Tadabbur al-Qur'an dan Pengaruhnya dalam Kehidupan
Seseorang yang
membaca atau mendengar al-Qur’an harusnya memberi pengaruh dalam kehidupannya.
Ada tambahan keimanan dan keyakinan yang dirasakan. Inilah sifat atau karakter
mukmin yang sesungguhnya, yang Allah sebutkan di dalam al-Qur’an.
Allah Azza wajalla berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ
قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ
رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila
disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya
bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka
bertawakkal.” (QS. Al-Anfal: 72)
Karenanya,
sepantasnya setiap mukmin memeriksa hatinya ketika ia membaca al-Qur’an. Adakah
tambahan keimanan itu atau tidak? Adakah tambahan keyakinan bahwa hukum-hukum
di dalam Al-Qur’an adalah sebaik-baik hukum atau tidak? Semakin yakinkah ia
pada Allah sebagai Tuhan yang satu-satunya berhak untuk disembah dan sebagai
pengatur terbaik dalam hidupnya atau tidak? Jika tidak, ia perlu memperbaiki
hati itu, karena ada yang salah atau kurang padanya.
Salah satu ciri
hati yang baik dan selamat adalah, hati yang mudah tersentuh tatkala membaca
al-Qur’an. Ia mudah menerima ayat-ayat Rabbnya, tunduk dan patuh padaNya. Sebagai
contoh, para Jin. Allah abadikan kisah mereka di dalam Al-Qur’an sebagai
pelajaran untuk semua manusia. Ketika mereka mendengar al-Qur’an, mereka
berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur’an yang sangat menakjubkan”.
Allah azza
Wajalla berfirman:
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ
فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا (1) يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ
فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
“Katakanlah (hai Muhammad), “Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya
sekumpulan jin telah mendengarkan (Al-Qur’an), lalu mereka berkata:
Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur’an yang menakjubkan, (yang) memberi
petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami
sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami.” (QS. Al-Jin:
1-2)
Pengaruh
Al-Qur’an terhadap kehidupan para Jin sangat besar. Hal itu terlihat dari
saling desak-desakan antara mereka saat ingin mendengar Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam membaca al-Qur’an. Sampai-sampai Allah Azza wajalla menurunkan
beberapa ayat guna menutup celah, agar mereka tidak menjadikan Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam sebagai tandingan bagi Allah karena kecintaan mereka padanya.
Allah Azza
wajalla berfirman:
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ
عَلَيْهِ لِبَدًا (19) قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا
(20) قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا (21) قُلْ إِنِّي لَنْ
يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا (22)
إِلَّا بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا (23)
“Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri
menyembah-Nya (mengerjakan ibadah), hampir saja jin-jin itu desak-mendesak
mengerumuninya. Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku
tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” Katakanlah, “Sesungguhnya aku
tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudaratan pun kepadamu dan tidak (pula)
sesuatu kemanfaatan.” Katakanlah, “Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang
pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tidak akan
memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.” Akan tetapi, (aku hanya)
menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barang siapa yang
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya baginyalah neraka Jahanam,
mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. Al-Jin: 19-23)
Hal seperti ini
tidak hanya terjadi pada para jin, tapi juga terjadi pada selain mereka.
Lihatlah Umar
bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Awalnya ia adalah seorang yang sangat membenci
islam, bahkan termasuk salah seorang yang paling keras permusuhannya terhadap
kaum muslimin. Tapi, ketika ia membaca al-Qur’an di rumah saudarinya yang
bernama Fatimah, hatinya bergetar, iman seketika itu juga menelusuk masuk dalam
hatinya hingga ia tak kuasa menahan dirinya agar bisa bertemu dengan Nabi
Shallallahu’alaihi wasallam. Disitulah ia mengikrarkan syahadatnya. Ia beriman,
bahkan keimanannya memunculkan keberanian para sahabat mengumumkan keimanan
mereka.
Maka dari itu,
sepantasnya setiap mukmin selalu memeriksa hatinya pada saat ia membaca
Al-Qur’an. Jika ayat-ayat Allah tidak dapat menambah keimanannya, maka dengan
apa ia akan menyelamatkan dirinya dari Siksanya? Bukankah yang selamat pada
hari kiamat adalah orang-orang bertemu Allah dengan membawa hatinya yang
selamat? Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu berkata, “Jika hati kalian bersih,
niscaya kalian tidak akan pernah kenyang dari membaca firman-firman Tuhan
kalian”. Tadabburilah al-Qur’an, itulah pintu dari hal itu.
Bulan ramadhan
adalah bulan diturunkannya Al-Qur’an. Salah satu amalan yang dianjurkan untuk
diperbanyak pada bulan ini adalah membaca al-Qur’an. Karena itu, banyak kaum
muslimin yang telah membuat jadwal dan target bacaan, berapa juz ia harus
selesaikan pada bulan ini, atau berapa kali ia harus mengkhatamkan al-Qur’an. Hanya
saja, banyak diantara mereka yang hanya fokus pada target bacaan itu, hingga
lupa bahkan kurang mempedulikan hal lain yang lebih utama dari itu pencapaian
target itu, yaitu mentadabburi setiap ayat yang ia baca. Salah satu amalan yang
sangat ditekankan dalam membaca al-Qur’an adalah mentadabburi ayat-ayatnya.
Sebab, salah satu tujuan al-Qur’an diturunkan adalah untuk ditadabburi
ayat-ayatnya.
Allah azza
wajalla berfirman:
كِتَابٌ أَنزلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ
وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan
berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran
orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shad: 29)
Tadabbur adalah
cara yang baik untuk membuat hati tersentuh pada saat membaca al-Qur’an, hingga
menambah keimanan. Siapa yang tidak melakukannya, ia tidak akan merasakan
manisnya membaca al-Qur’an. Bahkan, bisa saja hatinya tetap lebih keras
daripada batu-batu gunung setelah membaca al-Qur’an. Karena itu, mungkin kita
pernah melihat orang-orang yang membaca al-Qur’an, tapi ia menjadi orang yang
paling keras penentangannya terhadap sebagian isi al-Qur’an atau syariat yang
terkandung di dalam Al-Qur’an. Hatinya terkunci dari menerima kebenaran karena
tidak mentadabburi ayat-ayat yang ia baca.
Allah azza
wajalla berfirman:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati
mereka terkunci.” (QS. Muhammad: 24)
Ibnu Qayyim
al-Jauziyah rahimahullah berkata:
فإن القرآن لم ينزل لمجرد التلاوة وانعقاد الصلاة عليه بل أنزل
ليتدبر ويعقل ويهدى به علما وعملا ويبصر من العمى ويرشد من الغي ويعلم من الجهل
ويشفي من الغي ويهدي إلى صراط مستقيم
“Sesunggunhya al-Qur’an tidak diturunkan hanya untuk dibaca dan
melaksanakan shalat saja, tapi juga diturunkan untuk ditadabburi, dipikirkan,
dijadikan sebagai petunjuk ilmu dan amal, bisa melihat dari keadaan buta,
menjadi petunjuk dari kesesatan, menjadi ilmu dari kejahilan, menjadi penyembuh
bagi kesesatan dan menunjukkan pada jalan yang lurus”. (Ash-Shawa’iq
al-Mursalah: 1/316
Syaikh Abdul
Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Tadabburilah Al-Qur’an hingga engkau
memahami maknanya. Tadabburilah ia dari awal hingga akhir… Janganlah engkau
membacanya dengan hati yang lalai, bacalah dengan hati yang terjaga”.
(Fatawa Ibnu Baz: 9/25). Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
berkata, “Aku mewasiatkan kepada kalian wahai para pemuda, untuk bersemangat
mentadabburi al-Qur’an dan memahami maknanya. Sebab Al-Qur’an diturunkan agar
ditadabburi ayat-ayatnya oleh manusia. Tidak ada faidah membaca ayat tanpa
memahami maknanya. Jika ada ayat yang tidak kalian pahami, tanyakanlah
tentangnya”. (Liqaat Baab al-Maftuh no. 171).
Olehnya,
periksalah hati. Jika engkau membaca al-Qur’an namun tidak memberi pengaruh
terhadap hati, tidak menambah keimanan dan tidak pula menambah keyakinan akan
baiknya syariatnya, maka ketahuilah ada yang salah dengan cara kita membaca
al-Qur’an. Engkau mungkin masih jauh dari mentadabburinya. Bacalah Al-Qur’an
dengan mentadabburinya, walau satu ayat yang dibaca berulang-ulang, karena itu
merupakan kebiasaan para salaf bahkan Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
melakukannya.
Imam Ibnu
Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:
فقراءة آية بتفكر وتفهم خير من قراءة ختمة بغير تدبر
“Membaca satu ayat al-Qur’an dengan upaya memahami dan
memikirkannya lebih baik daripada membaca al-Qur’an dengan mengkhatamkannya
tanpa mentadabburi dan upaya memahaminya.” (Miftah Daar as-Sa’adah:
193)
Diantara
hal-hal yang bisa menambah keimanan kita adalah dengan sering mentadaburi
ayat-ayat al-qur’an yang allah subhanahu wata’ala turunkan kepada kita para
hamba-Nya.
Al Imam Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan :
فَلَيْسَ شَيْءٌ أَنْفَعَ لِلْعَبْدِ فِي مَعَاشِهِ وَمَعَادِهِ،
وَأَقْرَبَ إِلَى نَجَاتِهِ مِنْ تَدَبُّرِ الْقُرْآنِ، وَإِطَالَةِ التَّأَمُّلِ
فِيهِ، وَجَمْعِ الْفِكْرِ عَلَى مَعَانِي آيَاتِهِ، فَإِنَّهَا تُطْلِعُ
الْعَبْدَ عَلَى مَعَالِمِ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ بِحَذَافِيرِهِم
“Dan tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat untuk seorang hamba
dalam urusan dunia ataupun akhiratnya dan yang lebih dekat kepada
keselamatannya dari tadabur al-qur’an, memperlama memandangnya, mengumpulkan
benak fikiran atas makna-makna yang terkandung didalam ayat-ayatnya, karena
sesungguhnya hal itu bisa membuat hamba bisa mengetahui kebaikan dan keburukan
dari seluruh sisinya.”
(Madarijus salikin 1/ 448)
(Madarijus salikin 1/ 448)
Tadabbur kita
kali ini seputar firman Allah subhanahu wata’ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَإِذَا كَانُوا مَعَهُ عَلَىٰ أَمْرٍ جَامِعٍ لَمْ يَذْهَبُوا حَتَّىٰ
يَسْتَأْذِنُوهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَأْذِنُونَكَ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ
يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ۚ فَإِذَا اسْتَأْذَنُوكَ لِبَعْضِ شَأْنِهِمْ
فَأْذَنْ لِمَنْ شِئْتَ مِنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمُ اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“(Yang disebut)
orang mukmin hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya (Muhammad),
dan apabila mereka berada bersama-sama dengan dia (Muhammad) dalam suatu urusan
bersama, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum meminta izin kepadanya.
Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad), mereka itulah
orang-orang yang (benar-benar) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apabila
mereka meminta izin kepadamu karena suatu keperluan, berilah izin kepada siapa
yang engkau kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Q.S. An-Nur
62]
Asbabun Nuzul
Ayat
Imam Al-Qurtubi
rahimahullah mengatakan :
وروي أن هذه الآية نزلت في حفر الخندق حين جاءت قريش وقائدها أبو
سفيان ، وغطفان وقائدها عيينة بن حصن ؛ فضرب النبي – صلى الله عليه وسلم – الخندق
على المدينة ، وذلك في شوال سنة خمس من الهجرة ، فكان المنافقون يتسللون لواذا من
العمل ويعتذرون بأعذار كاذبة .
“Diriwayatkan
bahwa ayat ini turun saat penggalian parit sebelum perang khondaq, Suku quraisy
dipimpin Abu Sufyan, Suku Gathafan dipimpin Uyainah bin Khisn, Nabi membuat
parit didepan kota madinah, pada bulan syawal tahun kelima Hijriah, pada waktu
itu orang-orang munafik mencari-cari alasan agar tidak ikut berperang dengan
udzur yang dusta.”
Imam Al-Qurtubi
rahimahullah juga menambahkan bahwa Al-Mufassir Maqatil bin Sulaiman
rahimahullah mengatakan :
نزلت في عمر – رضي الله عنه – ، استأذن النبي – صلى الله عليه وسلم –
في غزوة تبوك في الرجعة فأذن له وقال : انطلق فوالله ما أنت بمنافق يريد بذلك أن
يسمع المنافقين
“Ayat ini turun
kepada Umar bin Khattab radhiyallahu anhu ketika meminta izin (karena udzur
syar’i) kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam pada perang tabuk untuk pulang
dan beliau shalallahu alaihi wasallam mengizinkannya dan berkata : Demi Allah
engkau bukan orang munafik, beliau menginginkan agar didengar oleh orang-orang
munafik”.
Penjelasan ayat
Pertama
Dalam ayat ini Allah subhanahu wata’ala menjelaskan bahwasannya syarat keimanan
seseorang adalah ketika orang tersebut beriman kepada allah dan rasul-Nya.
Dalam ayat ini
allah menggunakan ‘adatul hasr’ ‘innama’ yang dapat membatasi makna siapa
sesungguhnya orang-orang yang beriman menurut pandangan allah subhanahu
wata’ala.
Orang yang
beriman yaitu hanyalah mereka yang beriman kepada allah dan rasul-Nya.
Sehingga hal
ini menjadi syarat yang mutlak bahwa orang yang belum beriman kepada keduanya
atau salah satu diantara keduanya maka belum bisa disebut sebagai orang-orang
yang beriman.
Kedua
Dan diantara ciri keimanan yang sempurna adalah seseorang hendaknya tidak pergi
atau tidak menghadiri majelis tanpa seizin ketua majelis.
Ini merupakan
diantara adab-adab seorang muslim yang seyogyanya kita aplikasikan dalam
kehidupan bersosial kita. Dikarenakan tidak bisa dipungkiri bahwasannya manusia
adalah makhluk sosial maka al-qur’an sebagai landasan hidup manusia mengatur
bagaimana adab ketika bermajelis.
Termasuk ketika
akan meninggalkan majelis, tidak boleh meninggalkannya begitu saja tanpa
kata-kata izin, langsung beranjak pergi dan demikian pula ketika tidak dapat
menghadiri majelis diharuskan meminta izin. Ini bisa dikategorikan sebagai
seseorang yang kurang memiliki adab.
Ketiga
Jika memiliki udzur, seseorang diperbolehkan menyampaikan kepada pimpinan
majelis atas udzurnya.
Iya,
diperbolehkan meninggalkan majelis ketika memiliki urusan yang sangat penting,
karena sangat mungkin ketika seseorang sudah memulai majelis entah musyawarah dan
seterusnya, ternyata tiba-tiba ada sesuatu yang darurat terjadi dan harus
menghentikan majelisnya atau harus meninggalkan majelis tersebut.
Dengan syarat
udzur yang ada dan akan disampaikan tidak mengandung dusta, kemaksiatan. Serta
menimbang-nimbang antara maslahat dan madzarat antara tetap didalamnya atau
meninggalkan majelis, maka ini kembali kepada yang bersangkutan.
Keempat
Hendaknya pimpinan majelis tidak mewajibkan peserta musyawarah tetap dimajelis
ketika memiliki udzur yang mendesak.
Ini juga diantara
seni dalam memimpin rapat, musyawarah dan pertemuan. Ketika melihat ada anggota
yang mulai gelisah, tidak tenang, mungkin dia memiliki udzur yang menyebabkan
harus segera meninggalkan majelis.
Oleh karenanya,
hendaknya pimpinan musyawarah memberikannya kelonggaran dan diperkenankan
meninggalkan majelis. Ketika melihat atau mengetahui bahwa anggotanya memiliki
urusan yang sangat mendesak.
Kelima
Disunnahkan untuk memintakan ampunan bagi yang meninggalkan majelis.
Karena mungkin
saja ketika bermajelis ada hal-hal yang mengandung dosa baik perkataan maupun
perbuatan ataupun hal-hal yang sedikit menggores hati dan perasaan entah
disadari maupun tidak.
Dan yang sudah
meninggalkan majelis tidak sempat membaca do’a kafarotul majlis yang dapat
menggugurkan dosa selama dimajelis. Oleh karenanya disunnahkan untuk memintakan
ampunan baginya.
Keenam
Mengucapkan salam ketika memasuki atau meninggalkan majelis.
Sebagimana Imam
Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini beliau menyebutkan hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda :
إذا أنتهى أحدكم إلى المجلس فليسلم فإذا أراد أن يقوم فليسلم فليست
الأولى بأحق من الآخرة
“Ketika salah
seorang diantara kalian ingin duduk dimajlis hendaknya dia mengucapkan salam
dan ketika dia ingin meninggalkannya hendaknya mengucapkan salam, dan yang
memulai salam diantara keduanya itulah yang terbaik”.
Ketujuh
Istbat Sifat Allah Ghofur dan Rahim.
Dalam penutup
ayat ini allah menetapkan sifat bagi diri-Nya yaitu Ghofur dan Rahim. Sebagai
ahlussunnah waljamaah kita menyakini dan menetapkan asma’ dan sifat Allah yang
cocok untuk keagungan sifat-Nya yang tidak seperti makluk.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”
[Q.S. Asy-Syura 11]
Imam At-Tabari
ketika menafsirkan ayat ini mengatakan :
( إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ ) لذنوب عباده التائبين، ( رحيم ) بهم أن
يعاقبهم عليها بعد توبتهم منها.
“Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun untuk para hambanya yang bertaubat, dan Maha Penyayang
kepada mereka, dan tidak menghukum mereka atas dosa-dosa setelah bertaubat.”
Imam Al Ghozaly
menjelaskan bahwa akhlak adalah ibarat tentang kepribadian dalam jiwa atau
sifat yang mendorong untuk melakukan amal perbuatan dengan mudah tanpa
dipikirkan terlebih dahulu.
(Al Ihya’ 3/47)
Suatu ketika
Aisyah ditanya oleh para sahabat tentang kepribadian Rasululloh shollallohu
‘alaihi wasallam.
Maka beliau menjawab,
كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak
Rasulullah adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Dari sini dapat
kita pahami tentang mulianya akhlak Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam. Beliau
adalah pribadi yang mendasarkan segala ucapan dan perilaku dalam kehidupan
berdasarkan Al Qur’an.
Dan bahkan Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan
sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.
[Surat Al-Qalam 4]
Akhlak dan
pribadi Rasululloh shollallohu ‘alaihi wasallam tersebut teraplikasi dalam
keseharian beliau. Baik dalam hubungan pada Alloh maupun hubungan terhadap
sesama manusia, bahkan terhadap makhluk yang lain.
Dalam interaksi
pada Allah.
Beliau adalah pribadi yang sangat tekun beribadah meski telah dijamin surga dan
diampuni dosa. Ketika Aisyah bertanya kenapa Nabi beribadah sampai kaki beliau
bengkak, beliau menjawab,
أفلا أحب أن أكون عبدًا شكورًا
“Apakah aku
tidak suka jadi hamba yang bersyukur?”
(Muttafaqun ‘alaihi)
Dalam muamalah
terhadap sesama manusia.
Beliau adalah pribadi yang tidak pernah secara sengaja menyakiti orang lain.
Selalu memberi manfaat pada umat dengan apapun yang beliau miliki. Sentiasa
memberi nasehat, beramar ma’ruf dan nahi mungkar serta mendoakan kaum muslimin.
Alloh
berfirman,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا
عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sungguh, telah
datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman. [Surat
At-Tawbah 128]
Ketika
berinteraksi dengan makhluk lain.
Beliau mencontohkan untuk tetap berbuat baik dan tidak mendzolimi binatang dan
alam sekitar.
Allah
berfirman,
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ
خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ
Dan janganlah
kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah
kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat
dekat kepada orang yang berbuat kebaikan. [Surat Al A’raf : 56]
Tidak perlu disampaikan
pada semua tentang seberapa banyak hapalan Al-Qur’an yang dimiiki. Biarkan
mereka melihat Akhlak Al Qur’an dari dalam diri kita. Memberi makan orang yang
lapar, mengasihi anak yatim, memaafkan orang yang bersalah, mengajari orang jahil,
berbakti pada orang tua, menyambung silaturrahim, senyum terhadap sesama, dst.
Pelajaran utama
bukanlah semata pada seberapa banyak hapalan dan bacaan Al-Qur’an, tetapi yang
lebih utama adalah sampai dimanakah aplikasi Al-Qur’an dari diri. Selain
membaca al-Qur’an kita juga diperintahkan untuk mentadabburi makna ayat-ayat
al-Qur’an. Allah Ta’ala mengajak hamba-Nya untuk merenungkan (tadabbur)
ayat-ayat yang Dia turunkan dalam kitab-Nya dengan beberapa cara dan metode. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya): “(al-Qur’an adalah) sebuah kitab yang Kami
turunkan kepadamu, penuh berkah, agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya…” (QS.
Shad [38]: 29). Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Maka apakah
mereka tidak mentadabburi al-Qur’an ataukah pada hati mereka terdapat
gembok-gembok penghalangnya?” (QS. Muhammad [47]: 24)
Kunci Tadabbur
al-Qur’an
Bagaimana kita
bisa mentadabburi al-Qur’an? DR. Khalid ibn Abdil Karim al-Laahim dalam buku
yang ditulisnya Mafaatih Tadabbur Al-Qur’an memaparkan 10 kunci dalam
mentadabburi al-Qur’an. Meski ini bukan batasan tapi kesepuluh kunci inilah
yang paling utama yang dapat mengeluarkan seseorang dari berbagai problematika
hidup dan yang dapat mengangkatnya ke derajat tertinggi. Diantara 10 kunci
dalam mentadabburi dan menghayati al-Qur’an tersebut adalah;
1. Cinta
Al-Qur’an
Sudah dimaklumi
bahwa jika hati sudah cinta pada sesuatu, maka dia akan tertambat, selalu ingin
bertemu dan rindu padanya. Begitu juga Al-Qur’an. Kalau seseorang sudah cinta
padanya maka dia akan selalu merasa senang membacanya dan mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk memahami dan menyelami makna yang terkandung dalam
Al-Qur’an. Maka lahirlah dari situ penghayatan dan pentadabburan yang sangat
dalam. Sebaliknya, kalau tidak ada cinta ini, maka orang akan sangat sulit
sekali menyelami makna-makna al-Qur’an. Sudahkah kita mencintai al-Qur’an?
Cinta al-Qur’an
mempunyai beberapa tanda, di antaranya : Gembira bila bersua dengannya, duduk
bersanding lama dengannya tanpa bosan, selalu rindu padanya bila lama tak
bertemu atau adanya kesibukan yang menghalangi dia darinya, serta selalu
berusaha menghilangkan apapun penghalang antara dia dengannya, selalu minta
petunjuknya, percaya dan puas dengan pengarahannya dan selalu merujuk kepadanya
bila mendapatkan permasalahan hidup baik yang berat ataupun yang ringan, selalu
mentaatinya di perintah dan larangannya.
2. Meluruskan
niat (tujuan) membaca Al-Qur’an
Ada lima tujuan
yang agung ketika membaca al-Qur’an, yaitu :
1. Mengharapkan pahala, maksudnya ketika membaca al-Qur’an menghadirkan niat
memperoleh pahala
2. Bermunajat dengan Penciptanya
3. Berobat
4. Mendapatkan ilmu
5. Bertujuan untuk mengamalkannya
Bilamana seorang muslim membaca Al-Qur’an dengan menggabungkan lima tujuan
agung ini di dalam hatinya, maka pahalanya akan lebih besar dan manfaatnya akan
lebih banyak.
3. Shalat malam
bersama al-Qur’an
Maksudnya
adalah kita membaca al-Qur’an dalam shalat malam. Ini adalah termasuk kunci
yang paling utama untuk bisa mentadabburi al-Qur’an dengan baik. Banyak sekali
dalil-dalil yang menunjukkan pentingnya shalat malam, di mana amalan ini bisa
menjadikan bacaan al-Qur’an lebih bermakna. Di antaranya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala (yang artinya): “Dan pada sebagian malam hari shalat
tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabb-mu
mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”. (QS. Al-Isra : 79)
4. Membacanya
di malam hari
Waktu malam,
apalagi menjelang fajar adalah waktu yang sangat baik untuk menghayati dan
merenungi ayat-ayat al-Qur’an. Itu dikarenakan waktu itu adalah waktu yang
barakah, dimana Allah turun ke langit dunia dan dibukanya pintu-pintu langit.
Di samping waktu itu adalah waktu yang tenang dan sunyi. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya): “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat
(untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”. (QS. Al-Muzzammil:
6). Ibnu ‘Abbas radhiyallahu anhuma berkata dalam hal membaca al-Qur’an di
malam hari ini ; “Itu lebih mudah untuk memahami al-Qur’an”
5. Berusaha
mengkhatamkan al-Qur’an setiap pekan
Inilah yang
diamalkan oleh kebanyakan Sahabat radhiyallahu anhum dan para salafusshaleh,
dimana mereka adalah orang-orang yang paling menghayati dan mentadabburi serta
mengamalkan ayat-ayat al-Qur’an. Jika tidak mampu, maka mengkhatamkannya setiap
10, 20 atau 30 hari.
6. Membacanya
melalui hafalan
Orang yang
hafal al-Qur’an, dia lebih mudah untuk merenungi dan menghayati al-Qur’an,
karena al-Qur’an telah mendarah daging di dalam tubuhnya dan mudah untuk
menghadirkannya kapan saja dan di mana saja. Oleh karena itu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang sama sekali tidah hafal
al-Qur’an. Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya
orang yang di dalam dirinya tidak ada al-Qur’an walaupun sedikit, dia itu
seperti rumah yang telah usang” (HR. Tirmidzi : 2913, beliau berkata :
hadits hasan) .
7.
Mengulang-ulang ayat yang dibaca
Tujuan
diulang-ulangnya ayat adalah untuk memahami ayat yang dibaca. Lebih sering
diulang maka pemahaman dan penghayatan akan lebih dalam. Para salafussalih kita
dahulu selalu mengulang ayat-ayat yang mereka baca, mengikuti suri teladan
mereka, makhluk yang paling mereka cintai yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu menceritakan: Rasulullah melaksanakan
shalat malam hingga shubuh dengan mengulang-ulang satu ayat, yaitu ayat 118
dalam surah al-Maidah (yang artinya):
“Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah :118).
“Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Maidah :118).
8. Mengkaitkan
Al-Qur’an dengan makna dan realita kehidupan
Artinya adalah
selalu mengaitkan apa yang kita baca dari al-Qur’an dengan makna di kehidupan
nyata kita sehari-hari. Apapun yang kita temukan di kehidupan ini, kita selalu
ingat al-Qur’an dan mengaitkan dengannya. Dengan ini, al-Qur’an selalu ada di
dalam jiwa kita, hidup dan mendarah-daging. Misalnya ketika tertimpa musibah,
maka ia akan langsung mengingat firman Allah dalam surah Al-Baqarah, ayat
155-156. Begitupun terhadap peristiwa-peristwa yang lain yang dihadapinya.
9. Membaca
Al-Qur’an secara tartil
Membaca tartil
artinya membaca dengan perlahan tidak tergesa-gesa. Ini dilakukan ketika si
pembaca bisa memahami dan menghayati apa yang kita baca. Allah Ta’ala telah
memerintahkan kita semua untuk membaca al-Qur’an dengan tartil. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan bacalah al-Qur’an itu dengan
perlahan-lahan” (QS. al-Muzzammil :4).
Ibnu Katsir
rahimahullah menjelaskan ayat ini: “Maksudnya adalah bacalah dengan pelan
dan tidak tergesa-gesa, karena yang seperti itu membantu sekali dalam memahami
dan menghayati al-Qur’an“.
10. Mengeraskan
bacaan Al-Qur’an
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kita umatnya agar memperbagus
lantunan al-Qur’an dan mengeraskan bacaannya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Bukanlah
termasuk dari golongan kami orang yang tidak melantunkan al-Qur’an dengan
mengeraskan bacaannya” (HR. Bukhari : 7089 dan yang lainnya). Semoga kita
semua bisa memahami, menghayati, mentadabburi dan mengamalkan ayat-ayat
al-Qur’an. Dan semoga kita mendapatkan syafaat dari al-Qur’an.
Bukti-bukti ilmiah Al Qur'an sudah nampak di
akhir zaman ini, kemukzijatan al-Qur'an sudah diketahui dunia saat ini, dan
membuat mereka para saintific terpesona atas keilmiahan dan kemukjizatan Al
Qur'an tersebut. Prof. Dr. dr Suzane moore PhD berkata : ini sebuah kitab yang
menakjubkan karena terbukti kemukjizatannya, ia telah memperlihatkan bagaimana
Al Qur'an merupakan sebuah obat penyakit manusia.
Suara yang keluar dari tilawah seseorang akan
melayang ke udara dan kemudian masuk melewati telinga dan seterusnya di serap
oleh tubuh, kemudian ia masuk ke sel-sel yang ada dalam tubuh kita. Suara yg
terdengar dengan irama dan frekuensi tertntu mengandung informasi spesifik
sehingga dapat memberi rangsangan kepada sel-sel dalam tubuh kita.
Al Qur'an yg tersusun secara sistematik
dengan irama yang indah karena bacaan yang tartil dan pengulangan kata-katanya
sungguh menakjubkan karena ia membuat sel-sel dalam tubuh kita bisa melawan
penyakit-penyakit yang berbahaya, dengan bahasa yang menyentuh, ternyata
mengandung informasi spesifik pada setiap ayat-ayatnya. Dengan informasi yang
spesifik ini bisa membuat sel-sel yang sakit menjadi sembuh. Hasil penelitian
terkini Prof. Dr. dr. Abraham nicole PhD, bahwa sel-sel darah merah yang telah
dibacakan ayat-ayat Al Qur'an dengan bacaan tartil artinya bacaan yg indah
dengan memakai kaidah Tahsin Tajwid, ia memperlihatkan respon tertentu.
Sehingga sel-sel kanker pun bunuh diri. Bahkan virus auto imunpun lenyap.
Terbukti dari hasil penelitian Prof. Dr. dr Victor Iron PhD USA Sehingga sel-sel kanker pun bunuh diri.
Bahkan virus auto imunpun lenyap. Penelitian
lainnya membuktikan bahwa sel-sel kanker ganas menjadi normal kembali dengan
bacaan ayat-ayat Al Qur'an.
Disamping itu penelitian memperlihatkan
bahwa media yang paling baik untuk informasi Al Qur'an adalah Air putih, Madu,
minyak zaitun, air zam-zam dan makanan alami yang sangat banyak ragamnya di
dunia ini, ia bisa menjadi media informasi gelombang energi dari sebuah bacaan
Al Qur'an. Menurut sebuah survey membuktikan hanya dengan mendengarkan ayat
suci Al-Qur'an, baik mereka yang mengerti bahasa Arab atau tidak, ternyata
memberikan perubahan fisiologis yang sangat besar. Termasuk salah satunya dapat
menangkal berbagai macam penyakit. Mengapa di dalam Islam, ketika kita mengaji
disarankan untuk bersuara? Minimal untuk diri sendiri alias terdengar oleh
telinga kita.
Aamiin. Wallahu
A’lam.
Kontributor: Tim
Wahdah.or. id; Muhammad Ode Wahyu SH, Yoshi Outra Pratama, Reki Abu usa, Lc.
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment