Bagaimana Rakyat Menyikapi Pemerintah Zhalim?
(Tulisan) ini adalah sebuah
usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut, guna menjelaskan kebenaran yang
diperselisihkan. (Jawaban ini) disarikan dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan fiqih (pemahaman) imam-imam pembawa petunjuk
terhadap nash-nash keduanya, sebagai pengamalan firman Allâh Azza wa Jalla :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ
كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah
Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Alquran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. [an-Nisa’/4: 59]
Kewajiban penulis untuk tidak menyembunyikan nash (dalil) yang
menyelisihi pendapatnya, sedangkan kewajiban pembaca menerima dengan ridha dan
tenang (terhadap dalil) :
1. HAK PENGUASA YANG MENJADI KEWAJIBAN RAKYAT
Rakyat berkewajiban mentaati pemerintah dalam perkara yang bukan maksiat, mendo’akan kebaikan untuknya dan memiliki ketulusan terhadapnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
Rakyat berkewajiban mentaati pemerintah dalam perkara yang bukan maksiat, mendo’akan kebaikan untuknya dan memiliki ketulusan terhadapnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allâh dan ta’atilah Rasul(-Nya),
dan ulil amri di antara kamu. [an-Nisâ’/4: 59]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ خَرَجَ مِنَ
الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Barangsiapa keluar dari ketaatan (penguasa-pen) dan memisakan diri
dari Jama’ah (umat Islam yang dipimpin penguasa-pen) lalu dia mati, dia mati
dengan keadaan kematian jahiliyah. [HR. Muslim]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ …
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
Agama adalah ketulusan…untuk Allah, kitabNya, Rasul-Nya,
penguasa-penguasa umat Islam, dan orang-orang umum mereka (rakyat). [HR.
Muslim]
Dan termasuk ketulusan untuk penguasa-penguasa umat Islam semua
adalah mendoakan kebaikan untuk penguasa agar diberi kebaikan, taufik
(bimbingan), dan hidayah (petunjuk).
Ketika penguasa di zaman Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
disebut-sebut (dicela-pen), imam Ahmad rahimahullah berkata,
إِنِّي لَأَدْعُوْ لَهُ
بِالصَّلاَحِ وَالْعَافِيَةِ، لَئِنْ حَدَثَ بِهِ حَدَثٌ لَتَنْظُرَنَّ مَا
يَحِلُّ بِالإِسْلاَمِ
Sesungguhnya aku mendoakan untuk penguasa agar diberi kebaikan dan
‘afiyah (keselamatan). Jika terjadi persitiwa (seperti pemberontakan atau
pembunuhan atau semacamnya-pen ) pada penguasa, kamu benar-benar akan melihat
apa (yakni keburukan) yang akan menimpa Islam. [Kitab as-Sunnah karya
al-Khallâl, hlm. 84]
Imam al-Barbahâri rahimahullah berkata :
إِذَا رَأَيْتَ الرَّجُلُ
يَدْعُوْ عَلَى السُّلْطَانِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ هَوَى، وَإِذَا سَمِعْتَهُ
يَدْعُوْ لِلسُّلْطَانِ بِالصَّلاَحِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ صَاحِبُ سُنَّةٍ،
فَأُمِرْنَا أَنْ نَدْعُوَ لَهُمْ وَلَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نَدْعُوَ عَلَيْهِمْ وَإِنْ
جَارُوْا وَظَلَمُوْا، لِأَنَّ جَوْرَهُمْ عَلىَ أَنْفُسِهِمْ، وَصِلاَحِهِمْ
لِأَنْفُسِهِم وَلِلْمُسْلِمِيْنِ
Jika engkau melihat seseorang mendoakan kecelakaan kepada
penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu pengikut hawa nafsu. Jika engkau
mendengarnya mendoakan kebaikan untuk penguasa, maka ketahuilah bahwa dia itu
pengikut Sunnah.
