Pilihan Hidup
Orientasi
pemerintahan di banyak negeri Muslim belum berubah, yaitu marginalisasi
Syariat Islam secara politik dan konstitusional. Mengikuti orientasi
pemerintahan sekuler, yang memisahkan agama dan Negara. “Jangan membawa
urusan agama dalam kehidupan bernegara. Sebab, agama urusan pribadi sedangkan
negara urusan publik,” kata mereka. Akibatnya, sekalipun populasi umat
Islam mayoritas di banyak Negara, bahkan mayoritas mutlak, tetapi Syariat Islam
yang seharusnya menjadi aturan kehidupan mereka tidak boleh diterapkan.
Keinginan untuk melaksanakan Syariah Islam di lembaga Negara dianggap sebagai
pemaksaan kehendak dari mayoritas intoleran. Sehingga kaum Muslimin, terpaksa
atau dipaksa, diatur dengan aturan serta undang-undang yang tidak diridhai
Allah Swt.
Masih
banyak di kalangan umat Islam yang tidak mengenal dengan benar, siapa Tuhannya
dan bagaimana Syariat-Nya. Betapa banyak manusia yang mengaku Muslim, namun
sangat ringan lidahnya mengolok-olok ajaran Islam. Bahkan membenci saudaranya
yang berjuang untuk terlaksananya Syariat Islam dalam kehidupan pribadi,
masyarakat, dan negara.
Sebuah
Pilihan
Di
zaman ini, di kalangan kaum Muslimin masih ada yang beranggapan, bahwa menjadi
seorang Muslim yang memperjuangkan tegaknya Syariat Islam atau menjadi Muslim
yang menolak berlakunya Syariat Islam di lembaga Negara, adalah pilihan, bukan
kewajiban. Peliknya lagi, masing-masing pemilih dari dua opsi ini, memiliki
karakter yang berbeda. Karakteristik pemilih opsi pertama, mereka menaati Allah
dengan cara yang diajarkan oleh utusan-Nya Muhammad Saw. Terhadap orang kafir
mereka berani, dan terhadap sesama Mukmin bersikap santun. Kehidupannya dihiasi
dengan ibadah dan amal shalih. Kesuksesan hidup, sebagai hasil tanaman takwa,
mengundang kecemburuan dan kebencian orang kafir.
Seperti
termaktub dalam firman Allah Swt, “Muhammad adalah Rasul Allah. Para
sahabatnya bersikap keras kepada orang-orang kafir, namun berkasih sayang
kepada sesama mereka. Wahai Muhammad, kamu melihat para sahabatmu ruku’ dan
sujud untuk mencari rahmat Allah dan keridhaan-Nya. Wajah mereka tampak tenang
dan teduh sebagai tanda ketundukan mereka kepada Allah. Itulah gambaran para
sahabat nabi yang terdapat dalam Taurat dan Injil. Mereka itu laksana tanaman
yang mengeluarkan tunasnya, lalu tumbuh menjadi kuat dan banyak
cabang-cabangnya. Kemudian pohon itu menjulang tinggi di atas akarnya. Pohon
itu menyenangkan para penanamnya, sehingga membuat orang-orang kafir dengki
kepada mereka. Allah menjadikan pengampunan dan pahala yang besar kepada
orang-orang yang beriman dan beramal shalih.” (Q.s. Al-Fath [48]: 29)
Sedangkan
pemilih opsi kedua, mereka tidak berani menerima resiko dari pengamalan Syariat
Islam. Sikap mereka labil, tidak punya prinsip, tergantung situasi dan kondisi.
Ibarat pepatah, “Ke mana angin bertiup ke sanalah condongnya.”
Karakter
mereka seperti firman Allah, “Orang-orang munafik berkata, ‘Kami beriman
kepada Allah.’ Ketika mereka mendapatkan tekanan-tekanan orang kafir dalam
menjalankan agama Allah, mereka menganggap tekanan-tekanan itu sebagai azab
dari Allah, sehingga mereka tidak berani melaksanakan agama Allah. Ketika Allah
memberikan kemenangan kepadamu, mereka berkata. ‘Wahai Muhammad, kami
selalu bersamamu.’ Tidakkah mereka menyadari bahwa Allah lebih mengetahui siapa
yang munafik dan siapa yang Mukmin?” (Q.s. Al-Ankabut [29]: 10)
Resiko
dari Pilihan
Selama
berabad-abad perjalanan jihad para mujahid pembela Islam, selalu berada di
antara dua ujian. Pertama, diuji dengan kemenangan dan hidup
terhormat di dunia. Apabila Allah Swt menakdirkan kemenangan, maka implementasi
syariat Islam di lembaga negara serta membebaskan diri dari sistem hukum dan
dominasi bangsa kafir, menjadi misi utamanya.
Jika
menjadi pemimpin negara, maka yang diikhtiarkan adalah meretas jalan menuju
ridha Ilahi dengan menjalankan roda pemerintahan berdasarkan petunjuk Al-Qur`an
dan Sunnah Nabi Saw, secara konsisten dan konsekuen. Allah Swt berfirman:
Kami
jadikan masing-masing mereka sebagai pemimpin yang memberikan petunjuk kepada
manusia dengan izin Kami. Kami perintahkan kepada mereka untuk melakukan
amal-amal shalih, menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Mereka semua
senantiasa taat kepada Allah. (Q.s. Al-Anbiya`[21]: 73)
Pemimpin
ideal adalah sosok insan yang mampu menjadi pemimpin negara sekaligus pemimpin
dalam kehidupan beragama. Bukan pemimpin yang memisahkan negara di satu sisi dan
agama di sisi lainnya secara kontradiktif seperti paham zionis. Artinya,
seorang pemimpin ideal adalah mereka yang bukan hanya tampil di depan dalam
urusan dunia, melainkan juga tampil di barisan terdepan dalam urusan agama.
Ayat
di atas mengisyaratkan bahwa seorang negarawan haruslah pemimpin yang
menegakkan kebenaran dan keadilan, senantiasa mengajak rakyatnya untuk menempuh
jalan yang diridhai Allah Swt. Menggerakkan manusia beramal shalih, mengerjakan
kebajikan, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, serta menjauhkan manusia
dari perbuatan mungkar dan kerusakan moral.
Sejarah
membuktikan, suksesnya kepemimpinan di era Rasulullah Saw dan para shahabatnya
adalah karena pemimpin negaranya tidak hanya memiliki kualifikasi sebagai
seorang negarawan, melainkan juga cerdas dalam memelihara dan mempertahankan
kehidupan beragama rakyatnya. Bila mereka menjadi Presiden, Gubernur, Bupati,
atau pejabat Negara lainnya. Mereka menjadi teladan bagi rakyatnya dalam hal
kebijakan dan kebajikan.
Kedua, diuji dengan kekalahan
dan kemuliaan mati syahid. Ketika para mujahid berada dalam kondisi kedua,
dikalahkan oleh musuh, maka akan ada banyak orang di antara mereka yang satu
demi satu gugur di tangan lawan. Kondisi umat Islam berpecah belah, diadu domba
oleh musuh, menjadi obyek politik, ekonomi dan ideologi negara lain. Sebagian
dari rakyat Muslim ditangkap dan dipenjara, bahkan ada yang dieksekusi mati
dengan tuduhan teroris, pemberontak, musuh negara, atau tuduhan keji lainnya.
Tidak hanya itu, para tokohnya dirusak citranya, rakyat awam diprovokasi agar
membenci mereka dan tidak memberikan dukungan terhadap cita-cita mereka
menegakkan syariat Islam.
Sudah
menjadi Sunatullah bahwa orang yang berjuang membela agama Allah, ada kalanya
mati sebelum berhasil meraih cita-citanya. Namun, sebagian lainnya ada yang
dapat menikmati hasil perjuangannya dengan kemenangan Islam. Ada yang gugur
sebagai syuhada, dan ada pula yang masih bertempur atau masih hidup meneruskan
jihadnya.
“Ada
sejumlah orang Mukmin yang benar-benar jujur dalam berjanji kepada Allah. Di
antara mereka ada yang mati di medan perang dan ada yang menantikan kematian
dalam berperang. Orang-orang Mukmin itu tidak mau melanggar janjinya kepada
Allah sedikit pun. Allah akan memberikan pahala besar kepada orang-orang yang
memenuhi janji mereka dengan benar. Allah akan menyiksa orang-orang munafik
sesuai kehendak-Nya atau Allah akan mengampuni mereka. Sungguh Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.” (Q.s. Al-Ahzab [33]:
23-24)
Bahkan,
dari kalangan shahabat ada yang meninggal sebelum Islam meraih kemenangan,
seperti Sumayyah, Ammar bin Yasir, Hamzah bin Abdul Muthalib, Ja’far bin Abu
Thalib, dan lain-lainnya. Adapun yang lainnya lagi, seperti Abu Bakar
ash-Shidiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan
shahabat lainnya, berjumpa dengan masa-masa kemenangan Islam. Keadaan seperti
itu akan berlaku terus hingga Hari Kiamat.
“Maka
bersabarlah kamu menghadapi gangguan kaum kafir. Janji Allah kepadamu pasti
benar. Kami akan tunjukkan kepadamu sebagian dari azab bagi kaum kafir yang
telah Kami ancamkan kepada mereka, atau engkau Kami matikan lebih dahulu. Hanya
kepada Kamilah semua manusia kelak akan dikembalikan.” (Q.s. Al-Mukmin
[40]: 77)[]
************************
Kontributor:
Ustadz
Irfan S. Awwas. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy umar, MA, CPIF. Email:
ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment