Skip to main content

Mujahadah Salaf selama bulan Ramadhan

Kebiasaan Rasulullah dan Shahabat Pada Bulan Ramadhan

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI BULAN RAMADHAN 
Oleh Syaikh Dr Muhammad Musa Alu Nashr 

Tamu agung nan penuh barakah akan kembali mendatangi kita. Kedatangannya yang terhitung jarang, hanya sekali dalam setahun menumbuhkan kerinduan mendalam di hati kaum Muslimin. Leher memanjang dan mata nanar memandang sementara hati berdegup kencang menunggu kapan gerangan hilalnya terbit. Itulah Ramadhân, bulan yang sangat dikenal dan benar-benar ditunggu kehadirannya oleh kaum Muslimin. Kemuliaanya diabadikan dalam al-Qur’ân dan melalui untaian-untaian sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla menjadikannya sarat dengan kebaikan, mulai dari awal Ramadhan sampai akhir. 
Allâh Azza wa Jalla berfirman
 شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”.[al-Baqarah/2:185] 

Jiwa yang terpenuhi dengan keimanan tentu akan segera mempersiapkan diri untuk meraih keutamaan serta keberkahan yang yang ada didalamnya. Pada bulan ini Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur’ân. Seandainya bulan Ramadhan tidak memiliki keutamaan lain selain turunnya al-Qur’ân maka itu sudah lebih dari cukup. Lalu bagaimana bila ditambah lagi dengan berbagai keutamaan lainnya, seperti pengampunan dosa, peninggian derajat kaum Mukminin, pahala semua kebaikan dilipatgandakan, dan pada setiap malam Ramadhan, Allah Azza wa Jalla membebaskan banyak jiwa dari api neraka. Pada bulan mulia ini, pintu-pintu Surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, setan-setan juga dibelenggu. Pada bulan ini juga ada dua malaikat yang turun dan berseru, “Wahai para pencari kebaikan, sambutlah ! Wahai para pencari kejelekan, berhentilah !” 
Pada bulan Ramadhân terdapat satu malam yang lebih utama dari seribu bulan. Orang yang tidak mendapatkannya berarti dia terhalang dari kebaikan yang sangat banyak. 
Mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dalam melakukan ketaatan adalah hal yang sangat urgen, terlebih pada bulan Ramadhan. Karena amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika dia ikhlash dan mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, keduanya merupakan rukun diterimanya amal shalih. Keduanya ibarat dua sayap yang saling melengkapi. Seekor burung tidak bisa terbang dengan menggunakan satu sayap. 
Melalui naskah ringkas ini, marilah kita berusaha untuk mempelajari prilaku Rasûlullâh di bulan Ramadhân agar kita bisa meneladaninya. Karena orang yang tidak berada diatas petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dunia dia tidak akan bisa bersama beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat. Kebahagiaan tertinggi akan bisa diraih oleh seseorang ketika ia mengikuti petunjuk Rasûlullâh secara lahir dan batin. Dan seseorang tidak akan bisa mengikuti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu itu tidak akan disebut bermanfaat kecuali bila diiringi dengan amalan yang shalih. Jadi amalan shalih merupakan buah ilmu yang bermanfaat. 
Di bawah ini adalah beberapa kebiasaan dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhân:
1. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memulai puasa kecuali jika beliau sudah benar-benar melihat hilal atau berdasarkan berita dari orang yang bisa dipercaya tentang munculnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan Sya’bân menjadi tiga puluh. 
2. Berita tentang terbitnya hilal tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terima sekalipun dari satu orang dengan catatan orang tersebut bisa dipercaya. Ini menunjukan bahwa khabar ahad bisa diterima. 
3. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya mengawali Ramadhân dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali puasa yang sudah terbiasa dilakukan oleh seseorang. Oleh karena itu, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya berpuasa pada hari Syak (yaitu hari yang masih diragukan, apakah sudah tanggal satu Ramadhan ataukah masih tanggal 30 Sya’bân-red) 
4. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berniat untuk melakukan puasa saat malam sebelum terbit fajar dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk melakukan hal yang sama. Hukum ini hanya berlaku untuk puasa-puasa wajib, tidak untuk puasa sunat. 
5. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai puasa sampai benar-benar terlihat fajar shadiq dengan jelas. Ini dalam rangka merealisasikan firman Allâh Azza wa Jalla : 
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ 
“Dan makan serta minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar”. [al-Baqarah/2:187] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa fajar itu ada dua macam fajar shâdiq dan kâdzib. Fajar kadzib tidak menghalangi seseorang untuk makan, minum, atau menggauli istri. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah ekstrem kepada umatnya, baik pada bulan Ramadhân ataupun bulan lainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyari’atkan adzan (pemberitahuan) tentang imsak. 
6. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
 لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ 
“Umatku senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka” 
7. Jarak antara sahur Rasûlullâh dan iqâmah seukuran bacaan lima puluh ayat 
8. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki akhlak yang sangat mulia. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Bagaimana tidak, akhlak beliau adalah al-Qur’ân, sebagaimana diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan umatnya untuk berakhlak mulia, orang-orang yang sedang menunaikan ibadah berpuasa. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : 
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka tidak membutuhkan puasanya sama sekali”. 
9. Rasûlullâh sangat memperhatikan muamalah yang baik dengan keluarganya. Pada bulan Ramadhân, kebaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga semakin meningkat lagi. 
10. Puasa tidak menghalangi beliau untuk sekedar memberikan kecupan manis kepada para istrinya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya. 
11. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan siwak, baik di bulan Ramadhân maupun diluar Ramadhân guna membersihkan mulutnya dan upaya meraih keridhaan Allâh Azza wa Jalla. 
12. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berbekam padahal beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menunaikan ibadah puasa. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan umatnya untuk berbekam sekalipun sedang berpuasa. Pendapat yang kontra dengan ini berarti mansukh (telah dihapus). 
13. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjihad pada bulan Ramadhân dan menyuruh para shahabatnya untuk membatalkan puasa mereka supaya kuat saat berhadapan dengan musuh. Diantara bukti Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sayang kepada umatnya yaitu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang sakit dan oranng yang lanjut usia serta wanita hamil dan menyusui untuk membatalkan puasanya. 
14. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan bulan-bulan lain, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân untuk mencari lailatul qadr. 
15. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân kecuali pada tahun menjelang wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf selama dua puluh hari. Ketika beri’tikaf, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu dalam keadaan berpuasa 
16. Ramadhân adalah syahrul Qur’ân (bulan al-Qur’ân), sehingga tadarus al-Qur’ân menjadi rutinitas beliau, bahkan tidak ada seorangpun yang sanggup menandingi kesungguh-sungguhan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tadarus al-Qur’ân. Malaikat Jibril Alaihissallam senantiasa datang menemui beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tadarus al-Qur’ân dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
17. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang dermawan. Kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bulan Ramadhân tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kedermawanan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat angin yang bertiup membawa kebaikan, tidak takut kekurangan sama sekali. 
18. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang mujahid sejati. Ibadah puasa yang sedang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jalankan tidak menyurutkan semangat beliau untuk andil dalam berbagai peperangan. Dalam rentang waktu sembilan tahun, beliau mengikuti enam pertempuran, semuanya terjadi pada bulan Ramadhân. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melakukan berbagai kegiatan fisik pada bulan Ramadhân, seperti penghancuran masjid dhirâr [1], penghancuran berhala-berhala milik orang Arab, penyambutan duta-duta, penaklukan kota Makkah, bahkan pernikahan beliau dengan Hafshah Intinya, pada masa hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bulan Ramadhân merupakan bulan yang penuh dengan keseriusan, perjuangan dan pengorbanan. Ini sangat berbeda dengan realita sebagian kaum Muslimin saat ini yang memandang bulan Ramadhân sebagai saat bersantai, malas-malasan atau bahkan bulan menganggur atau istirahat. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk selalu mengikuti jejak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hidup kita diatas sunnah dan semoga Allah Azza wa Jalla mewafatkan kita juga dalam keadaan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bulan Ramadhan mulia membawa berbagai kebaikan dan keberkahan, menjanjikan ampunan dan rahmat bagi yang menyambutnya dan berinteraksi dengannya dengan penuh keimanan dan harapan kepada Allah. Amal perbuatan dilipat-gandakan pahalanya dan dosa-dosa diampuni. Doa dan munajat didengar dan dikabulkan Allah. Bahkan, padanya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan.
Terdapat dua sikap orang dalam menyambut dan menghadapi bulan penuh keberkahan ini. Pertama, orang yang bergembira dan penuh antusias serta suka cita dalam menyambut bulan Ramadhan. Karena baginya, bulan Ramadhan adalah kesempatan yang Allah anugerahkan kepada siapa yang dikehendaki untuk menambah bekal spiritual dan bertaubat dari semua dosa dan kesalahan. Ramadhan baginya adalah bulan bonus dimana Allah melipatgandakan pahala amal kebaikan. Maka segala sesuatunya dipersiapkan untuk menyambut dan mengisinya. Baik mental, ilmu, fisik, dan spiritual. Bahagia, karena di bulan terdapat janji dijauhkannya seseorang dari api neraka. Dan itu merupakan kemenangan yang membahagiakan. Firman Allah,

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)

Sedangkan yang kedua adalah menyambutnya dengan sikap yang dingin. Tidak ada suka-cita dan bahagia. Baginya, Ramadhan tidak ada ubahnya dengan bulan-bulan lain. Orang seperti ini tidak bisa memanfaatkan Ramadhan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Dosa dan kesalahan tidak membuatnya risau dan gelisah hingga tak ada upaya maksimal untuk menghapusnya dan menjadikan Ramadhan sebagai momen untuk kembali kepada Allah. Bahkan, ia sambut bulan Ramadhan dengan kebencian. Sebab bulan suci ini hanya akan menghambatnya melakukan dosa dan kemaksiatan, sebagaimana yang dilakukannya di bulan-bulan lain. Hatinya tertutup dan penuh benci kepada kebaikan. Menyaksikan kaum Muslimin berlomba-lomba dalam kebaikan, mengisi hari-hari mereka dengan ibadah adalah pemandangan yang tidak disukainya. Dan syetan telah menghembuskan kebencian dalam hatinya hingga Ramadhan bagai neraka baginya. Semoga kita dijauhkan dari sikap dan sifat ini.
Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)
Rasulullah menyambut bulan Ramadhan penuh perasaan bahagian dan suka-cita. Beliau ingatkan para sahabat agar menyiapkan diri mereka untuk menyambut dan mengisinya dengan amal. Diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi bahwa Rasulullah berceramah di harapan para sahabat di akhir Sya’ban, beliau bersabda,
“Wahai sekalian manusia. Kalian akan dinaungi oleh bulan yang agung nan penuh berkah. Padanya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu malam. Allah menjadikan puasa di bulan itu sebagai kewajiban dan qiyamnya sebagai perbuatan sunnah. Siapa yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal kebaikan seolah-olah ia telah melakukan kewajiban di bulan lain. Dan barangsiapa melakukan kewajiban pada bulan itu maka ia seolah telah melakukan tujuh puluh kewajiban di bulan lain. Ia adalah bulan kesabaran dan kesabaran itu adalah jalan menuju surga. Ia adalah bulan keteladanan dan bulan dimana rezki dimudahkan bagi orang mukmin. Siapa memberi buka kepada orang yang berpuasa maka ia mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya dan lehernya diselamatkan dari api neraka. Ia juga mendapatkan pahalanya tanpa mengurangi pahala orang itu sedikit pun.” Sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidak semua kita bisa memberi buka bagi orang puasa.” Rasulullah menjawab, “Allah memberi pahala yang sama kepada orang yang memberi buka walau sekadar kurma dan seteguk air atau seteguk air susu. Ia adalah bulan dimana permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan, dan ujungnya diselamatkannya seseorang dari neraka. Barangsiapa meringankan budaknya Allah mengampuninya dan membebaskannya dari neraka. Perbanyaklah kalian melakukan empat hal: dua hal pertama Allah ridha kepada kalian, yaitu mengucapkan syahadat tiada ilah selain Allah dan meminta ampunan kepada-Nya. Sedangkan hal berikutnya adalah yang kalian pasti membutuhkannya; yaitu agar kalian meminta surga kepada Allah dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Barangsiapa memberi minum orang berpuasa maka Allah akan memberinya minum dari telagaku yang tidak akan pernah haus sampai dia masuk ke dalam surga.” (Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)

Para sahabat dan salafus-shalih pun senantiasa menyambut bulan Ramadhan dengan bahagia dan persiapan mental dan spiritual. Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatthab menyambutnya dengan menyalakan lampu-lampu penerang di masjid-masjid untuk ibadah dan membaca Al-Qur’an. Dan konon, Umar adalah orang pertama yang memberi penerangan di masjid-masjid. Sampai pada zaman Ali bin Abi Thalib. Di malam pertama bulan Ramadhan ia datang ke masjid dan mendapati masjid yang terang itu ia berkata, “Semoga Allah menerangi kuburmu wahai Ibnul Khatthab sebagaimana engkau terangi masjid-masjid Allah dengan Al-Qur’an.”
Diriwayatkan Anas bin Malik bahwa para sahabat Nabi saw jika melihat bulan sabit Sya’ban mereka serta merta meraih mushaf mereka dan membacanya. Kaum Muslimin mengeluarkan zakat harta mereka agar yang lemah menjadi kuat dan orang miskin mampu berpuasa di bulan Ramadhan. Para gubernur memanggil tawanan, barangsiapa yang meski dihukum segera mereka dihukum atau dibebaskan. Para pedagang pun bergerak untuk melunasi apa yang menjadi tanggungannya dan meminta apa yang menjadi hak mereka. Sampai ketika mereka melihat bulan sabit Ramadhan segera mereka mandi dan I’tikaf.”
Banyak membaca Al-Qur’an adalah salah satu kegiatan para salafus-shalih dalam menyiapkan diri mereka menyambut Ramadhan. Karena Ramadhan adalah bulan dimana Al-Qur’an diturunkan. Bersedekah dan menunaikan semua kewajiban. Juga menunaikan semua tugas dan kewajiban sebelum datang Ramadhan. Sehingga bisa konsentrasi penuh dalam mengisi hari-hari Ramadhan tanpa terganggu oleh hal-hal lain di luar aktivitas ibadah di bulan suci ini.
Bukan dengan kegiatan fisik dan materi yang mereka siapkan, namun hati, jiwa, dan pikiran yang mereka hadapkan kepada Allah. Bukan sibuk dengan pakaian baru dan beragama makanan untuk persiapan lebaran yang mereka siapkan, namun semua makanan rohani dan pakaian takwa hingga mendapatkan janji Ramadhan.
Ibnu Mas’ud Al-Ghifari menceritakan,
“سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ -وَأَهَلّ رَمَضَانَ- فَقَالَ: “لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ تَكُوْنَ السَّنَةُ كُلُّهَا رَمَضَانَ”
“Aku mendengar Rasulullah saw –suatu hari menjelang Ramadhan – bersabda, “Andai para hamba mengetahui apa itu Ramadhan tentu umatku akan berharap agar sepanjang tahun itu Ramadhan.”
Marilah kita singsingkan lengan baju dan kencangkan ikat pinggang untuk menyambut jenak-jenak Ramadhan yang kian saat kian mendekat. Semoga kita disampaikan di bulan suci tersebut. Dan kita tidak tahu apakah Ramadhan kali ini kita mendapatinya. Juga kita tidak tahu apakah ketika mendapatinya ia menjadi Ramadhan yang terakhir bagi kita. Seperti tahun-tahun lalu. 

Para Salafus shalih selalu merindukan kedatangan Ramadhan. Untaian doa selalu terucap dari lisan-lisan mereka agar diberi kesempatan menemui Ramadhan sejak enam bulan sebelum Ramadhan tiba. Contohnya, Imam Malik setelah pengajiannya sering menyarankan para murid dan sahabatnya untuk mempelajari bagaimana para sahabat memenej kehidupan ini, termasuk hal-hal yang terkait dengan Ramadhan mereka. Meskipun tidak mendapatkan kesempatan untuk hidup bersama para Sahabat, namun nya mampu meneladani mereka melalui sejarah hidup mereka.
Ma’la Bin Fadhal berkata: “Dulu Sahabat Rasulullah berdoa kepada Allah sejak enam bulan sebelum masuk Ramadhan agar Allah sampaikan umur mereka ke bulan yang penuh berkah itu. Kemudian selama enam bulan sejak Ramadhan berlalu, mereka berdoa agar Allah terima semua amal ibadah mereka di bulan itu. Di antara doa mereka ialah : Yaa Allah, sampaikan aku ke Ramadhan dalam keadaan selamat. Yaa Allah, selamatkan aku saat Ramadhan dan selamatkan amal ibadahku di dalamnya sehingga menjadi amal yang diterima.” (HR. at Thabrani: 2/1226).
Melihat kepada sikap dan doa yang mereka lakukan, terlihat jelas bagi kita bahwa para sahabat dan generasi setelahnya sangat merindukan kedatangan Ramadhan. Mereka sangat berharap dapat berjumpa dengan Ramadhan demi mendapatkan semua janji dan tawaran Allah dan Rasul-Nya dengan berbagai keistimewaan yang tidak terdapat di bulan-bulan lain.
Hal tersebut menunjukkan bahwa para sahabat dan generasi setelahnya betul-betul memahami dan yakin  akan keistimewaan dan janji Allah dan Rasul-Nya yang amat luar biasa seperti rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan) dan keselamatan dari api neraka. Inilah yang diungkapkan Imam Nawawi, “Celakalah kaum Ramadhaniyyin. Mereka tidak mengenal Allah kecuali di bulan Ramadhan.”
Sesungguhnya Rasulullah, sahabat dan generasi setelahnya mengenal Allah sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhan dan di bulan Ramadhan pengenalan mereka kepada Allah lebih bertingkat.
Kedua, saat memasuki Ramadhan
Ketika terbitnya hilal di ufuk pertanda Ramadhan tiba, Rasul dan para sahabat menyambutnya dengan suka cita sembari membacakan doa seperti yang diceritakan Ibnu Umar dalam hadits berikut :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ : اللَّهُ أَكْبَرُ ، اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالأَمْنِ وَالإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَالإِسْلاَم وَالتَّوْفِيقِ لِمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى ، رَبُّنَا وَرَبُّكَ اللَّهُ
“Dari Ibnu Umar dia berkata : Bila Rasul melihat hilal dia berkata : Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman dan taufik kepada yang dicintai Robb kami dan diridhai-Nya. Robb kami dan Robbmu (hilal) adalah Allah.” (HR. Addaromi).
Itulah gambaran nyata dari Rasul  dan para sahabat ketika meyambut kedatangan bulan penuh berkah ini. Bukan dengan hiruk pikuk yang penuh kebisingan dan tabdzir dengan pawai disertai pesta kembang api atau petasan di jalanan sambil keliling kota atau desa memukul beduk dan sebagainya.
Namun, Rasulullah dan para sahabat menyambutnya dengan keyakinan, dan perasaan rindu yang mendalam  akan kebesaran Ramadhan. Dengan harapan, jika amal ibadah Ramadhan dijalankan dengan ikhlas dan khusyu’, mereka akan meraih rahmat, ampunan dan terbebas dari api neraka. Ketiga nikmat itu tidak akan ternilai harganya bagi mereka dibandingkan dengan dunia dan seisinya.
Ketiga, setelah memasuki Ramadhan
Setelah memasuki awal Ramadhan hingga akhir, Rasulullah dan para sahabat meningkatkan ketaqwaan untuk menahan diri dari berbagai syahwat dan perbuatan yang dapat merusak kesempurnaan puasa. Mereka menutup setiap celah syahwat dengan “mengetuk” setiap pintu kebajikan. Seperti syahwat anggota tubuh atau menyakiti orang lain dan semacamnya. Semuanya dilakukan sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari.
Rasulullah dan para sahabat menghidupkan siang dan malam dengan berbagai amal ibadah. Seperti bersedekah, shalat taraweh, berzikir, membaca dan tadabbur Al-Qur’an dan berbagai ibadah lainnya. (Bahkan, ibunda Aisyah pernah berkata bahwa Rasulullah adalah orang yang paling dermawan dan lebih dermawan lagi ketika di bulan Ramadhan.(Muhammad ad-tirmidzi: 164). Artinya, selama Ramadhan Rasulullah dan para sahabat benar-benar menfokuskan diri bertaqorrub kepada Allah melalu training manajemen syahwat dan sekaligus training manajemen ibadah. Dua hal inilah yang mesti dimiliki oleh setiap hamba yang ingin mendapat ridha Allah di dunia dan bertemu dengan-Nya di 
Keempat, ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan
Ketika memasuki sepertiga akhir Ramadhan, akan kita temukan sesuatu yang sangat berbeda pada diri Rasulullah  dengan mayoritas Muslim hari ini. Rasulullah mengencangkan tali ikat pinggangnya pertanda bertambahnya kesungguhan nya untuk beribadah dan menghidupkan malam-malamnya dan  membangunkan keluarganya untuk shalat dan berdzikir agar tidak kehilangan keberkahan yang melimpah ruah pada malam-malam tersebut. danNya menghabiskan waktu tersebut terkhusus untuk beri’tikaf di masijid. (Muttafaq ‘alaihi)
Adapun masyarakat Muslim dewasa ini mayoritas menghabiskan waktu mereka di pasar atau pusat perbelanjaan. Artinya, Rasulullah dan para sahabat lebih giat dalam beribadah di sepertiga akhir Ramadhan, sedangkan mayoritas umat Muslim menghabiskan waktu dan kekayaannya demi kepentingan dunia semata.
Demikianlah gambaran dari manajemen Ramadhan Rasulullah dan para sahabat untuk meraih tujuan puasa Ramadhan yang hakiki.
Dengan semakin dekatnya Ramadhan, semoga kita bisa mempersiapkan diri. Semoga dengan gambaran tersebut kita dapat memenej Ramadhan sebagaimana mereka memenejnya demi meraih tujuan puasa Ramadhan yang hakiki
Bulan Ramadhan merupakan bulan kesembilan dari kalender Hijriyah. Bulan ini menjadi bulan yang sangat istimewa bagi umat Islam. Di bulan ini umat Islam berlomba-lomba –pagi, siang, dan malam- mengerjakan ibadah dan amal kebaikan seperti shalat, membaca Al-Qur’an, bersedekah, mengaji, umrah, memberikan santunan kepada fakir-miskin, dan lainnya. Hal itu tidak mengherankan mengingat bulan Ramadhan adalah bulan dimana amal ibadah dilipatgandakan, pintu kebaikan dibuka seluas-luasnya, dosa-dosa diampuni, dan doa-doa diijabahi. Oleh karena itu umat Islam tidak rela kalau melewatkan bulan Ramadhan begitu saja, tanpa diisi dengan amal ibadah sebanyak-banyaknya.  
Lantas bagaimana dengan kebiasaan Nabi Muhammad selama bulan Ramadhan? Apa saja yang dilakukan beliau saat bulan bulan Ramadhan? Nabi Muhammad berpuasa sembilan kali Ramadhan sepanjang hayatnya: delapan kali berpuasa selama 29 hari dan sekali berpuasa selama 30 hari. Dalam sistem kalender Hijriyah –yang dipakai umat Islam- setiap bulannya itu 29 hari dan terkadang 30 hari, tidak sampai 31 hari sebagaimana sistem kalender Masehi. Nabi Muhammad sangat memuliakan, merindukan, mengenang, dan mengistimewakan bulan Ramadhan. Beliau mengerjakan hal-hal positif dan amal ibadah saat bulan Ramadhan, baik sebelum ataupun setelah beliau diangkat menjadi Rasul. 
Nabi Muhammad berkhalwat (memencilkan diri) atau bertahannus (mengheningkan pikiran) di Gua Hira ketika bulan Ramadhan tiba. Dengan bekal roti kering, kurma, dan air yang disiapkan istrinya, Sayyidah Khadijah, beliau berada di Gua Hira sebulan penuh dan baru pulang ke rumah setelah bulan Ramadhan habis.  Beliau bermunajat, bertaqarrub, dan bermujahadah kepada Tuhan. Nabi Muhammad melakukan itu beberapa kali setiap bulan Ramadhan tiba sampai benar-benar dirasakan terbukanya hijab bagi hati dan pikirannya. Hingga suatu saat, Malaikat Jibril mendatangi dan memberinya wahyu dari Allah, Tuhan sekalian alam. Dan sejak saat itu, Nabi Muhammad dikukuhkan menjadi Rasul Allah. Sementara ketika sudah menjadi nabi dan rasul, Nabi Muhammad lebih giat lagi mengerjakan ibadah, baik yang bersifat personal ataupun sosial. Diantaranya tadarus Al-Qur’an. Selama bulan Ramadhan, Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad setiap malamnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Beliau selalu mentadaruskan Al-Qur’an di hadapan Jibril setiap malam bulan Ramadhan.  Kegiatan tadarus bersama itu baru berhenti ketika Nabi Muhammad melaksanakan i’tikaf terakhir di Masjid Nabawi. Pada saat itu, Nabi Muhammad menyampaikan kepada putrinya bahwa Malaikat Jibril tidak akan datang lagi pada bulan Ramadhan berikutnya. Itu menjadi isyarat bahwa tahun depan Nabi Muhammad tidak akan bertemu lagi dengan bulan Ramadhan. Dan benar, pada tahun itu Nabi Muhammad wafat setelah musim haji selesai.  
Sebagaimana satu riwayat, puasa dan Al-Qur’an yang dibaca pada malam Ramadhan akan memberikan syafaat kepada orang yang mengerjakannya kelak pada hari kiamat.  “Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: “Ya Rabbi, aku mencegahnya dari makan dan minum di siang hari”, ِAl-Qur’an juga berkata: “Aku mencegahnya dari tidur dimalam hari, maka kami mohon syafaat buat dia.” Beliau bersabda: “Maka keduanya dibolehkan memberi syafaat.” (HR. Ahmad) Ibadah lainnya yang digiatkan Nabi Muhammad selama bulan Ramadhan adalah bersedekah kepada sesama. Dalam satu hadits riwayat Tirmidzi, Nabi Muhammad menegaskan bahwa sedekah yang paling baik adalah sedekah pada bulan Ramadhan. Selain itu, Nabi Muhammad mengatakan kalau siapapun yang memberi makan orang yang sedang berpuasa maka ia akan mendapatkan pahala yang sama dengan orang yang berpuasa. Di samping itu, Nabi Muhammad juga menggiatkan ibadah umrah pada bulan Ramadhan. Beliau menekankan bahwa pahala umrah pada bulan Ramadhan itu sama seperti pahala haji. 



RAMADHAN adalah bulan diturunkannya Al Qur`an. Bahkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa di tiap tahunnya Jibril Alaihissalam membacakan Al Qur`an kepada Rasulullah SAW, dan itu dilakukan di tiap-tiap malam selama Ramadhan.
Oleh sebab itu, dengan berpedoman dengan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa terus-menerus membaca Al Qur`an di bulan Ramadhan akan menambah kemulyaan bulan itu. (Fath Al Bari,9/52).
Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan dengan didasari keimanan dan keikhlasan, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Riwayat Al Bukhari).
Karena itulah, para salaf dan ulama amat memperhatikan amalan tilawah, qiyam Ramadhan, serta pengkajian keilmuan, sehingga mereka siap bermujahadah dalam melakukan amalan-amalan itu.
Adalah Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Disebutkan dalam Hilyah Al Auliya (2/224) bahwa beliau mengkhatamkan Al Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6 hari.
Tidak hanya bermujahadah dalam menghatamkan Al Qur`an, dalam ibadah shalat, Imam Adz Dzahabi menyebutkan bahwa tabi’in ini melakukan shalat 6 ratus rakaat dalam sehari semalam. (Al Ibar wa Al Idhadh, 1/86).
Adapula Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini menghatamkan Al Qur`an sekali tiap pekan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau menghatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan apabila datang sepuluh hari terakhir beliau menghatamkannya sekali dalam semalam .(Al Hilyah, 2/228).
Tabi’in lain, Abu Al Abbas Atha’ juga termasuk mereka yang “luar biasa” dalam tilawah. Di hari-hari biasa ia menghatamkan Al Qur`an sekali dalam sehari. Tapi di bulan Ramadhan, Abu Al Abbas mampu menghatamkan lebih banyak daripada itu. (Al Hilyah 10/302).
Sedangkan Said bin Jubair, dalam Mir’ah Al Jinan, Al Yafi’i menyebutkan sebuah riwayat, bahwa di suatu saat tabi’in ini membaca Al Qur`an di Al Haram, lalu beliau berkata kepada Wiqa’ bin Abi Iyas pada bulan Ramadhan: “Pegangkan Mushaf ini”, dan ia tidak pernah beranjak dari tempat duduknya itu, kacuali setelah menghatamkan Al Qur`an.Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair, beliau pernah mengatakan: “Jika sudah masuk sepuluh hari terakhir, aku melakukan mujahadah yang hampir tidak mampu aku lakukan.”
Beliau juga menasehati: “Di malam sepuluh terakhir, jangan kalian matikan lentera.” Maksudnya, agar umat Islam menghidupkan malamnya dengan membaca Al Qur`an.
Thabaqat Fuqaha Madzhab An Nu’man Al Mukhtar, yang dinukil oleh Imam Laknawi dalam Iqamah Al Hujjah (71,72) disebutkan periwayatan bahwa dalam bulan Ramadhan Said bin Jubair mengimami shalat dengan dua qira`at, yakni qira`at Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit.
Manshur bin Zadan, termasuk tabi’in yang terekam amalannya di bulan diturunnya Al Qur`an ini. Hisham bin Hassan bercerita, bahwa di bulan Ramadhan, Manshur mampu menghatamkan Al Qur`an di antara shalat Maghrib dan Isya’, hal itu bisa beliau lakukan dengan cara mengakhirkan shalat Isya hingga seperempat malam berlalu. Dalam hari-hari biasapun beliau mampu menghatamkan Al Qur`an sekali dalam sahari semalam. (Al Hilyah, 3/57).
Tidak ketinggalan pula Imam Mujahid, salah satu tabi’in yang pernah berguru langsung dengan Ibnu Abbas juga amat masyur dengan mujahadahnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad yang shahih, bahwa tabi’in ahli tafsir ini juga menghatamkan Al Qur`an pada bulan Ramadhan di antara maghrib dan isya.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Abu Hanifah termasuk pada golongan tabi`in, karena telah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik. Banyak riwayat yang menegaskan bahwa beliau adalah ulama yang ahli ibadah. Yahya bin Ayub, ahli zuhud yang semasa dengan beliau mengatakan: Tidak ada seorangpun yang datang ke Makkah, pada zaman ini lebih banyak shalatnya dibanding dengan Abu Hanifah.
Karena itu beliau dijuluki Al Watad (tiang) karena banyak shalat (Tahdzib Al Asma, 2/220). Lalu, bagaimana amalan ulama ahli ibadah ini dalam bulan Ramadhan?
Orang yang melakukan shalat fajar dengan wudhu isya selama 40 tahun ini menghatamkan Al Qur`an 2 kali dalam sehari di bulan Ramadhan, pada waktu siang sekali, dan pada waktu malam sekali (Manaqib Imam Abu Hanifah, 1/241-242).
Bahkan disebutkan oleh Imam Al Kardari bahwa Abu Hanifah termasuk 4 imam yang bisa menghatamkan Al Qur`an dalam 2 rakaat, mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim Ad Dari, Said bin Jubair, serta Abu Hanifah sendiri.
Persiapan Para Salaf Menghadapi Ramadhan
Jika di Bulan Ramadhan para salaf mampu melakukan amalan-amalan “berat”. Bagaimana persiapan mereka sebelum memasuki bulan suci ini? Ternyata para salaf sudah melakukan persiapan yang cukup maksimal. Ini bisa dilihat dari mujahadah mereka sebelum Ramadhan.
Habib bin Abi Tsabit mengatakan: “Bulan Sya’ban adalah bulan qura` (para pembaca Al Qur`an)”. Sehingga pada bulan itu, para salaf konsentrasi terhadap Al Qur`an. Salah satu diantara mereka adalah Amru bin Qais, ahli ibadah yang wafat tahun 41 Hijriyah ini, ketika Sya’ban tiba, ia menutup tokonya dan tidak ada aktivitas yang ia lakukan selain membaca Al Qur`an.
Bulan Ramadhan di pandangan para salaf adalah bulan mulia yang amat dinanti-nanti, sehingga mereka mempersiapkan jauh-jauh untuk menyambut “tamu idaman” ini, yakni dua bulan sebelum bulan suci datang.

Benarlah sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) tentang keunggulan generasi salaf: “Sebaik-baik zaman adalah di zamanku (sahabat), kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian orang sesudah mereka (atba’ tabi’in).” (Riwayat Bukhari).
Mujahadah salaf selama bulan Ramadhan membuktikan kebenaran sabda Rasulullah di atas. Khususnya dalam melakukan amalan shalat dan membaca Al Qur`an, mujahadah mereka amat susah untuk ditandingi oleh umat Islam generasi terakhir. Bahkan bisa jadi mereka menilai bahwa amalan itu mustahil dilakukan!. Dalam beberapa literatur Islam, seperti Hilyah Al Auliya karya Al Hafidz Abu Nu’aim dan Thabaqat Al Qura`n, karya Imam Ad Dzahabi, mujahadah para salaf, khususnya para tabi’in, terekam dengan baik. Bahkan dalam Al Hilyah, periwayatan itu disertai dengan sanad lengkap.
Nah, bagaimana sebenarnya mujahadah mereka selama bulan Ramadhan? Serta seperti apa persiapan mereka dalam menyambut bulan itu? Tulisan kali ini akan mengupas bagamana para salaf dan ulama bermujahadah di bulan mulia itu. Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al Qur`an. Bahkan Imam Al Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya, bahwa di tiap tahunnya Jibril Alaihissalam membacakan Al Qur`an kepada Rasulullah SAW, dan itu dilakukan di tiap-tiap malam selama RamadhanOleh sebab itu, dengan berpedoman dengan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa terus-menerus membaca Al Qur`an di bulan Ramadhan akan menambah kemulyaan bulan itu. (Fath Al Bari,9/52). Rasulullah SAW juga bersabda: “Barang siapa melakukan qiyam Ramadhan dengan didasari keimanan dan keikhlasan, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Riwayat Al Bukhari). Karena itulah, para salaf dan ulama amat memperhatikan amalan tilawah, qiyam Ramadhan, serta pengkajian keilmuan, sehingga mereka siap bermujahadah dalam melakukan amalan-amalan itu.
Adalah Aswad bin Yazid An Nakha’i Al Kufi. Disebutkan dalam Hilyah Al Auliya (2/224) bahwa beliau mengkhatamkan Al Qur`an dalam bulan Ramadhan setiap dua hari, dan beliau tidur hanya di waktu antara maghrib dan isya, sedangkan di luar Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an dalam waktu 6 hari. Tidak hanya bermujahadah dalam menghatamkan Al Qur`an, dalam ibadah shalat, Imam Adz Dzahabi menyebutkan bahwa tabi’in ini melakukan shalat 6 ratus rakaat dalam sehari semalam. (Al Ibar wa Al Idhadh, 1/86).
Adapula Qatadah bin Diamah, dalam hari-hari “biasa”, tabi’in ini menghatamkan Al Qur`an sekali tiap pekan, akan tetapi tatkala Ramadhan tiba beliau menghatamkan Al Qur`an sekali dalam tiga hari, dan apabila datang sepuluh hari terakhir beliau menghatamkannya sekali dalam semalam .(Al Hilyah, 2/228).
Tabi’in lain, Abu Al Abbas Atha’ juga termasuk mereka yang “luar biasa” dalam tilawah. Di hari-hari biasa ia menghatamkan Al Qur`an sekali dalam sehari. Tapi di bulan Ramadhan, Abu Al Abbas mempu menghatamkan 3 kali dalam sehari. (Al Hilyah 10/302).
Sedangkan Said bin Jubair, dalam Mir’ah Al Jinan, Al Yafi’i menyebutkan sebuah riwayat, bahwa di suatu saat tabi’in ini membaca Al Qur`an di Al Haram, lalu beliau berkata kepada Wiqa’ bin Abi Iyas pada bulan Ramadhan: “Pegangkan Mushaf ini”, dan ia tidak pernah beranjak dari tempat duduknya itu, kacuali setelah menghatamkan Al Qur`an.
Diriwayatkan juga dari Said bin Jubair, beliau pernah mengatakan: “Jika sudah masuk sepuluh hari terakhir, aku melakukan mujahadah yang hampir tidak mampu aku lakukan.” Beliau juga menasehati: “Di malam sepuluh terakhir, jangan kalian matikan lentera.” Maksudnya, agar umat Islam menghidupkan malamnya dengan membaca Al Qur`an.
Thabaqat Fuqaha Madzhab An Nu’man Al Mukhtar, yang dinukil oleh Imam Laknawi dalam Iqamah Al Hujjah (71,72) disebutkan periwayatan bahwa dalam bulan Ramadhan Said bin Jubair mengimami shalat dengan dua qira`at, yakni qira`at Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Tsabit.
Manshur bin Zadan, termasuk tabi’in yang terekam amalannya di bulan diturunnya Al Qur`an ini. Hisham bin Hassan bercerita, bahwa di bulan Ramadhan, Manshur mampu menghatamkan Al Qur`an di antara shalat Maghrib dan Isya’, hal itu bisa beliau lakukan dengan cara mengakhirkan shalat Isya hingga seperempat malam berlalu. Dalam hari-hari biasapun beliau mampu menghatamkan Al Qur`an sekali dalam sahari semalam. (Al Hilyah, 3/57).
Tidak ketinggalan pula Imam Mujahid, salah satu tabi’in yang pernah berguru langsung dengan Ibnu Abbas juga amat masyur dengan mujahadahnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dawud dengan sanad yang shahih, bahwa tabi’in ahli tafsir ini juga menghatamkan Al Qur`an pada bulan Ramadhan di antara maghrib dan isya.
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa Abu Hanifah termasuk pada golongan tabi`in, karena telah bertemu dengan sahabat Anas bin Malik. Banyak riwayat yang menegaskan bahwa beliau adalah ulama yang ahli ibadah. Yahya bin Ayub, ahli zuhud yang semasa dengan beliau mengatakan: Tidak ada seorangpun yang datang ke Makkah, pada zaman ini lebih banyak shalatnya dibanding dengan Abu HanifahKarena itu beliau dijuluki Al Watad (tiang) karena banyak shalat (Tahdzib Al Asma, 2/220). Lalu, bagaimana amalan ulama ahli ibadah ini dalam bulan Ramadhan? Orang yang melakukan shalat fajar dengan wudhu isya selama 40 tahun ini menghatamkan Al Qur`an 2 kali dalam sehari di bulan Ramadhan, pada waktu siang sekali, dan pada waktu malam sekali (Manaqib Imam Abu Hanifah, 1/241-242). Bahkan disebutkan oleh Imam Al Kardari bahwa Abu Hanifah termasuk 4 imam yang bisa menghatamkan Al Qur`an dalam 2 rakaat, mereka adalah Utsman bin Affan, Tamim Ad Dari, Said bin Jubair, serta Abu Hanifah sendiri.
Jika di Bulan Ramadhan para salaf mampu melakukan amalan-amalan “berat”. Bagaimana persiapan mereka sebelum memasuki bulan suci ini? Ternyata para salaf sudah melakukan persiapan yang cukup maksimal. Ini bisa dilihat dari mujahadah mereka sebelum Ramadhan.
Habib bin Abi Tsabit mengatakan: “Bulan Sya’ban adalah bulan qura` (para pembaca Al Qur`an)”. Sehingga pada bulan itu, para salaf konsentrasi terhadap Al Qur`an. Salah satu diantara mereka adalah Amru bin Qais, ahli ibadah yang wafat tahun 41 Hijriyah ini, ketika Sya’ban tiba, ia menutup tokonya dan tidak ada aktivitas yang ia lakukan selain membaca Al Qur`an.
Bulan Ramadhan di pandangan para salaf adalah bulan mulia yang amat dinanti-nanti, sehingga mereka mempersiapkan jauh-jauh untuk menyambut “tamu idaman” ini, yakni dua bulan sebelum bulan suci datang. Sudahkah mempersiapkannya sebagaimana para salaf bersiap-siap?
Ramadhan Para Ulama
Diungkap dengan gamblang di tulisan sebelumnya, gambaran mujahadah Ramadhan para salaf, khususnya para tabi’in. Lalu bagaimana dengan generasi sesudahnya? Ternyata masih ada juga dari kalangan ulama yang meneruskan “tradisi baik” ini.
Sebagai contah, Imam Syafi’i (204 H), beliau dalam bulan Ramadhan biasa menghatamkan Al Qur’an dua kali dalam semalam, dan itu dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an enam puluh kali dalam sebulan (Tahdzib Al Asma’ wa Al Lughat, 1/ 45)
Al Qazwini (590 H), seorang ulama madzhab Syafi’i yang masuk golongan mereka yang bermujahadah dalam bulan Ramadhan, akan tetapi aktivitas beliau agak berbeda dengan amalan-amalan para ulama lain. Setelah shalat tarawih, beliau membuka majelis tafsir yang dihadiri banyak orang. Beliau menafsirkan surat demi surat semalam suntuk, hingga datang waktu shubuh. Kemudian beliau melakukan shalat shubuh bersama para jama’ah dengan wudhu isya’. Sekan tidak memiliki rasa lelah, setelah itu beliau mengajar di madrasah Nidhamiyah sebagaimana biasanya. (Thabaqat As Syafi’iah Al Kubra, 6/10).
Ali Khitab bin Muqallad (629 H), seorang ulama Bagdad yang hidup di masa khalifah Al Muntashir, dalam Ramadhan mampu menghatamkan Al Qur’an 90 kali, dan di hari biasa beliau menghatamkan sekali dalam sehari. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/294).
Adapun untuk mempersiapkan Ramadhan, kita bisa belajar dari Taqi Ad Din As Subki (756 H). Beliau memiliki kebiasaan dikala datang bulan Rajab, yakni tidak pernah keluar dari rumah kecuali untuk melakukan shalat wajib, dan hal itu terus berjalan hingga Ramadhan tiba. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/168).
Ini ditempuh supaya beliau lebih bisa konstrasi beribadah, sehingga ketika Ramadhan telah tiba, fisik dan batin sudah memiliki kesiapan untuk melakukan dan meningkatkan mujahadah dalam beribadah.
Selai itu, adapula Khatib As Syarbini (977 H), ulama Mesir penulis Mughni Al Muhtaj, juga memiliki cara tersendiri agar bisa konsentrasi melakukan ibadah ketika Ramadhan tiba. Yakni, tatkala terlihat hilal Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di masjid Al Azhar, dan tidak pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni Al Muhtaj, 1/5)
Bukan hal yang mustahil
Dan informasi amalan salaf itu sulit untuk ditolak, karena periwatan tentang kabar mujahadah para salaf juga menyertakan sanad yang semua perawinya tsiqah, bahkan hingga kini sebagian tradisi itu masih tetap hidup di beberapa wilayah.
Di India pada abad 13 H atau kebiasaan shalat tarawih dengan menghatamkan 30 juz dalam semalam masih dilestarikan. Hal itu diketahui dari fatwa Imam Laknawi, ulama madzhab Hanafi dari India yang wafat 1304 H, mengenai bolehnya menghatamkan Al Qur`an 30 juz dalam semalam di waktu tarawih, guna merespon pertanyaan-pertanyaan mengenai kebiasaan umat Islam menghatamkan Al Qur`an dalam tarawih di zaman itu. (Iqamat Al Hujjah, 154)
Bahkan hingga kini di Mesir, khususnya di wilayah Hay (distrik) As Syafi’i Kairo, para huffadz Al Qur`an berkumpul untuk melaksanakan shalat tarawih di masjid Ibad Ar Rahman, yang dimulai setelah Isya’ dan baru selesai ketika tiba waktu sahur, karena sang imam menghatamkan Al Qur`an hingga 30 juz, dengan bacaan yang agak cepat, tanpa mengabaikan tajwid dan makharij al huruf (tempat-tempat keluarnya huruf). Tentu, amat berat untuk bisa mengikuti shalat tarawih hingga selesai di masjid ini, kecuali bagi mereka yang punya azam tinggi dan telah hafal Al Qur`an 30 juz.
Bertentangan dengan Perbuatan Rasulullah?
Mungkin ada yang bertanya-tanya, apakah perbuatan para ulama dan salaf, seperti menghatamkan Al Qur`an dalam sehari lebih dari sekali, meninggalkan tidur untuk qiyam lail, serta mujahadah lain tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu ‘anha? Yang berbunyi: “Aku tidak mengetahui Nabi Allah membaca Al Qur’an hingga pagi.” (Riwayat Ibnu Majah).
Begitu pula hadits dari Abdullah bin Amru, dimana Rasulullah bersabda: “Tidakkah aku dikabari bahwa engkau menghabiskan malam untuk shalat dan berpuasa di siang hari?” Aku menjawab, “benar.” Beliau mengatakan,”Sesungguhnya jika engkau melakukan hal itu matamu akan rusak dan hatimu akan lemah. Karena badanmu dan keluargamu memiliki hak, berpuasalah dan berbukalah, shalatlah dan tidurlah” .(Riwayat Al Bukhari).
Imam Laknawi menjelaskan bahwa nabi tidak melakukan amalan-amalan yang berat, karena takut memberatkan umatnya. Sebagaimana diterangkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha: ”Jika Rasulullah meninggalkan sebuah amalan yang beliau sukai, itu dikarenakan beliau takut jika manusia mengamalkannya, dan hal itu menjadi fardhu bagi mereka.” (Riwayat Al Bukhari).
Adapun mengenai hadist Abdullah bin Amru, Rasulullah SAW mengetahui keadaan Abdullah, jika ia melakukannya maka justru akan membuatnya bosan dalam beribadah dan lalai terhadap kewajiban yang lain. Oleh karena itulah Rasulullah SAW menasehatinya.
Kesimpulannya, amalan memperbanyak ibadah tetap dibolehkan, selama tidak melalaikan kewajiban lain. Karena dalam hadits riwayat Al Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah Saw. melakukan shalat malam hingga kaki beliau bengkak. Di kesempatan lain beliau juga memerintahkan kepada beberapa sahabat agar malakukan amalan sesuai dengan kemampuan. Tentu, kemampuan masing-masing pribadi berbeda-beda. Dan Rasulullah SAW juga memerintahkan kita untuk mengikuti para sahabat beliau. Dan banyak sahabat beliau yang melakukan mujahadah dalam Ibadah, dan itu tidak diingkari oleh sahabat lain.
Yaman, walau terletak di wilayah yang “kurang strategis”, seperti Hijaz, yang selalu dikunjungi umat Islam dari seluruh negeri untuk haji dan ziarah serta tanahnya yang tandus, sehingga jarang disinggahi pedagang, tetapi Yaman memiliki “nuansa” tersendiri bagi para penuntut ilmu. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani adalah salah satu dari mereka yang tertarik , hingga beliau mengunjungi negeri ini untuk menimba ilmu.
Itu disebabkan karena di Yaman banyak terdapat ulama, dan memiliki tradisi keilmuan yang cukup kental, sehingga memberi kontribusi besar lahirnya para ulama fiqih dan hadits. Imam Al Umrani (558 H), penulis Al Bayan, Al Quraidhi Al Lahji (576 H), penulis Al Mustashfa, As Shan’ani (1182 H) penulis Subul Al Salam, Imam As Syaukani (1250 H), penulis Nail Al Authar, atau Abdurrahman Al Ahdal Al Yamani (1258 H) penulis Hasyiyah Syarh Al Madhal, semuanya termasuk deretan ulama negeri itu, yang tidak diragukan kapasitasnya, baik dalam fiqih maupun hadits. Maka benarlah sabda Rasulullah Saw.:”Iman dari orang Yaman, Fiqih dari orang Yaman, Hikmah Yaman.” (Riwayat Al Bukhari)
