUT SUBUH




Ikhtilaf Ummah

PERLU SALING MENGHARGAI TENTANG QUNUT SUBUH


Sejumlah pihak melakukan kritikan terhadap hujjah Madzhab Asy Syafi’i mengenai qunut shubuh. Salah satunya adalah hadits yang dijadikan sandaran dalam amalan qunut shubuh yang diriwayatkan oleh Anas Bin Malik. Berikut ini pemaparan para Huffadz Hadits yang menganut pendapat bahwa qunut shubuh disyari’atkan.

  عَن أنس أَن النَّبِي – صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم – قنت شهرا يَدْعُو عَلَى قاتلي أَصْحَابه ببئر مَعُونَة (ثمَّ) ترك ، فَأَما فِي الصُّبْح فَلم يزل يقنت حَتَّى فَارق الدُّنْيَا.
Dari Anas Radhiyallahu Anhu ia berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasalam melakukan qunut selama satu bulan, berdoa (untuk keburukan) kepada para pembunuh para sahabat beliau di Bi’r Ma’unah, lalu beliau meninggalkannya, akan tetapi qunut waktu shubuh, maka beliau masih melakukan hingga wafat”
Hadits ini berada dalam Syarh Al Kabir (1/151). Hadits diriwayatkan Ad Daraquthni (2/39). Ahmad dalam Musnad (3/162), Hafidz Abu Bakar Khatib, dalam At Tahqiq Ibnu Al Jauzi (1/463), Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra (2/201).
Para Huffadz yang menshahihkan
Al Hafidz Ibnu Shalah:”Hadits ini telah dihukumi shahih oleh lebih dari seorang huffadz hadits, diantaranya: Abu Abdullah bin Ali Al Balkhi, dari para imam hadits, Abu Abdullah Al Hakim, dan Abu Bakar Al Baihaqi. (Lihat, Badr Al Munir, 3/624).
Al Hafidz Imam Nawawi mengatakan:”Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah huffadz dan mereka menshahihkannya”. Lalu menyebutkan para ulama yang disebutkan Ibnu Shalah, dan mengatakan,”Dan diriwayatkan Daraquthni melalui beberapa jalan dengan sanad shahih”. (Al Khulashah, 1/450-451).
Al Qurthubi dalam Al Mufhim :”Yang kuat diperintahkan oleh Rasulullah shalallhualaihi wasalam dalam qunut, diriwayatkan Daraquthni dengan isnad shahih” (Badr Al Munir, 3/624).
Hafidz Al Hazimi dalam An Nashih wa Al Mansukh:”Hadits ini shahih, dan Abu Ja`far tsiqah”. (Al I’tibar, 255)
Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani : Setelah menyebutkan penilaian para ulama terhadap Abu Jakfar, beliau mengatakan, “haditsnya memiliki syahid (penguat)” lalu menyebutkan hadits qunut shubuh yang diriwayatkan dari Al Hasan bin Sufyan. (Talhis Khabir, 1/443)
Pernyataan Al Hafidz Ibnu Hajar bahwa “haditsnya memiliki syahid” menunjukkan bahwa haditsnya hasan. Sehingga penulis Ithaf fi Takhrij Ahadits Al Ishraf menyatakan,”Ibnu Hajar menghasankan dalam Talhisnya”.
Di halaman yang sama Ibnu Hajar mengatakan,”Hadist riwayat Al Baihaqi…dan dishahihkan Hakim dalam Kitab Al Qunut”. (Talhis Khabir, 1/443).
Hafidz Al Iraqi:”Telah menshahihkan hadits ini Al Hafidz Abu Abdullah Muhammad bin Ali Al Bajili, Abu Abdullah Al Hakim dan Ad Daraquthni” (Tharh Tatsrib,3/289).
Perawi yang Disoroti dalam Hadits ini adalah Abu Ja`far Ar Razi
Pendapat Imam Ahmad
Bicara mengenai Abu Jakfar Ar Razi. Pendapat Imam Ahmad tentang Abu Jakfar, ada dua riwayat. Pertama. Diriwayatkan Hanbal dari Ahmad bin Hanbal,”Shalih hadits” (haditsnya layak). Kedua, dari Abdullah, anaknya,”Laisa bi qawi (tidak kuat). Al Hazimi dalam Nashih wa Manshuh mengatakan, “Riwayat pertama lebih utama (Al I’tibar, 256).
Pendapat Yahya bin Ma`in
Adapun penilaian Yahya bin Ma’in, ada beberapa riwayat:1, dari Isa bin Manshur, “Tsiqah”. 2, dari Ibnu Abi Maryam , “hadistnya ditulis, tapi ia sering salah”. 3, diriwayatkan Ibnu Abi Khaitsamah,”shalih”. 4, diriwayatkan oleh Mughirah,”tsiqah” dan ia salah ketika meriwayatkan dari Mughirah. Daruquthni mengatakan,”Dan hadits ini tidak diriwayatkan dari Mughirah”. 5, diriwayatkan As Saji “Shoduq wa laisa bimutqin ( hafalanya tidak valid)”
Periwayatan dari Yahya bin Ma’in lebih banyak ta’dilnya daripada tajrih.
Pendapat Ali bin Al Madini
Ali bin Al Madini: Ada dua riwayat darinya tentang Abu Jakfar. Salah satu riwayat mengatakan,”Ia seperti Musa bin Ubaidah, haditsnya bercampur, ketika meriwayatkan dari Mughirah dan yang semisalnya. Dalam riwayat yang berasal dari anak Ibnu Al Madini, Muhammad bin Utsman bin Ibnu Syaibah,”Bagi kami ia tsiqah”. Ibnu Al Mulaqqin mengatakan,”lebih utama riwayat dari anaknya (anak Ibnu Al Madini).
Pendapat Para Huffadz
Muhammad Bin Abdullah Al Mushili mengatakan,”Tsiqah”. Bin Ali Al Falash mengatakan,”Shoduq, dan dia termasuk orang-orang yang jujur, tapi hafalannya kurang baik”. Abu Zur’ah mengatakan,”Syeikh yahummu katisran (banyak wahm). Abu Hatim mengatakan,”Tsiqah, shoduq, sholih hadits”. Abnu Harash,”Hafalannya tidak bagus, shoduq (jujur)”. Ibnu ‘Adi,”Dia mimiliki hadits-hadits layak, dan orang-orang meriwayatkan darinya. Kebanyakan haditsanya mustaqim (lurus), dan aku mengharap ia la ba’sa bih (tidak masalah). Muhammad bin Sa’ad:”Dia tsiqah”, ketika di Baghdad para ulama mendengar darinya”. Hakim dalam Al Mustadrak,”Bukhari dan Muslim menghindarinya, dan posisinya di hadapan seluruh imam, adalah sebaik-baik keadaan”, di tempat lain ia mengatakan:”tsiqah”. Ibnu Abdi Al Barr dalam Al Istighna,”Ia (Abu Ja`far) bagi mereka (para ulama) tsiqah, alim dalam masalah tafsir Al Qur’an.. Ibnu Sahin menyebutnya dalam “Tsiqat”. Al Hazimi dalam Nasikh dan Mansukh,”Ini hadist Shahih, dan Abu Jakfar tsiqah”. Taqiyuddin Ibnu Daqiq Al Ied dalam Al Ilmam, setelah menyebutkan hadits, ia mengatakan,”Dalam isnadnya Abu Jakfar Ar Razi. Dan ia ditsiqahkan, lebih dari satu ulama. Nasai mengatakan,”Laisa bil Qawi” (ia tidak kuat hafalannya).
Demikianlah paparan Al Hafidz Ibnu Al Mulaqqin mengenai perkataan ulama jarh wa ta’dil mengenai Abu Ja’far Ar Razi. (lihat, Badr Al Munir, 3/623)

Kritik untuk Ibnu Al Jauzi 
Al Hafidz Ibnu Mulaqqin mengatakan, “Adapun Ibnu Al Jauzi menilai bahwa hadits ini mengandung `ilal dalam Al Ilal Al Mutanahiyah dan At Tahqiq mengenai Abu Ja’far ini untuk membela madzhabnya hanya menukil riwayat yang menjarh saja dan ini adalah bukanlah perbuatan yang baik. Ia hanya mencukupkan kepada riwayat siapa yang meriwayatkan dari pendhaifan dari Ahmad, Ibnu Al Madini Dan Yahya bin Ma’in. Dan ini bukanlah perbuatan orang yang obyektif”. (Badr Al Munir, 3/624)
Walhasil, meski status hadits qunut diperselisihkan keshahihannya dan pihak yang mendhaifkan hadits qunut memiliki argumen, namun pihak Asy Syafi’iyah juga memiliki argumen yang menunjukkan bahwa hadits qunut bukan hadits dhaif. Tentu dalam hal ini yang dibutuhkan umat adalah kedewasaan untuk saling menghargai satu sama lain tanpa memaksakan kehendak, dengan demikian ukhuwwah Islamiyah akan senantiasa terjaga. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam….

Menurut versi NU yang dikutip dari nu.or.id, Qunut termasuk amalan yang DISUNNAHKAN dalam shalat. Qunut yang disunahkan ada tiga macam: qunut shubuh, qunut witir pada separuh akhir Ramadhan, dan qunut nazilah. Terkait qunut shubuh, Imam Al-Nawawi dalam Al-Adzkar mengatakan:

اعلم أن القنوت في صلاة الصبح سنة للحديث الصحيح فيه عن  أنس رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لم يزل يقنت في الصبح حتى فارقا الدنيا. رواه الحاكم أبو عبد الله في كتاب الأربعين وقال حديث صحيح

Artinya, “Qunut shalat shubuh disunahkan berdasarkan hadits shahih dari Anas bahwa Rasulullah SAW selalu qunut sampai beliau meninggal. Hadits riwayat Hakim Abu Abdullah dalam kitab Arba’in. Ia mengatakan, itu hadits shahih,” (Lihat Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Adzkar, Beirut, Darul Fikri, 1994, halaman 59).

Menurut Imam An-Nawawi, qunut shubuh SUNAH MUAKKADAH, meninggalkannya tidak membatalkan shalat, tetapi DIANJURKAN SUJUD SAHWI, baik ditinggalkan sengaja atau tidak. Doa qunut shubuh adalah sebagai berikut:

اَللّهُمَّ اهْدِنِىْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِى فِيْمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِىْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِىْ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ فَاِ نَّكَ تَقْضِىْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ وَاِ نَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ وَاَسْتَغْفِرُكَ وَاَتُوْبُ اِلَيْكَ وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدَنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

Allahummahdini fî man hadait, wa ‘âfini fî man ‘âfait, wa tawallanî fî man tawallait, wa bâriklî fî mâ a‘thait, wa qinî syarra mâ qadhait, fa innaka taqdhî wa lâ yuqdhâ ‘alaik, wa innahû lâ yazillu man wâlait, wa lâ ya‘izzu man ‘âdait, tabârakta rabbanâ wa ta‘âlait, fa lakal hamdu a’lâ mâ qadhait, wa astagfiruka wa atûbu ilaik, wa shallallâhu ‘alâ sayyidinâ muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alâ âlihi wa shahbihi wa sallam

Doa qunut yang disebutkan di atas dibaca pada saat shalat sendiri. Kalau shalat berjamaah, imam dianjurkan mengubah lafal “ihdinî (berilah aku petunjuk)” menjadi “ihdinâ (berilah kami petunjuk)”. Karena dalam pandangan Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu’in dimakruhkan berdoa untuk diri sendiri pada saat doa bersama. Ia menegaskan:

وكره لإمام تخصيص نفسه بدعاء أي بدعاء القنوت للنهي عن تخصيص نفسه بدعاء، فيقول الإمام: اهدنا

Artinya, “Dimakruhkan bagi imam berdoa khusus untuk dirinya sendiri pada saat doa qunut karena ada larangan tentang hal itu. Karenanya, hendaklah imam membaca ‘ihdina,’” (Lihat Zainuddin Al-Malibari, Fathul Muin, Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyyah, 2009 M, halaman 44).

Pada saat membaca doa qunut, imam dianjurkan mengeraskan suaranya dan makmum mengamininya. Dianjurkan pula mengangkat kedua tangan sebagaimana doa pada umumnya. Lebih utama lagi, pada saat doa yang mengandung harapan dan permintaan, telapak tangan menghadap ke atas, sementara saat doa yang mengandung tolak bala atau dijauhkan dari musibah yang sedang terjadi, punggung telapak tangan menghadap ke atas.

