Fitnah Akhir Zaman
Pertanyaan:
Ustadz harakah
yang kami hormati, ada sebagian tokoh agama yang ceramahnya cenderung
meresahkan. Mereka menakut-nakuti masyarakat dengan kisah akhir zaman. Namun,
ujung-ujungnya adalah mengajak masyarakat terlibat dalam konflik politik dnegan
mendukung salah satu pihak yang sedang bersengketa, baik di Timur Tengah maupun
di Indonesia. Bagaimana menyikapinya? Apakah benar kita harus mendukung salah
satu pihak yang sedang bersengketa? Bagaimana panduan Rasulullah saw.
menghadapi konflik politik?
Jawaban:
(Oleh: Ust.M Khoirul Huda)
Penanya
yang dirahmati Allah, akhir zaman merupakan masa penuh fitnah (kekacauan
politik). Rasulullah saw. memperingatkan kita jauh-jauh hari tentang hal
ini.
عن عبدِ الله بن
عُمَرَ قال: كُنَّا قُعُوداً عندَ النَّبيِّ - صلى الله عليه وسلم - فَذَكَرَ
الفِتَنَ، فأَكثَرَ حتَّى ذَكَرَ فِتْنَةَ الأَحْلاسِ، فقالَ قائِلٌ: وما فِتْنَةُ
الأَحْلاسِ؟ قال: "هيَ هَرَبٌ وحَرْبٌ، ثمَّ فِتْنَةُ السَّرَّاءِ دَخَنُها
منْ تحتِ قَدَمَيْ رَجُلٍ مِنْ أَهْلِ بيتي، يَزْعُمُ أنَّهُ منِّي وليسَ منِّي،
إنَّما أَوْليائي المُتَّقُونَ، ثمَّ يَصْطَلِحُ النَّاسُ على رَجُلٍ كوَرِكٍ على
ضلَعٍ، ثمَّ فِتْنَةُ الدُّهَيْماءِ لا تَدَع أَحَدًا مِنْ هذهِ الأُمَّةِ إلا
لطَمَتْهُ لَطْمةً، فإذا قيلَ: انقضَتْ تمادَتْ، يُصْبحُ الرَّجُلُ فيها مُؤْمِناً
ويُمْسِي كافِراً، حتَّى يَصيرَ النَّاسُ إلى فُسْطاطَيْنِ: فُسطاطِ إِيْمانٍ لا
نِفاقَ فيهِ، وفُسْطاطِ نِفاقٍ لا إِيْمانَ فيهِ، فإذا كانَ ذلكُمْ فانتظِرُوا
الدَّجَّالَ مِنْ يَوْمِهِ أوْ مِنْ غَدِه".
Dari Abdullah bin
Umar yang berkata, “Kami duduk di samping Nabi saw. Beliau menceritakan tentang
banyak kekacauan sampai pada cerita tentang kekacauan al-Ahlas. Seorang sahabat
bertanya, ‘Apa maksud kekacauan Al-Ahlas?’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Pengungsian
dan perampasan. Lalu fitnah kebencian yang sumbernya dari seorang laki-laki
dari keluargaku yang mengira dirinya dari golonganku padahal bukan. Kekasihku
hanya orang-orang yang bisa menahan diri. Lalu orang-orang mengangkat seorang
pemimpin yang tidak layak. Lalu kekacauan duhaima’ (samar) yang tak
meninggalkan seorang pun kecuali akan ditampar oleh kekacauan tersebut. Ketika
dikatakan, ‘Kekacauan itu telah selesai’, sebenarnya kekacauan itu masih
terjadi. Seorang laki-laki mukmin pada pagi hari, tetapi menjadi kafir di sore
hari, sampai umat manusia menjadi dua golongan; golongan iman tanpa kemunafikan
di dalamnya dan golongan munafik tanpa keimanan di dalamnya. Ketika tanda-tanda
itu terjadi, tunggulah Dajjal pada hari itu atau esok harinya.’” (HR. Ahmad)
Hadis ini
diriwayatkan dalam kitab Al-Fitan, Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Musnad
Al-Syamiyyin, Al-Mustadrak, Hilyatul Auliya’, dan Syarh Al-Sunnah. Semua kitab
tersebut meriwayatkan dari Ala’ bin Utbah dari Umair bin Hani’ Al-Ansi dari
Abdullah bin Umar. Para ulama pada umumnya menilai sahih. Al-Hakim, Al-Dzahabi,
Ahmad Syakir, dan Al-Albani. Sedangkan Abu Nu’aim memberikan catatan bahwa
hadis tersebut tergolong gharib (aneh). Al-Arna’uth menilai hadis ini tidak
sahih, bahkan cenderung maudhu’ (palsu).
Hadis
ini unik karena menyebar di lingkungan Syam; wilayah yang menjadi basis
pendukung utama keluarga Umayah yang resisten terhadap Bani Hasyim. Sebagian
perawinya bahkan dikenal sebagai nashibi atau pembenci Ahli Bait termasuk Ali
bin Abi Thalib di dalamnya. Dalam matan hadis tersebut juga terdapat konten
yang cenderung pada sikap resisten terhadap ahli bait sebagaimana ditunjukkan
redaksi fitnah kebencian yang sumbernya dari seorang laki-laki dari keluargaku
yang mengira dirinya dari golonganku padahal bukan. Kekasihku hanya orang-orang
yang bisa menahan diri. Pertimbangan aspek dalam sanad dan matan inilah yang
mungkin menyebabkan Abu Nu’aim dan Al-Arna’uth mencurigai riwayat tersebut
sebagai palsu sekalipun diriwayatkan dalam sebuah sanad yang dipenuhi
perawi-perawi terpercaya.
Terlepas dari
perdebatan soal kesahihan, hadis-hadis tentang kekacauan akhir zaman selalu
memuat anjuran menahan diri dari melibatkan diri dalam konflik. Dalam hadis
tersebut misalnya, dikatakan kekasihku hanya orang-orang yang menahan diri
(tidak terlibat konflik). Perkataan ini jelas dukungan Nabi kepada orang-orang
yang menjauhkan diri dari konflik. Orang-orang yang mengobarkan konflik,
sekalipun mengaku keturunan Nabi saw., sebenarnya ia bukan golongan beliau.
Al-Karmani (w. 854 H.) menjelaskan bahwa orang yang benar-benar keturunan Nabi
saw. tidak akan mengobarkan kekacauan (Syarah Mashabih Al-Sunnah Li Al-Baghawi,
jilid 5, hlm. 507). Syekh Al-Azhim Abadi (w. 1329 H.) mengutip Al-Ardibili yang
mengatakan bahwa standar kebenaran pada masa kekacauan adalah orang yang
bertakwa yang dapat menahan diri sekalipun tidak ada hubungan dengan Nabi saw.
Serta tidak dianggap benar seorang penyebar kekacauan sekalipun punya hubungan
nasab dengan beliau (Aun Al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Daud, jilid 11, hlm.
208).
Ada
catatan menarik dari hadis Syamiyyin ini. Fitnah lebih banyak berarti kekacauan
sosial-politik. Dengan tegas, hadis di atas menjelaskan tiga macam fitnah akhir
zaman; al-Ahlas, al-Sarra’, dan al-Duhaima’. Fitnah Al-Ahlas berarti
pengungsian dan perampasan harta serta nyawa. Fitnah Al-Sarra’ punya tiga
pengertian, yaitu kekacauan karena perebutan sumber kekayaan duniawi, kekacauan
yang membuat senang musuh, atau kekacauan karena kebencian dan sakit hati.
Sedangkan fitnah Al-Duhaima’ berarti kesimpang-siuran kebenaran yang akan
menimpa seluruh orang yang terlibat dalam konflik. Ketiga macam fitnah ini berkaitan
dengan masalah sosial dan politik.
Di sini kita bisa
mengambil pelajaran penting bahwa sumber fitnah, kekacauan dan konflik adalah
masalah duniawiah. Sekalipun dibungkus dengan bahasa agama, hal itu tidak
menafikan bahwa sumbernya adalah duniawi. Karenanya, tidak heran para ulama
lebih menganjurkan agar umat menjauhi terlibat dalam konflik. Bahkan pergi ke
gunung, hidup menjadi penggembala kambing.
Sampai
di sini, ternyata, hadis tentang fitnah akhir zaman yang selama ini
dikampanyekan oknum ustaz pendukung kelompok politik tertentu, dan mendorong
umat Islam terlibat dalam aksi-aksi fitnah (menciptakan keresahan dan
kekacauan), pada kenyataannya justru menganjurkan orang menjauhi kekacauan.
Jika ada yang menggunakannya untuk mendorong orang awam terlibat konflik
sosial-politik, berarti ada pemutarbalikan maksud hadis. Apakah membuat
kategori mukmin-munafik lalu diterapkan untuk menyudutkan orang yang berbeda
pandangan dengan menyebutnya pendukung Dajjal bagian dari pemutarbalikan maksud
hadis. Begitukah? Wallahu A’lam.
************************
Kontributor: Ust.M Khoirul Huda. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment