Bagaimana Al-Qur'an Sampai Kepada Kita
Allah Turunkan Al Quran Ke Dalam Hati Rasulullah saw
Telah dibahas bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hati nabi kita Muhammad saw. Perlu digarisbawahi bahwa Al-Qur’an diturunkan ke dalam hati, dan bukan ke dalam pendengaran. Nabi adalah manusia seperti kita, namun dalam hal menerima wahyu tidaklah seperti kita. Adapun kita talaqqi Al-Qur’an dari guru-guru yang mengucapkan dengan mulut mereka, selagi kita mendengar dengan telinga kita, kemudian kita mengulanginya dengan mulut kita selagi guru mendengar dengan telinganya. Akan tetapi, talaqqi Rasulullah kepada Jibril as tidak seperti itu. Allah berfirman,
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ – عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ
“Diturunkan oleh Ruhul Amin ke dalam hatimu agar engkau menjadi pemberi peringatan.” (Asy-Syu`ara’: 193-194)
Tidak dikatakan “melalui pendengaranmu”. Allah juga berfirman,
قُلْ مَن كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلَىٰ قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللَّهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Katakan, barangsiapa yang memusuhi Jibril, maka sesungguhnya dia menurunkan Al-Qur’an ke dalam hatimu dengan izin Allah, yang membenarkan apa yang ada padamu, sebagai petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 97).
Sedangkan malaikat yang diutus oleh Allah bertalaqqi Al-Qur’an langsung dari Allah.
Turunnya wahyu itu terdiri dari berbagai cara seperti yang dibahas dalam sejumlah riwayat. Ketika Al-Qur’an diturunkan, jalur turunnya di langit dijaga. Allah berfirman dalam surat Al-Jin dengan perkataan Jin, “Dan sesungguhnya kami telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api. Dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (Al-Jin: 8-9).
Maka dimulailah penjagaan turunnya nash Al-Qur’an dari baitul aziz ke langit dunia pada lailatul qadr. Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada lailatul qadr.” (Al-Qadr: 1)
Dan pula firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (Ad-Dukhan: 3).
Lalu Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad saw dalam jangka dua puluh tiga tahun menyesuaikan dengan kondisi dan keperluan.
Dua Macam Penurunan Al Quran
Dengan demikian Al-Qur’an mengalami dua macam penurunan: diturunkan dari lauhul mahfuz di baitul `izzah di langit ke-tujuh ke langit dunia, kemudian diturunkan berdasarkan kondisi selama dua puluh tiga tahun.
Yang pertama kali diturunkan adalah firman Allah, “Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang menciptakan.” dari surat Al-`Alaq di Juz 30; dan yang terakhir diturunkan adalah firman Allah, “Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” dari surat Al-Baqarah ayat 281.
Apakah pernah ada seorang pengarang yang memulai karangan dari bab akhir, lalu bab awal, lalu bab enam, lalu bab dua puluh satu, dan seterusnya?! Penulis biasa (manusia) pastilah menyusun bukunya dengan runtut.
Sesungguhnya Al-Qur’an adalah mukjizat dari setiap halnya, karena ia bukanlah perkataan manusia, melainkan firman Rabb semesta alam. Dan adalah firman Rabb berbeda dengan perkataan manusia dari semua segi.
Telah dibahas sebelumnya bahwa penjagaan Al-Qur’an dimulai sejak pertama kalinya diturunkan. Ketika diturunkan dari langit ke dalam hati Rasulullah saw, beliau menerimanya secara lafaz, makna, serta segala yang dikehendaki Allah dalam penurunannya, baik tersurat maupun tersirat. Beliau saw pun mengajarkan kepada kita apa-apa yang Allah perintahkan untuk diajarkan.
Allah berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah: 67).
Maka serta merta Nabi saw menyampaikannya kepada para sahabat dengan cara tertentu, yaitu dengan melafalkannya melalui mulut Beliau saw dan para sahabat mendengarkan dengan telinga manusiawinya. Kemudian para sahabat melafalkannya kembali di hadapan Rasulullah saw yang menyimak dengan telinganya. Dalam pada itu, Nabi saw akan membenarkan dan/atau memperbaiki. Jika proses talaqqi sudah terkonfirmasi, bangkitlah para sahabat untuk menyampaikan Al-Qur’an kepada yang lain.
Dua Macam Penyampaian Al Quran Dari Rasulullah saw Kepada Umatnya
Rasulullah saw menyampaikan Al-Qur’an kepada umatnya dengan dua macam cara: lisan dan tulisan.
Ketika bagian Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah saw akan memanggil para penulis wahyu yang hadir di sekitarnya. Ada beberapa sahabat yang pandai menulis, karena pada zaman itu yang biasa menulis hanya sedikit (mungkin tiga, empat, atau lima) dibanding dengan masa kini. Dan begitulah, ketika diturunkan, wahyu ditulis di hadapan Rasulullah saw.
Adapun cara yang lain adalah dengan lisan, sebagaimana yang telah dipaparkan. Itulah mulanya proses penjagaan nash Al-Qur’an (secara cermat dan hati-hati) setelah diturunkan, sehingga teksnya kini kita dapatkan dengan rentang lebih dari 1400 tahun. Semua itu melalui beberapa tahap penulisan.
Awal penulisan Al-Qur’an adalah ketika ia diturunkan, di hadapan Rasulullah saw, dan wahyu hadir. Pada saat itu kodifikasi berwujud tulisan-tulisan yang berserak. Perlu ditekankan bahwa awal penulisan adalah ketika wahyu hadir. Yakni ketika bagian Al-Qur’an diturunkan, Rasulullah memanggil penulis yang hadir di sekitarnya untuk menulis di depannya selagi Jibril as hadir untuk membenarkan jika ada kesalahan.
Allah berfirman, “Seandainya dia mengadakan sebagian perkataan atas Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya, Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.” (Al-Haqqah: 44-46).
Perhatikan kalimat “niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya.”
Jika si penulis menulis, kemudian berniat mengubah kata yang ia tulis, serta-merta Allah akan segera mencegahnya melanjutkan penulisan.
Itulah maksud “Kami pegang dia pada tangan kanannya”, karena asosiasi tangan kanan digunakan untuk menulis. Seperti halnya nash Al-Qur’an dijaga saat penurunannya ke langit dunia, maka penjagaan itu juga tetap ada ketika sampai di bumi.
Jika dikatakan bahwa Muhammad saw adalah seorang yang tidak bisa membaca dan menulis, akan tetapi di sana ada Jibril as. Rasulullah saw adalah penyampai dari Rabb-nya. Apakah jika penulis mengganti kata dari yang seharusnya ditulis, maka Allah akan membiarkannya? Lalu Jibril as juga mendiamkan? Walaupun Rasulullah saw buta huruf, namun itu untuk ukuran manusia dan bukan untuk ukuran Allah.
Dia berfirman, “dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.” (An-Nisa: 113).
Selanjutnya Allah juga berfirman, “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali `Imran: 164).
Adalah Nabi saw dalam posisi pengajar karena Jibril as juga hadir ketika itu.
Hingga akhirnya majelis itu bubar dan Rasulullah saw ridha atas tulisan-tulisan yang ditulis di hadapannya. Seminimalnya status tulisan tersebut adalah sunnah taqririyah yang berarti Rasulullah saw telah mengkonfirmasinya. Demikianlah dimulainya penulisan Al-Qur’an pada tahap yang pertama
Penulisan Al Quran Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra
Penulisan Al-Qur’an tahap kedua terjadi pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra, setelah wafatnya Rasulullah saw. Di zaman itu terjadi perang riddah melawan orang-orang murtad yang menyebabkan banyak diantara qari’ Al-Qur’an yang terbunuh. Begitulah qurra’ pun ambil bagian dalam perjuangan mempertahankan kemuliaan Islam. Melihat banyaknya qari’ yang wafat, `Umar ra menjadi khawatir terhadap tulisan-tulisan Al-Qur’an yang tersebar di kalangan sahabat tersebut akan hilang. Segmen-segmen itu sangat berharga karena ditulis langsung di hadapan Rasulullah. Walaupun para sahabat telah menyebarkan manuskrip Al-Qur’an dan yang lain telah menyalinnya, namun tentu saja salinan itu tidak sama nilainya dengan tulisan asli. Manuskrip asli yang ditulis di atas lembaran kulit, lempeng batu, atau pelepah kurma itu ditulis dengan pengawasan samawi yang mana selesai penulisan setelah mendapatkan ridha dari Rasulullah saw dalam majelis nubuwwah. Salinannya bisa jadi identik, bisa juga tidak, karena tidak mendapatkan pengawasan seperti halnya tulisan asli. Demikian pemikiran `Umar. Dan ingatlah bahwa pemikiran `Umar ra adalah hal yang disebut Rasulullah saw, “Seandainya ada nabi setelahku, pastilah orang itu `Umar.”