Sementara itu menurut versi Muhammadiyah yg dikutip dari suaramuhammadiyah.or.id, untuk Qunut Subuh, Muhammadiyah berpendirian bahwa qunut yang dilakukan khusus pada saat shalat subuh TIDAK DIBENARKAN KARENA DALILNYA LEMAH Hadis-hadis yang mendukung pendirian Muhammadiyah tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Hadis riwayat Imam Ahmad (1)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قاَلَ, حَدَّثَنَا أَبُوْ جَعْفَرٍ يَعْنِى الرَّازِيَّ, عَنَ الرَّبِيْعِ ابْنِ أَنَسٍ, عَنْ  أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّي فَا رَقَ الدُّنْيَا. [رواه أحمد و الدارقطني والبيهقي]
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami ‘Abd ar-Razzaq (ia berkata): Telah mengabarkan kepadaku Abu Ja’far yaitu ar-Razi dari Ar-Rabi’ bin Anas dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw. terus melakukan qunut pada shalat subuh sampai ia meninggal dunia.” [H.R. Ahmad, ad-Daruqutni, dan al-Baihaqi]
Derajat hadis: Dha’if.

Dalam hadis ini terdapat perawi bernama ar-Rabi’ bin Anas. Dalam Tahdzib at-Tahdzib, an-Nasai mengatakannya sebagai perawi yang tidak ada masalah (la ba’sa bih). Ini adalah pernyataan ta’dil derajat keempat yaitu bahwasanya hadis dari perawi yang demikian tidak dapat dijadikan hujjah kecuali setelah diteliti dan terbukti dikuatkan oleh perawi-perawi yang terpercaya. Sedangkan Ibnu Hibban mengatakan: “Orang-orang menghindari hadis-hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu Ja’far ar-Razi karena banyak mengandung kekacuan (al-ittirab).

Selain itu dalam sanad hadis tersebut terdapat perawi bernama Abu Ja’far ar-Razi. Nama aslinya adalah ‘Isa bin Mahan, merupakan seorang perawi yang ulama berbeda pendapat mengenai kredibilitasnya. Ibnu Sa’ad dan al-Hakim mengatakan sebagai perawi yang tsiqah (terpercaya). Sedangkan Ahmad, al-‘Ijli, dan an-Nasai mengatakan bahwa ia tidak kuat dalam hadis (laisa bi qawiyyin bi al-hadis). ‘Amr bin Ali menyatakan sebagai perawi yang dhaif dan buruk hafalannya.

Ibnu Hajar menegaskan bahwa ia menemukan satu syahid bagi hadis ini yang menyatakan bahwa Rasulullah saw. qunut hingga akhir hayatnya. Akan tetapi ia menyatakan bahwa dalam riwayat syahid itu terdapat perawi bernama ‘Amr bin Ubaid yang dhaif dan hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.
  1. Hadis riwayat Imam Ahmad (2)
حَدَّثَنَا مَحْبُوبُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ هِلَالِ بْنِ أَبِي زَيْنَبَ، عَنْ خَالِدٍ يَعْنِي الْحَذَّاءَ، عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ سِيرِينَ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ، هَلْ قَنَتَ عُمَرُ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَمَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْ عُمَرَ، رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ الرُّكُوعِ. [رواه أحمد]
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahbub bin al-Hasan bin Hilal bin Abu Zainab dari Khalid yaitu al-Hadza’ dari Muhammad dari yaitu Ibnu Sirin berkata, Aku bertanya kepada Anas bin Malik, Apakah Umar melakukan Qunut? (Anas bin Malik) ra. menjawab: Ya. Dan orang yang lebih baik dari ‘Umar yaitu Rasulullah saw.  juga melakukannya setelah ruku’.” [H.R. Ahmad]
Derajat hadis: dhaif.

Hadis ini dhaif karena terdapat perawi bernama Mahbub bin Hasan. Mengenai Mahbub, az-Zahabi dalam Tahdzib at-Tahdzib menyatakan bahwa menurut Ibnu Ma’in ia tidak apa-apa (laisa bihi ba’s). Menurut Abi Hatim ia tidak kuat, menurut an-Nasai ia dhaif.
Selanjutnya adalah hadis-hadis lain yang berkaitan dengan qunut, di antaranya:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَاصِمٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ القُنُوتِ، فَقَالَ: قَدْ كَانَ القُنُوتُ, قُلْتُ: قَبْلَ الرُّكُوعِ أَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: قَبْلَهُ، قَالَ: فَإِنَّ فُلاَنًا أَخْبَرَنِي عَنْكَ أَنَّكَ قُلْتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ، فَقَالَ: كَذَبَ. إِنَّمَا قَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الرُّكُوعِ شَهْرًا، أُرَاهُ كَانَ بَعَثَ قَوْمًا يُقَالُ لَهُمْ القُرَّاءُ، زُهَاءَ سَبْعِينَ رَجُلًا، إِلَى قَوْمٍ مِنَ المُشْرِكِينَ دُونَ أُولَئِكَ، وَكَانَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَهْدٌ، فَقَنَتَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ. [رواه البخاري]
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad, dia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Wahid bin Ziyad, dia berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim, dia berkata: Aku pernah bertanya kepada Anas bin Malik tentang qunut. Lalu dia menjawab: Qunut itu benar adanya. Aku bertanya lagi: Apakah pelaksanaannya sebelum atau sesudah ruku’? Dia menjawab: Sebelum ruku’. Ashim berkata: Ada orang yang mengabarkan kepadaku bahwa engkau mengatakan bahwa pelaksanaannya setelah ruku’? Anas bin Malik menjawab: Orang itu dusta. Rasulullah saw. pernah melaksanakannya setelah ruku’ selama satu bulan. Hal itu beliau lakukan karena beliau pernah mengutus sekelompok orang (ahli Al-Quran) yang berjumlah sekitar tujuh puluh orang kepada kaum musyrikin selain mereka. Saat itu antara Rasulullah saw. dan kaum musyrikin ada perjanjian. Kemudian Rasulullah saw. melaksanakan doa qunut selama satu bulan untuk berdoa atas mereka (karena telah membunuh para utusannya).” [H.R. al-Bukhari]

Hadis di atas menjelaskan dua model qunut yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., yaitu sebelum ruku’ dan setelah ruku’. Jadi bisa diketahui bahwasanya qunutyang disyariatkan adalah qunut dalam pengertian melamakan berdiri untuk berdoa dalam shalat. Sedangkan pelaksanaan Qunut Subuh yang saat ini banyak diamalkan (qunut setelah ruku’) adalah tidak disyariatkan, karena Rasulullah saw. melakukan qunut yang demikian itu hanya selama satu bulan dan itu merupakan qunut nazilah. Dalam pada itu, Rasulullah saw. melakukan Qunut Nazilah tidak hanya pada waktu shalat subuh saja, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis berikut:
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya: Bagaimana pendapat empat Imam Madzhab mengenai qunut?
Syaikh rahimahullah menjawab:Pendapat imam madzhab dalam masalah qunut adalah sebagai berikut.

Pertama: Ulama Malikiyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut kecuali pada shalat shubuh saja. Tidak ada qunut pada shalat witir dan shalat-shalat lainnya.
Kedua: Ulama Syafi’iyyah
Mereka berpendapat bahwa tidak ada qunut dalam shalat witir kecuali ketika separuh akhir dari bulan Ramadhan. Dan tidak ada qunut dalam shalat lima waktu yang lainnya selain pada shalat shubuh dalam setiap keadaan (baik kondisi kaum muslimin tertimpa musibah ataupun tidak, -pen). Qunut juga berlaku pada selain shubuh jika kaum muslimin tertimpa musibah (yaitu qunut nazilah).
Ketiga: Ulama Hanafiyyah
Disyariatkan qunut pada shalat witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali pada saat nawaazil yaitu kaum muslimin tertimpa musibah, namun qunut nawaazil ini hanya pada shalat shubuh saja dan yang membaca qunut adalah imam, lalu diaminkan oleh jama’ah dan tidak ada qunut jika shalatnya munfarid (sendirian).
Keempat: Ulama Hanabilah (Hambali)
Mereka berpendapat bahwa disyari’atkan qunut dalam witir. Tidak disyariatkan qunut pada shalat lainnya kecuali jika ada musibah yang besar selain musibah penyakit. Pada kondisi ini imam atau yang mewakilinya berqunut pada shalat lima waktu selain shalat Jum’at.
Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan qunut witir sebelum atau sesudah ruku’.
Inilah pendapat para imam madzhab. Namun pendapat yang lebih kuat, tidak disyari’atkan qunut pada shalat fardhu kecuali pada saat nawazil (kaum muslimin tertimpa musibah). Adapun qunut witir tidak ada satu hadits shahih pun dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan beliau melakukan qunut witir. Akan tetapi dalam kitab Sunan ditunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Al Hasan bin ‘Ali bacaan yang diucapkan pada qunut witir yaitu “Allahummah diini fiiman hadayt …”. Sebagian ulama menshahihkan hadits INI. Hadits ini diriwayakan oleh At Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa-i, Ibnu Majah, dan Ad Darimiy. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dalm Misykatul Mashobih 1273 [20].
[2]. Jika seseorang melakukan qunut witir, maka itu baik. Jika meninggalkannya, juga baik. Hanya Allah yang memberi taufik. (Ditulis oleh Syaikh Muhammad Ash Sholih Al ‘Utsaimin, 7/ 3/ 1398) (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 14/97-98, Asy Syamilah

Adapun mengenai qunut shubuh secara lebih spesifik, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan dalam fatwa lainnya. Beliau pernah ditanya: “Apakah disyari’atkan do’a qunut witir (Allahummah diini fiiman hadayt …) dibaca pada raka’at terakhir shalat shubuh?”
Beliau rahimahullah menjelaskan: “Qunut shubuh dengan do’a selain do’a ini (selain do’a “Allahummah diini fiiman hadayt …”), maka di situ ada perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang lebih tepat adalah tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali jika di sana terdapat sebab yang berkaitan dengan kaum muslimin secara umum. Sebagaimana apabila kaum muslimin tertimpa musibah -selain musibah wabah penyakit-, maka pada saat ini mereka membaca qunut pada setiap shalat fardhu. Tujuannya agar dengan do’a qunut tersebut, Allah membebaskan musibah yang ada.”
Apakah perlu mengangkat tangan dan mengaminkan ketika imam membaca qunut shubuh?
Dalam lanjutan perkataannya di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan:
“Oleh karena itu, seandainya imam membaca qunut shubuh, maka makmum hendaklah mengikuti imam dalam qunut tersebut. Lalu makmum hendaknya mengamininya sebagaimana Imam Ahmad rahimahullah memiliki perkataan dalam masalah ini. Hal ini dilakukan untuk menyatukan kaum muslimin.
Adapun jika timbul permusuhan dan kebencian dalam perselisihan semacam ini padahal di sini masih ada ruang berijtihad bagi umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini selayaknya tidaklah terjadi. Bahkan wajib bagi kaum muslimin –khususnya para penuntut ilmu syar’i- untuk BERLAPANG DADA dalam masalah yang masih boleh ada perselisihan antara satu dan lainnya. ” [3]
Dalam penjelasan lainnya, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang lebih tepat makmum hendaknya mengaminkan do’a (qunut) imam. Makmum mengangkat tangan mengikuti imam karena ditakutkan akan terjadi perselisihan antara satu dan lainnya. Imam Ahmad memiliki pendapat bahwa apabila seseorang bermakmum di belakang imam yang membaca qunut shubuh, maka hendaklah dia mengikuti dan mengamini do’anya. Padahal Imam Ahmad berpendapat tidak disyari’atkannya qunut shubuh sebagaimana yang sudah diketahui dari pendapat beliau. Akan tetapi, Imam Ahmad rahimahullah memberikan keringanan dalam hal ini yaitu mengamini dan mengangkat tangan ketika imam melakukan qunut shubuh. Hal ini dilakukan karena khawatir terjadinya perselisihan yang dapat menyebabkan renggangnya hati (antar sesama muslim).”[4]Hanya Allah yang memberi taufik.

*********************************
Kontributor:  Solah Salim; Hengki Ferdiansyah; Ustadh Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com




Comments

Popular posts from this blog

Tafsir al-Quran

  TAFSIR AL-QUR'AN Bacaan Al-Quran (Al-Quran Recitation) Tafsir As-Su'udi, Al-Baghawi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, At-Thabari ( Arabic)   Al-Quran Terjemah Per Kata dan Tafsir (Kemenag RI, Jalalain, Ibn Katsir & Al-Misbah )   Al-Quran dan Terjemahannya (Indonesia & English, Bacaan Oleh Al-Afasi ), Tafsir Kemenag dan Aspek Terkait   Tafsir Kemenag RI, Bacaan Oleh Al-Husary Learn Quran Tafsir (Jalalain, Ibnu Katsir, Kemenag RI dan Al-Azhar )   TafsirWeb (Al-Muyassar, Al-Mukhtasar,  Al-Wajiz, As-Sa'di, Sawi , dll)    Tafsir al-Mukhtasar fi Al-Quran al-Karim (Indonesia)       Tafsir Hidayatul Insan - Al Ustadz Marwan Bin Musa   Belajar Al-Quran Kata Per Kata   Tafsir NU Online    Tafsir Al-Mukhtasar fi Al-Quran Karim (English)   Maududi Tafhimul Quran Tafsir (English)   Ibn Kathir Al-Quran Tafsir ( English )   Tafsir Ibn Katheer & Ma’arif ul-Quran (in English, Arabic, Urdu )      Tafsir Ibn Abbas (English)    Tafsir Kashani (English)   Tafsir Kashf Al-Asrar (English)

Darul Quran Mina (DQM)

Darul Qur'an Mina (DQM) Profil & Kegiatan Darul Qur'an Mina (DQM) Wakaf Bangunan DQM   Update Laporan Donasi Wakaf Bangunan DQM    Youtube DQM Channel (English)   Youtube Kajian Tafsir   Youtube Belajar Bahasa Arab   Murattal & Tadabbur al-Quran:  Murattal al-Qur'an Berbagai Qari Masyhur (MP4)   Murattal Al-Quran Qari Utama (MP4)   The Glorious Noble Qur'an -Syaikh Abu Bakr Ash-Shatery, Eng Trans (MP4)   Tadabbur/Tafsir al-Quran (MP3 &MP4)   Tafsir Al-Quran   Ilmu al-Quran (Ulumul Quran) -MP4 Tajwid/Ilmu Tajwid    Belajar Membaca & Tadabbur al-Qur'an (Html,MP3 dan MP4)   Kajian Hadist (Study of Hadith)    Murattal al-Quran Semua List Qari Masyhur (MP3)   Murattal Al-Quran Semua Qori (MP3)   Perpustakaan Audio Quran MP3 Semua Qari   Murattal Al-Quran 30 Juz (MP3 Audio)   List Murattal Al-Qur'an (MP3 Audio) & Tafsir   Al-Quran Digital (Display Ayat dan Terjemahan), Murattal Oleh Syaikh Abdulrahman al-O

Update Laporan Donasi Wakaf Tanah & Bangunan Darul Quran Mina (DQM)

Update Laporan Wakaf  Bangunan Darul Quran Mina (DQM) Yayasan Pembangunan Islam Mina , SK Kementerian Hukum & HAM RI No. AHU.0006005.AH.01.04.2017 1. Kantor Pusat (HQ):  Alamat: Darul Quran Mina (DQM), Lampeuneurut Ujong Blang, Darul Imarah, Aceh Besar, INDONESIA 23352.  Kebutuhan Dana:  - Tanah seluas 364 M2 & 1 Unit Bangunan: Rp 998,000,000,- -  3 unit Balai Pengajian: Rp 26,600,000,- ************************************** Transfer Wakaf Bangunan DQM ke No Rekening (Acc): 📟 No. Acc Bank Aceh Syari'ah : 62002200105180 Kode Bank 116  (Swift Code: PDACIDJ1) 📟 No. Acc Bank Syariah Indonesia: 7147283126 Kode Bank 451  (Swift Code: BSMDIDJAXXX  ) 📟 No. Acc Bank CIMB Niaga Syariah: 761968078600 Kode Bank 022  (Swift Code: BNIAIDJA XXX ) Semuanya a.n: Sofyan Kaoy Umar  Konfirmasi setelah Transfer:  WA: +6281234582087 (Ust.Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF), Ketua Pengurus Yayasan Pembangunan Islam Mina Khusus  bagi  muhsinin Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia &am