Larangan-Larangan dalam Ihram
Ihram secara bahasa
(etimologi) artinya “Pengharaman” yang pengharaman ini berakhir dengan proses
yang namanya tahallul yang artinya “Penghalalan”. Logikanya mirip dengan
sholat. Nabi bersabda tentang sholat :
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Kunci sholat adalah
bersuci (wudhu) dan pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah
salam” (HR Abu Dawud no 61 dan At-Tirmidzi no 3, dan dihasankan oleh Al-Albani)
Sebelum kita sholat maka
kita boleh berbicara dengan orang lain, boleh bergerak kesana dan kemari, boleh
tidak menghadap kiblat, boleh makan dan boleh minum. Namun tatkala kita
bertakbir -yang disebut takbiratul ihram- maka semua itu menjadi haram tidak
boleh dilakukan. Dan hanya boleh kembali kita lakukan jika telah melakukan
tahallul dalam sholat yaitu dengan mengucapkan salam.
Maka demikian pula dengan
ihram dan tahallul dalam umroh dan haji. Sebelum ihram maka kita masih boleh
memakai pakaian biasa, boleh memakai topi, songkok, dan sorban, masih boleh
memakai minyak wangi, dan boleh mencumbui istri. Namun tatkala kita sudah
berniat masuk dalam ihram tatkala di miqot maka semua perkara tersebut menjadi
haram dan terlarang. Hanya boleh dilakukan lagi (dihalalkan kembali) jika
kita telah melakukan tahallul.
Berikut ini
perkara-perkara yang dilarang untuk dilakukan ketika seseorang sedang berihram.
1
Memotong/mencukur/mencabuti rambut atau bulu badan (baik rambut kepala, bulu
ketiak, bulu kemaluan, bulu di badan, bulu hidung, kumis, dan jenggot)
Allah berfirman :
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ
صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
“Janganlah kalian
mencukur rambut-rambut kalian sampai hewan hadyu tiba pada tempatnya, barang
siapa diantara kalian ada yang sakit atau gangguan dikepalanya (lalu dia
bercukur) maka wajib baginya membayar fidyah, yaitu puasa 3 (tiga) hari atau
sedekah (memberi makan kepada 6 orang fakir miskin) atau nusuk (menyembelih
kambing).” (QS Al-Baqoroh : 196)
Catatan :
Jika
kepala gatal atau tubuh gatal maka seorang yang sedang ihram dibolehkan untuk
menggaruk, meskipun garukannya menyebabkan sebagian rambut atau buluh tercabut.
Al-Imam Malik
meriwayatkan dari ibunya ‘Alqomah ia berkata :
سَمِعْتُ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تُسْأَلُ عَنِ الْمُحْرِمِ. أَيَحُكُّ جَسَدَهُ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ.
«فَلْيَحْكُكْهُ وَلْيَشْدُدْ، وَلَوْ رُبِطَتْ يَدَايَ، وَلَمْ أَجِدْ إِلَّا
رِجْلَيَّ لَحَكَكْتُ»
“Aku mendengar Aisyah
-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- ditanya tentang seorang yang ihram
apakah boleh menggaruk badannya?”. Maka Aisyah berkata, “Iya, maka hendaknya ia
garuk, dan keras garuknya. Seandainya kedua tanganku diikat dan aku tidak bisa
kecuali dengan kedua kakiku maka aku akan menggaruk dengan kedua kakiku”
(Muwatto’ Malik no 93)
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَكَذَلِكَ إذَا اغْتَسَلَ وَسَقَطَ شَيْءٌ مِنْ شَعْرِهِ بِذَلِكَ
لَمْ يَضُرَّهُ
“Dan demikian pula jika
ia mandi lalu tercabut/gugur sebagian rambut/bulu nya maka tidak mengapa”
(Majmuu’ Al-Fataawa 26/116)
Jika
yang dipotong adalah seluruh rambut maka para ulama telah sepakat bahwa ia
harus membayar fidyah. Namun jika yang sengaja dicabut satu helai atau dua atau
tiga, maka itu adalah dosa namun ada khilaf di kalangan para ulama tentang
kaffarohnya. (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/433)
Dari sini tidak benar persangkaan sebagian Jamaah haji bahwa
barang siapa yang mencabut sehelai rambutnya maka harus membayar seekor
kambing, jika dua helai maka dua ekor kambing dst. Bahkan banyak dari Jamaah
haji yang takut menggaruk dikarenakan keyakinan tersebut.
2
Memotong kuku.
Larangan ini adalah hal
yang telah disepakati oleh para ulama -kecuali Ibnu Hazm-. Ibnul Mundzir
berkata:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ الْمُحْرِمَ مَمْنُوْعٌ مِنْ أَخْذِ
أَظْفَارِهِ
“Para ulama sepakat,
bahwasanya orang yang sedang ihram, dilarang untuk memotong kukunya.”
(Al-Ijmaa’ hal 52)
Diantara dalil yang
menunjukan akan larangan ini adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ
“Hendaklah mereka (para
jama’ah haji) membersihkan kotoran dari tubuh mereka.” (QS. Al-Hajj : 29)
Sebagian salaf
(diantaranya Ibnu Abbas, ‘Ikrimah, dan Mujahid) menafsirkan firman Allah تَفَثَهُمْ
(kotoran mereka) yaitu hendaknya pada tanggal 10 Dzulhijjah para Jamaah haji
membersihkan kotoran dari tubuh mereka, diantaranya mencukur rambut, kumis,
mencabut bulu ketiak, dan memotong kuku. (lihat Tafsir At-Thobari
16/526-527)
Dipahami dari tafsiran
tersebut bahwa sebelumnya bahwa para Jamaah haji -tatkala masih ihrom- dilarang
untuk memotong kuku mereka.
Larangan ini juga dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ
أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian melihat
hilal bulan Dzulhijjah dan seorang diantara kalian hendak berkurban, maka
hendaknya dia tidak mencukur rambutnya dan tidak memotong kukunya.” (HR Msulim
no 1977)
Sabda Nabi ini berlaku
bagi orang yang hendak berkurban, dan para ulama menyebutkan bahwa orang yang
berkurban dilarang untuk memotong rambut dan kuku adalah untuk meniru orang
yang ihram dari sebagian sisi. Jika orang yang berkurban dilarang untuk memotong
kuku, tentunya yang sedang ihram lebih utama untuk dilarang
Catatan :
Kuku
disini mencakup kuku kedua tangan dan kuku kedua kaki
Para ulama sepakat bahwa jika kuku yang pecah maka boleh dipotong karena mengganggu tanpa harus membayar fidyah sama sekali
Para ulama sepakat bahwa jika kuku yang pecah maka boleh dipotong karena mengganggu tanpa harus membayar fidyah sama sekali
Ibnul Mundzir berkata :
وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ لَهُ أَنْ يُزِيْلَ عَنْ نَفْسِهِ مَا
كَانَ مُنْكَسِرًا مِنْهُ
“Para ulama telah ijmak
bahwa ia (seorang yang ihram) boleh memotong kukunya yang pecah” (Al-Ijmaak hal
52)
Jika
seorang yang sedang ihram sengaja memotong seluruh kuku kedua tangannya maka
para ulama telah sepakat bahwa ia wajib membayar fidyah. Akan tetapi jika yang
sengaja ia potong adalah satu atau dua atau tiga kuku maka ada perselisihan di
kalangan para ulama. Sebagian ulama (yaitu madzhab Hanafiyah) berpendapat bahwa
tidak wajib fidyah kecuali semua kuku kedua tangannya ia potong, karena tidak
ada dalil yang menyuruh membayar fidyah. Sementara mayoritas ulama (yaitu
Al-Malikiyah, As-Syafi’iyyah, dan Al-Hanabilah) berpendapat bahwa harus memberi
makan. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang kadar makanan tersebut untuk
setiap kuku. Ada yang mengatakan setiap kuku segenggam makanan, ada yang
mengatakan satu mud (yaitu sekitar ¼ zakat fitrah, sekitar 0,65 kg beras).
Khilaf ini persis seperti khilaf mencabut sehelai atau dua helai rambut
-sebagaimana telah lalu penjelasannya-. Ini tentunya ijtihad dari sebagian para
ulama, karena memang tidak ada nash yang tegas dari Rasūlullāh shallallāhu
‘alayhi wa sallam tentang kaffaroh karena memotong kuku.
3
Memakai minyak wangi.
Rasūlullāh shallallāhu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ
تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلاَ الْوَرْسُ
“Janganlah kalian memakai
baju atau kain yang terkena za’farān atau wars.” (HR Bukhari no 5803)
Za’farān dan wars adalah
nama-nama minyak wangi.
Demikian pula dalam
hadīts, Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, dari Ibnu Abbās
radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumma dia berkata:
أَنَّ رَجُلاً، كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَوَقَصَتْهُ نَاقَتُهُ، وَهُوَ مُحْرِمٌ، فَمَاتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم ” اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَكَفِّنُوهُ فِي
ثَوْبَيْهِ، وَلاَ تَمَسُّوهُ بِطِيبٍ، وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ، فَإِنَّهُ
يُبْعَثُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا “.
Ada seorang lelaki
bersama Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berhaji namun dia terlempar
(terjatuh) dari untanya (terinjak untanya) kemudian dia meninggal dan dia dalam
keadaan ihram, maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata, “Mandikanlah
mayatnya dengan air dan daun bidara dan kafankanlah dia dengan dua bilah
bajunya, jangan kalian sentuhkan dia dengan minyak wangi, dan jangan kalian
menutup kepalanya (tatkala dikafankan) karena dia akan dibangkitkan pada hari
kiamat kelak dalam kondisi bertalbiah” (HR Bukhāri no 1851 dan Muslim no 1206)
Kondisi orang yang
berihram ada dua :
Pertama : Sebelum berihram:
Sebelum ihram -yaitu
tatkala persiapan untuk berihram- maka seorang boleh memakai minyak wangi
dibadan atau dikepala atau dirambutnya -namun tidak boleh di kain ihromnya-
Asiyah berkata
كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لإِحْرَامِهِ
حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ.
“Aku memakaikan minyak
wangi kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau hendak
berihram, aku juga memakaikan minyak wangi setelah Nabi bertahallul (yaitu
tahallul awal setelah beliau melempar jamroh dan mencukur rambut-pen) sebelum
beliau berthawāf di Ka’bah.” (HR Bukhāri no 1539 dan Muslim no 2040)
Disini jelas bahwa
‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā memberikan minyak wangi kepada Nabi sebelum
berihram.
Aisyah juga berkata
كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ
رَسُوْلِ اللهِ وَ هُوَ مُحْرِمٌ
“Seakan-akan aku melihat
ada kilatan bekas minyak rambut di bagian belahan rambut kepala Nabi
shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala beliau sedang ihram.” (HR Muslim no 1190)
Ini adalah dalīl
bahwasanya minyak wangi yang dipakai sebelum ihram tidak mengapa tersisa
meskipun telah berihram (Lihat Maalim As-Sunan 2/150). Yang penting memakainya
sebelum berihrom. Apabila setelah dia menggunakan kain lalu kainnya kena minyak
wangi yang ada dibadannya maka ini tidak masalah, yang dilarang adalah jika dia
menumpahkan minyak wangi di kain ihram secara langung.
Kedua : Sesudah berihram:
Bila seseorang sudah
berihram, sudah masuk niat ihram dengan siarnya mengatakan, “Labaik Allāhumma
umrah,” atau, “Labaik Allāhumma hajjan,” maka tidak boleh lagi menggunakan
minyak wangi, baik di baju maupun di badan.
Mengapa setelah seseorang
berihram tidak boleh menggunakan minyak wangi? Kata para ulamā:
⑴ Orang yang berihram
tidak dituntut untuk bergaya, berhias.
⑵ Minyak wangi merupakan
perkara yang sangat mudah menggerakan syahwat ke arah jima’. Dan diantara
larangan yang sangat keras dalam berihram adalah jimak (sebagaimana akan datang
penjelasannya). Oleh karenanya Rasūlullāh melarang wanita keluar dengan memakai
minyak wangi, kenapa? Karena itu bisa menjadi perkara yang bisa memotivasi
seseorang untuk bisa tergugah syahwatnya. Oleh karenanya seorang yang sedang
ihram tidak boleh pakai minyak wangi.
Catatan :
Pertama : Seorang yang sedang berihram
juga dilarang untuk sengaja mencium bau minyak wangi (lihat Majmuu’ Fataawa,
Ibnu Taimiyyah 26/116), adapun jika tercium maka tidak mengapa.
Kedua : Sebagian Jamaah haji ketika
kain ihramnya dicuci diberi pewangi (molto atau yang lainnya) ini tidak boleh.
Maka hendaknya kain ihram tersebut dibilas kembali agar sisa pengharum pakaian
tersebut hilang.
Ketiga : Yang dilarang adalah minyak
wangi -sebagaimana yang ditunjukan oleh lafal hadits- adapun selain minyak
wangi maka tidak mengapa, meskipun memiliki bau yang enak dicium atau misalnya
memiliki bau yang menyengat.
Contohnya seperti:
√ Jeruk. Jeruk kalau kita
makan tidak masalah karena jeruk itu sesuatu yang alami bukan minyak wangi.
Kecuali kalua sudah diproses dan diubah menjadi minyak wangi beraroma jeruk,
maka tidak boleh.
√ Odol. Ada odol yang
sekedar rasa menthol dan aroma mentol bukanlah minyak wangi. Jadi tidak mengapa
menggunakan odol tatkala menyikat gigi, selama tersebut tidak beraroma
minyak wangi. Bahkan sebagian ulama memandang tidak mengapa odol yang harum,
karena odol bukanlah dimaksudkan untuk menjadi minyak wangi. Akan tetapi untuk
lebih hati-hati adalah tidak menggunakan odol yang beraroma pewangi. Wallahu
a’lam.
√ Balsam dan minyang
angin dan yang semisalnya.
Tidak mengapa
seseorang menggunakan balsam, minyak angin, minyak kayu putih, meskipun baunya
tajam namun itu semua bukanlah minyak wangi. Kecuali minyak angin yang ada
aroma terapi, aroma parfumnya, maka ini tidak boleh karena minyak angin
tersebut dicampur dengan minyak wangi sehingga memiliki bau wangi parfume.
√ Sabun. Seseorang yang
menggunakan sabun yang bukan bau minyak wangi, tapi hanya aroma sabun. Seperti
sabun umrah. Sabun umrah ini tidak menjadi masalah karena dia tidak berparfume,
maka tidak mengapa dipakai oleh seorang tatkala dia sedang ihram.
Jadi tidak semua bau yang
enak adalah minyak wangi.
4
Menutup kepala bagi laki-laki, adapun menutup wajah tidak mengapa bagi
laki-laki.
Larangan ihram berikutnya
adalah larangan untuk menutup kepala, dan ini khusus untuk para lelaki. Bagi
wanita tentunya tidak mengapa menutup kepala mereka karena mereka
berjilbab, yang dilarang bagi wanita adalah memakai cadar dan kaos
tangan.
Nabi shallallāhu ‘alayhi
wa sallam bersabda:
. لَا
يَلْبَسُ الْقُمُصَ ، وَلَا الْعَمَائِمَ
“Seseorang yang sedang
ihram tidak boleh memakai gamis dan jubah dan tidak boleh memakai imamah
(surban) ” (HR Bukhāri no1842 dan Muslim no 1177)
Demikian juga hadīts Ibnu
Abbās yang telah kita sebutkan tentang kisah seorang yang terjatuh dari untanya
kemudian terinjak dan meninggal dunia, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
mengatakan dalam hadīts tersebut tentang jasad mayatnya tatkala dikafankan,
kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
وَلاَ
تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ
“Janganlah kalian menutup
kepalanya” (HR Bukhāri no 1851 dan Muslim no 1206)
Ini dalīl bahwasanya
seseorang tatkala sedang ihram tidak boleh menempel kepalanya dengan sesuatu
yang menempel. Seperti bila ia menutup kepalanya dengan kain ihramnya.
Adapun jika menutup
kepalanya tidak menempel seperti pakai payung atau kain kemah, maka ini tidak
menjadi masalah.
Bahkan Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala melempar jamrah ‘Aqabah -dan beliau masih
dalam keadaan ihram- beliau ditutupi dengan kain/baju.
Ummul Hushoin beliau
berkata :
«حَجَجْتُ
مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَجَّةَ الْوَدَاعِ،
فَرَأَيْتُ أُسَامَةَ وَبِلَالًا، وَأَحَدُهُمَا آخِذٌ بِخِطَامِ نَاقَةِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْآخَرُ رَافِعٌ ثَوْبَهُ
يَسْتُرُهُ مِنَ الْحَرِّ (وفي رواية: مِنَ الشَّمْسِ) حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ
الْعَقَبَةِ»
“Aku berhaji bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu haji wada’ maka aku melihat
Usamah dan Bilal, salah satu dari mereka berdua memegang kendali unta Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang lainnya mengangkat bajunya
menutupi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena panas (dalam
riwayat yang lain : karena matahari) hingga Nabi selesai melempar jumroh
Aqobah” (HR Muslim no 1298)
Jabir berkata -tatkala
menjelaskan perjalanan haji Nabi-:
وَأَمَرَ بِقُبَّةٍ مِنْ شَعَرٍ تُضْرَبُ لَهُ بِنَمِرَةَ….
فَوَجَدَ الْقُبَّةَ قَدْ ضُرِبَتْ لَهُ بِنَمِرَةَ، فَنَزَلَ بِهَا، حَتَّى إِذَا
زَاغَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِالْقَصْوَاءِ
“Dan Nabi memerintahkan
untuk ditegakan kemah baginya di Namiroh (di Arofah)….lalu Nabi mendapati kemah
telah ditegakkan untuk beliau di Namiroh maka Nabipun singgah di kemah tersebut
hingga tiba waktu dzuhur lalu beliau memerintahkan untuk mempersiapkan onta
beliau Al-Qoswaa” (HR Muslim no 1218)
Adapun menutup wajah,
maka ada khilaf dikalangan para ulamā. Dalam Shahīh Muslim tatkala Rasūlullāh
shallallāhu ‘alaهhi wa sallam
memerintahkan para shahābat untuk mengkafankan shahābat yang terjatuh dari
untanya di padang Arafāh, kata Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
وَلاَ تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ ولا وجههُ
“Jangan kalian tutup
kepalanya dan jangan kalian tutup wajahnya.” (HR Muslim no 1206,
sementara Al-Bukhari meriwayatkan tanpa tanbahan “wajahnya”)
Ada tambahan dalam hadīts
tersebut, “Janganlah menutup wajahnya.” Ada khilaf di kalangan para ulamā
tentang keshahīhan tambahan lafazh ini. Sebagian ulamā memandang lafazh ini
shahīh (diantaranya adalah Az-Zaila’i di Nashbur Rooyah 3/28 dan Al-Albani di
Ahkaamul Janaaiz hal 13) maka tidak boleh seorang lelaki menutup wajahnya.
Konsekwensinya, seorang tidak boleh memakai masker yang terbuat dari kain untuk
menutup wajahnya.
Namun sebagian ulamā
mengatakan bahwa tambahan lafazh hadīts ini adalah tambahan yang riwayatnya
tidak shahīh (diantaranya adalah al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukil Ibnul
Mudzoffar Al-Bazzaar di Hadits Syu’bah hal 124 no 176 dan juga Abu Abdillah
al-Hakim di Ma’rifat ‘Ulumil Hadits hal 148), sehingga dengan demikian tidak
mengapa lelaki untuk menutup wajahnya.
Dan penulis lebih condong
kepada pendapat kedua bahwasanya tidak ada larangan untuk menutup wajah yang
ada di dalam hadīts-hadīts yang berkaitan dengan kepala. Karena larangan Nabi
terhadap orang yang ihram adalah berkaitan dengan pakaian (sorban yaitu pakaian
di kepala, jubah yaitu pakaian di badan, burnus yaitu pakaian yang dipasang di
bahu, dan celana yaitu pakaian untuk kaki). Dan kaum pria tidak ada pakaian
khusus yang dipakai di wajah.
Adapun penutup wajah maka
berkaitan dengan pakaian perempuan.
Karenanya Rasūlullāh
shallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata:
وَلاَ تَنْتَقِبُ الْمَرْأَةُ
“Jangan seorang wanita
memakai cadar.” (HR An Nasā’i no 2673)
Dengan demikian lelaki
boleh menutup wajahnya dan boleh memakai masker meskipun terbuat dari kain.
5
Memakai baju/pakaian yang dijahit yang sesuai dengan bentuk tubuh.
Lelaki yang sedang ihram
tidak boleh memakai pakaian yang dijahit yang membentuk potongan tubuh manusia
seperti qomis (jubah), sirwal (celana), khuf (sepatu), kaos kaki, kaos dalam,
celana dalam dan yang lainnya.
Ibnu ‘Umar berkata :
أَنَّ رَجُلاً، سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا
يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنَ الثِّيَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم ” لاَ تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلاَ الْعَمَائِمَ وَلاَ السَّرَاوِيلاَتِ
وَلاَ الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلاَّ أَحَدٌ لاَ يَجِدُ النَّعْلَيْنِ
فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ وَلاَ
تَلْبَسُوا مِنَ الثِّيَابِ شَيْئًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلاَ الْوَرْسُ ” .
Ada seorang bertanya kepada
Rasūlullāh, “Wahai Rasūlullāh, pakaian apa yang boleh dipakai oleh seorang yang
sedang ihram?”. Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang uyang
ihram tidak boleh memakai baju Jubah, surban, celana panjang, baranis (pakaian
yang diletakan dibagian pundak dan ada tutup kepalanya) dan tidak boleh pakai
khuf (sepatu) kecuali seseorang yang tidak mempunyai sandal, kalau tidak punya
sandal maka dia boleh memakai sepatu dengan syarat sepatu tersebut dipotong
sampai di bawah mata kaki. Tidak boleh memakai baju yang tercampur dengan
minyak wangi za’faran dan wars.” (HR Bukhāri no 1842 dan Muslim no 1177)
Di sini Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang memakai baju yang di jahit membentuk
anggota tubuh. Para ulamā menggunakan istilah tidak boleh memakai الْمَخِيْطُ
(al-Makhiith). Dalam bahasa Indonesia al-Makhiith artinya “Yang dijahit”.
Istilah al-Makhiith ini menimbulkan banyak kesalahpahaman dari jamaah
haji/umrah.
Sehingga mereka menyangka
sesuatu yang ada jahitannya dilarang (sedangkan yang tidak dijahit
diperbolehkan). Padahal yang dimaksud dengan al-makhiith oleh para ulamā adalah
pakaian yang di jahit sehingga membentuk anggota tubuh.
Rasūlullāh shallallāhu
‘alaihi wa sallam tidak pernah berbicara tentang masalah jahitan tapi Rasūlullāh
shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan tidak boleh pakai jubah, celana
panjang, surban burnus, beliau tidak pernah membicarkan tentang masalah
jahitan. Jadi yang dimaksud pakaian yang dijahit adalah yang membentuk anggota
tubuh seperti baju, jubah, celana panjang dan yang lainnya, itu yang dilarang.
Artinya, seandainya ada
seseorang yang menenun kaos dalam atau jubah tanpa ada jahitan tapi membentuk
jubah, tetap saja dilarang, karena yang dilarang bukan masalah jahitannya
tetapi apakah kain tersebut berbentuk jubah (membentuk potongan-potongan
tubuh)? itulah yang dilarang.
Seandainya ada seorang
menenun celana dalam sehingga terbentuk celana dalam tanpa ada jahitannya,
semuanya tenunan, maka inipun tidak boleh.
Jadi yang dilarang
bukanlah “yang ada jahitannya”, tetapi yang berbentuk pakaian. Maka dengan
demikian bisa jadi satu perkara ada jahitannya namun tidak dilarang.
Contohnya, seperti:
Seseorang memakai kain ihram atas dan bawah, kemudian kain atasnya di jahit
ditulis nama travel Fulāni misalnya, maka ini tidak jadi masalah, ini tidak
dilarang.
Seseorang memakai ikat pinggang yang ada jahitannya ini juga
tidak dilarang.Seseorang memakai sandal, sandal ada jahitannya, tetapi ini
tidak dilarang.
Seseorang membawa tas yang penuh dengan jahitan, maka tidak
dilarang karena tas bukanlah pakaian
Seseorang membawa dompet yang dompetnya berjahit. Ini juga tidak mengapa karena dompet bukanlah pakain
Maka lebih boleh lagi memakai jam tangan dan kacamata.
Seseorang membawa dompet yang dompetnya berjahit. Ini juga tidak mengapa karena dompet bukanlah pakain
Maka lebih boleh lagi memakai jam tangan dan kacamata.
Kemudian, Rasūlullāh
shallallāhu ‘alaihi wa sallam berbicara tentang “larangan memakai khuf/sepatu”.
Tapi kalau tidak ada sandal diberi keringanan boleh memakai sepatu, namun
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyuruh untuk memotong sepatu
tersebut jangan sampai menutup mata kaki, tetapi dipotong dibawah mata kaki.
Namun banyak ulamā yang
mengatakan larangan ini mansukh (tidak berlaku lagi), karena waktu Rasūlullāh
shallallāhu ‘alaihi wa sallam di padang Arafāh, Ibnu Abbās berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَخْطُبُ
بِعَرَفَاتٍ ” مَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسِ الْخُفَّيْنِ،
وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ “. لِلْمُحْرِمِ.
“Aku mendengar Rasūlullāh
shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkutbah di padang Arafāh, kata Nabi Shallallāhu
‘alayhi wa sallam, “Barang siapa yang tidak mendapati dua sandal, silahkan
pakai khuf, barang siapa yang tidak punya izar/sarung silahkan pakai
shirwal/celana, bagi orang yang ihram.” (HR al-Bukhāri no 184)
Padahal yang mendengarkan
kutbah Nabi ini adalah orang banyak, banyak sekali yang berkumpul di padang
Arafāh. Dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam hanya mengatakan, “Barangsiapa
yang tidak menemukan sandal maka silahkan memakai khuf.”, beliau tidak
berkata, “Dan potonglah khuf tersebut di bawah mata kakimu,”
Kata para ulamā ini dalīl
bahwasanya berita untuk memotong khuf di bawah mata kaki ini sudah mansukh,
sehingga khuf tidak perlu dipotong.
Yang tidak mempunyai
sandal silahkan memakai sepatu, ini merupakan keringanan. Yang tidak punya
sarung silahkan pakai celana panjang, karena zaman dahulu tidak semua orang
punya pakaian yang lengkap. Tidak mesti orang yang punya celana juga punya
sarung. Tidak mesti orang punya sandal pasti punya khuf, tidak mesti orang
punya khuf pasti punya sandal, maka datanglah keringanan ini.
Peringatan : Adapun bagi
wanita, maka yang dilarang adalah tidak boleh memakai cadar dan dua kaos
tangan. Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:
وَلاَ تَنْتَقِبِ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلاَ تَلْبَسِ
الْقُفَّازَيْنِ
“Tidak boleh seorang
wanita yang sedang ihram memakai cadar dan tidak boleh juga memakai dua kaos
tangan.” (HR al-Bukhāri no 1838)
Dan jika ternyata ada
seorang wanita dihadapan lelaki ajnabi (yang bukan mahramnya) maka dia boleh
menjulurkan khimarnya namun tidak boleh pakai cadar. Cadar adalah pakaian yang
ditempelkan diwajah kemudian di ikat dibelakang. Adapun seseorang menjulurkan
khimarnya, yaitu kain yang dari atas kepala menjulur kebawah tanpa menempel dan
tanpa diikat maka ini boleh.
‘Āisyah radhiyallāhu
ta’āla ‘anhā berkata:
كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ ، فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا
سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا ، فَإِذَا جَاوَزُونَا
كَشَفْنَاهُ
“Dahulu, ketika
orang-orang sedang naik kendaraan, mereka melewati kami (para wanita) dan kami
sedang bersama Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, kami sedang
ihram. Tatkala para rombongan tersebut (para lelaki) yang naik kendaraan
sejajar dengan kami maka salah seorang dari kami menurunkan jilbabnya dari atas
kepalanya sambil menutup wajahnya, dan jika mereka telah berlalu kamipun
membuka lagi wajah kami.” (HR Ahmad 23501, Abū Dāūd nomor 1833, dinyatakan
hasan oleh Al-Albany dan yang lainnya tapi sanadnya agak lemah, meskipun lemah
tapi ada syahidnya yang shahīh dalam riwayat Imām Mālik dari Fathimah
bintul Mundzir dia berkata:
كُنَّا
نُخَمِّرُ وُجُوهَنَا وَنَحْنُ مُحْرِمَاتٌ وَنَحْنُ مَعَ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي
بَكْرٍ الصِّدِّيقِ .
“Kami dahulu menutup
wajah-wajah kami tatkala kami sedang ihram bersama Asma binti Abū Bakr Ash
Shiddīq.” (Al-Muwattho’ 1/328 no 16)
Ini dalīl bahwasanya bagi
wanita yang dilarang adalah memakai pakaian yang digunakan di wajahnya seperti
niqab, burqu’ dan semisalnya.
Adapun melepaskan kain
dari atas kepala dengan kain tersebut tetap tergantung tanpa dilekatkan di
wajah maka ini tidak mengapa berdasarkan riwayat dari ‘Āisyah dan juga dari
Fathimah bintil Mundzir radhiyallāhu Ta’āla ‘anhuma ‘ajmain.
Catatan :
Pertama : Jika wanita menutup wajahnya
dengan cara apapun selain cadar dan burqu’ maka tidak mengapa. Ibnu Taimiyyah
berkata :
تخصيص النهي بالنقاب ، وقرنه بالقفاز : دليل على أنه إنما نهاها
عما صنع لستر الوجه ، كالقفاز المصنوع لستر اليد ، والقميص المصنوع لستر البدن ؛
فعلى هذا : يجوز أن تخمره بالثوب ، من أسفل ، ومن فوق ، ما لم يكن مصنوعا على وجه
يثبت على الوجه ، وأن تخمره بالملحفة وقت النوم
“Pengkhususan larangan
(bagi wanita) untuk menggunakan cadar dan digandengkan dengan kaos tangan
merupakan dalil bahwasanya Nabi hanya melarang sang wanita dari memakai seusatu
yang dibuat untuk menutup wajah, sebagaiaman kaos tangan yang dibuat untuk
menutup tangan, dan jubah yang dibuat untuk menutup badan. Dengan demikian maka
boleh seorang wanita menutup wajahnya dengan bajunya dari bawah maupun dari
atas selama penutup tersebut tidak dibuat menjadi suatu pakaian yang menempel
di wajah. Dan ia boleh menutup wajahnya dengan selimut tatkala tidur” (Syarh
al-‘Umdah 3/270)
Kedua : Wanita yang sedang ihram
dilarang menggunakan masker karena sangat mirip dengan cadar. Barangsiapa yang
memakai masker yang menutup wajah -karena ada keperluan, seperti banyaknya debu
atau asap atau penyakit menular- maka ia tidak berdosa akan tetapi harus
membayar fidyah.
6
Berburu hewan buruan darat.
Yang dimaksud dengan
hewan buruan darat adalah hewan yang sering diburu di darat (liar). Adapun
ayam, kambing, sapi, dan onta, maka itu bukanlah hewan buruan.
Adapun hewan laut maka
tidak mengapa diburu, seperti ikan. Seseorang tatkala sedang ihram kemudian
menangkap ikan maka tidak menjadi masalah.
Allah berfirman :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ
وَلِلسَّيَّارَةِ وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
Dihalalkan bagimu
binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang
lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada
Allah Yang kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan (QS Al-Maidah : 96)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ
وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
“Wahai orang yang
beriman, janganlah kalian berburu hewan buruan darat sementara kalian dalam
kondisi ihram.” (QS Al Māidah: 95)
Adapun setelah selesai
bertahallul dari ihram maka diperbolehkan untuk berburu. Allāh berfirman :
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوْا
“Jika kalian telah
bertahalul maka silahkan kalian berburu.” (QS Al Maidah: 2)
Pembahasan ini tidak begitu
penting di zaman kita sekarang karena kemudahan yang Allāh berikan kepada
jama’ah haji maupun umrah dengan menaiki kendaraan yang Alhamdulillāh enak,
mudah, ber AC. Kemudian perjalanannya juga ditempuh dalam waktu yang singkat
sehingga para jama’ah tidak perlu untuk berburu. Makanan juga siap.
Tapi pembahasan ini
sangat penting dauhulu menginggat zaman dahulu ketika begitu sulitnya
orang-orang untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Bayangkan, tatkala
seseorang hendak berihram untuk umrah dari Madīnah menuju Mekkah dia harus
menempuh jarak sekitar 450 Km sampai 500 Km dan perjalanan tersebut ditempuh
selama 1 minggu atau lebih.
Ini menunjukan terkadang
seseorang di tengah jalan mendapat ujian misalnya makanannya habis, sehingga
dia harus mencari makanan. Allāh melarang orang yang sedang berihram untuk
berburu (mencari hewan buruan) bahkan Allāh melarang orang yang tidak sedang berihram
untuk membantu orang yang sedang berihram mencari hewan buruan.
Contohnya,
ada
orang yang sedang tidak berihram, kasihan sama orang yang berihram (karena
kelaparan), kemudian dia menunjukan (misalnya), “Tuh, di sana ada hewan
buruan,” ini tidak boleh.
Orang yang sedang tidak ihram berburu dalam rangka memberikan makanan untuk orang yang sedang ihram, ini pun tidak boleh. Adapun jika tatkala berburu niatnya bukan untuk orang ihram, lalu setelah itu ia masak dan memberikan makanan kepada orang ihram maka tidak mengapa.
Orang yang sedang tidak ihram berburu dalam rangka memberikan makanan untuk orang yang sedang ihram, ini pun tidak boleh. Adapun jika tatkala berburu niatnya bukan untuk orang ihram, lalu setelah itu ia masak dan memberikan makanan kepada orang ihram maka tidak mengapa.
Barangsiapa yang sengaja
berburu maka dia harus membayar denda.
Pilihan
Denda Pertama : Membayar dengan
hewan ternak
Allāh Subhānahu wa Ta’āla
berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ
وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا
قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ
الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا
لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ
“Wahai orang-orang yang
beriman, janganlah kalian berburu hewan buruan darat sementara kalian dalam
kondisi ihram. Barangsiapa yang sengaja berburu hewan buruan diantara kalian.
Maka dendanya adalah hewan dari binatang ternak yang mirip (seimbang) dengan
hewan buruan tersebut. Yang memutuskan haruslah dua orang yang adil diantara
kalian, denda tersebut harus di bagi di Ka’bah. Atau memberi makan kepada fakir
miskin. Atau berpuasa yang seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (QS
Al-Maidah : 95)
Aturannya sebagai berikut
:
Pertama : Berburu tersebut dilakukan
dengan sengaja. Karena Allah berfirman مُتَعَمِّدًا
(sengaja), maka jika seseorang berburu tidak sengaja atau lupa maka dia tidak
harus membayar denda, yang membayar denda adalah yang berburu dengan sengaja.
Kedua : Dendanya dibayar dengan
binatang ternak yang mirip dengan yang ia buru, bukan hewan yang diburu itu
sendiri. Misalnya seorang yang berburu merpati, maka dendanya bukan membayar
merpati tetapi dendanya adalah binatang ternak yang mirip (seimbang) dengan merpati,
dalam hal ini adalah kambing. Barang siapa yang berburu burung onta maka
dendanya adalah onta, barangsiapa yang berburu khimar wahsy (keledai liar yang
boleh dimakan) maka dendanya adalah sapi. Ini adalah fatwa sebagian shahābat
dan tabi’in.
Ketiga : Hewan dendanya tersebut harus
disembelih di Mekah. Misalnya masih 200 Km dari kota Mekkah dia berburu
merpati, maka dia harus bayar denda yaitu kambing. Dan kambing tersebut harus
di sembelih di Mekkah. Karena firman Allāh: هَدْيًا
بَالِغَ الْكَعْبَةِ (Denda tersebut harus di bagi di Ka’bah). Disembelih di Mekkah
dan dibagikan kepada orang-orang fakir di kota Mekkah.
Pilihan
Denda Kedua : Memberi makan
kepada fakir miskin
Ada khilaf diantara para
ulamā tentang fakir miskin ini.
Ibnu Hazm mengatakan
bahwa 3 orang fakir miskin sudah cukup, karena Allāh hanya menggunakan kalimat
jamak: طَعَامُ مَسَاكِينَ (memberi makan
pada fakir miskin).
Sebagian ulamā yang lain
mengatakan bahwa caranya yaitu dengan menilai (menaksir). Misalnya dia berburu
merpati. Merpati itu bayarannya kambing maka kambing itu di nilai (ditaksir),
yaitu kira-kira kambing tersebut harganya berapa. Misalnya harga kambing itu
300 relah, maka 300 real tersebut tidak harus dibelikan kambing tetapi
dibelikan misalnya beras, lalu beras tersebut dibagikan kepada fakir miskin,
masing-masing fakir miskin mendapat 1/2 shaa’ (yaitu sekitar 1,3 kg
beras) sehingga banyak fakir miskin yang bisa dibagi atau yang harus dia
bagikan.
Banyak ulamā berpendapat
seperti ini dan ini lebih berhati-hati yaitu dengan menyeimbangkan dengan harga
kambing tersebut..
Pilihan
Denda Ketiga : Dengan berpuasa.
Kata para ulamā yaitu
dengan melihat ada berapa orang miskin yang bisa dibagi dengan nilai kambing
tersebut. Kemudian tiap 1 orang miskin diganti dengan 1 hari puasa, tentunya
ini lebih berat lagi.
Misalkan kita ada
seseorang berburu merpati kemudian harus dibayar dengan kambing. Lalu dia tidak
mau membayar dengan kambing misalnya, tetapi membayar dengan memberi makan
fakir miskin.
Bila harga kambing itu
ditaksir 300 Riyal misalnya, lalu 300 Riyal itu dibelikan beras, kemudian beras
tersebut dibagikan kepada fakir miskin masing-masing orang mendapat 1,3
kg. Maka berapakah kira-kira jumlah orang miskin yang menerima 1,3 kg beras
tersebut?. Maka orang tersebut harus berpuasa sesuai dengan perkiraan jumlah
fakir miskin yang berhak menerima beras tersebut. Ini tentunya sangat berat.
7
Melakukan akad nikah, menikahkan, dan melamar
Larangan ini berlaku bagi
pria maupun wanita yang sedang ihram. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam
bersabda:
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Tidak boleh seseorang
yang sedang ihram menikah, tidak boleh juga menikahkan dan tidak boleh juga
melamar.” (HR Muslim no 1409)
Maka, tidak boleh dia
melaksanakan akad nikah meskipun calon wanitanya tidak sedang ihram. Demikian
juga, dia tidak boleh menikahkan orang lain, tidak boleh jadi wali, atau
menjadi perwakilan dari wali untuk melangsungkan akad nikah, ini juga tidak
boleh. Demikian juga tidak boleh dia melamar seorang wanita tatkala dia sedang
dalam kondisi ihram.
Karena Allāh Subhānahu wa
Ta’āla telah melarang seseorang yang sedang berihram, kata Allāh
Subhānahu wa Ta’āla:
فَلَا رَفَثَ
“Tidak boleh berbuat
rafats.” (QS Al-Baqarah: 197)
Kita tahu bahwasanya
rafats adalah jima’ dan perkara-perkara yang mengarah mengantarkan kepada
jima’. Demikian juga dengan hal-hal yang bisa membawa (mengantarkan) kepada
syahwat, semuanya dilarang tatkala ihram.
Oleh karenanya, para
ulamā mengatakan bahwa minyak wangi dilarang bagi yang sedang ihram baik
laki-laki maupun wanita, karena minyak wangi merupakan salah satu
perkara-perkara yang bisa mengantarkan kepada jima’.
Demikian juga dengan
pernikahan dan melamar adalah perkara-perkara yang bisa mengantarkan menjurus
kearah sana.
Ada beberapa perkara yang
harus kita perhatikan dalam masalah ini.
⑴ Jika ternyata terjadi
akad nikah dari salah seorang calon mempelai yang sedang ihram, entah
laki-lakinya atau wanitanya atau walinya, maka akadnya fasid (tidak sah).
Misalnya : Calon suami
istri sama-sama tidak ihram, lalu menikah akan tetapi wali dari wanita tersebut
sedang ihram dan menikahkan putrinya, maka ini tidak sah. Dan untuk membatalkan
pernikahan tersebut tidak perlu dengan cerai karena asalnya pernikahan tersebut
tidak sah.
⑵ Jika seseorang akan
menikah dan dia dalam kondisi sedang ihram dan dia tidak tahu bahwa menikah
dalam kondisi ihram itu tidak boleh, apakah dia berdosa? Jawaban nya tidak
berdosa. Akan tetapi akadnya tidak sah.
Saya ingatkan kembali
bahwasanya seorang yang melakukan akad nikah dalam kondisi ihram dan dia
sengaja melakukan akad nikah maka dia berdosa karena dia tahu itu larangan.
Ini diantaranya larangan
ihram yang jika dilanggar tidak perlu membayar fidyah, denda tetapi cukup
beristighfār kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
⑶ Jika seandainya dia
menikah dalam kondisi ihram kemudian dari pernikahan tersebut melahirkan
anak-anak, bagaimana hukum anak-anak tersebut? Apakah disebut anak zina atau
tidak ?
Jawabannya ini bukan
anak-anak zina karena nikah dalam kondisi ihram disebutkan oleh para ulamā
dengan nikah subhat. Dalam kaidah, seluruh pernikahan yang disebutkan dengan
nikah subhat maka anak-anaknya adalah anak-anak yang syar’i, tetap dinisbatkan
kepada ayahnya. Tetapi nikah tersebut harus terus diulangi lagi (akad
nikahnya).
⑷ Apakah seorang yang
sedang ihram boleh menjadi saksi atas adanya pernikahan? Dzahir dari hadīts
tersebut tidak melarang, karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam hanya
mengatakan:
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
“Tidak boleh seorang
muhrim menikah atau menikahkan dan tidak boleh melamar.”
Sehingga bila menjadi
saksi, dzahirnya tidak mengapa.
⑸ Seandainya ada seorang
yang sedang ihram, sebelum hajian orang tersebut menceraikan istrinya, ternyata
masa iddah istrinya sudah mau habis.
Sebagaimana diketahui
bahwa:
Kalau
masa iddahnya sudah habis, bila dia ingin kembali kepada istrinya dia harus
menikah lagi/akad baru.
Kalau dia kembali kepada istrinya di masa iddahnya maka tidak perlu akad nikah.
Kalau dia kembali kepada istrinya di masa iddahnya maka tidak perlu akad nikah.
Sementara dia dalam
kondisi ihram, apakah dia boleh kembali kepada istrinya/rujuk kepada istrinya?
Jawabannya, Boleh!
Karena yang dilarang
adalah menikah atau menikahkan atau melamar, adapun kalau kembali kepada
istrinya meskipun dalam kondisi ihram maka tidak mengapa.
Dia tinggal telepon
istrinya, atau dia angkat (menunjuk) saksi kemudian mengatakan, “Saya telah
rujuk kepada istri saya,” sehingga kembali lagi pernikahan mereka berdua.
8
Melakukan hubungan suami istri.
Dalīlnya Allāh Subhānahu
wa Ta’āla berfirman:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ
فَلَا رَفَثَ
“Sesungguhnya haji itu
ada bulan-bulan yang telah diketahui, barangsiapa yang menetapkan hatinya untuk
berhaji pada bulan-bulan tersebut maka tidak boleh melakukan rafats.”
(QS al Baqarah 197)
Rafats ini mencakup:
√ Jima’ (berhubungan
suami istri).
√ Al- mubāsyarah
(bercumbu, menikmati tubuh istri tapi tidak sampai pada hubungan badan).
√ Perkataan-perkataan
atau perbuatan yang bisa mengantarkan pada jima’ seperti rayuan-rayuan,
sentuhan-sentuhan dll.
Ini semua dilarang
tatkala sedang melaksanakan ibadah haji.
Jika seseorang melakukan
pelanggaran dengan berhubungan dengan istrinya tatkala sedang haji, maka ada
beberapa perkara yang menimpanya, diantaranya:
⑴ Hajinya rusak/hajinya
batal, jika seseorang tersebut berhubungan dengan istrinya sebelum wuqūf di
padang Arafāh.
Ini menurut 4 mahzhab
yaitu Hanafi, Māliki, Hambali dan Syāfi’ī.
Demikian juga jika dia
berhubungan dengan istrinya setelah wuqūf di padang Arafāh namun sebelum
tahallul awal (belum lempar jamarat, belum mencukur rambut), maka hajinya batal
menurut 3 mahzhab yaitu Māliki, Syāfi’ī dan Hambali adapun menurut mahzhab
Hanafi maka tidak rusak. Namun pendapat yang kuat adalah ibadah hajinya rusak.
Adapun jika dia
berhubungan dengan istrinya setelah tahallul awal sebelun tahallul tsani (dia
sudah lempar jamarat, mencukur rambut, sudah pakai baju biasa dan minyak wangi
namun belum thowaf ifadhoh) dan dia melakukan hubungan dengan istrinya maka
hajinya tidak batal.
Ini menurut 4 mahzhab
tapi dia harus membayar kambing.
⑵ Harus tetap melanjutkan
ibadah hajinya.
Dia harus melanjutkan
ibadah hajinya, bersama dengan jama’ah haji yang lain seperti melempar jamarah,
thawāf Ifadhah sampai thawāf wada (sampai selesai).
⑶ Harus membayar fidyah
Maksudnya fidyah disini
adalah fidyah mughaladhah (fidyah yang berat).
Menurut jumhūr ulamā dia
harus membayar unta. Berbeda bila dia berhubungan dengan istrinya setelah
tahallul awwal, telah kita sebutkan tadi hajinya tidak rusak dan dia cukup
membayar kambing.
Dan ini berlaku untuk
laki-laki dan wanita, bila ternyata istrinya dirayu dan mau melakukan hubungan
suami istri maka istrinya juga harus membayar unta jadi harus membayar dua unta
(untuk suami istri).
Tetapi bila istrinya
dipaksa oleh suaminya untuk berhubungan, sehingga istrinya terpaksa maka
istrinya tidak harus membayar unta. Ini pendapat jumhūr ulamā.
Hal ini berdasarkan fatwa
dari para shahābat seperti Ibnu ‘Umar dan Ibnu Abbās radhiyallāhu ‘anhuma.
Al-Hakim meriwayatkan:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا أَتَى
عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو يَسْأَلُهُ عَنْ مُحْرِمٍ وَقَعَ بِامْرَأَةٍ فَأَشَارَ
إِلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ , فَقَالَ: ” اذْهَبْ إِلَى ذَلِكَ فَسَلْهُ ”
قَالَ شُعَيْبٌ: فَلَمْ يَعْرِفْهُ الرَّجُلُ فَذَهَبْتُ مَعَهُ فَسَأَلَ ابْنَ
عُمَرَ , فَقَالَ: ” بَطُلَ حَجُّكَ ” , فَقَالَ الرَّجُلُ: فَمَا أَصْنَعُ؟ ,
قَالَ: ” اخْرُجْ مَعَ النَّاسِ وَاصْنَعْ مَا يَصْنَعُونَ , فَإِذَا أَدْرَكْتَ
قَابِلًا فَحُجَّ وَأَهْدِ ” , فَرَجَعَ إِلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَا
مَعَهُ فَأَخْبَرَهُ , فَقَالَ: اذْهَبْ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَسَلْهُ , قَالَ
شُعَيْبٌ: فَذَهَبْتُ مَعَهُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَسَأَلَهُ , فَقَالَ لَهُ
كَمَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ , فَرَجَعَ إِلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو وَأَنَا
مَعَهُ فَأَخْبَرَهُ بِمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ قَالَ: مَا تَقُولُ أَنْتَ؟
فَقَالَ: ” قَوْلِي مِثْلُ مَا قَالَا
Dari Ammar bin Suaib,
dari ayahnya (Syu’aib) ia berkata : Ada seorang datang menemui Abdullāh bin Amr
(bin Ash) radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum, dia bertanya tentang seorang muhrim
(tatkala sedang berihram) yang berhubungan dengan istrinya. Maka kata Abdullāh
bin Amr berkata, “Pergilah engkau kepada Abdullāh bin Ummar (dan tanyakanlah)”.
Kata Syu’aib, ternyata orang tersebut tidak nengenal Ibnu Umar, maka akupun
pergi bersamanya (pergi menuju Ibnu Ummar). Kemudian dia bertanya kepada Ibnu
Umar tentang permasalahan dia, Ibnu Umar berkata, “Hajimu telah batal”. Sang
lelaki berkata, “Apa yang harus aku lakukan?”. Ibnu Ummar berkata, “Keluarlah
bersama orang-orang (yang sedang berhaji) dan lakukanlah seperti yang mereka
lakukan”. Kemudian kata Ibnu Umar, “Kalau ternyata engkau masih bisa
tahun depan berhaji maka berhajilah lagi kemudian menyembelih unta”.
Orang inipun setelah
bertanya kepada Ibnu Umar dia balik lagi kepada Abdullāh bin Amr (aku bersama
dia) lalu dia kabarkan tentang jawaban Ibnu Umar maka Abdullāh bin Amr berkata,
“Sekarang pergi lagi kepada Ibnu Abbās, tanyakanlah kepada Ibnu Abbās”. Kata
Syu’aib: Aku pun menemani dia menuju Ibnu Abbās, kemudian diapun bertanya
kepada Ibnu Abbās, ternyata Ibnu Abbās berfatwa sama seperti Ibnu Umar maka
diapun kembali kepada Abdullāh bin Amr lalu dia kabarkan kepada Abdullāh bin
Amr perkataan Ibnu Abbās kemudian dia berkata, “Bagaimana menurut pendapat anda
wahai Abdullāh bin Amr?”. Maka Abdullāh bin Amr berkata, “Pendapatku sama
seperti pendapat Ibnu Umar dan pendapat Ibnu Abbās.”
(HR Al-Hakim no 2375 dan
Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro no 9783, melalui jalur al-Imam al-Hakim. Dan
dishahihkan oleh al-Hakim beliau berkata, “Ini adalah hadīts orang-orang yang
tsiqah dan perawinya adalah para hafizh”. Dan disepakai oleh Adz-Dzahabi, dan
juga dishahihkan oleh al-Baihaqi)
Di sini telah sepakat
pendapat Abdullāh bin Ammr bin Ash, pendapat Abdullāh bin Umar dengan pendapat
Abdullāh bin Abbās radhiyallāhu Ta’āla ‘anhum ‘ajmain.
Adapun jika terjadi jima’
tatkala sedang umrah, jika hubungan tersebut sebelum thawāf atau sa’i, maka
umrahnya batal.
Tapi dia tetap
melanjutkan umrahnya sampai selesai kemudian melakukan umrah yang lain sebagai
gantinya. Dan dia harus membayar fidyah yaitu kambing dibagikan kepada fakir
miskin di Harām.
Tetapi jika dia melakukan
hubungan suami istri setelah thawāf dan sa’i namun sebelum mencukur rambut maka
umrahnya tidak rusak, karena kita tahu bahwasanya mencukur rambut bukan rukun
umrah. Kita tahu yang rukun adalah: ihram, thawāf dan sa’i.
9
Bercumbu (tidak sampai jimak).
Sebagaimana jimak
dilarang maka sekedar bercumbu juga dilarang karena termasuk dalam makan rafats
-sebagaimana telah lalu penjelasannya-. Hanya saja jika seseorang mencumbui
(menyentuh) atau mencium istrinya (yaitu berlezat-lezat dengan istrinya) namun
tidak sampai pada perbuatan jimak maka harus membayar fidyah (Yaitu
memilih antara berpuasa tiga hari atau memberi makan enam faqir miskin atau
menyembelih kambing). Sama saja apakah cumbuan tersebut hingga mengeluarkan air
mania tau tidak (yang penting tidak sampai jimak), dan sama saja apakah sebelum
tahallul awaal atau setelah tahallul awwal (sebelum tahallul tsani). (lihat
Majmu’ Fataawa wa Rasaail as-Syaikh al-‘Utsaimin 22/179-180), dan sebagian
ulama berpendapat bahwa semua cumbuan dengan sentuhan maka harus memotong
kambing (tidak ada pilihan puasa dan memberi makan enam orang miskin), adapun
kalua tanpa sentuhan hanya perkataan atau melihat saja maka tidak ada fidyah
(Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/311-312)
Tiga
keadaan seseorang melakukan larangan ihram
Pertama : Dalam keadaan lupa, tidak
tahu, atau dipaksa, maka tidak ada dosa dan tidak ada fidyah.
Dari Ya’la bin Umayyah ia
berkata :
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَهُوَ بِالْجِعْرَانَةِ، وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ وَعَلَيْهِ أَثَرُ الخَلُوقِ – أَوْ
قَالَ: صُفْرَةٌ -، فَقَالَ: كَيْفَ تَأْمُرُنِي أَنْ أَصْنَعَ فِي عُمْرَتِي؟
“Ada seseorang mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala Nabi di al-Ju’ronah, dan lelaki
tersebut memakai baju dan ada bekas minyak wangi -atau warna kuning minyak
wangi-. Lalu lelaki itu berkata, “Apa perintahmu terhadapku, apa yang harus aku
lakukan terhadap umrohku ini?”…
Nabi berkata :
اخْلَعْ عَنْكَ الجُبَّةَ، وَاغْسِلْ أَثَرَ الخَلُوقِ عَنْكَ،
وَأَنْقِ الصُّفْرَةَ، وَاصْنَعْ فِي عُمْرَتِكَ كَمَا تَصْنَعُ فِي حَجِّكَ
“Bukalah bajumu, dan
cucilah bekas minyak wangi darimu, dan bersihkan warna kuning, dan lakukanlah
umrohmu sebagaiman yang kau lakukan pada hajimu”.
Dalam riwayat yang lain
Nabi berkata :
اِغْسِلِ الطِّيبَ الَّذِي بِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، وَانْزِعْ
عَنْكَ الجُبَّةَ
“Cucilah minyak wangi
yang ada padamu tiga kali, dan lepaskanlah bajumu” (HR Al-Bukhari no 1536, 1789
dan Muslim no 1180)
Orang ini dalam kondisi
ihrom dan melakukan dua pelanggaran yaitu memakai minyak wangi dan memakai
jubah/baju. Namun ia melakukannya dalam kondisi jahil/tidak tahu. Karenanya
Nabi menyuruhnya untuk menghilangkan kedua pelanggaran tersebut yaitu dengan
mencuci minyak wangi darinya dan melepas jubahnya, akan tetapi Nabi tidak menyuruhnya
untuk membayar fidyah.
Ibnu Hajar berkata :
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى أَنَّ مَنْ أَصَابَهُ طِيبٌ فِي
إِحْرَامِهِ نَاسِيًا أَوْ جَاهِلًا ثُمَّ عَلِمَ فَبَادَرَ إِلَى إِزَالَتِهِ
فَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ
“Hadits ini dijadikan
argument bahwa barang siapa yang terkena minyak wangi tatkala ihram karena lupa
atau karena tidak tahu lalu ia tahu dan segera menghilangkannya maka tidak ada
kaffaroh/fidyah baginya” (Fathul Baari 3/395)
Karenanya :
Jika
ada seseorang di dalam bis karena kedinginan lantas dia mengambil kain ihramnya
untuk menutup kepalanya (dia tidak mengerti atau lupa) maka dia tidak perlu
bayar fidyah.
Seseorang dalam kondisi tidur (sedang berihram) kemudian tanpa sadar dia menutup kepalanya dengan memakai selimut, ini pun tidak boleh. Namun karena dia tidak tahu (sedang tidur) maka kalau dia sadar dia segera membuka lagi kepalanya dengan selimut tersebut.
Seseorang lupa sehingga tanpa sadar mencabuti buku ketiaknya, maka tidak mengapa
Seseorang dalam kondisi tidur (sedang berihram) kemudian tanpa sadar dia menutup kepalanya dengan memakai selimut, ini pun tidak boleh. Namun karena dia tidak tahu (sedang tidur) maka kalau dia sadar dia segera membuka lagi kepalanya dengan selimut tersebut.
Seseorang lupa sehingga tanpa sadar mencabuti buku ketiaknya, maka tidak mengapa
Kedua : Jika melakukannya dengan
sengaja, namun karena ada uzur dan kebutuhan mendesak, maka ia tidak berdosa
sama sekali hanya saja ia terkena fidyah.
عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى
عَلَيَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الحُدَيْبِيَةِ،
وَالقَمْلُ يَتَنَاثَرُ عَلَى وَجْهِي، فَقَالَ: «أَيُؤْذِيكَ هَوَامُّ رَأْسِكَ؟»
قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «فَاحْلِقْ، وَصُمْ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ، أَوْ أَطْعِمْ
سِتَّةَ مَسَاكِينَ، أَوْ انْسُكْ نَسِيكَةً»
Dari Ka’ab bin ‘Ujroh
radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangiku
tatkala umroh al-Hudaibiyah, sementara kutu tersebar di wajahku. Beliau
berkata, “Apakah kutu-kutu kepalamu mengganggumu?”. Aku berkata, “Iya”. Beliau
berkata, “Kalau begitu cukurlah kepalamu, dan puasalah tiga hari atau berilah
makan kepada enam orang miskin, atau sembelihlah sembelihan” (HR Al-Bukhari no
4190 dan Muslim no 1201)
Dalam riwayat yang lain
(HR Al-Bukhari no 4991) Ka’ab bin ‘Ujroh berkata :
وَأُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا
أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ}
“Dan turunlah firman
Allah : “Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu
ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah
atau menyembelih sembelihan (QS Al-Baqoroh : 196).
Oleh karenanya jika ada
orang yang melanggar larangan ihram karena ada kebutuhan maka dia tidak
berdosa. Contohnya seperti:
Polisi
: Sebagian petugas polisi yang berhaji, mereka harus menggunakan seragam polisi
tatkala sedang berhaji. Seandainya mereka tidak menggunakan seragam polisi
(seragam lengkap) tentunya mereka tidak akan ditaati oleh para jama’ah haji
yang lainnya sehingga mereka menggunakan seragam polisi lengkap dengan
perlengkapannya (topi, pistol dan yang lainnya). Mereka melanggar aturan ihram,
tapi karena mereka ada kebutuhan maka mereka tidak berdosa. Dan keperluan
tersebut diizinkan oleh syari’at akan tetapi mereka harus membayar fidyah.
Orang yang terkena sakit Hernia. Bila ada seseorang terkena penyakit hernia dan dia butuh menggunakan celana dalam (misalnya), maka tidak mengapa dia menggunakan celana dalam, akan tetapi dia harus membayar fidyah. Demikian juga seseorang yang terkena penyakit yang lainnya yang mengharuskan untuk memakai pakaian maka ia tidak berdosa dan boleh melanggar, hanya saja ia harus bayar fidyah.
Orang yang terkena sakit Hernia. Bila ada seseorang terkena penyakit hernia dan dia butuh menggunakan celana dalam (misalnya), maka tidak mengapa dia menggunakan celana dalam, akan tetapi dia harus membayar fidyah. Demikian juga seseorang yang terkena penyakit yang lainnya yang mengharuskan untuk memakai pakaian maka ia tidak berdosa dan boleh melanggar, hanya saja ia harus bayar fidyah.
Ketiga : Jika melakukannya dengan
sengaja dan tanpa adanya uzur atau tidak ada kebutuhan mendesak, maka ia telah
berdosa karena sengaja melanggar pelanggaran, dan tentu dikenakan fidyah dan
harus bertaubat kepada Allah.
Pembagian
larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan
Pelanggaran yang tidak ada fidyahnya akan tetapi harus bertaubat kepada Allah :
Melamar, menikah, dan menikahkan, serta mencumbui istri dengan perkataan atau
penglihatan tanpa ada sentuhan.
Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal
Fidyah harus dengan menyembelih kambing (minimal) yaitu berhubungan intim setelah tahallul awwal dan sebelum tahallul tsani.
Fidyah berburu hewan buruan darat (sebagaimana telah lalu perinciannya)
Memilih salah satu dari tiga pilihan :
Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim) sebelum tahallul awwal
Fidyah harus dengan menyembelih kambing (minimal) yaitu berhubungan intim setelah tahallul awwal dan sebelum tahallul tsani.
Fidyah berburu hewan buruan darat (sebagaimana telah lalu perinciannya)
Memilih salah satu dari tiga pilihan :
Pertama : berpuasa
tiga hari (puasa tersebut tidak harus berturut-turut, dan boleh dikerjakan
sebelum atau setelah selesai haji di manapun dia berada)
Kedua : memberi makan
kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi ½ shoo’ yaitu sekitar 1,3 kg
beras. (pemberian makanan ini tidak harus di tanah haram, boleh ia bagi di
lokasi dimana ia melanggar)
Ketiga : menyembelih
seekor kambing. (Kambingnya boleh jantan atau betina, boleh kambing jawa atau
kambing domba dan tidak harus memotong di tanah harām. Tetapi boleh juga jika
seseorang melanggar maka membayarnyapun di tempat dia melanggar, karena seorang
bisa jadi melanggar sebelum sampai tanah harām. Dan Ka’ab bin Ujrah
radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tatkala melanggar dia belum sampai ke tanah harām dan
Nabi menyuruh dia membayar fidyah. Oleh karenanya pembayaran fidyah pelanggaran
tidak harus di bagi di tanah harām akan tetapi boleh membagi ditempat dimana
dia melanggar.
Kemudian, kalau dia
memotong kambing, karena ini adalah kambing pelanggaran, maka dia tidak
boleh memakannya, melainkan harus diberikan kepada fakir miskin, baik ditanah
harām maupun di tempat dia melanggar)
Pelanggaran-pelanggaran
tersebut :
Pertama : Untuk lelaki :
Mencukur rambut atau bulu rambut, memotong kuku, memakai minyak wangi, memakai
pakaian yang dijahit, memakai tutup kepala, dan bercumbu sebelum tahallul tsani
dengan cumbuan yang disertai sentuhan, baik hingga keluar mania tau tidak
selama tidak sampai kepada jimak
Kedua : Untuk wanita :
Memakai cadar, memakai kaus tangan, mencukur rambut dan bulu badan, memotong
kuku, dan memakai minyak wangi, dan bercumbu sebelum tahallul tsani dengan
cumbuan yang disertai sentuhan, baik hingga keluar mania tau tidak selama tidak
sampai kepada jimak
Comments
Post a Comment