`Umar ra kemudian menyampaikan hal tersebut kepada khalifah Abu Bakar ra agar mengumpulkan Al-Qur’an. Diriwayatkan Abu Bakar ra berkata, “Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah saw?”
`Umar ra menjawab, “Demi Allah, hal ini adalah kebaikan.”
Diskusi pun berlanjut sampai akhirnya Abu Bakar ra berhasil diyakinkan. Mereka lalu memanggil Zaid bin Tsabit ra sebagai salah satu penulis wahyu di masa Rasulullah saw dan hadir di majelis-majelis tersebut. Tersebut satu fase yang diberi istilah ardhah al-akhirah, yaitu fase dimana Jibril as datang kepada Rasulullah saw di tahun wafatnya.
Rasulullah saw bersabda kepada `Aisyah ra, “Wahai `Aisyah, sesungguhnya Jibril mengujiku tentang Al-Qur’an sekali dalam setahun. Dan pada tahun ini, aku diuji tentang Al-Qur’an dua kali. Tidaklah aku menyadari kecuali telah dekat ajalku.” Yakni bermakna bahwa tugasnya akan berakhir.
Zaid bin Tsabit ra adalah orang yang tahu betul tentang ardhah al-akhirah dimana terjadi muraja`ah dan revisi terakhir nash Al-Qur’an oleh Jibril as. Mengenainya Abu Bakar ra juga berkata kepada Zaid bin Tsabit Al-Anshari ra, “Sesungguhnya engkau adalah pemuda bertakwa yang tidak kami ragukan, dan menulis wahyu di depan Rasulullah saw, maka carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah.”
Zaid ra menjawab kepada Abu Bakar ra dan `Umar ra, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah saw?”
Perhatikanlah bagaimana keteguhan mereka dalam ittiba` kepada Rasulullah saw dan tidak hendak bergeser dari manhaj Beliau saw sedikitpun. Maka Abu Bakar ra berkata, “Demi Allah, ini adalah kebaikan.”
Diskusi pun berlanjut sampai akhirnya Zaid ra berhasil diyakinkan sebagaimana `Umar ra meyakinkan Abu Bakar ra. Lalu Zaid ra berkata, “Demi Allah, seandainya kalian memberiku tugas untuk memindahkan gunung dari pegunungan, hal itu tidaklah sulit dibanding apa yang kalian tugaskan kepadaku ini.”
Zaid ra berkata, “Maka mulailah aku mencari Al-Qur’an.”
Perhatikan metoda ilmiah yang ketat yang dilakukan para sahabat empat belas abad yang lalu itu. Yang hingga kini metoda tersebut masih dibicarakan, dipelajari, dan dipakai hari ini. Kemudian Zaid ra mengumumkan ke khalayak atas perintah khalifah Abu Bakar ra, bahwa barangsiapa yang menyimpan manuskrip Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Rasulullah saw, agar menyerahkannya.
Catat, yang dicari adalah tulisan yang ditulis di hadapan Rasulullah saw, bukan tulisan lain berupa salinannya atau sebagainya. Jika datang sahabat membawa tulisan dan mengaku bahwa itu ditulis di hadapan Rasulullah saw, akan dikatakan kepadanya, “Apakah engkau bersaksi (bersumpah) atas hal itu? Apakah ada orang lain yang menyaksikan bahwa itu ditulis di hadapan Rasulullah saw?”
Demikianlah untuk setiap tulisan harus memenuhi syarat dua saksi agar diterima sebagai tulisan yang shahih. Jika tidak mencapai dua kesaksian (dimana salah seorang saksi mesti selain para penulis wahyu), maka tulisan tersebut akan ditolak.
Kesaksian Khuzaymah ra
Melanjutkan riwayatnya, Zaid ra menuturkan, “Maka kukumpulkan Al-Qur’an seluruhnya dengan metoda ini, Al-Qur’an tertulis, kecuali dua ayat yang ditulis di hadapan Rasulullah saw yang hanya disimpan oleh seorang sahabat terkemuka bernama Abu Khuzaymah ra (Khuzaymah bin Tsabit). Wahai Khuzaymah, apakah ada besertamu yang menjadi saksi terhadap dua ayat ini ditulis di hadapan Rasulullah saw?”
Penting dipahami bahwa Zaid ra pun menghafal kedua ayat tersebut, bahkan banyak diantara shahabat yang juga menghafalnya. Namun, dalam hal ini yang dicari adalah bukti Al-Qur’an yang tertulis. Khuzaymah ra menjawab, “Tidak ada.”
Akan tetapi ingatlah tentang kisah Khuzaymah di masa hidup Rasulullah saw.
Suatu ketika Rasulullah saw membeli kuda dari seorang arab badui, dan mereka sepakat tentang harganya. Lalu Rasulullah saw berkata kepadanya, “Ikutilah aku hingga aku dapat membawa bayarannya.”
Maka Rasulullah saw berjalan dengan cepat, sedangkan si arab badui yang mengikutinya berjalan lambat hingga terpisah dengan jarak yang agak jauh. Sebagian orang yang melihat si arab badui membawa kuda kemudian mendatanginya dan menyatakan ketertarikan untuk membeli kuda tersebut. Mereka tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw telah membelinya. Maka mereka menawar dengan harga yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan Rasulullah saw. Orang arab badui itu tamak, dan mendatangi Rasulullah, “Apakah engkau ingin membeli kuda ini atau biarkan aku menjualnya kepada orang lain?”
Rasulullah saw menjawab, “Bukankah aku telah membelinya darimu?”
Si badui menjawab, “Tidak, demi Allah, apakah engkau memiliki saksi?”
Adapun di tempat percakapan itu hadir pula Khuzaymah ra bersama para sahabat lain. Rasulullah bertanya kepada mereka, “Sesungguhnya aku telah membeli kuda ini dari si arab badui, tapi sekarang dia bertanya apakah aku memiliki saksi. Apakah ada diantara kalian yang bisa memberikan kesaksian?”
Para sahabat mempelajari dari Rasulullah saw bahwa yang disebut menyaksikan adalah jelas seperti halnya melihat matahari. Bagaimana mereka bisa bersaksi sedangkan semuanya tidak hadir ketika jual-beli itu?
Allah telah memuliakan Khuzaymah ra pada waktu itu dengan pemahaman yang menakjubkan. Ia berkata, “Aku bersaksi wahai Rasulullah saw.”
Kemudian ia berpaling ke orang arab badui dan berkata, “Rasulullah saw telah membeli kuda itu darimu, dan aku bersaksi atas hal itu.”
Maka si badui menjadi malu dan mengakui, kemudian mengambil bayaran dan pergi. Lalu Rasulullah saw menghampiri Khuzaymah ra dan berkata, “Wahai Khuzaymah, apakah engkau melihatku ketika aku membeli kuda itu?”
Khuzaymah ra menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”
Nabi saw pun bertambah heran, dan bertanya, “Lalu bagaimana engkau bersaksi?”
Khuzaymah ra berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau tidak seperti kami. Engkau adalah utusan Allah. Datang kepadamu berita dari langit, kami percaya. Bagaimana mungkin kami tidak percaya padamu dalam urusan dunia? Engkau berkata, ‘Telah datang Jibril kepadaku’, maka kami mempercayai hal itu. Engkau berkata, ‘Telah sampai wahyu kepadaku’, kami membenarkannya dan berkata, ‘Benar, telah turun wahyu kepadamu.’ Maka bagaimana mungkin ketika sekarang engkau berkata, ‘Aku telah membeli kuda’ kami berkata, ‘Kami tidak tahu atau mungkin saja.’?!”
Mendengar jawaban Khuzaymah ra itu, Nabi saw bersabda, “Siapa yang bersaksi atasnya Khuzaymah ra, maka itu sudah mencukupi.”
Kita ketahui bersama bahwa persaksian dalam Islam dipenuhi dengan dua orang saksi, seperti dalam firman Allah, “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah: 282)
Akan tetapi untuk Khuzaymah ra telah ditahbiskan oleh Rasulullah saw bahwa kesaksiannya mencukupi dan bernilai kesaksian dua orang. Penghargaan nubuwwah itu tetap berlaku hingga saat ketika hal itu dibutuhkan. Maka ketika Zaid ra berkata di sisi khalifah Abu Bakar ra kepada Khuzaymah ra, “Apakah ada besertamu saksi atas kedua ayat ini?”
Yaitu: pertama di surat At-Taubah ayat 128.
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan [keimanan dan keselamatan] bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Kedua di surat Al-Ahzab ayat 23.
“Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah [janjinya].”) bahwa keduanya ditulis di hadapan Rasulullah saw?”
Khuzaymah ra berkata, “Tidak ada saksi disampingku.”
Maka mengingat hadits yang disabdakan Nabi saw, Zaid ra pun mengambil tulisan Al-Qur’an yang dimiliki Khuzaymah ra dengan tenang, karena kesaksiannya bernilai kesaksian dua orang laki-laki.
Setelah terkumpul semua tulisan Al-Qur’an dengan kekuatan saksi dua orang bahwa itu semua ditulis di hadapan Rasulullah saw, Zaid ra kemudian mengambil langkah berikutnya, yakni menuangkan seluruh tulisan ke dalam satu mushhaf yang runtut ayat dan suratnya sebagaimana talaqqi dari Rasulullah saw. Penulisan itu bersifat salinan persis apa adanya tanpa intervensi. Tidak ada penambahan huruf maupun pengurangan. Tidak ada huruf pilihan atau buatan Zaid ra pada Al-Qur’an itu. Setiap apa yang kita lihat dari mushhaf sekarang, begitu pulalah ditulisnya di hadapan Rasulullah saw.
Misalnya, kata “Ash-Shalat” ditulis (الصَّلَوٰة) di setiap mushhaf dan bukan ditulis (الصّلاة) dengan alif mad. Kata (أيدٍ) pada surat Adz-Dzariyat ayat 47 ditulis (أَييدٍ) dengan dua huruf ya’ sedangkan dibaca dengan satu huruf ya’. Pada surat Al-Kahfi ayat 23 kata (لشيء) ditulis (لِشَاىءٍ) dengan diajarkan pelafalannya tanpa membaca alif (yang terletak di antara syin dan ya’).
Demikianlah Zaid ra menyalin Al-Qur’an sebagaimana yang tertulis di manuskrip-manuskrip aslinya. Oleh karena itu, kita menamai fase tersebut: proses penyalinan tanpa adanya ciptaan/rekayasa atau inovasi sama sekali. Hadirlah di sisi kaum muslimin mushhaf referensi ter-muroja`ah berupa salinan dari tulisan awal yang asli.
Mushhaf lengkap dengan urutan ayat dan surat menurut ardhah al-akhirah dimana Jibril as melakukan pengecekan terakhir atas Rasulullah saw, dan Zaid ra memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang itu. Mushhaf itu pun disimpan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq ra pada masa kekhilafahan beliau.
Al Quran Masa Khalifah `Utsman bin `Affan ra
Pasca wafatnya khalifah Abu Bakar ra, mushhaf Ash-Shiddiqiyyah beralih ke tangan `Umar bin Khaththab ra sebagai khalifah kaum muslimin yang baru selama sepuluh tahun kepemimpinan beliau. Kemudian setelah `Umar ra meninggal dunia, mushhaf tersebut disimpan oleh putrinya, Hafshah ra, ummul mukminin, istri Rasulullah saw.
Ketika `Utsman bin `Affan ra menjadi khalifah, beliau tidak serta merta mengambil alih kepemilikan mushhaf. Sebagaimana diketahui bahwa `Utsman ra memiliki sifat haya’ (malu), sehingga dapat dimengerti jika beliau mendahulukan respek ketimbang memerintahkan kepada Hafshah ra untuk menyerahkan mushhaf kepadanya sebagai khalifah yang baru. `Utsman ra memberikan kepercayaan kepada Hafshah ra dengan statusnya sebagai putri `Umar ra serta istri Nabi saw. Mushhaf berada di tangan terpercaya dan tidak perlu dikhawatirkan.
Pada masa kekhilafahan `Utsman ra, Islam meluas hingga Russia (kini) sampai Armenia dan Azerbaijan. Di daerah tersebut bertemu dua pasukan besar kaum muslimin: pasukan Iraq yang mana mereka membaca Al-Qur’an dengan qiro’at seorang sahabat yang mulia, `Abdullah bin Mas`ud ra; dan pasukan dari Syam yang membaca dengan qiro’at Abu Darda’ ra.
Di antara kedua pasukan itu saling mendengar bacaan Al-Qur’an satu sama lain. Salah seorang pasukan membaca, “(وأتموا الحج والعمرة للبيت)” kemudian yang lain berkata, “Bukan seperti itu. Tapi seperti ini: (وَاَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ للهِ)” (Al-Baqarah: 196) saling membantah dan berselisih hingga mendekati perkelahian.
Sengketa itu diketahui oleh seorang sahabat kepercayaan Rasulullah saw, yang menyimpan rahasia nama-nama orang munafiq di masa nabi, Hudzaifah bin Yaman ra, yang pada satu kesempatan pernah berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, adapun aku bertanya tentang keburukan karena takut terjerumus ke dalamnya.”
Terlihat bagaimana jauhnya pandangan Hudzaifah ra melebihi yang lain. Hudzaifah ra melihat bagaimana berselisihnya pasukan tersebut hingga saling mengaku, “Bacaanku lebih shahih daripada bacaanmu.”
Kemudian beliau kembali ke Madinah dan menyampaikan kejadian itu serta kekhawatirannya kepada khalifah `Utsman bin `Affan ra, “Cegahlah umat ini sebelum mereka menyelisihi kitabnya sebagaimana Yahudi dan Nashrani berselisih.”
`Utsman ra menghadapi situasi dimana di kalangan umat tersebar Al-Qur’an, ada yang bacaannya terdokumentasi, dan ada yang dipertanyakan. Maka `Utsman ra bertindak untuk mengembalikan kaum muslimin kepada nash yang benar, yaitu nash yang tertulis pada mushhaf ash-shiddiqiyah berupa salinan dari manuskrip yang ditulis di hadapan Rasulullah. Tentang perdebatan ayat tersebut, pada mushhaf tertulis (لله) dan bukannya (للبيت); maka yang shahih adalah (لله) dan bukannya (للبيت). Maka bagi yang membaca (للبيت) itu menyelisihi nash asli yang tertulis. Permasalahan ini terjadi pada perorangan. Namun bagaimana imbasnya jika terjadi pada seluruh umat?!
Allah telah memberi petunjuk kepada para khalifah. Dalam hal ini Rasulullah saw pun pernah bersabda, “Ikutilah sunnahku dan sunnah khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk setelahku. Gigitlah petunjuk itu dengan gerahammu.”
Khalifah `Utsman ra kemudian kembali memanggil seorang Zaid bin Tsabit ra. Seperti telah dibahas, Zaid ra adalah penulis Al-Qur’an di masa Rasulullah saw, kemudian menulisnya lagi di masa Abu Bakar ra, lalu kembali mendapat tugas yang sama di hadapan `Utsman ra.
Karena kini halnya menjadi urgen, `Utsman menghubungi Hafshah ra dan meminta dikirimi mushhaf untuk kemudian nantinya akan dikembalikan lagi. Maka Hafshah ra mengirim mushhaf utuh Al-Qur’an lengkap tertulis. Lalu dibentuklah komite yang terdiri dari orang-orang Quraisy, dikarenakan Quraisy merupakan arab yang paling fasih serta di antara mereka adalah para penulis. Komite tersebut dipimpin langsung oleh Zaid bin Tsabit ra.
Inilah fasa baru dalam sekian tahapan penulisan Al-Qur’an. Komite tersebut bertugas untuk menyalin mushhaf ash-shiddiqi, yang ditulis oleh Zaid ra di masa Abu Bakar ra, menjadi beberapa salinan. Di bawah pimpinan Zaid ra, mulailah komite ini membuat salinan demi salinan sejumlah yang diperintahkan oleh Khalifah `Utsman ra. Semua salinan itu persis seperti aslinya, huruf dan kalimatnya, merujuk kepada mushhaf ash-shiddiqi yang berasal dari tulisan di hadapan Rasulullah saw.
Mushhaf-mushhaf yang baru tersebut dikirimkan ke berbagai wilayah besar. Inilah tahap ketiga. Mushhaf itu ditujukan guna menjadi pedoman dalam menulis Al-Qur’an. Satu salinan masing-masing dikirimkan ke Kufah, Bashrah, Syam, dan Makkah. Adapun untuk Madinah disisakan dua salinan, satu untuk kaum muslimin di kota itu, dan satu lagi disimpan oleh khalifah. Dan ada yang meriwayatkan bahwa salinan juga dikirimkan ke Yaman dan Bahrain (di masa itu Bahrain adalah daerah sepanjang pesisir timur jazirah Arab yang kini wilayah itu termasuk juga Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Qatar). Maka dikatakan kepada kaum di wilayah itu untuk melihat mushhaf yang dikirimkan. Jika cocok dengan tulisan Al-Qur’an yang ada padanya, biarkan; namun jika ada yang berbeda maka buanglah (bakar) dan rujuklah kepada mushhaf dari khalifah `Utsman ra.
Catat bahwa `Utsman ra tidak mengada-adakan sesuatu yang baru. Semua yang dilakukan beliau adalah membawa umat kepada nash asli yang ditulis di masa Ash-Shiddiq. Adapun perintah membakar mushhaf yang menyelisihi adalah bentuk penghormatan terhadap kalimat-kalimat Allah yang tercantum diantaranya agar tidak dibuang bersama sampah-sampah lain.
Akhirnya, setelah hadir mushhaf referensi kiriman khalifah, masuklah ke tahapan selanjutnya yaitu penulisan salinan besar-besaran sehingga mushhaf Al-Qur’an tersebar luas di negeri-negeri kaum muslimin. Segala puji bagi Allah, karena semua mushhaf itu shahih, tidak ada tempat bagi tambahan dan tidak ada pengurangan satu huruf pun.
Tahap Penyalinan Al Quran
Perhatian kaum muslimin kepada kitab Rabb-nya seakan tiada batas, walaupun telah tersebar luas dengan jumlah yang tak terhitung. Para ulama berkata, apa yang tertulis di mushhaf yang mana tulisannya itu merujuk kepada tulisan yang dibuat di hadapan Rasulullah saw dan telah mengalami beberapa tahap salinan, mengandung dua hal pokok.
Pertama, yang bentuk tulisannya sama dengan tulisan umumnya (imla’); kedua, yang bentuk tulisannya berbeda dari tulisan umumnya di beberapa segi, atau memiliki tambahan huruf. Contoh, kata (الحَمْدُ) dari ayat “(الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَـٰلَمِينَ)” (Al-Fatihah: 2) adalah sama antara yang tertulis di mushhaf dengan tulisan biasa pada umumnya. Begitu juga halnya dengan kata (لله) dan (رب). Adapun kata (العَـٰلَمِينَ) pada imla’ (tulisan umum) ditulis dengan alif mad tegak setelah huruf `ain: (العالمين), namun ianya ditulis di hadapan Rasulullah saw berupa (العَـٰلَمِينَ) tanpa alif yang memanjang. Adapula yang tertulis dengan cara tertentu yang berbeda dengan cara membacanya, seperti kata (الصَّلَوٰة) yang ditulis dengan waw namun dibaca dengan alif. Adapun ditulis waw adalah dengan hikmah Allah yang mengetahuinya.
Para ulama kemudian mengumpulkan bagian-bagian yang pada mushhaf ditulis berbeda dengan apa yang biasa ditulis secara umumnya hingga muncullah disiplin ilmu baru yang direpresentasikan dalam kitab-kitab rasm mashahif. Dari situ dirumuskan kaidah-kaidah penulisan mushhaf yang mana terdapat perbedaan cara penulisan dengan imla’ umumnya. Misalnya, bab tentang alif yang dibuang, membahas tentang kata-kata yang menghilangkan alif seperti pada ayat “(مَـٰلِكِ يَوْمِ الدِّينِ)” (Al-Fatihah: 4) tidak ditulis dengan alif seperti (مالك) sebagaimana ia dibaca.
Contoh lain pada ayat “ذلِكَ الْكِتَـٰبُ” (Al-Baqarah: 2) juga tidak ditulis dengan alif. Ada pula, bab tentang alif tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan alif seperti pada (قَالُواْ) di akhir katanya, dan dinamai alif tafriq yang ditulis namun tidak dilafalkan. Bab tentang waw tambahan, membahas tentang kata-kata dalam Al-Qur’an yang padanya tambahan waw seperti pada (أُوْلـٰئِكَ) tertulis waw akan tetapi tidak dilafazkan.
Contoh lain pada ayat “(أُولِي الأيْدِي والأبصَـٰرِ)” (Shad: 45) waw pada kata (أُولِي) ditulis tapi tidak diucapkan. Begitu pula halnya dengan bab tentang ya’ tambahan, serta sebaliknya bab tentang ya’ yang dibuang. Kemudian bab tentang yang ditulis berpisah (أَن َّلا), sebaliknya juga bab tentang yang ditulis bersambung (أَلاَّ). Bab tentang yang ditulis dengan ta’ mabsuthah seperti pada kata (رَحْمَت) yang di beberapa bagian dalam mushhaf ditulis dengan ta’ mabsuthah; dan di bagian-bagian lain ditulis dengan ta’ marbuthah. Kesemua hal itu (beserta perkara lainnya) masuk dalam pembahasan ulama.
Demikianlah penjagaan dalam bantuk kaidah-kaidah penulisan. Hal ini dikarenakan mushhaf asli di masa `Utsman ra bisa saja lapuk karena masa, terbakar, atau hilang, atau karena peperangan. Kekhawatiran itupun terjadi. Sebagian mushhaf musnah karena terbakar, dan sebagian karena hal lainnya. Namun, nash Al-Qur’an tetap lestari dengan rahmat Allah terjaga hingga zaman kita. Maka dari itu, mushhaf yang ada pada masa kini wajib kita akui sebagai yang terjamin keshahihahnnya. Demi Allah, isinya sama dengan apa yang ditulis di hadapan Rasulullah pada tahap penulisan yang paling awal. Tidak ada tambahan huruf; tidak ada pengurangan huruf; tidak ada buatan `Utsman ra sedikitpun. Adapun penamaan mushhaf `utsmani atau rasm `utsmani adalah sebagai konotasi, bukan hakikat.
Mushhaf Utsmani
Rasm `utsmani berarti rasm (penulisan) yang disebarkan di masa `Utsman ra, dan bukan rasm yang dibuat `Utsman ra. Ada beberapa kitab yang membahas tentang ini dan mengambil kesimpulan yang berbeda. Persepsi itu tidaklah shahih. `Utsman ra tidak melakukan apapun kecuali membuat salinan mushhaf ash-shiddiqiyah. Adapun tentang pendapat-pendapat yang berkata lain, maka itu semua tanpa dalil. Dengan demikian, sampai kepada kita mushhaf tertulis yang (jism-nya: bentuk huruf-per-huruf) murni tanpa pengurangan maupun tambahan.
Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka (mereka itu pasti akan celaka), dan sesungguhnya Al Qur’an itu adalah kitab yang mulia.” (Fushshilat: 41)
Kata `aziz (yang mulia) dalam arti bahasa ialah tercegah dari apa-apa yang ingin mendekatinya. Jika dikatakan, “(فلان عزيز في قومه)” yakni bermakna ia dijaga sehingga kaumnya tidak bisa meraihnya. Kalimat “(وَإِنَّهُ لَكِتَـٰبٌ عَزِيزٌ)” yakni berarti tidak mungkin bisa didekati oleh pengubahan atau penyelewengan. “Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (Fushshilat: 42).
Semua kata dengan penulisan rasm `utsmani telah ditulis dengan hikmah yang mungkin saja sebagainnya tidak bisa dimengerti oleh kita. Begitulah Al-Qur’an adalah keajaiban yang tidak pernah habis. Maka siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur’an ditulis setelah zaman Muhammad saw hendaknya memberi bukti. Adapun perkataan-perkataan tanpa dalil, maka tidak ada pendirian dalam hal itu. (rezaervani.com)
Editor: Ustaz Sofyan Kaooy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment