Allâh Azza wa Jalla telah
menyediakan bacaan bagi orang-orang yang beriman. Bacaan yang sangat
berkualitas, berisi hidayah yang menunjukkan hal-hal terbaik bagi mereka.
Membacanya adalah ibadah yang berbuah pahala, bahkan pada setiap huruf dihitung
satu pahala. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa membaca satu
huruf dari kitabullah, maka ia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu
kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif laam
miim adalah satu huruf, tetapi alif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan
miim itu satu huruf” [1]
Al-Qur’an adalah bacaan yang tidak ada
kebohongan dan kebatilan di dalamnya, dari depan maupun dari belakang. Sebuah
bacaan yang akan mendatangkan ketenangan jiwa dan kekhusyukan hati. Itulah
al-Qur’ânul Karîm, Kalâmullâh yang diturunkan kepada Nabi-Nya yang terakhir,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Membaca al-Qur’ân adalah ibadah yang
tidak selayaknya diremehkan apalagi ditinggalkan oleh seorang Muslim. Membaca
al-Qur’ân termasuk dzikrullâh yang sangat agung. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
telah menjanjikan pahala dan keutamaan yang sangat besar bagi orang yang
senantiasa membaca dan mempelajari al-Qur’ân. Allâh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ
وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً
يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن
فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allâh dan mendirikan
shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka
dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang
tidak akan merugi, agar Allâh menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan
menambah kepada mereka dari karuniaNya. Sesungguhnya Allâh Maha Pengampun lagi
Maha Mensyukuri”. [Fâthir/35:29-30]. Dan Allâh Azza wa Jalla telah memerintahkan
kita supaya membacanya dengan tartil dan sungguh-sungguh.
أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah al-Qur’ân itu dengan tartil (perlahan-lahan)”. [al-Muzammil/73:4].
ذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ
تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْخَاسِرُونَ
“Orang-orang yang telah Kami berikan al kitab kepadanya, mereka membacanya
dengan bacaan yang sebenar-benarnya”. [al-Baqarah/2:121] Yaitu
membacanya dengan memperhatikan hukum-hukum tajwîd, kaidah-kaidah bacaan,
mentadabburi kandungan dan mengamalkan isinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga telah menganjurkan kita untuk senantiasa membaca, mentadabburi,
mempelajari, mengajarkan dan memperhatikannya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَ عَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah
yang mempelajari al-Qur’ân dan mengajarkannya”.[2]
Bahkan kalaupun belum lancar, kita tetap
dianjurkan untuk membacanya. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ
الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ
وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
“Orang yang mahir membaca al-Qur’ân akan bersama rombongan Malaikat yang
mulia lagi terpuji. Dan orang yang terbata-bata dan sulit membacanya akan
mendapatkan dua pahala”. [3]. Dan dengan membaca al-Qur’ân, seorang
mukmin akan terbedakan dengan fasik, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ
كَالْأُتْرُجَّةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا طَيِّبٌ وَمَثَلُ الَّذِي لَا
يَقْرَأُ كَالتَّمْرَةِ طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلَا رِيحَ لَهَا وَمَثَلُ الْفَاجِرِ
الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ الرَّيْحَانَةِ رِيحُهَا طَيِّبٌ
وَطَعْمُهَا مُرٌّ وَمَثَلُ الْفَاجِرِ الَّذِي لَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَمَثَلِ
الْحَنْظَلَةِ طَعْمُهَا مُرٌّ وَلَا رِيحَ لَهَا
“Perumpamaan seorang mukmin yang membaca al-Qur’ân adalah seperti
al-utrujjah (sejenis jeruk), aromanya harum dan rasanya enak. Dan perumpamaan
seorang mukmin yang tidak membaca al-Qur’ân adalah seperti buah kurma yang
tidak memiliki aroma tapi manis rasanya. Perumpamaan seorang fasiq yang membaca
al-Qur’ân seperti ar-raihaanah, aromanya wangi tapi rasanya pahit dan
perumpamaan seorang fasiq yang tidak membaca al-Qur’ân seperti al-hanzhalah,
rasanya pahit dan tidak memiliki aroma”.[4]
Disamping itu, al-Qur’ân
juga akan menjadi pemberi syafa’at baginya pada hari Kiamat. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اقْرَؤُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَجِيءُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai
pemberi syafa’at bagi pembacanya”. [5]
Setiap kali membaca
al-Qur’ân, seorang Mukmin akan naik derajatnya satu tingkatan. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
يَجِيءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ
يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ
فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى
عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً
“Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat seraya berkata, “Wahai Rabbku,
hiasilah ia (penghafal al-Qur’ân).” Maka iapun dipakaikan mahkota kemuliaan.