Hal ini tidaklah mengherankan, karena, baik ulama maupun awam mereka memiliki perhatian terhadap ilmu, terutama Sunnah, apalagi terhadap Shahih Al Bukhari. Mereka semangat mengkaji, berlomba-lomba menghafal dan memperoleh sanad. Sehingga aktivitas menyimak Shahih Al Bukhari “menghidupkan” masjid-masjid, madrasah-madrasah, dan rumah-rumah penduduk.
Shahih Al Bukhari diprioritaskan, karena diakui oleh para ulama bahwa kitab ini memiliki derajat lebih tinggi dibanding kitab hadits lain.
Pada tahap selanjutnya, menyebarlah “tradisi positif” di berbagai wilayah Yaman, yakni dengan menjamurnya halaqah Shahih Al Bukhari di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.
Imam Al Ahdal menjelaskan beberapa alasan, kenapa dipilih Rajab sebagai waktu permulaan halaqah. Karena bulan itu sudah mendekati Ramadhan, yang mana di dalamnya syariat puasa, zakat, qiyam lail digalakkan, sehingga umat Islam lebih memahami amalan-amalan itu. Apalagi setelah itu diikuti amalan haji yang menyangkut manasik dan safar. (Al Mustashfa,15)
Disamping itu, dengan adanya halaqah ini, maka mereka sudah terkondisi dengan aktivitas positif, yakni thalabul ilmi, sehingga setelah memasuki bulan Ramadhan, waktu tetap terisi dengan amalan mulia.
Membaca Shahih Al Bukhari yang dilakukan untuk menyambut Ramadhan ini mulai muncul di awal masa pemerintah Bani Rasul pada tahun 625 H. Dimana penguasa itu memiliki perhatian besar terhadap keilmuan, khususnya hadits dan memulyakan para ulamanya.
Al Hazraji pernah merekam aktivitas ini pada tahun 881 H, dimana di awal bulan Rajab, para fuqaha berkumpul di daerah Zabid, Yaman. Lalu mereka bersama-sama menuju Ibnu Yaqub As Syairazi agar ia bersedia membacakan Shahih Al Bukhari. Di kota yang mendapat julukan madinah ilmi itu para ulama yang hadir untuk menyimak Shahih Al Bukhari mencapai 800 orang. (Al ‘Uqud Al Lu’lu’iyah, 2/249,250).
Selain di Zabid, di kota Al Marawa’ah juga terdapat halaqah Shahih Al Bukhari yang telah dirintis oleh Al Ahdal Ali bin Umar (607 H), dan hingga kini “tradisi” itu juga masih hidup, khususnya halaqah yang dimulai bulan Rajab.
Kota Bait Faqih pun tidak ketinggalan, halaqah Shahih Al Bukhari di wilayah itu dirintis oleh keluarga Alu Jam’an, yang dikenal sebagai keluarga yang amat mencintai ilmu, periwayatan hadits dan fatwa.
Sedangkan di kota Adn, halaqah kitab yang dinilai paling shahih setelah Al Qur’an itu lebih mudah ditemui, karena terdapat di lebih dari satu tempat. Yakni di masjid Syeikh Abdullah Al Amudi (697 H), masjid Husain Sidiq Al Ahdal (903 H), masjid Al Atsqalani yang dinisbatkan kepada Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqalani yang pernah tinggal di kota ini selama 6 bulan. Di masjid itu Syeikh Al Muhadits Al Bijani (1391 H) juga mengajarkan Shahih Al Bukhari, sehingga saat ini masjid itu dikenal dengan masjid Al Bijani. Di kota Abyat Husain juga masih terdapat halaqah ini.
Halaqah Shahih Al Bukhari seperti jamur di musim hujan, beberapa kota seperti Zaidiyah, Dhuha, Al Hadidah, dan Ta’z juga masih hidup. Halaqah itu juga biasa dijumpai di komunitas Hadrami.
Oleh karena itu, banyak Muslim Yaman yang memiliki sanad yang menyambung hingga Imam Al Bukhari, dan sanad itu masih terus tersambung sampai zaman ini, yang merupakan lanjutan dari rantai periwayatan para ulama dan hufadz ternama di setiap zaman.
Sesuai dengan perkataan para salaf ,”Bulan Rajab untuk menanam, Sya’ban untuk menyiram dan Ramadhan untuk menyemai”. Rupanya, umat Islam Yaman tidak hanya menyemai pahala amalan pada bulan itu, karena banyak pula ilmu yang berhasil mereka “reguk” selama tiga bulan. Sehingga ilmu dan amal selalu beriringan 
Sebagai contah, Imam Syafi’i (204 H), beliau dalam bulan Ramadhan biasa menghatamkan Al Qur’an dua kali dalam semalam, dan itu dikerjakan di dalam shalat, sehingga dalam bulan Ramadhan beliau menghatamkan Al Qur`an enam puluh kali dalam sebulan (Tahdzib Al Asma’ wa Al Lughat, 1/ 45)
Al Qazwini (590 H), seorang ulama madzhab Syafi’i yang masuk golongan mereka yang bermujahadah dalam bulan Ramadhan, akan tetapi aktivitas beliau agak berbeda dengan amalan-amalan para ulama lain. Setelah shalat tarawih, beliau membuka majelis tafsir yang dihadiri banyak orang. Beliau menafsirkan surat demi surat semalam suntuk, hingga datang waktu shubuh. Kemudian beliau melakukan shalat shubuh bersama para jama’ah dengan wudhu isya’. Sekan tidak memiliki rasa lelah, setelah itu beliau mengajar di madrasah Nidhamiyah sebagaimana biasanya. (Thabaqat As Syafi’iah Al Kubra, 6/10).
Ali Khitab bin Muqallad (629 H), seorang ulama Bagdad yang hidup di masa khalifah Al Muntashir, dalam Ramadhan mampu menghatamkan Al Qur’an 90 kali, dan di hari biasa beliau menghatamkan sekali dalam sehari. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 8/294).
Adapun untuk mempersiapkan Ramadhan, kita bisa belajar dari Taqi Ad Din As Subki (756 H). Beliau memiliki kebiasaan dikala datang bulan Rajab, yakni tidak pernah keluar dari rumah kecuali untuk melakukan shalat wajib, dan hal itu terus berjalan hingga Ramadhan tiba. (Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 10/168).
Ini ditempuh supaya beliau lebih bisa konstrasi beribadah, sehingga ketika Ramadhan telah tiba, fisik dan batin sudah memiliki kesiapan untuk melakukan dan meningkatkan mujahadah dalam beribadah.
Selain itu, adapula Khatib As Syarbini (977 H), ulama besar Mesir penulis Mughni Al Muhtaj, juga memiliki cara tersendiri agar bisa konsentrasi melakukan ibadah ketika Ramadhan tiba. Yakni, tatkala terlihat hilal Ramadhan, beliau bergegas dengan perbekalan yang cukup untuk ber’itikaf di masjid Al Azhar, dan tidak pulang, kecuali setelah selesai menunaikan shalat ied. (lihat, biografi singkat As Syarbini dalam Mughni Al Muhtaj, 1/5)
Di India Tarawih dengan Bacaan 30 Juz 
Di India pada abad 13 H kebiasaan shalat tarawih dengan menghatamkan 30 juz dalam semalam masih dilestarikan. Hal itu diketahui dari fatwa Imam Laknawi, ulama madzhab Hanafi dari India yang wafat 1304 H, mengenai bolehnya menghatamkan Al Qur`an 30 juz dalam semalam di waktu tarawih, guna merespon pertanyaan-pertanyaan mengenai kebiasaan umat Islam menghatamkan Al Qur`an dalam tarawih di zaman itu. (Iqamat Al Hujjah, 154)


(A Muchlishon Rochmat)

Comments

Popular posts from this blog

Darul Quran Mina (DQM)

Darul Qur'an Mina (DQM) Profil & Kegiatan Darul Qur'an Mina (DQM) Wakaf Bangunan DQM   Update Laporan Donasi Wakaf Bangunan DQM    Youtube DQM Channel (English)   Youtube Kajian Tafsir   Youtube Belajar Bahasa Arab   Murattal & Tadabbur al-Quran:  Murattal al-Qur'an Berbagai Qari Masyhur (MP4)   Murattal Al-Quran Qari Utama (MP4)   The Glorious Noble Qur'an -Syaikh Abu Bakr Ash-Shatery, Eng Trans (MP4)   Tadabbur/Tafsir al-Quran (MP3 &MP4)   Tafsir Al-Quran   Ilmu al-Quran (Ulumul Quran) -MP4 Tajwid/Ilmu Tajwid    Belajar Membaca & Tadabbur al-Qur'an (Html,MP3 dan MP4)   Kajian Hadist (Study of Hadith)    Murattal al-Quran Semua List Qari Masyhur (MP3)   Murattal Al-Quran Semua Qori (MP3)   Perpustakaan Audio Quran MP3 Semua Qari   Murattal Al-Quran 30 Juz (MP3 Audio)   List Murattal Al-Qur'an (MP3 Audio) & Tafsir   ...

Explanation of Hadith Sahih al-Bukhari Based on Fath al-Bari

  Explanation of Hadith Sahih al-Bukhari   Based on Fath al-Bari Ibn Hajar Biography of Imam al-Bukhari    Biography of Ibn Hajar Asqalaani   Explanation Based on Fath al-Bari Ibn Hajar:  1       2     3       4       5       6      7       8       9       10       11       12       13       14      15       16      17     19     20      21      22      23       24      25       26       27       28       29       30&31    

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap (PDF dan CHM)

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap (PDF dan CHM) Untuk bisa memahami Qur’an dengan utuh, kita sangat memerlukan bantuan buku tafsir yang berisikan penjelasan dari para sahabat Nabi dan para ulama setelahnya tentang makna dan kandungan al-Qur’an. Mengapa? Sebab tidak bisa dan tidak boleh kita menafsirkan al-Qur’an sendiri tanpa bimbingan para ulama. Sebab tanpa bimbingan mereka kita bisa tersesat jauh dari jalan yang benar.  Untuk memahami al-Qur’an bisa saja kita mencoba untuk menerjemahkannya kata per kata sendiri, tanpa merujuk ulama atau buku tafsir yang mu’tabar (dikenal dan diakui validitasnya), akan tetapi bagaimana kalau ternyata yang kita pahami itu salah? Bagaimana kalau ternyata yang kita pahami bertentangan dengan apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan para ulama? Nah karenanya, untuk memahami al-Qur’an gunakankan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Tafsir Ibnu Katsir, yang merupakan salah satu kitab tafs...