Kekalkan Harta dengan Wakaf
Kekalkan Harta dengan Waqaf: Harta Dibawa Mati, Pahala
Terus Mengalir Jadi Investasi Abadi
.
Islam
menyediakan wakaf sebagai fasilitas umat yang ingin menjaga keberkahan dan
kekekalan harta untuk taqarrub kepada Allah, menggapai kebaikan dan ridha-Nya.
Wakaf adalah sedekah yang paling mulia dan bentuk perniagaan terbaik dengan
Allah SWT. Sehingga Allah SWT menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang
yang berwakaf, dengan melimpahkan aliran pahala dan kebaikannya sampai hari
kiamat.
WAKAF tidak menghabiskan harta, justru mengekalkan
harta dan menjadi jalan untuk meraih ridha dan ampunan-Nya, karena nilai
manfaatnya tidak hanya dinikmati di dunia saja, tapi juga dipetik hingga di
akhirat nanti. Wakaf termasuk amal ibadah yang istimewa bagi kaum muslim,
karena pahala amalan ini bukan hanya dipetik ketika pewakaf masih hidup, bahkan
pahalanya juga tetap mengalir terus meskipun pewakaf telah meninggal dunia.
Semakin banyak orang yang memanfaatkannya, maka semakin bertambah pula
pahalanya.
Wakaf
tak hanya mendatangkan manfaat bagi pewakaf, tapi juga penerima wakaf. Karena
saat kita melepas harta sebagai wakaf, maka bulir-bulir kebaikan dan manfaat
akan lahir seiring pahala yang terus mengalir.
WAKAF
MENAHAN ASALNYA DAN MENGALIRKAN HASILNYA
Wakaf
berasal dari perkataan Arab “al-waqf” yang bermakna “al-habsu” (الْحَبْسُ) atau
al-man’u (اَلْمَنْعُ) yang artinya menahan, berhenti, diam, mengekang atau
menghalang. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah,
binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu.
Adapun
secara istilah syariat (terminologi), wakaf berarti menahan hak milik atas
materi harta benda (al-‘ain) dari pewakaf, dengan tujuan menyedekahkan
manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) untuk kebajikan umat Islam,
kepentingan agama dan atau kepada penerima wakaf yang telah ditentukan oleh
pewakaf. Dengan kata lain, wakaf menahan asalnya dan mengalirkan hasilnya.
Orang yang berwakaf berarti melepas kepemilikan atas harta yang bermanfaat,
dengan tidak mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau
kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan
syariat.
Dengan
cara ini, harta wakaf dapat dipergunakan untuk mengatasi berbagai permasalahan
sosial demi kemaslahatan umat secara berkelanjutan tanpa menghilangkan harta
asal: mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi mikro, sarana transportasi,
tempat ibadah, sarana kegiatan dakwah dan sebagainya. Dengan wakaf nilai
kekayaan kekal, manfaat dan kebaikannya akan terus bertambah.
Harta
wakaf hanya berhak digunakan dan dimanfaatkan tanpa berhak memilikinya. Berbeda
dengan zakat yang boleh dimiliki individu dan diperjualbelikan.
Muslim
yang berwakaf bukan saja mendapatkan pahala saat memberikan wakaf, tetapi akan
terus mendapat kucuran pahala selama benda yang diwakafkannya dimanfaatkan
orang lain meskipun pewakaf tersebut sudah meninggal dunia.
PETUNJUK
AL-QUR'AN DAN SUNNAH
Syariat
wakaf merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah sebagai berikut:
لَنْ
تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ
شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kalian
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian
menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang kalian
nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Ali Imran 92).
مَثَلُ
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ
أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ
يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja
yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs Al-Baqarah 261).
وَمَا
تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“...Dan
apa saja harta yang baik yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya
dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan)” (Al-Baqarah 272).
اِذَا
مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ
اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila
manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (macam),
yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).
Para
ulama menafsirkan kalimat “shadaqah jariyah” dalam hadits ini sebagai wakaf.
Imam Nawawi menyatakan bahwa hadits ini merupakan dalil keabsahan wakaf dan
besarnya pahala waqaf. Menurutnya, yang dimaksud dengan sedekah jariyah adalah
wakaf (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 11/85).
...Dibandingkan
sedekah, manfaat waqaf jauh lebih panjang hingga generasi mendatang. Pahalanya
terus mengalir dan berlipat, walau pewakafnya telah meninggal dunia...
KEISTIMEWAAN
DAN KEUTAMAAN WAKAF
Bila
dibandingkan dengan sedekah dan hibah, wakaf memiliki banyak keistimewaan,
kelebihan dan keutamaan. Selain memiliki semua keutamaan sebagaimana sedekah
dan hibah, wakaf memiliki keutamaan khusus dibandingkan dengan sedekah dan
hibah, antara lain:
1.
Bagi orang yang berwakaf (wakif), pahalanya akan terus mengalir sekalipun ia
sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila
manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga (macam),
yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang bermanfaat, dan anak
shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).
Dibandingkan
sedekah dan hibah, manfaat waqaf jauh lebih panjang dan tidak terputus hingga
generasi mendatang, tanpa mengurangi hak atau merugikan generasi sebelumnya,
serta pahalanya yang terus mengalir dan berlipat, walau wakif (orang yang
mewakafkan) telah meninggal dunia.
2.
Harta benda yang diwakafkan tetap utuh terpelihara, terjamin kelangsungannya
dan tidak bisa hilang atau berpindah tangan. Karena secara prinsip barang wakaf
tidak boleh ditasarrufkan (dijual, dihibahkan, atau diwariskan).
3.
Manfaatnya terus dirasakan oleh orang banyak, bahkan lintas generasi, karena
kepemilikan harta wakaf tidak bisa dipindahkan. Materi yang diambil dan
dinikmati oleh penerima wakaf adalah manfaat dari harta wakaf saja, sementara
harta yang diwakafkan tetap utuh dan langgeng.
4.
Setiap saat wakaf menebarkan kebaikan dan meringankan beban orang-orang yang
membutuhkan bantuan seperti fakir miskin, anak yatim, janda, orang yang tidak
punya pekerjaan, para pejuang di jalan Allah, pengajar, penuntut ilmu, dan lain
sebagainya.
5.
Wakaf akan terus memajukan dakwah, menghidupkan lembaga sosial keagamaan,
mengembangkan potensi umat, menyejahterakan umat, memberantas kebodohan,
memutus mata rantai kemiskinan, memupus kesenjangan sosial.
6.
Balasannya adalah surga
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa (yaitu)
orang -orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Qs Ali Imran 133-134).
7.
Dilipatgandakan hingga 700 kali lipat
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap
butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja
yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs Al-Baqarah 261).
...Harta
benda yang diwakafkan tetap utuh terpelihara dan tidak bisa hilang atau
berpindah tangan. Karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditasarrufkan
(dijual, dihibahkan, atau diwariskan)...
NABI
DAN PARA SHAHABAT SEMANGAT BERWAKAF
Dalam
catatan sejarah, pada tahun ketiga Hijriyah Rasulullah SAW mewakafkan ketujuh
kebun kurma di Madinah, di antaranya ialah kebun A’raf Shafiyah, Dalal, Barqah
dan lain-lainnya.
Wakaf
juga dilakukan oleh shahabat Umar bin Khatthab RA. Berbagai riwayat shahih
mencatat bahwa Amirul Mukminin ini memiliki harta paling berharga berupa tanah
di Khaibar. Karena semangat untuk menginfakkan harta yang paling disukai, ia
menemui Rasulullah SAW untuk meminta pendapat tentang apa yang harus dilakukan
dengan tanah tersebut. Rasulullah memberikan petunjuk agar mewakafkannya dengan
mengatakan:
إِنْ
شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَقْتَ بِهَا
“Jika
engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau sedekahkan hasilnya.”
فَتَصَدَّقَ
عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُفَتَصَدَّقَ
بهَا عُمَرُ فِي الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبيلِ
اللهِ، وَابْنِ السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ
“Maka
Umar menyedekahkan tanah di Khaibar tersebut dengan syarat tidak boleh dijual,
tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi, lalu manfaatnya diperuntukkan
kepada fakir miskin, kerabat, memerdekakan budak, jihad, musafir yang kehabisan
bekal, dan menjamu tamu” (HR Bukhari-Muslim).
Setelah
Umar berwakaf, disusul Abu Thalhah RA yang mewakafkan kebun Bairuha
kesayangannya. Lalu disusul oleh shahabat Abu Bakar As-Shiddiq mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang
datang ke Mekkah.
Lalu
diikuti wakaf para shahabat lainnya: Utsman RA menyedekahkan hartanya di
Khaibar. Ali bin Abi Thalib RA mewakafkan tanahnya yang subur; Mu’adz bin Jabal
RA mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan “Darul-Anshar”, kemudian
disusul wakaf Anas bin Malik RA, Abdullah bin Umar RA, Zubair bin Awwam RA, dan
Aisyah RA, dan seterusnya.
RUKUN
WAKAF
Imam
Nawawi dalam kitab Raudhatut- Thalibin menjelaskan bahwa rukun
wakaf ada empat rukun yang harus dipenuhi dalam berwakaf:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju untuk menerima manfaat dari wakaf tersebut),
4. Shighah (lafaz ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan).
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju untuk menerima manfaat dari wakaf tersebut),
4. Shighah (lafaz ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan).
...Muslim
yang berwakaf tak hanya mendapatkan pahala saat menyerahkan wakaf, tapi akan
terus mendapat kucuran pahala meskipun pewakaf tersebut sudah meninggal
dunia...
SYARAT-SYARAT
WAKAF
1.
Syarat-syarat Orang yang Berwakaf (Al-Waqif):
a.
Memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk mewakafkan harta itu
kepada siapa yang ia kehendaki.
b.
Berakal. Tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk.
c.
Berusia balig dan bisa bertransaksi
d.
Mampu bertindak secara hukum (rasyid).
2.
Syarat-syarat Harta yang Diwakafkan (Al-Mauquf).
Harta
yang diwakafkan itu sah dipindahmilikkan, apabila memenuhi beberapa persyaratan
a.
Harta yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
b.
Harta yang diwakafkan itu harus diketahui dan ditentukan bendanya. Jadi apabila
harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan milik tidak
sah.
c.
Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif).
Tidak boleh mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan atau digadaikan
kepada pihak lain.
d.
Harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan)
atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).
Adapun
jenis benda yang diwakafkan ada tiga macam:
a.
Wakaf benda tak bergerak (diam), seperti tanah, rumah, toko, dan semisalnya.
Telah sepakat para ulama tentang disyariatkannya wakaf jenis ini.
b.
Wakaf benda bergerak (bisa dipindah), seperti mobil, hewan, dan semisalnya.
Termasuk dalil yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini adalah hadits:
وَأَمَّا
خَالِدٌ فَقَدْ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Adapun
Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang (atau kuda)-nya di
jalan Allah Ta’ala” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
c.
Wakaf berupa uang.
3.
Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih).
a.
Penerima ditentukan pada pihak tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas orang
yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang
semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah.
Persyaratan
bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa
ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan lit-tamlik),
maka orang muslim, merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh
memiliki harta wakaf. Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak
sah menerima wakaf.
b.
Penerima tidak ditentukan (ghaira mu’ayyan), maksudnya tujuan berwakaf
tidak ditentukan secara terperinci, tapi secara global. Misalnya seseorang
berwakaf untuk kesejahteraan umat Islam, orang fakir, miskin, tempat ibadah,
dan lain sebagainya.
Karena
wakaf hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja, maka syarat penerima wakaf
itu haruslah orang yang dapat menjadikan wakaf itu untuk kemaslahatan yang
mendekatkan diri kepada Allah.
4.
Syarat-syarat Shigah (lafaz ikrar wakaf)
a.
Lafaz ikrar harus berisi kata-kata yang menunjukkan kekalnya wakaf (ta’bid).
Tidak sah kalau ucapan wakaf dibatasi dengan waktu tertentu.
b.
Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa disangkutkan atau
digantungkan kepada syarat tertentu.
c.
Ucapan itu bersifat pasti dan jelas (sharih) yang berarti wakaf dan tidak
mengandung makna lain.
d.
Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua
persyaratan di atas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi
penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan
harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut adalah
orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi
bersifat ghaira tammah.
ekalkan Harta dengan Waqaf: Harta Dibawa Mati, Pahala Terus Mengalir
Jadi Investasi Abadi
.
Islam menyediakan wakaf
sebagai fasilitas umat yang ingin menjaga keberkahan dan kekekalan harta untuk
taqarrub kepada Allah, menggapai kebaikan dan ridha-Nya. Wakaf adalah sedekah
yang paling mulia dan bentuk perniagaan terbaik dengan Allah SWT. Sehingga Allah
SWT menjanjikan pahala yang sangat besar bagi orang yang berwakaf, dengan
melimpahkan aliran pahala dan kebaikannya sampai hari kiamat.
WAKAF tidak menghabiskan harta, justru
mengekalkan harta dan menjadi jalan untuk meraih ridha dan ampunan-Nya, karena
nilai manfaatnya tidak hanya dinikmati di dunia saja, tapi juga dipetik hingga
di akhirat nanti.
Wakaf termasuk amal ibadah yang istimewa bagi kaum muslim,
karena pahala amalan ini bukan hanya dipetik ketika pewakaf masih hidup, bahkan
pahalanya juga tetap mengalir terus meskipun pewakaf telah meninggal dunia.
Semakin banyak orang yang memanfaatkannya, maka semakin bertambah pula
pahalanya
Wakaf tak hanya mendatangkan manfaat bagi pewakaf, tapi juga
penerima wakaf. Karena saat kita melepas harta sebagai wakaf, maka bulir-bulir
kebaikan dan manfaat akan lahir seiring pahala yang terus mengalir.
WAKAF MENAHAN ASALNYA DAN MENGALIRKAN HASILNYA
Wakaf berasal dari perkataan Arab “al-waqf” yang bermakna
“al-habsu” (الْحَبْسُ) atau al-man’u (اَلْمَنْعُ) yang artinya menahan,
berhenti, diam, mengekang atau menghalang. Apabila kata tersebut dihubungkan
dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak
milik untuk faedah tertentu.
Adapun secara istilah syariat (terminologi), wakaf berarti
menahan hak milik atas materi harta benda (al-‘ain)
dari pewakaf, dengan tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) untuk
kebajikan umat Islam, kepentingan agama dan atau kepada penerima wakaf yang
telah ditentukan oleh pewakaf.
Dengan kata lain, wakaf menahan asalnya dan mengalirkan
hasilnya. Orang yang berwakaf berarti melepas kepemilikan atas harta yang
bermanfaat, dengan tidak mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan
atau kelompok agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan
dengan syariat.
Dengan cara ini, harta wakaf dapat dipergunakan untuk mengatasi
berbagai permasalahan sosial demi kemaslahatan umat secara berkelanjutan tanpa
menghilangkan harta asal: mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi mikro,
sarana transportasi, tempat ibadah, sarana kegiatan dakwah dan sebagainya.
Dengan wakaf nilai kekayaan kekal, manfaat dan kebaikannya akan terus bertambah.
Harta wakaf hanya berhak digunakan dan dimanfaatkan tanpa berhak
memilikinya. Berbeda dengan zakat yang boleh dimiliki individu dan
diperjualbelikan.
Muslim yang berwakaf bukan saja mendapatkan pahala saat
memberikan wakaf, tetapi akan terus mendapat kucuran pahala selama benda yang
diwakafkannya dimanfaatkan orang lain meskipun pewakaf tersebut sudah meninggal
dunia.
PETUNJUK
AL-QUR'AN DAN SUNNAH
Syariat wakaf merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Sunnah
sebagai berikut:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ
تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ
عَلِيمٌ
“Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kalian menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai dan apa saja yang
kalian nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (Ali
Imran 92).
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha
Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs Al-Baqarah
261).
وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ
إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لاَ تُظْلَمُونَ
“...Dan apa saja harta yang baik yang kamu infakkan, niscaya
kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan
dianiaya (dirugikan)” (Al-Baqarah 272).
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ
عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ
اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya
kecuali tiga (macam), yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang
bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR
Muslim).
Para ulama menafsirkan kalimat “shadaqah jariyah” dalam hadits
ini sebagai wakaf. Imam Nawawi menyatakan bahwa hadits ini merupakan dalil
keabsahan wakaf dan besarnya pahala waqaf. Menurutnya, yang dimaksud dengan
sedekah jariyah adalah wakaf (Syarah
Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 11/85).
...Dibandingkan sedekah, manfaat
waqaf jauh lebih panjang hingga generasi mendatang. Pahalanya terus mengalir
dan berlipat, walau pewakafnya telah meninggal dunia...
KEISTIMEWAAN
DAN KEUTAMAAN WAKAF
Bila dibandingkan dengan sedekah dan hibah, wakaf memiliki
banyak keistimewaan, kelebihan dan keutamaan. Selain memiliki semua keutamaan
sebagaimana sedekah dan hibah, wakaf memiliki keutamaan khusus dibandingkan
dengan sedekah dan hibah, antara lain:
1. Bagi orang yang berwakaf (wakif), pahalanya akan terus
mengalir sekalipun ia sudah meninggal dunia. Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya
kecuali tiga (macam), yaitu: sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang
bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR
Muslim).
Dibandingkan sedekah dan hibah, manfaat waqaf jauh lebih panjang
dan tidak terputus hingga generasi mendatang, tanpa mengurangi hak atau
merugikan generasi sebelumnya, serta pahalanya yang terus mengalir dan
berlipat, walau wakif (orang yang mewakafkan) telah meninggal dunia.
2. Harta benda yang diwakafkan tetap utuh terpelihara, terjamin
kelangsungannya dan tidak bisa hilang atau berpindah tangan. Karena secara
prinsip barang wakaf tidak boleh ditasarrufkan (dijual, dihibahkan, atau
diwariskan).
3. Manfaatnya terus dirasakan oleh orang banyak, bahkan lintas
generasi, karena kepemilikan harta wakaf tidak bisa dipindahkan. Materi yang
diambil dan dinikmati oleh penerima wakaf adalah manfaat dari harta wakaf saja,
sementara harta yang diwakafkan tetap utuh dan langgeng.
4. Setiap saat wakaf menebarkan kebaikan dan meringankan beban
orang-orang yang membutuhkan bantuan seperti fakir miskin, anak yatim, janda,
orang yang tidak punya pekerjaan, para pejuang di jalan Allah, pengajar,
penuntut ilmu, dan lain sebagainya.
5. Wakaf akan terus memajukan dakwah, menghidupkan lembaga
sosial keagamaan, mengembangkan potensi umat, menyejahterakan umat, memberantas
kebodohan, memutus mata rantai kemiskinan, memupus kesenjangan sosial.
6. Balasannya adalah surga
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
bertakwa (yaitu) orang -orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan kemarahannya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Qs
Ali Imran 133-134).
7. Dilipatgandakan hingga 700 kali lipat
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah
melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki, Dan Allah Maha
Kuasa (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Qs Al-Baqarah
261).
...Harta benda yang diwakafkan
tetap utuh terpelihara dan tidak bisa hilang atau berpindah tangan. Karena
secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditasarrufkan (dijual, dihibahkan, atau
diwariskan)...
NABI
DAN PARA SHAHABAT SEMANGAT BERWAKAF
Dalam catatan sejarah, pada tahun ketiga Hijriyah Rasulullah SAW
mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah, di antaranya ialah kebun A’raf
Shafiyah, Dalal, Barqah dan lain-lainnya.
Wakaf juga dilakukan oleh shahabat Umar bin Khatthab RA.
Berbagai riwayat shahih mencatat bahwa Amirul Mukminin ini memiliki harta
paling berharga berupa tanah di Khaibar. Karena semangat untuk menginfakkan
harta yang paling disukai, ia menemui Rasulullah SAW untuk meminta pendapat
tentang apa yang harus dilakukan dengan tanah tersebut. Rasulullah memberikan
petunjuk agar mewakafkannya dengan mengatakan:
إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
وَتَصَدَقْتَ بِهَا
“Jika engkau mau, engkau tahan harta tersebut dan engkau
sedekahkan hasilnya.”
فَتَصَدَّقَ عُمَرُ أَنَّهُ لاَ
يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُفَتَصَدَّقَ بهَا عُمَرُ فِي
الفُقَرَاءِ، وَفِي القُرْبَى، وَفِي الرِّقَابِ، وَفِي سَبيلِ اللهِ، وَابْنِ
السَّبِيْلِ، وَالضَّيْفِ
“Maka Umar menyedekahkan tanah di Khaibar tersebut dengan syarat
tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi, lalu
manfaatnya diperuntukkan kepada fakir miskin, kerabat, memerdekakan budak,
jihad, musafir yang kehabisan bekal, dan menjamu tamu” (HR Bukhari-Muslim).
Setelah Umar berwakaf, disusul Abu Thalhah RA yang mewakafkan
kebun Bairuha kesayangannya. Lalu disusul oleh shahabat Abu Bakar As-Shiddiq
mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak
keturunannya yang datang ke Mekkah.
Lalu diikuti wakaf para shahabat lainnya: Utsman RA
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib RA mewakafkan tanahnya
yang subur; Mu’adz bin Jabal RA mewakafkan rumahnya yang populer dengan sebutan
“Darul-Anshar”, kemudian disusul wakaf Anas bin Malik RA, Abdullah bin Umar RA,
Zubair bin Awwam RA, dan Aisyah RA, dan seterusnya.
RUKUN
WAKAF
Imam Nawawi dalam kitab Raudhatut-
Thalibin menjelaskan bahwa rukun wakaf ada empat rukun yang
harus dipenuhi dalam berwakaf:
1. Al-waqif (orang yang mewakafkan),
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju untuk menerima manfaat dari wakaf tersebut),
4. Shighah (lafaz ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan).
2. Al-mauquf (harta yang diwakafkan),
3. Al-mauquf ‘alaih (pihak yang dituju untuk menerima manfaat dari wakaf tersebut),
4. Shighah (lafaz ikrar wakaf dari orang yang mewakafkan).
...Muslim yang berwakaf tak hanya
mendapatkan pahala saat menyerahkan wakaf, tapi akan terus mendapat kucuran pahala
meskipun pewakaf tersebut sudah meninggal dunia...
SYARAT-SYARAT
WAKAF
1. Syarat-syarat Orang yang Berwakaf (Al-Waqif):
a. Memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada siapa yang ia kehendaki.
b. Berakal. Tidak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang
yang sedang mabuk.
c. Berusia balig dan bisa bertransaksi
d. Mampu bertindak secara hukum (rasyid).
2. Syarat-syarat Harta yang Diwakafkan (Al-Mauquf).
Harta yang diwakafkan itu sah dipindahmilikkan, apabila memenuhi
beberapa persyaratan
a. Harta yang diwakafkan itu harus barang yang berharga.
b. Harta yang diwakafkan itu harus diketahui dan ditentukan
bendanya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya (majhul), maka pengalihan
milik tidak sah.
c. Harta yang diwakafkan itu pasti dimiliki oleh orang yang
berwakaf (wakif). Tidak boleh mewakafkan harta yang sedang dijadikan jaminan
atau digadaikan kepada pihak lain.
d. Harta itu mestilah berdiri sendiri, tidak melekat kepada
harta lain (mufarrazan)
atau disebut juga dengan istilah (ghaira
shai’).
Adapun jenis benda yang diwakafkan ada tiga macam:
a. Wakaf benda tak bergerak (diam), seperti tanah, rumah, toko,
dan semisalnya. Telah sepakat para ulama tentang disyariatkannya wakaf jenis
ini.
b. Wakaf benda bergerak (bisa dipindah), seperti mobil, hewan,
dan semisalnya. Termasuk dalil yang menunjukkan bolehnya wakaf jenis ini adalah
hadits:
وَأَمَّا خَالِدٌ فَقَدْ احْتَبَسَ
أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Adapun Khalid maka dia telah mewakafkan baju besinya dan pedang
(atau kuda)-nya di jalan Allah Ta’ala” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
c. Wakaf berupa uang.
3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf
alaih).
a. Penerima ditentukan pada pihak tertentu (mu’ayyan), yaitu jelas
orang yang menerima wakaf itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan
yang semuanya tertentu dan tidak boleh dirubah.
Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa
ia mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan lit-tamlik), maka orang muslim,
merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf.
Adapun orang bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf.
b. Penerima tidak ditentukan (ghaira
mu’ayyan), maksudnya tujuan berwakaf tidak ditentukan secara
terperinci, tapi secara global. Misalnya seseorang berwakaf untuk kesejahteraan
umat Islam, orang fakir, miskin, tempat ibadah, dan lain sebagainya.
Karena wakaf hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja, maka
syarat penerima wakaf itu haruslah orang yang dapat menjadikan wakaf itu untuk
kemaslahatan yang mendekatkan diri kepada Allah.
4. Syarat-syarat Shigah (lafaz ikrar wakaf)
a. Lafaz ikrar harus berisi kata-kata yang menunjukkan kekalnya
wakaf (ta’bid).
Tidak sah kalau ucapan wakaf dibatasi dengan waktu tertentu.
b. Ucapan itu dapat direalisasikan segera (tanjiz), tanpa
disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu.
c. Ucapan itu bersifat pasti dan jelas (sharih) yang berarti
wakaf dan tidak mengandung makna lain.
d. Ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan.
Apabila semua persyaratan di atas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah
wakaf bagi penerima wakaf adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik
pemilikan harta itu telah berpindah kepada Allah dan penguasaan harta tersebut
adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia dianggap pemiliknya tapi
bersifat ghaira tammah. (Sumber IDC)
Comments
Post a Comment