Kita ini diperintahkan untuk mendoakan kebaikan untuk mereka
(penguasa) dan kita tidak diperintahkan mendoakan keburukan buat mereka,
walaupun mereka menyimpang dan berbuat zhalim. Karena penyimpangan mereka
menimpa mereka sendiri, sedangkan kebaikan mereka adalah untuk mereka dan kaum
Muslimin. [Syarhus Sunnah, hlm. 15]
2. HAK RAKYAT YANG MENJADI KEWAJIBAN BAGI PENGUASA
Bersikap tulus kepada rakyatnya : Pertama, dalam perkara-perkara agama, kedua, dalam perkara-perkara dunia. Dengan cara menyebarkan aqidah (yang benar) dan Sunnah (ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), lewat ta’lim (pengajaran), hukum, dakwah menuju agama Allâh Azza wa Jalla berdasarkan ilmu, dan melarang bid’ah-bid’ah. Yang terbesar (dari bid’ah yang harus dilarang) adalah membangun masjid-masjid di dekat kuburan-kuburan yang disembah, tempat-tempat (yang dianggap keramat atau membawa berkah), masyâhid (tempat-tempat yang dianggap peninggalan orang-orang shalih, dan semacamnya), dan tempat-tempat yang diziarahi. Dan bid’ah-bid’ah selainnya yang berupa tempat-tempat terpencil (untuk semedi dan semacamnya) dan semua bid’ah-bid’ah di dalam ibadah.
Bersikap tulus kepada rakyatnya : Pertama, dalam perkara-perkara agama, kedua, dalam perkara-perkara dunia. Dengan cara menyebarkan aqidah (yang benar) dan Sunnah (ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), lewat ta’lim (pengajaran), hukum, dakwah menuju agama Allâh Azza wa Jalla berdasarkan ilmu, dan melarang bid’ah-bid’ah. Yang terbesar (dari bid’ah yang harus dilarang) adalah membangun masjid-masjid di dekat kuburan-kuburan yang disembah, tempat-tempat (yang dianggap keramat atau membawa berkah), masyâhid (tempat-tempat yang dianggap peninggalan orang-orang shalih, dan semacamnya), dan tempat-tempat yang diziarahi. Dan bid’ah-bid’ah selainnya yang berupa tempat-tempat terpencil (untuk semedi dan semacamnya) dan semua bid’ah-bid’ah di dalam ibadah.
Rakyat juga memiliki hak-hak (lain) yang menjadi kewajiban bagi penguasa,
(yaitu) hak-hak untuk mendapatkan perlakuan baik dan perhatian. Penguasa tidak
memberikan beban yang tidak mampu mereka lakukan. Penguasa memenuhi
pelayanan-pelayanan yang berkaitan dengan kehidupan sesuai dengan kemampuannya.
Dan agar penguasa menjadi teladan yang baik di dalam perkara agama dan dunia.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
[al-Mâidah/5:49]
Rasâlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَا مِنْ عَبْدٍ
يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ
لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Tidak ada seorang hamba yang Allâh memberikan kekuasaan kepadanya
mengurusi rakyat, pada hari dia mati itu dia menipu rakyatnya, kecuali Allâh
haramkan surga atasnya. [HR. Muslim]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
كُلُّكُمْ رَاعٍ
وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kamu adalah pemimpin/pengatur dan akan ditanya tentang
kepemimpinannya. (HR. Bukhari)
3. INILAH JAWABAN PERTANYAAN DI ATAS, BAGI ORANG YANG MAU MENERIMA
HUKUM ALLAH DALAM KITAB-NYA DAN SUNNAH RASUL-NYA.Kewajiban rakyat adalah
mentaati penguasa walaupun dia berbuat kezhaliman dan penyimpangan, walaupun
dia berbuat kefasikan dan kemaksiatan, kecuali jika dia memerintahkan maksiat,
maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khâlik.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
عَلَيْكَ السَّمْعَ
وَالطَّاعَةَ فِى عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ
عَلَيْكَ
Kewajibanmu mendengar dan taat (kepada pemimpin) dalam keadaan
engkau susah atau mudah, engkau suka atau engkau, dan mementingkan penguasa
atau dirimu. [HR. Muslim]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إِنَّهَا سَتَكُونُ
بَعْدِى أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ
تَأْمُرُ مَنْ أَدْرَكَ مِنَّا ذَلِكَ قَالَ تُؤَدُّونَ الْحَقَّ الَّذِى
عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُونَ اللَّهَ الَّذِى لَكُمْ
Sesungguhnya setelahku akan terjadi monopoli hak dan
perkara-perkara (pada penguasa-pen) yang kamu akan mengingkarinya. Para sahabat
bertanya, “Apakah yang anda perintahkan kepada orang di antara kami yang
mendapati hal itu?” Beliau menjawab, “Kamu tunaikan kewajibanmu dan kamu
meminta hakmu kepada Allâh”. [Muttafaq ‘alaihi]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
مَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ
فَقَدْ أَطَاعَنِى وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِى
Barangsiapa mentaati amir (penguasa), maka dia telah mentaati aku.
Dan barangsiapa memaksiati amir (penguasa), maka dia telah memaksiati aku [Muttafaq
‘alaihi]
Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ
لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي (وَسَيَقُومُ فِيهِمْ
رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ) قَالَ قُلْتُ
كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ قَالَ تَسْمَعُ
وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ فَاسْمَعْ
وَأَطِعْ
“Akan ada penguasa-penguasa setelahku, mereka tidak mengikuti
petunjukku, tidak melaksanakan sunnahku, (akan ada di atara mereka orang-orang
yang hati mereka adalah hati setan berada di dalam jasad manusia)”[1].
Hudzaifah bertanya, ‘Jika aku menemui hal itu, maka bagaimana yang akan aku
lakukan wahai Rasûlullâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dengarlah dan taatilah pemimpin, walaupun dia memukul punggungmu dan merampas
hartamu, namun tetap dengarlah dan taatilah “. [HR. Muslim]
Bahkan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كَيْفَ أَنْتَ إِذَا
كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ
يُمِيتُونَ الصَّلاَةَ عَنْ وَقْتِهَا. قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى قَالَ :
صَلِّ الصَّلاَةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا
لَكَ نَافِلَةٌ
Bagaimana engkau (Wahai Abu Dzarr), jika engkau dipimpin oleh para
amir (penguasa) yang mengakhirkan shalat dari waktunya (atau mematikan shalat
dari waktunya)? Aku (Abu Dzarr) menjawab, “Apa yang engkau perintahkan
kepadaku?” Beliau bersabda, “Shalatlah pada waktunya, jika engkau mendapati
shalat bersama mereka, maka shalatlah, sesungguhnya itu (shalat) nafilah
(sunnah/tambahan) bagimu”. [HR. Muslim]
Dengan munculnya kemaksiatan-kemaksiatan yang berupa syirik dan
lainnya di kalangan kaum Muslimin di zaman ini, kecuali orang-orang yang
dirahmati oleh Allâh, kemaksiatan-kemaksiatan itu tidak diperintahkan untuk
dilakukan. Seandainya hal itu terjadi (yaitu kemaksiatan-kemaistan yang ada itu
diperintahkan oleh penguasa), penguasa tetap ditaati dalam perkara yang
merupakan ketaatan kepada Allâh, dan penguasa tidak ditaati dalam perkara yang
merupakan kemaksiatan kepada Allâh, sebagaimana dikatakan oleh sahabat Abdullah
bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu , salah satu perawi hadits tentang hal
itu.
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak mengadakan provokasi atau
penghasutan untuk memberontak kepada penguasa meskipun penguasa itu berbuat
zhalim. Tidak boleh melakukan provokasi, baik dari atas mimbar, tempat khusus
atau pun umum, dan media lainnya. Karena yang demikian menyalahi petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para as-Salafush Shalih Radhiyallahu anhum.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ
يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً ، وَلٰكِنْ يَأْخُذْ
بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِـهِ
، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَ إِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ.
Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, janganlah ia
menampakkan dengan terang-terangan. Hendaklah ia pegang tangannya lalu
menyendiri dengannya. Jika penguasa itu mau mendengar nasihat itu, maka itu
yang terbaik dan bila si penguasa itu enggan (tidak mau menerima), maka sungguh
ia telah melaksanakan kewajiban amanah yang dibebankan kepadanya.[1]
Ahlus Sunnah tidak suka dan tidak rela dengan kezhaliman dan
kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa atau lainnya. Akan tetapi cara
mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh penguasa dan cara menasihati
penguasa harus sesuai dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan atsar Salafush Shalih.
Menjelek-jelekkan penguasa, membeberkan aibnya, menyebutkan
kekurangannya, menampakkan kebencian kepadanya di hadapan umum atau melalui
media lainnya dan mengadakan provokasi, hal tersebut BUKAN CARA YANG BENAR.
Bahkan cara ini MENYALAHI PETUNJUK NABI Shallallahu ‘alaihi wa sallam , BERDOSA
karena menyalahi Sunnah, MENIMBULKAN KERUSAKAN DAN BAHAYA YANG LEBIH BESAR serta
tidak ada manfaatnya. Orang yang melakukan hal demikian akan dihinakan Allâh
Azza wa Jalla pada hari Kiamat.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَكْرَمَ سُلْطَانَ
اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي الدُّنْيَا أَكْرَمَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
، وَمَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ F فِي الدُّنْيَا أَهَانَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Barangsiapa yang MEMULIAKAN PENGUASA DI DUNIA, AKAN
DIMULIAKAN ALLAH di akhirat, dan barangsiapa yang MENGHINAKAN PENGUASA DI DUNIA,
maka ALLAH AKAN MENGHINAKAN DIA PADA HARI KIAMAT.[2]
Imam Ibnu Abi ‘Ashim rahimahullah dalam kitabnya, as-Sunnah,
memberikan bab: “Apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memuliakan para penguasa
dan melarang keras untuk menghinakannya.”[3]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh kita untuk BERSABAR
TERHADAP KEZHALIMAN PENGUASA. Dan dengan kesabaran itu, Allâh Azza wa Jalla
akan berikan ganjaran yang besar.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَرِهَ مِنْ
أَمِيْرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ مِنَ
النَّاسِ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا ، فَمَـاتَ عَلَيْهِ إِلَّا مَاتَ
مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً.
Barangsiapa TIDAK MENYUKAI SESUATU DARI PEMIMPINNYA maka hendaklah
ia BERSABAR terhadapnya. Sebab, tidaklah seorang manusia KELUAR DARI
PENGUASA lalu ia mati di atasnya, melainkan ia METI DENGAN KEMATIAN
JAHILIYAH [4]
Syaikh DR. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan[5] حَفِظَهُ
اللهُ تَعَالَى pernah ditanya tentang manhaj yang
benar dalam menasihati penguasa, beliau menjawab, “Tidak ada seorang pun yang
terpelihara dari kesalahan, kecuali Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Para pemimpin negara adalah manusia biasa yang juga berbuat
salah. Tidak diragukan bahwa mereka memiliki sekian banyak kesalahan dan mereka
tidak ma’shum. Akan tetapi kita TIDAK BOLEH MEMBEBERKAN KESALAHAN DI
MUKA UMUM dan ‘melepaskan tangan’ dari mentaati mereka. Meskipun mereka berbuat
kejahatan, kezhaliman, dan perbuatan dosa selama mereka tidak melakukan
kekufuran yang jelas, sebagaimana hal itu diperintahkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; meskipun pada diri mereka terdapat perbuatan
dosa dan maksiat, kejahatan, dan kezhaliman. Sesungguhnya BERSABAR DALAM
MENTAATI MEREKA berarti menyatukan kalimat, menyatukan kaum Muslimin, dan
melindungi negara kaum Muslimin. Sedangkan di dalam SIKAP MENYELISIHI DAN
MENENTANG mereka terdapat berbagai KERUSAKAN YANG BESAR, lebih besar dari
kemungkaran yang ada pada mereka. Dampak yang ditimbulkan –dalam menentang
mereka– lebih berbahaya daripada kemungkaran yang berasal dari mereka, selama
kemungkaran itu bukan kekufuran dan kesyirikan.
