LAHN
Di antara efek berkembangnya teknologi informasi, setiap orang bebas berekspresi dan menyebarkan ekspresia di jagat maya. Selama ekspresinya positif tentu kita dukung.
Di antaranya adalah begitu ramainya jagat maya oleh rekaman-rekaman murattal yang dibacakan generasi muda, bahkan para remaja. Label "qari" pun tersematkan pada mereka. Walhamdulillāh, kita bersyukur, Alquran semakin membumi, menghiasi saudara-saudara kita yang semangat berhijrah ke arah lebih baik lagi.
Sebagian guru kami, memang mengkritik pelabelan istilah "qari" pada sebagian mereka. Karena tidak jarang, viralnya murattal Alquran, tidak disebabkan bagusnya bacaan dari sisi Tajwid atau Kaidah Waqf-nya, melainkan masih bertumpu pada keindahan irama dan suara semata. Bahkan, sebagian masjid pun masih lebih mengutamakan irama dan suara untuk memilih seseorang yang akan dijadikan imam, bukan benarnya bacaan, apalagi kefaqihannya. Padahal, benar-salahnya bacaan seseorang dalam surat Alfatihah dapat menentukan keabsahan shalat, dan dalam madzhab Syāfi'iy, seorang yang fāqih (paham permasalahan agama) lebih diutamakan untuk menjadi imam dibandingkan orang yang lebih banyak hafalannya.
Kemudian, istilah "qari" sendiri, walaupun secara sederhana bermakna "pembaca (Alquran)", namun secara lebih spesifik, para ulama qiraat mendefinisikan bahwa seseorang disebut Aari apabila ia menguasai minimal satu riwayat Alquran, dari sisi variasi lafazhnya, cara membacanya, serta kaidah-kaidah yang berlaku di dalamnya. Saat ia menguasai satu riwayat tersebut, misalnya riwayat Al-Imām Hafsh, maka ia sudah masuk ke dalam jajaran para Qari, namun masih berada pada tingkat pemula. Ia akan dikatakan sebagai Qari tingkat menengah apabila sudah menguasai setidaknya 3 Qiraat (terkumpul di dalamnya 6 riwayat Alquran). Puncaknya adalah apabila ia telah menguasai 7 variasai Qiraat Alquran (terkumpul di dalamnya 14 riwayat Alquran), maka ia telah menjadi Qari tingkat tinggi dan memasuki pintu gerbang sebagai seorang Muqri'.
Dari uraian yang kami paparkan ini, tentu sepertinya masih sedikit di antara para "qari" yang namanya viral itu benar-benar seorang Qari yang menguasai minimal satu periwayatan Alquran. Sehingga apabila kemudian kita yang telah mempelajari tajwid melihat adanya sebagian kekurangan, maka tentu harus dimaklumi dan tidak perlu larut dalam celaan. Bila ingin mengkiritknya, maka sampaikanlah dengan cara terbaik, karena dikhawatirkan hawa nafsu turut campur sehingga kritik yang awalnya diniatkan nasihat di atas taqwa berujung pada kebencian dan cela mencela. Wal-'iyādzubillāh.
Selain itu, yang mesti kita pahami adalah bahwa, jangankan mereka yang belum benar-benar menguasai periwayatan Alquran, bahkan seorang Qari yang benar-benar Qari pun juga tidak bisa luput dari kesalahan atau lahn. Terutama apabila mereka membaca dalam keadaan shalat atau murattal pribadi, bukan dalam rangka ta'lim (mengajar). Banyak faktor yang dapat menjadi sebab akan terjatuhnya seorang Qari pada lahn.
Di antaranya yang pertama adalah lupa, ini yang paling sering terjadi. Manusia tempatnya lupa dan salah, maka wajar kalau seorang Qari, bahkan Muqri pun kadang terlupa. Sama wajarnya dengan kita yang bahkan sering terlupa surat-surat pendek, padahal surat tersebut sering diulang setiap harinya.
Faktor kedua adalah fokus yang terbagi, antara tadabbur dan menghadirkan kekhusyu'an dengan konsentrasi untuk menjaga kaidah-kaidah tajwid. Biasanya hal ini sering terjadi saat sang Qari menjadi imam shalat. Karena terlalu hanyut terbawa ayat yang dibaca, kadang sebagian kaidah tajwid menjadi tidak teramalkan secara tidak sengaja. Ini pun sesuatu yang wajar, selama tidak dilakukan dengan sengaja. Kecuali apabila si pembaca tersebut misalnya malah mennyibukkan hatinya dengan nada dan irama serta melupakan tadabbur dan kaidah tajwidnya, maka dalam kondisi demikian jelas perbuatan tersebut adalah sesuatu yang tercela.
Oleh karena itu, apabila kita yang telah mempelajari dan memahami kaidah-kaidah tajwid mendengar atau menyaksikan seorang Qari yang terjatuh pada
Online Tajwid, [23.09.19 10:58]
lahn, bahkan misalnya yang mengubah makna sekalipun, maka wajib bagi kita untuk:
👉🏻1⃣ Husnuzhan, karena terjatuhnya seseorang kepada lahn tidak sekadar disebabkan ia tidak paham atau tidak mau mengamalkan tajwid; lupa atau tidak sengaja adalah sebab yang wajib diberikan pintu maaf seluas-luasnya.
👉🏻2⃣ Apabila kita yakin bahwa bacaan tersebut benar-benar lahn, maka yakinilah bahwa itu benar-benar lahn. Jangan sampai karena yang membacanya adalah seorang Qari, kemudian kita katakan "oh ternyata boleh ya dibaca seperti itu". Bahkan, kemudian kita mengikuti bacan tersebut. Tidak demikian. Yang lahn mesti tegas kita yakini sebagai lahn. Tapi jangan sampai hanya gara-gara lahn tersebut kita menjadi tidak beradab kepada para Qari.
Atau untuk memastikannya, apakah hal tersebut benar-benar lahn atau merupakan variasi bacaan yang baru kita dengar, maka silakan konsultasikan kepada orang yang kita anggap memiliki ilmu dalam hak tersebut. Tentu saja, tanpa perlu menyebutkan siapa objek pelakunya.
Dua poin di atas akan menjaga kita dari sikap berlebih-lebihan dan juga meremehkan. Setelah itu, berhentilah dari membicarakannya kecuali saat dibutuhkan, seperti klarifikasi.
Kemudian kepada para Qari atau engkau yang telah mendapatkan label "qari", pahamilah bahwa bacaanmu akan selalu disimak dan diperhatikan oleh banyak orang. Maka sungguh-sungguhlah untuk senantiasa memperbaiki bacaanmu agar tidak melanggar kaidah-kaidah yang telah disepakati para ulama. Adapun sebagian cara membaca yang memang ada peluang para ulama berbeda pendapat, maka selama engkau yakin memiliki sandaran riwayatnya, maka silakan amalkan sesuai yang diajarkan gurumu.
Hendaknya pula sebelum engkau memposting videomu, khususnya video murattal yang engkau bacakan, biasakanlah konsultasikan dengan gurumu atau orang yang engkau anggap berilmu dalam masalah tajwid. Karena hal tersebut lebih selamat dan tentu menjauhkan kita dari fitnah. Sekali lagi untuk mohon selalu diingat, bacaanmu akan disimak, diperhatikan, dan ditiru oleh banyak orang. Maka berhati-hatilah, jangan sampai yang akan engkau sebarkan malah bacaan yang jelas-jelas melanggar kesepakatan para ulama.
Selain itu, bacaanmu juga akan didengar oleh pelajar dan pembelajar tajwid, maka pasti pintu kritik akan terbuka lebar. Saat ada kritik atas beberapa lahn pada bacaanmu, terimalah dengan ridha dan ikhlas. Ambillah sisi positifnya. Jangan tergesa-gesa untuk menyimpulkan bahwa kritik bermakna iri dan benci. Banyak di antara orang yang mebgkritik benar-benar mengharapkan kebaikan bagimu.
Bahkan, lebih utama lagi engkau pun tekun dalam menyelesaikan pembelajaran tajwid agar bisa menjadi bekal dalam praktik bacaanmu dan juga pada saat ada orang yang mengkritikmu secara melampaui batas, maka engkau pun bisa menjelaskannya di atas ilmu.
Terakhir, kepada para pengurus masjid atau panitia kajian, maka hendaklah memilah dan memilih siapa yang akan diorbitkan dan diviralkan. Khusus untuk imam shalat, maka perhatikanlah benar-salah bacaan Al-Fatihahnya. Karena imam yang salah bacaan Al-Fatihahnya sampai mengubah makna, maka tidak sah shalatnya, menurut mayoritas ulama. Walaupun ia katanya hafal 30 juz Alquran, walaupun iramanya lebih indah dari lantunan imam masjidil Haram.
Sedangkan apabila lahn yang mengubah maknanya adalah di luar Al-Fatihah, maka makruh menurut Al-Imām Asy-Syāfi'iy baginya menjadi imam. Sama statusnya seperti orang yang lahn pada Al-Fatihah dengan lahn yang tidak mengubah makna. Shalatnya sah, begitupun shalat makmumnya, sah semuanya. Namun, ia makruh menjadi imam apabila masih ada orang yang bacaan Al-Fatihahnya tidak terjatuh pada lahn.
Hendaknya, hal ini diperhatikan, agar jangan sampai kita mengorbitkan atau memviralkan seseorang tidak sesuai dengan kadar keilmuan dan kapasitasnya. Bukan bermaksud merendahkan siapapun, karena kami sendiri bukanlah siapa-siapa. Kami juga mengajak wabil khusus pada diri kami sendiri dan umumnya bagi kita sekalian, untuk senantiasa bertakwa kepada Allāh dan sering-sering bercermin, agar kita paham siapa kita sebenarnya, bagaimana kadar keilmuan dan kapasitas kita,dan kita berharap agar Allah membimbing kita semuanya agar kita mengamalkan ilmu yang dimiliki dan Allah memberikan taufiq agar kita berbicara pada hal-hal yang memang kita memiliki kapasitas untuk itu.
MENGOBATI LAHN DALAM TILAWAH ALQURAN 🌹
Ilmu tajwid merupakan ilmu yang paling ringkas apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu Islam yang lain. Pembahasan inti dalam tajwid hanya membicarakan permasalahan makharijul huruf (tempat-tempat keluar huruf) dan shifatul huruf (sifat-sifat huruf). Baik itu sifat huruf lazimah, yakni sifat-sifat yang selalu menyertai huruf, seperti Syiddah, Rakhawah, Hams, Jahr, Qalqalah, Shafir, Tafasysyi dan lain sebagainya. Atau berupa sifat-sifat aridhah, yakni sifat-sifat yang kadang menyertai huruf dan kadang tidak menyertainya, seperti tafkhim, tarqiq, idgham, ikhfa, atau madd.
Oleh karena itu, cara mengobati lahn (kekeliruan lisan) dalam tilawah Alquran, maka mesti dikembalikan kepada poin makhraj atau sifat huruf. Kemudian selain itu, juga penguasaan atas bahasa Arab dasar yang dapat mencegah kita dari kekeliruan dalam memberikan harakat.
Namun demikian, kami seringkali menemukan di antara para pembelajar bahkan pengajar Alquran di sekitar kita belum memahami perbedaan yang mendasar antara permasalahan makhraj dan sifat-sifat huruf. Sehingga tidak jarang di antara mereka mengira bahwa kefasihan pengucapan lisan selalu bergantung pada makhraj, dan sering mengesampingkan bab sifat.
Mungkin di antara kita sering mendengar seseorang yang berkata, "makhrajnya sangat baik", "makhrajnya sangat jelas", "makhrajnya kurang tampak", "makhrajnya sempurna", "makhrajnya kurang sempurna", "makhrajnya fasih", "makhrajnya kurang fasih", serta berbagai perkataan lain yang selalu dikaitkan dengan makhraj. Seakan-akan seluruh permasalahan kefasihan pelafalan Alquran hanya kembali kepada makhraj.
Padahal, kenyataan di lapangan yang kami temukan, justru kekeliruan pada makhraj saat membaca Alquran ini persentasenya kecil, dan kebanyakannya terjadi pada para pemula atau anak-anak saja. Sedangkan sebagian besar kekeliruan dalam melafalkan Alquran terjadi dalam persoalan kesempurnaan sifat-sifat huruf. Porsi yang paling besar yang sering kami temui adalah dalam permasalahan Tafkhim dan Tarqiq. Tidak heran apabila para ulama, termasuk juga guru-guru kami seringkali mengingatkan bahwa kemahiran membaca Alquran sangat bergantung pada penguasaan Tafkhim dan Tarqiq, baik secara teori, dan tentu saja praktik.
Ketahuilah bahwa permasalahan makhraj hanya membicarakan dimana huruf dikeluarkan. Hanya menunjukkan letak-letaknya saja. Teori dan praktiknya insyaallaah cukup ringan dan mudah diamalkan.
Berbeda dengan sifat-sifat huruf yang membicarakan bagaimana huruf dikeluarkan. Bukan hanya membicarakan dimana letaknya, tapi bagaimana mengucapkannya, apakah suaranya tebal atau tipis, apakah disertai udara yang mengalir atau tertahan, apakah suaranya mengalir atau tertahan, apakah disertai kekhasan suara tertentu atau tidak, dan lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan inilah yang seringkali luput dan butuh perbaikan, bukan permasalahan makhraj. Hal inilah yang kurang dipahami oleh para pembelajar dan pengajar Alquran di sekitar kita.
Mungkin di antara kita ada yang akan mengatakan bahwa perkataan-perkataan di atas yang selalu dikaitkan dengan makhraj, sebetulnya hanya kiasan saja. Bisa jadi maksudnya ya makhraj dan sifat.
Kami katakan, "Ya, bisa jadi..."
Namun demikian, permasalahannya baru muncul saat perbaikan dan koreksi dilakukan. Karena kalimat yang sering dikeluarkan adalah makhraj, makhraj, dan makhraj, serta seringkali mengesampingkan permasalahan sifat, maka pada saat memperbaiki dan mengoreksi para pembelajar ataupun pengajar akhirnya hanya fokus pada teori Sifat.
Di sinilah dibutuhkan kejelian para pengajar dalam mengoreksi bacaan murid-muridnya. Apabila kekeliruannya memang berkaitan dengan permasalahan makhraj, yakni tepat atau tidak posisi lidah atau bibir, atau tepat atau tidak huruf tersebut dibunyikan, misalnya yang seharusnya di aqshal halq (pangkal tenggorokan) malah diucapkan di wasthul halq (tengah tenggorokan) atau sebaliknya maka cara mengobatinya adalah dengan memindahkan suara dan mengembalikan ke asalnya, yakni makhrajnya yang tepat.
Namun apabila kekeliruannya berkaitan dengan kekurangsempurnaan huruf, kekurangfasihan huruf, apakah kurang jelas, atau tidak tepat dalam menebalkan dan menipiskan, atau justru berlebihan padanya, atau tidak tepat dalam masalah kekhasan suara setiap huruf, maka jelas sekali semua ini bukanlah kekeliruan dalam makhraj, akan tetapi merupakan kekeliruan dalam sifat-sifat huruf. Tentu saja, cara menanggulanginya pun adalah dengan memberikan pemahaman yang tepat berkaitan dengan sifat-sifat huruf. Pahami dengan baik apa itu Syiddah dan Rakhawah. Apa itu Hams dan Jahr. Apa itu Isti'la dan Istifal, juga Ithbaq dan Infitah. Sebagaimana kita juga penting untuk memahami dengan baik permasalahan qalqalah, shafir, tafasysi, takrir, istithalah, ghunnah, dan khafa.
Jangan sampai sebagai pengajar kita sendiri masih kebingungan untuk memahami keterkaitan sifat-sifat tersebut sehingga mencampuradukkan satu sifat dengan sifat yang lain. Bingung dalam mempraktikkan huruf-huruf yang syiddah sekaligus hams, atau yang jahr sekaligus rakhawah. Atau mungkin juga di antara kita masih kebingungan membedakan antara shafir, rakhawah, hams, dan tafasysyi, sehingga huruf-huruf diucapkan tidak sesuai hak dan mustahaknya.
Kemudian setelah kita memahami semua itu, maka kita wajib berlatih mempraktikannya sampai fasih. Yang paling baio tentu saja mempraktikkannya di hadapan seorang guru yang mutqin, sehingga standar kefasihannya jelas, bukan sekadar perkiraan semata.
Demikianlah cara mengobati lahn dalam membaca Alquran. Ibarat seorang dokter yang mengobati pasien. Ia harus bisa melakukan diagnosis dimana sumber penyakitnya, dan apa kelemahannya. Maka pengajar tajwid mesti jeli dalam melihat hal tersebut. Huruf-huruf apa saja yang terdengar belum sempurna, kemudian diteliti kekeliruannya pada makhraj atau pada sifat-sifatnya. Dengan itu, ia bisa memberikan pengobatan yang tepat dan baik.
Catatan tambahan:
Kami tidak memungkiri bahwa setiap Ustadz atau Syaikh kadang memiliki standar kefasihan yang sedikit berbeda. Namun, selama Ustadz atau Syaikh tersebut memiliki sandaran yang shahih, maka pendapatnya tidak bisa ditolak. Adapun kita mau mengamalkan yang mana maka dikembalikan kepada individu masing-masing. Sedangkan yang terbaik dan paling utama adalah mengamalkan apa yang diajarkan oleh guru, sebagaimana sampai kepada kita riwayat:
اقرءوا القران كما علمتم
"Bacalah oleh kalian Alquran sebagaimana kalian telah diajarkan." (HR. Ahmad. Riwayat ini memiliki beberapa syawahid, di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Al-Ajurriy, Al-Bazzar, dan Ath-Thabariy dengan beberapa variasi lafazh yang sedikit berbeda)
Wallaahu a'lam
Laili Al-Fadhli
Semoga Allaah memgampuninya dan juga keluarganya. Aamiin.
MENGOBATI LAHN DALAM TILAWAH ALQURAN 🌹
Ilmu tajwid merupakan ilmu yang paling ringkas apabila dibandingkan dengan ilmu-ilmu Islam yang lain. Pembahasan inti dalam tajwid hanya membicarakan permasalahan makharijul huruf (tempat-tempat keluar huruf) dan shifatul huruf (sifat-sifat huruf). Baik itu sifat huruf lazimah, yakni sifat-sifat yang selalu menyertai huruf, seperti Syiddah, Rakhawah, Hams, Jahr, Qalqalah, Shafir, Tafasysyi dan lain sebagainya. Atau berupa sifat-sifat aridhah, yakni sifat-sifat yang kadang menyertai huruf dan kadang tidak menyertainya, seperti tafkhim, tarqiq, idgham, ikhfa, atau madd.
Oleh karena itu, cara mengobati lahn (kekeliruan lisan) dalam tilawah Alquran, maka mesti dikembalikan kepada poin makhraj atau sifat huruf. Kemudian selain itu, juga penguasaan atas bahasa Arab dasar yang dapat mencegah kita dari kekeliruan dalam memberikan harakat.
Namun demikian, kami seringkali menemukan di antara para pembelajar bahkan pengajar Alquran di sekitar kita belum memahami perbedaan yang mendasar antara permasalahan makhraj dan sifat-sifat huruf. Sehingga tidak jarang di antara mereka mengira bahwa kefasihan pengucapan lisan selalu bergantung pada makhraj, dan sering mengesampingkan bab sifat.
Mungkin di antara kita sering mendengar seseorang yang berkata, "makhrajnya sangat baik", "makhrajnya sangat jelas", "makhrajnya kurang tampak", "makhrajnya sempurna", "makhrajnya kurang sempurna", "makhrajnya fasih", "makhrajnya kurang fasih", serta berbagai perkataan lain yang selalu dikaitkan dengan makhraj. Seakan-akan seluruh permasalahan kefasihan pelafalan Alquran hanya kembali kepada makhraj.
Padahal, kenyataan di lapangan yang kami temukan, justru kekeliruan pada makhraj saat membaca Alquran ini persentasenya kecil, dan kebanyakannya terjadi pada para pemula atau anak-anak saja. Sedangkan sebagian besar kekeliruan dalam melafalkan Alquran terjadi dalam persoalan kesempurnaan sifat-sifat huruf. Porsi yang paling besar yang sering kami temui adalah dalam permasalahan Tafkhim dan Tarqiq. Tidak heran apabila para ulama, termasuk juga guru-guru kami seringkali mengingatkan bahwa kemahiran membaca Alquran sangat bergantung pada penguasaan Tafkhim dan Tarqiq, baik secara teori, dan tentu saja praktik.
Ketahuilah bahwa permasalahan makhraj hanya membicarakan dimana huruf dikeluarkan. Hanya menunjukkan letak-letaknya saja. Teori dan praktiknya insyaallaah cukup ringan dan mudah diamalkan.
Berbeda dengan sifat-sifat huruf yang membicarakan bagaimana huruf dikeluarkan. Bukan hanya membicarakan dimana letaknya, tapi bagaimana mengucapkannya, apakah suaranya tebal atau tipis, apakah disertai udara yang mengalir atau tertahan, apakah suaranya mengalir atau tertahan, apakah disertai kekhasan suara tertentu atau tidak, dan lain sebagainya. Permasalahan-permasalahan inilah yang seringkali luput dan butuh perbaikan, bukan permasalahan makhraj. Hal inilah yang kurang dipahami oleh para pembelajar dan pengajar Alquran di sekitar kita.
Mungkin di antara kita ada yang akan mengatakan bahwa perkataan-perkataan di atas yang selalu dikaitkan dengan makhraj, sebetulnya hanya kiasan saja. Bisa jadi maksudnya ya makhraj dan sifat.
Kami katakan, "Ya, bisa jadi..."
Namun demikian, permasalahannya baru muncul saat perbaikan dan koreksi dilakukan. Karena kalimat yang sering dikeluarkan adalah makhraj, makhraj, dan makhraj, serta seringkali mengesampingkan permasalahan sifat, maka pada saat memperbaiki dan mengoreksi para pembelajar ataupun pengajar akhirnya hanya fokus pada teori Sifat.
Di sinilah dibutuhkan kejelian para pengajar dalam mengoreksi bacaan murid-muridnya. Apabila kekeliruannya memang berkaitan dengan permasalahan makhraj, yakni tepat atau tidak posisi lidah atau bibir, atau tepat atau tidak huruf tersebut dibunyikan, misalnya yang seharusnya di aqshal halq (pangkal tenggorokan) malah diucapkan di wasthul halq (tengah tenggorokan) atau sebaliknya maka cara mengobatinya adalah dengan memindahkan suara dan mengembalikan ke asalnya, yakni makhrajnya yang tepat.
Namun apabila kekeliruannya berkaitan dengan kekurangsempurnaan huruf, kekurangfasihan huruf, apakah kurang jelas, atau tidak tepat dalam menebalkan dan menipiskan, atau justru berlebihan padanya, atau tidak tepat dalam masalah kekhasan suara setiap huruf, maka jelas sekali semua ini bukanlah kekeliruan dalam makhraj, akan tetapi merupakan kekeliruan dalam sifat-sifat huruf. Tentu saja, cara menanggulanginya pun adalah dengan memberikan pemahaman yang tepat berkaitan dengan sifat-sifat huruf. Pahami dengan baik apa itu Syiddah dan Rakhawah. Apa itu Hams dan Jahr. Apa itu Isti'la dan Istifal, juga Ithbaq dan Infitah. Sebagaimana kita juga penting untuk memahami dengan baik permasalahan qalqalah, shafir, tafasysi, takrir, istithalah, ghunnah, dan khafa.
Jangan sampai sebagai pengajar kita sendiri masih kebingungan untuk memahami keterkaitan sifat-sifat tersebut sehingga mencampuradukkan satu sifat dengan sifat yang lain. Bingung dalam mempraktikkan huruf-huruf yang syiddah sekaligus hams, atau yang jahr sekaligus rakhawah. Atau mungkin juga di antara kita masih kebingungan membedakan antara shafir, rakhawah, hams, dan tafasysyi, sehingga huruf-huruf diucapkan tidak sesuai hak dan mustahaknya.
Kemudian setelah kita memahami semua itu, maka kita wajib berlatih mempraktikannya sampai fasih. Yang paling baio tentu saja mempraktikkannya di hadapan seorang guru yang mutqin, sehingga standar kefasihannya jelas, bukan sekadar perkiraan semata.
Demikianlah cara mengobati lahn dalam membaca Alquran. Ibarat seorang dokter yang mengobati pasien. Ia harus bisa melakukan diagnosis dimana sumber penyakitnya, dan apa kelemahannya. Maka pengajar tajwid mesti jeli dalam melihat hal tersebut. Huruf-huruf apa saja yang terdengar belum sempurna, kemudian diteliti kekeliruannya pada makhraj atau pada sifat-sifatnya. Dengan itu, ia bisa memberikan pengobatan yang tepat dan baik.
Catatan tambahan:
Kami tidak memungkiri bahwa setiap Ustadz atau Syaikh kadang memiliki standar kefasihan yang sedikit berbeda. Namun, selama Ustadz atau Syaikh tersebut memiliki sandaran yang shahih, maka pendapatnya tidak bisa ditolak. Adapun kita mau mengamalkan yang mana maka dikembalikan kepada individu masing-masing. Sedangkan yang terbaik dan paling utama adalah mengamalkan apa yang diajarkan oleh guru, sebagaimana sampai kepada kita riwayat:
اقرءوا القران كما علمتم
"Bacalah oleh kalian Alquran sebagaimana kalian telah diajarkan." (HR. Ahmad. Riwayat ini memiliki beberapa syawahid, di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, Al-Ajurriy, Al-Bazzar, dan Ath-Thabariy dengan beberapa variasi lafazh yang sedikit berbeda)
Wallaahu a'lam
Laili Al-Fadhli
Semoga Allaah memgampuninya dan juga keluarganya. Aamiin.
Oleh: Muhammad Laili Al-Fadhl
O
Comments
Post a Comment