Tauhid Yang Pertama Diajarkan
Apa yang pertama kali seharusnya dipelajari oleh penuntut ilmu? Apakah dengan terlebih dahulu mempelajari akidah dan tauhid (yang keduanya terkait dengan keimanan) ataukah dengan menghafal Al-Quran terlebih dahulu?
Bahkan sebagaimana yang disebutkan (dalam riwayat), bahwasanya yang termasuk dari petunjuk shahabat dan juga Sunnah adalah mengajarkan tauhid terlebih dahulu kepada anak-anak sebelum Al-Quran, bukan malah sebaliknya (yakni mengajar Al-Quran dulu baru tauhid) sebagaimana yang banyak berlaku di antara manusia.
قال جندب بن جنادة رضي الله عنه: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ونحن فتيان حزاورة فتعلمنا الإيمان قبل أن نتعلم القرآن ثم تعلمنا القرآن فازددنا به إيمانا، وأنتم اليوم تعلمون القرآن قبل الإيمان. رواه ابن ماجه وصححه الألباني
Jundub bin Junadah –radhiyallahu ‘anhu– berkata, “Kami telah bersama Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika kami masih sangat muda. Kami mempelajari iman sebelum belajar al-Quran, kemudian barulah kami mempelajari al-Quran hingga bertambahlah keimanan kami karenanya.” (HR. Ibn Majah)
وعن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: لقد عِشنا بُرهةً من دهرنا وإن أحدنا ليؤتى الإيمان قبل القرآن، وتنزل السورة على محمدٍ صلى الله عليه وسلم فنتعلم حلالها وحرامها، وما ينبغي أن يُوقفَ عنده مِنها، كما تتعلّمون أنتم اليوم القُرآن، ولقد رأيت اليوم رِجالاً يُؤتى أحدهم القرآن قبل الإيمان، فيقرأ ما بين فاتحتِهِ إلى خاتمته، ما يدري ما آمره ولا زاجره ولا ما ينبغي أن يُوقف عنده منه وينثُرُه نثر الدقَلِ. رواه البيهقي والحاكم وصححه
Dan dari ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma– dia berkata, “Kami menjalani hidup dalam jenak waktu yang masing-masing dari kami diberi (pengajaran) iman sebelum (pengajaran) Al-Quran. (Bilamana) surah Al-Quran diturunkan kepada Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami pun mempelajari perkara halal dan haramnya, juga apa yang seharusnya waqaf [1] daripadanya sebagaimana halnya kalian mempelajari Al-Quran saat ini. (Akan tetapi) sungguh pada hari ini aku telah melihat orang-orang yang yang diberikan kepadanya (pengajaran) Al-Quran sebelum (pengajaran) iman, lantas dia membaca dari mulai pembukaan hingga penutupnya tanpa mengetahui perintah dan larangan yang terkandung di dalamnya, juga bagaimana seharusnya dia waqaf padanya. Dia (tak ubahnya) orang yang menaburkan kurma yang buruk.” [2] (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim; dan Al-Hakim mensahihkannya)
قال ابن القيم: (فإذا كان وقت نطقهم فليُلقنوا لا إله إلا الله محمد رسول الله، وليكن أول ما يقرع مسامعَهم معرفة الله سبحانه وتوحيده وأنه سبحانه فوق عرشه ينظر إليهم ويسمع كلامهم وهو معهم أينما كانوا …) تحفة المولود ص ٢٣١
Ibnul Qayyim berkata, “Apabila mereka (anak-anak) telah mencapai masa berbicara, hendaklah mereka dibimbing untuk mengucapkan La ilaha illallah Muhammadur rasulullah, dan jadikan hal pertama yang mengetuk telinga mereka adalah makrifatullah subhanahu wa ta’ala dan keesaan-Nya, juga bahwa Dia yang Maha Suci berada di atas ‘Arsy-Nya melihat mereka dan mendengar perkataan mereka, dan Dia bersama mereka di mana pun mereka berada ….” –Tuhfatul Maulud (231)
وللشيخ محمد بن عبد الوهاب رسالة “تعليم الصبيان التوحيد”، قال في مقدمتها: (هذه رسالة نافعة فيما يجب على الإنسان أن يعلم الصبيان قبل تعلمهم القرآن حتى يصير إنساناً كاملاً على فطرة الإسلام وموحداً جيدا.
Syaikh Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab memiliki risalah bertajuk Ta’limush Shibyan at-Tauhid. Beliau berkata dalam mukadimahnya, “Ini adalah risalah berfaidah tentang apa yang wajib diajarkan manusia kepada anak-anak sebelum memberikan pelajaran Al-Quran kepada mereka sehingga mereka menjadi manusia yang sempurna di atas fitrah Islam dan tauhid yang benar.”
والسؤال الثاني : هل يتعلم ما يجب عليه من فقه الصلاة والصيام والطهارة ؟ أم يبدأ بحفظ القران؟ الجواب: فيما قاله ابن المبارك لما سئل عن ذلك :قال إذا كان معه من القرآن ما يصلح به صلاته فليطلب العلم.
Dan pertanyaan selanjutnya, apakah seseorang (memulai)
dengan mempelajari hal yang wajib baginya dalam perkara fiqh shalat, shaum, dan thaharah ataukah memulainya dengan mengahafal Al-Quran? Maka jawabannya terdapat dalam ucapan Ibnul Mubarak terhadap pertanyaan seperti itu, “Jika di dalam hafalan Al-Quran itu terdapat hal yang bisa memberbaiki shalatnya, maka carilah itu.” [3]
أقول: لأن طلبه لذلك واجب وحفظه للقرآن مستحب فلا يقدم الواجب على المستحب .
كتبه: الشيخ أبو عبد الله ماهر بن ظافر القحطاني -حفظه الله
(Hal ini) aku katakan, lantaran pencarian terhadap hal itu merupakan perkara yang wajib, sedangkan menghafal Al-Quran itu mustahab, maka tidaklah hal yang nustahab itu didahulukan dari yang wajib.
Syaikh Mahir bin Zhafir al-Qahthani –hafizhahullah–
http://www.al-sunan.org/vb/showthread.php?p=24334
Catatan:
[1] Di antara ciri bahwa seaeorang memahami bacaan Al-Quran adalah ia memahami kapan waktunya waqaf (berheti membaca) dan di mana mesti ibtida (memulai bacaan). Orang yang tidak memahami persoalan waqaf dan ibtida berarti tidak memahami isi Al-Quran.
[2] Maksudnya ia tidak bisa mengambil faidah apa-apa dari Al-Quran, tidak bertambah keimanannya juga tidak bertambah baik amalannya. Karena ia tidak memahami Al-Quran dengan baik dan benar.
[3] Jawaban ini merupakan sindiran bagi orang-orang yang banyak menghafal namun tidak memahami apa yang ia hafalkan. Sehingga hafalannya tidak dapat memperbaiki amal ibadahnya. Adapun bila ia menghafal dan juga memahami isinya, maka ia pun akan bertambah keimanannya dan bertambah baik pula amalannya.
**************************************
Kontributor: Laili Al-Fadhil. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Email: ustazsofyan@gmail.com
Email: ustazsofyan@gmail.com
Editor:
Comments
Post a Comment