Kami tidak mengatakan bahwa harus diam dari kesalahan yang
dilakukan para pemimpin, tidak, bahkan (kesalahan itu) diobati, diobati dengan
cara yang benar, yaitu dengan MENASEHATI MEREKA SECARA RAHASIA dan MENULIS
SURAT KEPADA MEREKA SECARA RAHASIA pula. Bukan dengan surat yang ditulis dan
ditandatangani oleh banyak orang dan menyebarkannya kepada manusia, ini tidak
dibolehkan. Bahkan ditulis surat yang berisikan nasihat secara rahasia, lalu
diserahkan kepada pemerintah atau bisa juga DIAJAK BICARA SECARA LISAN. Adapun
surat yang ditulis dan difoto copy atau dimuat di media massa dan media
elektronik, lalu dibagi-bagikan kepada masyarakat, maka ini tidak dibolehkan
karena ini sama dengan menyebarluaskan, sama persis dengan membicarakannya di
atas mimbar, bahkan itu lebih berbahaya, karena perkataan itu lebih mudah untuk
dilupakan, akan tetapi risalah itu tetap beredar di tengah-tengah masyarakat.
Manusia yang paling berhak menasihati pemerintah adalah para
ulama, ash-habur ra’yi (para cendekiawan) yang dikenal baik
akhlaknya, dan ahlu halli wal ‘aqdi (para ulama yang ‘alim di
majelis Syura).
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ
مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ ۖ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ
مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ
Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang
keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiar-kannya. (Padahal) apabila
mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri diantara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya
(secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)… .”
[An-Nisâ’/4:83]
Tidak semua orang berhak dalam perkara ini. Menyebarkan kesalahan
dan mengumumkannya tidaklah dianggap sebagai nasehat sedikit pun, dan hal itu
bukan berasal dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah. Walaupun orang yang memberi
nasihat memiliki maksud yang baik, yakni mencegah kemungkaran sebagaimana
harapannya, tetapi ternyata yang dilakukannya justru menimbulkan kemungkaran
yang lebih besar dibanding kemungkaran semula. Oleh karenanya, seringkali sikap
mencegah kemungkaran semacam ini berakibat timbulnya kemungkaran (yang lebih
buruk) bila tidak di atas jalan yang disyari’atkan Allâh Azza wa Jalla dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka amal semacam ini pun
merupakan kemungkaran, karena tidak mengikuti jalan dan cara yang syar’i.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَـإِنْ لَمْ يَـسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ ؛
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ.
Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah
ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka dengan lisannya, dan
jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemah iman.[6]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengelompokkan manusia
menjadi tiga golongan:
Golongan pertama yaitu golongan yang mampu menghilangkan kemungkaran dengan
tangannya, yakni orang yang mempunyai kekuasaan (ulil amri) atau orang yang
diserahi amanat sebagai pemimpin.
Golongan kedua yaitu orang-orang alim yang tidak memiliki kekuasaan; maka ia
mengingkari dengan penjelasan dan nasihat dengan hikmah dan wejangan yang baik,
dan menyampaikannya kepada penguasa dengan cara yang penuh hikmah.
Golongan ketiga adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu dan kekuasaan; maka
mereka mengingkari dengan hatinya, yaitu membenci kemungkaran itu dan membenci
pelakunya dan berlepas diri dari mereka.[7]
Karena sangat pentingnya keberadaan penguasa atau pemerintah,
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Jikalau aku mempunyai do’a yang baik
yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.” Ia
ditanya, “Wahai Abu ‘Ali! Jelaskan maksud ucapan tersebut.” Ia menjawab,
“Apabila do’a itu hanya aku tujukan bagi diriku, tidak lebih hanya bermanfaat
untuk diriku, namun apabila aku tujukan bagi pemimpin dan ternyata pemimpin
berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan
kebaikannya.”[8]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at
berdiri di atas pondasi dan asas hikmah dan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi
hamba-hamba Allâh. Syari’at tersebut adalah adil seluruhnya, rahmat seluruhnya,
kemaslahatan seluruhnya, dan hikmah seluruhnya. Maka setiap masalah yang keluar
dari keadilan kepada kezhaliman, dari rahmat kepada lawannya, dari maslahat
kepada mafsadat, dan dari hikmah kepada kekerasan, maka itu tidak termasuk
syari’at meskipun dimasukkan ke dalamnya dengan sebab takwil. Syari’at adalah
cermin keadilan Allâh terhadap hamba-Nya, rahmat-Nya diantara hamba-hamba-Nya,
naungan-Nya di bumi-Nya, dan hikmah-Nya yang menunjukkan kepada-Nya dan yang
menunjukkan kejujuran Rasul-Nya adalah petunjuk yang paling sempurna dan paling
benar.”[9]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata, ”Sesungguhnya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyari’atkan kepada umatnya untuk
mengingkari kemungkaran agar dengan pengingkarannya itu tercapailah perbuatan
ma’ruf yang dicintai Allâh dan Rasul-Nya. Apabila mengingkari kemungkaran
menimbulkan sesuatu yang lebih mungkar daripadanya dan lebih dimurkai
oleh Allâh dan Rasul-Nya maka TIDAK DIPERBOLEHKAN UNTUK MENGINGKARINYA meskipun
Allâh membenci dan memurkai pelakunya. Ini seperti
mengingkari para raja dan pemimpin dengan cara memberontak kepada mereka,
karena hal itu adalah pokok dari setiap kejelekan dan fitnah sampai akhir masa.”[10]
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Muhammad,
keluarganya, dan para sahabatnya.
[Beberapa Bagian disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XXI/1438H/2017M.
______
Footnote
[1] Shahih: HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/ 403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.
[2] Hasan: HR. Ahmad (V/42, 48-49), dari Abi Bakrah, Nufai’ bin al-Harits Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/375-376).
[3] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim.
[4] Shahih: HR. Muslim (no. 1849 (56))
[5] Beliau adalah anggota Majelis Kibarul Ulama dan anggota Komite Tetap untuk Riset dan Fatwa, di Kerajaan Saudi Arabia.
[6] Shahih: HR. Muslim (no. 49), Ahmad (III/10), Abu Dawud (no. 1140), an-Nasa-i (VIII/111-112) dan at-Tirmidzi (no. 2172).
[7] Lihat al-Ajwibatul Mufiidah ‘an As-ilatil Manâhiji al-Jadiidah (hlm. 45-49) cet. III th. 1424 H. dengan sedikit diringkas.
[8] Syarhus Sunnah (no. 127) karya Imam al-Barbahari, tahqiq Abdurrahman bin Ahmad al-Jumaizi, cet. IV, Maktabah Darul Minhaj, th. 1434 H.
[9] I’lâmul Muwaqqi’în (IV/337), tahqiq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, Dar Ibnul Jauzi, th. 1423 H.
[10] I’lâmul Muwaqqi’în (IV/338).
Footnote
[1] Shahih: HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (II/507-508, bab Kaifa Nashiihatur Ra’iyyah lil Wulaat, no. 1096, 1097, 1098), Ahmad (III/ 403-404) dan al-Hakim (III/290) dari ‘Iyadh bin Ghunm Radhiyallahu anhu.
[2] Hasan: HR. Ahmad (V/42, 48-49), dari Abi Bakrah, Nufai’ bin al-Harits Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilatul Ahaadiits ash-Shahiihah (V/375-376).
[3] Lihat as-Sunnah (II/475-476) oleh Ibnu Abi ‘Ashim.
[4] Shahih: HR. Muslim (no. 1849 (56))
[5] Beliau adalah anggota Majelis Kibarul Ulama dan anggota Komite Tetap untuk Riset dan Fatwa, di Kerajaan Saudi Arabia.
[6] Shahih: HR. Muslim (no. 49), Ahmad (III/10), Abu Dawud (no. 1140), an-Nasa-i (VIII/111-112) dan at-Tirmidzi (no. 2172).
[7] Lihat al-Ajwibatul Mufiidah ‘an As-ilatil Manâhiji al-Jadiidah (hlm. 45-49) cet. III th. 1424 H. dengan sedikit diringkas.
[8] Syarhus Sunnah (no. 127) karya Imam al-Barbahari, tahqiq Abdurrahman bin Ahmad al-Jumaizi, cet. IV, Maktabah Darul Minhaj, th. 1434 H.
[9] I’lâmul Muwaqqi’în (IV/337), tahqiq dan takhrij Syaikh Masyhur Hasan Salman, Dar Ibnul Jauzi, th. 1423 H.
[10] I’lâmul Muwaqqi’în (IV/338).
**********************************
Kontributor: Syaikh Sa’ad Al-Hushayyin; Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله تعالى Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Kontributor: Syaikh Sa’ad Al-Hushayyin; Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظه الله تعالى Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment