Secara
Bahasa, at-Taubah berasal dari kata تَوَبَ yang bermakna kembali. Dia bertaubat, artinya ia kembali
dari dosanya (berpaling dan menarik diri dari dosa)[2].
Taubat adalah kembali kepada Allâh dengan melepaskan hati dari belenggu yang
membuatnya terus-menerus melakukan dosa lalu melaksanakan semua hak Allâh Azza
wa Jalla . Secara Syar’ie, taubat adalah meninggalkan
dosa karena takut pada Allâh, menganggapnya buruk, menyesali perbuatan
maksiatnya, bertekad kuat untuk tidak mengulanginya, dan memperbaiki apa yang
mungkin bisa diperbaiki kembali dari amalnya.
Hakikat
taubat yaitu perasaan hati yang menyesali perbuatan maksiat yang sudah terjadi,
lalu mengarahkan hati kepada Allâh Azza wa Jalla pada sisa usianya serta
menahan diri dari dosa. Melakukan amal shaleh dan meninggalkan larangan adalah
wujud nyata dari taubat. Taubat mencakup penyerahan diri seorang hamba kepada
Rabbnya, inabah (kembali) kepada Allâh Azza wa Jalla
dan konsisten menjalankan keta’atan kepada Allâh. Jadi, sekedar meninggalkan
perbuatan dosa, namun tidak melaksanakan amalan yang dicintai Allâh Azza wa
Jalla , maka itu belum dianggap bertaubat.
Seseorang
dianggap bertaubat jika ia kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dan
melepaskan diri dari belenggu yang membuatnya terus-menerus melakukan dosa. Ia
tanamkan makna taubat dalam hatinya sebelum diucapkan lisannya, senantiasa
mengingat apa yang disebutkan Allâh Azza wa Jalla berupa keterangan
terperinci tentang surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang ta’at, dan
mengingat siksa neraka yang diancamkan bagi pendosa. Dia berusaha terus
melakukan itu agar rasa takut dan optimismenya kepada Allâh semakin menguat
dalam hatinya. Dengan demikian, ia berdoa senantiasa kepada Allâh Azza wa
Jalla dengan penuh harap dan cemas agar Allâh Azza wa Jalla berkenan
menerima taubatnya, menghapuskan dosa dan kesalahannya.
Dalam
kitab Majâlis Syahri Ramadhân[3], setelah membawakan banyak dalil
dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang mendorong kaum Muslimin untuk senantiasa
bertaubat dan beberapa hal lain tentang taubat, Syaikh Muhammad bin Shalih
Utsaimin t mengatakan, “Taubat yang diperintahkan Allâh Azza wa Jalla adalah
taubat nasuha (yang tulus) yang mencakup lima syarat:
Pertama : Hendaknya taubat itu
dilakukan dengan ikhlas. Artinya, yang mendorong dia untuk bertaubat adalah
kecintaannya kepada Allâh Azza wa Jalla, pengagungannya terhadap Allâh,
harapannya untuk pahala disertai rasa takut akan tertimpa adzab-Nya. Ia tidak
menghendaki dunia sedikitpun dan juga bukan karena ingin dekat dengan
orang-orang tertentu. Jika ini yang dia inginkan maka taubatnya tidak akan
diterima. Karena ia belum bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla namun ia
bertaubat demi mencapai tujuan-tujuan dunia yang dia inginkan.
Kedua : Menyesali serta merasa
sedih atas dosa yang pernah dilakukan, sebagai bukti penyesalan yang
sesungguhnya kepada Allâh dan luluh dihadapan-Nya serta murka pada hawa
nafsunya sendiri yang terus membujuknya untuk melakukan keburukan. Taubat
seperti ini adalah taubat yang benar-benar dilandasi akidah, keyakinan dan
ilmu.
Ketiga : Segera berhenti dari
perbuatan maksiat yang dia lakukan. Jika maksiat atau dosa itu disebabkan
karena ia melakukan sesuatu yang diharamkan, maka dia langsung meninggalkan
perbuatan haram tersebut seketika itu juga. Jika dosa atau maksiat akibat
meninggalkan sesuatu yang diwajibkan, maka dia bergegas untuk melakukan yang
diwajibkan itu seketika itu juga. Ini apabila hal-hal wajib yang ditinggalkan
itu bisa diqadha’, misalnya zakat atau haji.
Taubat
orang yang terus-menerus melakukan perbuatan maksiat itu tidak sah. Jika ada
seseorang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari perbuatan riba, namun dia
tidak meninggal perbuatan ribawi itu, maka taubat orang ini tidak sah. Bahkan ini
termasuk mempermainkan Allâh Azza wa Jalla. Orang seperti ini, bukan
semakin dekat kepada Allâh namun sebaliknya dia semakin jauh. Begitu
juga, misalnya ada orang yang menyatakan dirinya bertaubat dari meninggalkan
shalat fardhu secara berjama’ah, namun dia tetap saja meninggalkan shalat ini,
dia tetap tidak berjama’ah. Taubat orang ini juga tidak diterima. Jika maksiat
itu berkaitan dengan hak-hak manusia, maka taubatnya tidak sah kecuali
setelah ia membebaskan diri dari hak-hak tersebut. Misalnya, apabila maksiat
itu dengan cara mengambil harta orang lain atau menentang hak harta tersebut,
maka taubatnya tidak sah sampai ia mengembalikan harta tersebut pada
pemiliknya apabila ia masih hidup, atau dikembalikan kepada ahli warisnya, jika
telah meninggal. Apabila diketahui ia tidak memiliki ahli waris, maka harta itu
diserahkan ke Baitul Mâl.
Dan
apabila tidak diketahui pemilik harta yang diambilnya tersebut, maka ia
sedekahkan harta tersebut atas nama pemiliknya. Apabila dosa atau maksiat itu
dengan sebab ghîbah (menggunjing) seorang Muslim, maka ia
wajib meminta maaf kepada orang yang digunjingnya itu, bila yang di-ghibah tahu,
atau ia khawatir orang yang digunjing akan tahu. Jika tidak, maka cukup baginya
dengan memohonkan ampunan untuk orang yang digunjing dan memujinya di tempat ia
menggunjingnya dahulu. Karena sesungguhnya perbuatan baik akan menghilangkan
keburukan. Dan taubah seseorang dari dosa tertentu tetap sah, sekalipun ia
masih terus-menerus melakukan dosa yang lain. Karena perbuatan manusia itu
banyak macamnya, dan imannya pun bertingkat-tingkat. Namun orang yang bertaubat
dari dosa tertentu itu tidak bisa dikatakan dia telah bertaubat secara mutlak.
Dan semua sifat-sifat terpuji dan kedudukan yang tinggi bagi orang yang
bertaubat, hanya bisa diraih dengan bertaubat dari seluruh dosa-dosa.
Keempat : Bertekad untuk tidak
mengulangi dosa tersebut di masa yang akan datang. Karena ini merupakan buah
dari taubatnya dan sebagai bukti kejujuran pelakunya. Jika ia mengatakan telah
bertaubat, namun ia masih bertekad untuk melakukan maksiat itu lagi di suatu
hari nanti, maka taubatnya saat itu belum benar. Karena taubatnya hanya
sementara, si pelaku maksiat ini hanya sedang mencari momen yang tepat saja.
Taubatnya ini tidak menunjukkan bahwa dia membenci perbuatan maksiat itu lalu
menjauh darinya dan selanjutnya melaksanakan ketaatan kepada Allâh Azza wa
Jalla.
Kelima
: Taubat itu dilakukan bukan
pada saat masa penerimaan taubat telah habis. Jika taubat itu dilakukan setelah
habis waktu diterimanya taubat, maka taubatnya tidak akan diterima. Berakhirnya
waktu penerimaan taubat itu ada dua macam: (Pertama,) bersifat umum berlaku
untuk semua orang dan (kedua) bersifat khusus untuk setiap pribadi. Yang
bersifat umum adalah terbitnya matahari dari arah barat. Jika matahari
telah terbit dari arah barat, maka saat itu taubat sudah tidak bermanfaat lagi.
يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ
لَا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ
فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا ۗ قُلِ
انْتَظِرُوا إِنَّا مُنْتَظِرُونَ
“Pada
hari datangnya sebagian ayat-ayat Rabbmu, tidaklah bermanfaat lagi iman
seseorang kepada dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia
(belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah, “Tunggulah olehmu
sesungguhnya Kamipun menunggu (pula).” [An-an’âm/6:158].
Maksud dari “sebagian ayat-ayat Rabbmu” dalam firman Allâh di atas
adalah terbitnya matahari dari arah Barat sebagaimana yang ditafsirkan oleh
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari Abdullah bin Amru bin Ash Radhiyallahu
anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ تَزَالُ التَّوْبَةُ تُقْبَلُ
حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا, فَإِذَا طَلَعَتْ طُبِعَ عَلَى كُلِّ
قَلْبٍ بِمَا فِيْهِ وَكَفَى النَّاسَ الْعَمَلُ
“Senantiasa
taubat diterima sampai matahari terbit dari tempat terbenamnya (dari arah
barat), maka jika dia terbit akan ditutup setiap hati (dari hidayah sehingga
yang ada hanya) apa yang ada didalam hatinya (saja) dan cukuplah bagi manusia
amalannya (sehingga dia tidak bisa beramal kebaikan lagi). Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan sanadnya Hasan. Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ
الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْهِ
“Siapa
yang bertaubat sebelum matahari terbit dari tempat terbenamnya maka Allâh akan
menerima taubatnya.[HR.
Muslim].
Adapun
Tobat yang dilakukan saat kematian mendatangi seseorang, maka taubat sudah
tidak berguna lagi baginya dan tidak akan diterima. Allâh Azza wa Jalla
berfirman :
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ
يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّىٰ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ
إِنِّي تُبْتُ الْآنَ وَلَا الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ ۚ أُولَٰئِكَ
أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Dan
tidaklah taubat itu diterima Allâh dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan
(yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah)
ia mengatakan : “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang.” Dan tidak (pula
diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi
orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih. [An-Nisa/4:18]
Dalam
hadits dari Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu anhuma, Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ يَقْبَلُ تَوْبَةَ
الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ
“Sesungguhnya
Allâh menerima taubat seorang hamba selama nyawanya (ruhnya) belum sampai
tenggorokan. [HR.
Ahmad, at-Tirmidzi dan Beliau berkata hadits hasan)
Apabila
taubat itu telah terpenuhi seluruh syaratnya dan diterima, maka Allâh akan
menghapus dosa-dosa yang ia telah bertaubat darinya, sekalipun jumlahnya sangat
banyak. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Az-zumar/39:53].
Ayat ini berbicara tentang orang-orang yang bertaubat; yang kembali dan
berserah diri kepada Rabbnya.
Allâh
Azza wa Jalla juga berfirman:
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ
نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan
barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia
mohon ampun kepada Allâh, niscaya ia mendapati Allâh Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [An-Nisa/4:110].
Oleh karena itu, semoga Allâh Azza wa Jalla senantiasa merahmati kita–
hendaklah kita bersegera mengisi (sisa) umur kita dengan taubat nasuha kepada
Rabb sebelum kematian menghampiri. Jika kematian sudah menghampiri, kita
tidak akan bisa menghindarinya.
Allâh
Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat dan berjanji akan
menerima taubat mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ
عَنْ عِبَادِهِ
“Dan
Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya..” [Asy-Syura / 42: 25]. Dia
membuka pintu harapan bagi hamba-Nya untuk meraih maaf dan ampunan-Nya. Allâh Azza
wa Jalla juga memerintahkan agar mereka bersandar pada kemurahan dan
kedermawanan-Nya, memohon agar kesalahan-kesalahan digugurkan, aibnya ditutupi
dan agar taubat mereka diterima. Tidak ada yang bisa menolak mereka dari rahmat
Allâh Azza wa Jalla dan pintu antara mereka dan Allâh pun tidaklah
dikunci.
Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ
أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ
يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ
هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Katakanlah:
“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allâh. Sesungguhnya Allâh mengampuni
dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. [Az-Zumar/39:53].
Barangsiapa bertaubat dan meminta ampun, Allâh Azza wa Jalla akan
menerima taubatnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً
أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ
Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allâh, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allâh? [Ali Imran / 3: 135].
Allâh Azza wa Jalla menyanjung para hamba-Nya yang bertakwa yang senantiasa
beristighfar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا
إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿١٦﴾ الصَّابِرِينَ
وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنْفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ
بِالْأَسْحَارِ
“(Yaitu)
orang-orang yang berdoa: Wahai Rabb kami! Sesungguhnya kami telah beriman, maka
ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka,” (yaitu)
orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya
(di jalan Allâh), dan yang memohon ampun di waktu sahur. [Ali Imrân/3:16-17]. Orang
yang bertaubat dari dosa, adalah orang yang mendapatkan pemeliharaan dan
penjagaan dari Allâh Azza wa Jalla serta rahmat-Nya. Allâh Azza wa
Jalla melimpahkan barakah-Nya kepada mereka. Allâh Azza wa Jalla
berikan kepadanya nikmat rezeki dan kemakmuran hidup di dunia. Serta Allâh Azza
wa Jalla melimpahkan kepadanya pahala agung dan nikmat abadi di akhirat
kelak. Allâh Azza wa Jalla berfirman mengenai pahala orang-orang yang
bertaubat kepada-Nya:
أُولَٰئِكَ جَزَاؤُهُمْ مَغْفِرَةٌ
مِنْ رَبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ
فِيهَا ۚ وَنِعْمَ أَجْرُ
الْعَامِلِينَ
Mereka
itu balasannya ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya
mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik
pahala orang-orang yang beramal. [Ali
Imran /3: 136]. Sesungguhnya istighfar yang diiringi dengan menanggalkan dosa,
menjadi sebab suburnya negeri dan keberkahan, keturunan yang banyak serta
kemuliaan dan kekokohan menjadi semakin kokoh. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ
إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ
السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ
بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
maka
aku katakan kepada mereka: ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia
adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan
lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu
kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. [Nuh/71: 10-12]
Dalam
iman terdapat rahmat bagi para hamba dan dalam istighfar terdapat keberkahan
dalam agama dan dunia. Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dalam Sunannya
dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ لَزِمَ الاسْتِغْفَارَ
جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجاً ، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجاً ،
وَرَزَقهُ مِنْ حَيثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa
yang senatiasa beristighfar, Allâh jadikan untuknya kelonggaran dari segala
keresahan; jalan keluar dari segala kesempitan, dan Allâh beri dia rezeki dari
arah yang tidak ia sangka-sangka.”[5].
Pintu taubat selalu terbuka lebar-lebar. Dari pintu hembusan-hembusan
rahmat, kelembutan dan kenikmatan keluar. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ شَيْئًا ﴿٦٠﴾ جَنَّاتِ عَدْنٍ
الَّتِي وَعَدَ الرَّحْمَٰنُ عِبَادَهُ بِالْغَيْبِ ۚ إِنَّهُ كَانَ
وَعْدُهُ مَأْتِيًّا
“kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk
syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun, yaitu syurga ‘Adn yang
telah dijanjikan oleh Tuhan Yang Maha Pemurah kepada hamba-hamba-Nya, sekalipun
(syurga itu) tidak nampak. Sesungguhnya janji Allâh itu pasti akan ditepati. [Maryam / 19: 60-61]
Jadi,
taubat itu menumbuhkan iman dan amal shalih. Dengan demikian, taubat
berarti telah merealisasikan makna taubat yang positif . Itu akan menyelamatkan
mereka dari kerugian dan penyesalan besar, sehingga mereka tidak mendapati
siksa di lembah jahannam (al-ghayy), seperti firman Allâh:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ
أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ ۖ فَسَوْفَ
يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui siksa dan kerugian
(atau lembah di jahannam), [Maryam
/ 19: 59]. Mereka akan masuk surga dan tidak akan pernah terzalimi sedikitpun
juga. Sungguh, alangkah agung berkah dari istighfar dan taubat kepada Allâh Azza
wa Jalla. Dengan istighfar dan taubat, Rahmat diturunkan, berkah pada
rezeki dilimpahkan dan kebaikan pun melimpah ruah. Dengan sebab keduanya, Allâh
Azza wa Jalla menganugerahkan harta dan anak keturunan, mengampuni dosa,
memberikan kekuatan dan kelurusan serta petunjuk.
“Ya
Allâh, Wahai Dzat Yang memiliki segala kebutuhan orang-orang yang memohon, dan
Yang mengetahui isi hati orang-orang yang diam tak mengutarakan permohonannya;
berilah kepada kami taubat yang benar dari sisi-Mu! Berilah kepada kami inâbah
yang sempurna, yang tidak terkontaminasi dengan keraguan, tidak pula ditimpa
kekurangan ataupun penundaan!
[Disalin
kembali dari majalah As-Sunnah Edisi 02-03/Tahun XX/1437H/2016M) dengan sedikit
perubahan dan penyesuaian).
Footnote
[1] At-Taubatu
Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim
as-sadlan, hlm. 10
[4] At-Taubatu
Ilallâh, Maknâhâ, Haqîqatuhâ, Fadhluhâ, syurutuhâ, Prof. DR. Shalih Ghanim
as-sadlan, hlm. 14-16
[5] Sunan
Ibni Majah 2/1254 no 3819, Abu Daud 1518, Imam Ahmad dalam Al-Musnad
1/248; dalam sanadnya terdapat al-Hakam bin Mush’ab al-Qurasyi al-Makhzumi.
Kredibilitasnya diperbincangkan para Ulama, akan tetapi Syaikh Ahmad Syakir
menghukuminya shahih (2234), di mana Imam al-Bukhâri menyebutkan biografi
al-Hakam bin Mush’ab dalam at-Târîkh al-Kabîr, dan ia tidak
menyebut adanya cacat pada rawi ini. Jadi menurutnya ia seorang tsiqah.
*****************************
Kontributor: Tim Majalah As-Sunnah; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
*****************************
Kontributor: Tim Majalah As-Sunnah; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Comments
Post a Comment