Lalu al-Qur’ân berkata, “Wahai Rabbku, tambahkanlah untuknya.” Maka iapun
dipakaikan jubah kemuliaan. Lalu al-Qur’ân berkata, “Wahai Rabbku, ridhailah
ia.” Maka Allâh pun meridhainya. Kemudian dikatakan kepadanya (penghafal
al-Qur’an), “Bacalah dan naiklah, untuk tiap-tiap ayat akan ditambahkan bagimu
satu pahala.”. [6]
Dan masih banyak lagi
keutamaan yang disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang
keutamaan membaca al-Qur’ân. Lalu pantaskah kita ganti yang lebih utama ini
dengan sesuatu yang rendah ? Bukankah menyibukkan diri dengan tilâwah al-Qur’ân
dan menghafalnya lebih utama daripada menyibukkan diri membaca koran ?
Mengabaikan al-Qur’ân dan beralih kepada koran akan menyebabkan kekosongan hati
dan kehampaan pikiran. Sebagian orang jahil apabila sedang kosong, ia sibuk
menelaah. Menelaah apa? Menelaah majalah, koran dan tabloid. Bukankah lebih
baik mengisi kekosongan waktu dengan membaca atau menghafal al-Qur’ân ?
Terlebih bagi seorang penuntut ilmu. Bahkan salah satu penyebab seorang
penuntut ilmu itu mengalami future (sindrom) adalah beralih dari al-Qur’ân ke
koran. Termasuk bentuk fitnah pada hari ini adalah promosi-promosi terselubung
yang banyak sebarkan oleh orang-orang kafir dan fasik melalui berbagi media
audio visual maupun cetak, melalui program-program radio dan televisi, majalah,
koran, buku dan selebaran-selebaran.
Orang-orang نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ “Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik”. [Yûsuf/12:3] Dan karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta membacakan
kisah-kisah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan kepada mereka
ayat-ayat yang diturunkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam surat Yûsuf ini. Seperti itu pulalah yang dilakukan
oleh Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika melihat orang-orang lebih suka membaca
kitab yang bercerita tentang keajaiban-keajaiban umat terdahulu.[9] Semoga
Allâh meridhai para Salaf ! Betapa besar kesungguhan mereka dalam mengikuti
sunnah nabi!” Kemudian beliau melanjutkan, “Umar bin al-Khathtab Radhiyallahu
‘anhu serta para sahabat lainnya telah mendengar desas-desus bahwa raja Ghassân
hendak menyerang mereka. Namun hal itu tidak menghalangi mereka untuk menuntut
ilmu dengan alasan mengikuti perkembangan !
Sangat disayangkan sekali,
bila kita memasuki perpustakaan-perpustakaan umum yang biasa dikunjungi oleh
para pelajar, akan kita lihat mereka lebih banyak berkumpul di bagian majalah
dan koran-koran sedang asyik mengulas berita. Padahal perpustakaan itu dipenuhi
dengan koleksi kitab-kitab tauhid, tafsir dan hadits. Jarang sekali kita lihat
mereka menjamah kitab-kitab tersebut kecuali bila terpaksa, misalnya untuk
menulis makalah untuk meraih gelar atau untuk mencari sesuap nasi. Kecuali
segelintir pelajar saja yang memang benar-benar berminat menimba ilmu agama!
Sungguh aneh memang! Berapa banyak diantara mereka yang tidak memiliki buku doa
harian dan dzikir nabawi. Wajar saja karena dzikir dan wirid mereka bersama
siaran-siaran radio dan televisi serta berita-berita koran ! Wallâhul
Musta’ân.
Syaikh al-Albâni
rahimahullah mengkritik perkataan Nashir al-Umar tentang referensi fiqih wâqi’
yang mengatakan, “Berita politik dan
informasi dari media massa merupakan referensi terpenting sekarang ini. Dalam
bentuk media cetak (koran dan majalah) maupun audio visual (radio dan
televisi). Sebagai contoh : koran, majalah, tabloid, bulletin, informasi dari
sejumlah kantor berita internasional, siaran radio dan televisi, kaset, piagam
dan beberapa media informasi modern lainnya” Salah seorang hadirin bertanya
kepada Syaikh al-Albâni rahimahullah , “Bagaimana pandangan Anda tentang
referensi tersebut ?” Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab, “Itu musibah! Kita semua tahu bahwa berita
yang disebarkan oleh orang kafir ke negara-negara Islam hanyalah untuk
memperdaya kaum Muslimin. Lalu bagaimana mungkin berita-berita seperti itu
digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi ?” Sebagai konsekuensinya, harus
dibentuk tim wartawan atau reporter Muslim yang tugasnya khusus mempelajari
berita-berita itu menurut kode etik aqidah dan agama. Tim ini harus independen,
tidak boleh bergantung kepada pihak lain sebagaimana yang Anda singgung tadi.
Sumber berita yang Anda sebutkan tadi tentu tidak sama dengan konsekuensi yang
saya sebutkan ini !” Nashir al-Umar berusaha membela diri, ia mengklaim
telah memberi batasan-batasan dan pantangan-pantangan, ia menyebutkan
diantaranya :
Pertama, memegang teguh
kaedah-kaedah dasar syariat, pedoman ilmiah dan logika dalam menganalisa
berita, memprediksi kemungkinan dan meramalkan masa depan.
Kedua, mengecek kebenaran
berita dan teliti dalam menyampaikannya. Saya telah menjelaskan masalah ini
sebagai berikut : Tindakan yang tepat, menjauhi bahaya dan kesalahan serta
memperhatikan batasan-batasan tersebut dalam menerima berita.
” Syaikh al-Albâni rahimahullah
berkata: “Akan tetapi hal itu tidak
mungkin diwujudkan. Anda meletakkan kaedah yang teoritis dan cuma berlaku di
atas kertas saja! Hal itu tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan konsekuensi
yang saya sebutkan tadi. Dan itu merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan
tanggung jawab kelompok tertentu apalagi orang-perorang. Sebagaimana yang diketahui,
saluran radio BBC London bukanlah milik pemerintah, namun milik perusahaan
swasta. Syaikh rahimahullah melanjutkan: “Jadi harus ada lembaga atau badan yang didirikan atas kesepakatan
negara-negara Islam untuk melaksanakan fardhu kifâyah ini dalam rangka membantu
memahami berita-berita tersebut. Jika pemerintah tidak sanggup -–dalam hal ini
pemerintahlah yang paling berhak dan paling kuasa melaksanakan fardhu kifayah
tersebut– barulah badan-badan swasta yang ditangani oleh kaum Muslimin yang
punya kepedulian dalam masalah ini yang melaksanakannya. Mereka harus
menugaskan pekerja-pekerjanya untuk menukil berita-berita itu, sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang kafir. Jika hal itu terlaksana barulah kita tidak
lagi bergantung kepada pihak lain dalam mengolah berita musuh dan seteru kita.
Kemudian barulah kita coba menerapkan batasan-batasan yang Anda sebutkan tadi.
Sebab, tidak seorangpun dapat memastikan kebenaran berita-berita itu selama
masih bersumber dari orang-orang kafir.
Tanpa sadar lama-kelamaan Muslim mengagumi
keyakinan dan ibadah orang-orang kafir. Orang-orang awam akan melahap semua
yang ada di koran-koran itu. Ini merupakan bahaya besar yang dapat menerkam
setiap orang jahil yang tidak punya tameng ilmu untuk menangkis syubhat-syubhat
tersebut. Sebagian orang yang merasa berilmu beralasan bahwa kesibukannya
membaca koran adalah untuk mengetahui fiqhul
waqi’, mengetahui perkembangan terkini. Inilah syubhat mereka. Sehingga
membaca koran menjadi kegiatan utama sementara membaca al-Qur’ân menjadi
kegiatan nomor sekian bahkan tidak masuk agenda sama sekali. Syaikh Abdul Mâlik
ar-Ramadhâni hafizhahullâh telah membantah syubhat seperti ini. Beliau
hafizhahullâh mengatakan, “Alangkah besar
kejahatan para pendidik itu! Karena mereka telah memalingkan umat dari penyakit
sesungguhnya! Lalu bagaimana umat bisa mendapatkan obatnya?! Betapa besar
musibah ini! Musibah yang memalingkan umat dari jalan Allâh Azza wa Jalla !
Memalingkan umat dari ilmu al-Qur’ân dan as-Sunnah, dari mengangungkan keduanya
dan berkumpul di majelis-majelis Ulama kepada ilmu politik terkini dan
berkumpul mendengarkannya dari media-media informasi politik audio maupun
visual (radio dan televisi), koran-koran maupun majalah! Yang mana kejujuran
adalah suatu hal yang tabu! Bahkan berlalu tanpa acuh di hadapan para pengikut
al-Qur’ân dan as-Sunnah! Hobbi mereka adalah melihat video (film) dan membaca
majalah al-Bayân dan as-Sunnah [7].
Setiap hari, setiap pekan bahkan setiap bulan tidak ada waktu dan kecenderungan mendengarkan ayat al-Qur’ân! Silakan tanya sendiri, sudah berapa lama kitab shahîhain (Shahih Bukhâri dan Muslim) nyaris tidak tersentuh sementara tidak sesaatpun mereka lepas dari koran yang menghidangkan berita-berita terkini dan berita-berita lalu! Semua urusan terpulang kepada Allâh! Jangan buru-buru menyanggah! Karena yang saya paparkan tadi bukanlah ilmu hingga perlu dibahas, itu hanyalah kabar tentang realita yang terjadi! Abu Nu’aim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Hilyah [8] dengan sanadnya dari seorang lelaki dari Bani Asyja’ ia berkata, “Orang-orang mendengar berita kedatangan Salman al-Fârisi di masjid. Merekapun ramai-ramai mendatangi beliau Radhiyallahu ‘anhu dan berkumpul di hadapannya, jumlah yang hadir ketika itu mencapai ribuan orang. Ia melanjutkan, “Salman pun bangkit dan berkata, “Duduklah, duduklah! Setelah semua hadirin duduk, beliau Radhiyallahu ‘anhu membuka majelis dengan membacakan surat Yûsuf. Seketika saja mereka bubar dan meninggalkan majelis hingga hanya sekitar seratusan saja yang tersisa. Melihat itu Salmân Radhiyallahu ‘anhu marah. Beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apakah kata-kata manis penuh tipuan yang kalian inginkan ? Aku bacakan ayat-ayat Allâh kepada kalian lalu kalian bubar?!” Barangkali Salman al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu sengaja memilih surat Yûsuf karena di dalamnya terkandung anjuran qanâ’ah (mencukupkan diri) dengan kisah-kisah yang tersebut dalam Kitâbullâh, bukan dengan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang digandrungi orang banyak. Itulah yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla. la kita ingin memastikan kebenaran sejumlah berita dalam Taurat dan Injil, manakah yang benar dan mana yang salah. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah membandingkannya dengan berita orang yang terpercaya lagi tsiqah…..Jika mereka itu tidak ada, maka putuslah mata rantai orang-orang yang ingin menyelami fiqh waqi’ dan hanya bersandar kepada berita-berita yang datang dari negera kafir dan sesat serta berita-berita dari orang fasik dan jahat.
Maka tidaklah mungkin merealisasikan gagasan-gagasan Anda itu. Oleh sebab itu, fiqh waqi’ seperti yang Anda sebutkan itu hanyalah teori belaka, tidak mungkin diwujudkan di alam nyata. Kecuali dengan mendirikan suatu badan yang menugaskan beberapa orang untuk menukil berita lewat jalur terpercaya sebagaimana halnya proses pengolahan berita yang tertuang dalam ilmu mushtalah hadits.” al-Umar berkata, “Bagaimana jika kita menunggu sampai hal itu ada, wahai Syaikh?” Syaik al-Albâni rahimahullah menanggapi, “Hal itu sangat sulit diwujudkan!” al-Umar berkata, “Bukankah kita boleh mengambil faedah dari sebagian orang, wahai Syaikh….” Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab: “Semoga Allâh memberkati Anda, berhubung melimpahnya berita dan banyaknya sumber berita dari kalangan kaum kafir, maka akibatnya seseorang akan tenggelam ditelan gelombang berita tersebut. Hal itu sangat sulit terealisasi sekarang ini !”[10]
Setiap hari, setiap pekan bahkan setiap bulan tidak ada waktu dan kecenderungan mendengarkan ayat al-Qur’ân! Silakan tanya sendiri, sudah berapa lama kitab shahîhain (Shahih Bukhâri dan Muslim) nyaris tidak tersentuh sementara tidak sesaatpun mereka lepas dari koran yang menghidangkan berita-berita terkini dan berita-berita lalu! Semua urusan terpulang kepada Allâh! Jangan buru-buru menyanggah! Karena yang saya paparkan tadi bukanlah ilmu hingga perlu dibahas, itu hanyalah kabar tentang realita yang terjadi! Abu Nu’aim rahimahullah meriwayatkan dalam kitab al-Hilyah [8] dengan sanadnya dari seorang lelaki dari Bani Asyja’ ia berkata, “Orang-orang mendengar berita kedatangan Salman al-Fârisi di masjid. Merekapun ramai-ramai mendatangi beliau Radhiyallahu ‘anhu dan berkumpul di hadapannya, jumlah yang hadir ketika itu mencapai ribuan orang. Ia melanjutkan, “Salman pun bangkit dan berkata, “Duduklah, duduklah! Setelah semua hadirin duduk, beliau Radhiyallahu ‘anhu membuka majelis dengan membacakan surat Yûsuf. Seketika saja mereka bubar dan meninggalkan majelis hingga hanya sekitar seratusan saja yang tersisa. Melihat itu Salmân Radhiyallahu ‘anhu marah. Beliau Radhiyallahu ‘anhu berkata, “Apakah kata-kata manis penuh tipuan yang kalian inginkan ? Aku bacakan ayat-ayat Allâh kepada kalian lalu kalian bubar?!” Barangkali Salman al-Fârisi Radhiyallahu ‘anhu sengaja memilih surat Yûsuf karena di dalamnya terkandung anjuran qanâ’ah (mencukupkan diri) dengan kisah-kisah yang tersebut dalam Kitâbullâh, bukan dengan kisah-kisah dan hikayat-hikayat yang digandrungi orang banyak. Itulah yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla. la kita ingin memastikan kebenaran sejumlah berita dalam Taurat dan Injil, manakah yang benar dan mana yang salah. Hal itu hanya dapat dilakukan setelah membandingkannya dengan berita orang yang terpercaya lagi tsiqah…..Jika mereka itu tidak ada, maka putuslah mata rantai orang-orang yang ingin menyelami fiqh waqi’ dan hanya bersandar kepada berita-berita yang datang dari negera kafir dan sesat serta berita-berita dari orang fasik dan jahat.
Maka tidaklah mungkin merealisasikan gagasan-gagasan Anda itu. Oleh sebab itu, fiqh waqi’ seperti yang Anda sebutkan itu hanyalah teori belaka, tidak mungkin diwujudkan di alam nyata. Kecuali dengan mendirikan suatu badan yang menugaskan beberapa orang untuk menukil berita lewat jalur terpercaya sebagaimana halnya proses pengolahan berita yang tertuang dalam ilmu mushtalah hadits.” al-Umar berkata, “Bagaimana jika kita menunggu sampai hal itu ada, wahai Syaikh?” Syaik al-Albâni rahimahullah menanggapi, “Hal itu sangat sulit diwujudkan!” al-Umar berkata, “Bukankah kita boleh mengambil faedah dari sebagian orang, wahai Syaikh….” Syaikh al-Albâni rahimahullah menjawab: “Semoga Allâh memberkati Anda, berhubung melimpahnya berita dan banyaknya sumber berita dari kalangan kaum kafir, maka akibatnya seseorang akan tenggelam ditelan gelombang berita tersebut. Hal itu sangat sulit terealisasi sekarang ini !”[10]
Syaikh Muhammad bin Utsaimin
rahimahullah berkata, “Apa sandaran fiqih
yang mereka sebut fiqh waqi’ itu ? Apakah koran, majalah dan siaran-siaran
radio ? Bukankah berita-berita koran, majalah dan radio itu banyak bohongnya ?
Media-media informasi cetak maupun eletronik sekarang ini tidak bisa dijadikan
sandaran. Boleh jadi beberapa rancangan terdahulu sudah basi karena keadaan
ternyata berubah! Bilamana seorang yang berakal memperhatikan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir ini
tentu ia dapat mengetahui bahwa seluruh prediksi yang mereka sebutkan itu tidak
lagi riil. Oleh sebab itu menurut kami memalingkan para pemuda dari menuntut
ilmu agama dan mengalihkannya kepada berita-berita fiqih waqi’ itu,
membolak-balik majalah, koran dan mendengar siaran-siaran berita merupakan
penyimpangan manhaj!”[11]
Itulah nasihat dari para
ulama rabbani kepada umat khususnya kepada para pemuda dan kalangan penuntut
ilmu. Janganlah terpedaya dengan syubhat-syubhat yang menyesatkan, sehingga
kita terpalingkan dari kebenaran dan hidayah, wallahul musta’ân.
[Disalin kembali dari majalah
As-Sunnah Edisi, 04-05/Tahun XIV/1431/2010M dengan sedikit pengubahan).
------------------
Footnote:
[1]. HR at-Tirmidzi dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan oleh
al-Albâni rahimahullah dalam Silsilah Shahihah (3327).
[2]. HR Bukhâri dari Utsmân
bin Affân Radhiyallahu ‘anhu.
[3]. HR Bukhâri dan Muslim
dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
[4]. HR Bukhâri dan Muslim
Abu Musa al-Asy’âri Radhiyallahu ‘anha.
[5]. HR Muslim dari Abu
Umâmah Radhiyallahu ‘anhu
[6]. HR Tirmidzi dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu dan dihasankan oleh al-Albâni dalam Shahihul Jâmi’
(8030).
[7]. Majalah al-Bayân dan
as-Sunnah yang diterbitkan oleh Yayasan Muntada Islami Birmingham London
UK yang dikepalai oleh Muhammad Surur! Bukan majalah as-Sunnah kita ini,
seperti yang dikira oleh sebagian penyebar fitnah berusaha melakukan kebohongan
publik dan fitnah keji, wallahul musta’aan.
[8]. Hilyatul Auliyâ’,
I/203
[9]. Diriwayatkan oleh Ibnul
Dharis dalam Fadhâilul Qur’ân (88) dan al-Khathib dalam al-Jâmi’
(1490), dicantumkan juga oleh Ibnul Jauji dalam kitab Tarikh Umar, hlm. 145.
[10]. Dinukil dari kaset Silsilatul
Huda wan Nûr bertajuk Fiqhul Waqi’, berisi rekaman dialog antara
Syaikh al-Albâni rahimahullah dengan Nashir al-Umar pada tahun 1412 H.
[11]. Dinukil dari kaset
bertajuk: “Dialog Syeikh Abul Hasan
Al-Ma’ribi dengan Syeikh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin”
*************************
*************************
Kontributor: Ust. Abu Ihsan al-Atsari (Hafizahullah); Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Comments
Post a Comment