Ta'at Kepada Allah
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ ۗ إِنَّ
اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (71)
“Kaum mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka mengajak berbuat kebajikan,
mencegah kemungkaran, melakukan shalat, mengeluarkan zakat, dan menaati Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu adalah orang-orang yang akan mendapat rahmat dari
Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa untuk menolong kaum mukmin lagi
Mahabijaksana dalam memberikan pertolongan.” [QS. At-Taubah, 9: 71]
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوا وَّآمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوا وَّآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوا وَّأَحْسَنُوا
ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ (93)
“Orang-orang beriman dan beramal shalih tidaklah dianggap salah
karena mereka dahulu biasa memakan makanan yang haram karena mereka belum tahu
bahwa makanan itu diharamkan, selama mereka tetap taat dan beriman serta
beramal shalih, kemudian taat dan beriman, kemudian taat dan ikhlas dalam
berbuat kebajikan. Allah mencintai orang-orang yang suka berbuat kebajikan.” [QS.
Al-Maaidah, 5: 93]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ
لِنَفْسِك
“Cintailah orang lain sebagaimana cintamu kepada dirimu.” [HR.
Bukhari dalam kitab Tarikhnya, Thabarani, Hakim dan Baihaqi]
Kedua
ayat di atas menegaskan bahwa upaya menciptakan rasa aman dalam kehidupan dunia
adalah dengan mematuhi syariat Allah secara konsisten. Karena ketaatan kepada
Allah menghasilkan rasa diawasi oleh Allah sehingga menciptakan kejujuran,
sifat amanah dan menjaga hak-hak orang lain serta menjauhi tindakan-tindakan
yang dapat menzhalimi orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga
mengingatkan bahwa seseorang muslim harus dapat mencintai orang lain
sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.
Dengan
terbentuknya sifat kejujuran dan rasa aman dalam kehidupan di dunia ini, maka
manusia mampu membangun peradaban dan kebudayaan yang bermutu. Sebab, dia
memiliki semangat hidup dan bekerja keras untuk kebaikan, perubahan nasib dan
segala hal yang diperlukan untuk kemajuan hidupnya di dunia.
Ketaatan
kepada Allah akan menciptakan semangat untuk kmencegah masyarakat melakukan
hal-hal yang buruk atau mungkar. Sikap kontrol terhadap perilaku negatif
masyarakat memiliki pengaruh kuat untuk menjaga akhlak, menumbuhkan rasa malu
dan mendorong semangat berlomba untuk kebaikan.
Bila
semangat mengontrol diri sendiri dan masyarakat menjadi kuat, maka rasa malu
dalam diri setiap orang akan menjadi kuat pula. Setiap keluarga dan lingkungan
masyarakat yang dibentuk di atas rasa malu dan semangat berbuat baik yang
tinggi akan melenyapkan perilaku buruk yang mengganggu ketenteraman masyarakat.
Karena itu, Allah menyebutkan para hamba-Nya yang taat kepada-Nya sebagai
orang-orang yang jujur yang termaktub pada ayat 71 At-Taubah di atas.
Orang-orang
yang taat kepada Allah dengan sendirinya harus meneladani kehidupan Rasulullah
dalam segala aspek kehidupannya. Karena Rasulullah adalah merupakan sosok yang
menjabarkan Al-Qur’an dalam praktek sebagaimana yang dikendaki oleh Allah.
Maka, orang-orang yang taat kepada Allah tidak berani menyalahi Al-Qur’an,
mengurangi ajaran Rasulullah atau menciptakan perilaku-perilaku bid’ah dalam
agama maupun perilaku-perilaku buruk dalam kehidupan bermuamalah.
Orang-orang
yang takut kepada Allah menyadari bahwa contoh-contoh yang diberikan oleh
Rasulullah merupakan bahagian dari pelaksanaan Al-Qur’an sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَلا إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“Ketahuilah, bahwa aku diberi Al-Qur’an dan hal lain yang
sama dengan itu.”
Maka
orang yang taat kepada Allah menyadari adanya kewajiban menegakkan sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan menegakkan sunnah Rasulullah
ini, menjadikan jiwanya selalu berlaku jujur, amanah dan menjaga kemaslahatan
orang lain.
Taat
kepada Allah berarti menjauhkan dirinya dari ketergantungan kepada sesama
manusia dan harta benda. Dia senantiasa memfokuskan dirinya dalam usaha mencari
keridhaan Allah dan mengnyampingkan kesenangan duniawi dalam bentuk apapun
bilamana kesenangan-kesenangan duniawi itu merusak aqidahnya dan akhlaknya.
Ketaatan
kepada Allah akan membangkitkan kuatnya keimanan kepada hal-hal yang ghaib
seperti siksa kubur, siksa neraka, nikmat kubur dan surga. Dengan adanya
kepercayaan yang kuat terhadap hal-hal yang ghaib membentuk tekad dirinya untuk
melawan hawa nafsu yang mengajak kepada kemungkaran. Orang yang taat kepada
Allah selalu menggunakan akalnya untuk berfikir menempuh jalan yang diridhai
oleh Allah dan menguburkan mata hatinya untuk melihat kebenaran ajaran-ajaran
Allah. Maka orang-orang yang taat kepada Allah menyadari fungsi dan
kewajibannya dalam kehidupan di dunia iniyaitu sebagai makhluk yang diamanati
mengelola dunia dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.
Orang-orang
yang taat kepada Allah terbuka hatinya untuk bersikap kasih sayang, menghargai
orang lain dan terbuka terhadap kritik atas segala kesalahan yang dilakukannya
dalam kehidupan di dunia ini. Karena dia menyadari hanya Allah yang selalu
benar dan dirinya bisa salah atau bisa benar.
Oleh
karena ketaatan kepada Allah menghidupkan jiwa dan akal manusia untuk mencapai
sifat-sifat yang baik seperti sikap berterus terang, berani, jujur menghargai
orang lain dan bertanggung jawab mencegah kemungkaran di tengah masyarakat,
maka jiwa yang taat kepada Allah pasti menghasilkan dunia yang dipenuhi kejujurabn,
keadilan, kesejahteraan dab keamanan. Inilah yang disebut oleh Allah dengan
dinanungi barokah yang datang dari langit dan bumi.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ
آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ وَلَٰكِن كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96)
“Sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan taat
kepada Allah, niscaya Kami akan bukakan pintu-pintu berkah kepada mereka dari
langit dan dari bumi. Akan tetapi karena penduduk negeri-negeri itu mendustakan
agama Kami, maka Kami timpakan adzab kepada mereka akibat dari dosa-dosa
mereka.” [QS. Al-A’raaf, 7: 96]. []
Di
dalam pembahasan tentang perintah Allah untuk taat kepada Rasul-Nya, Al-Baihaqi
berkata : ” Bahwa keterangan tentang ketaatan kepada Allah adalah dengan
mentaati utusan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ
الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ
أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ
أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya
orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia
kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya
sendiri dan barangsiapa menetapi janjinya kepada Allah maka Allah akan
memberinya pahala yang besar”.
[Al-Fath/48 : 10]
Dan
firman-Nya.
مَنْ
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa
yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”. [An-Nisaa/4 : 80]
Imam
Syafi’i berkata : ” Dalam ayat ini Allah mengajarkan kepada mereka bahwa
membai’at Rasulullah berarti sama dengan membai’at Allah dan taat kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah taat kepada Allah, maka Allah
berfirman.
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya”.
[An-Nisa/4 : 65].
Imam
Syafi’i mengatakan : “Ayat ini diturunkan
pada seorang laki-laki yang bersengketa dengan Az-Zubair tentang hak penyiraman
tanah kebun, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa
penyiraman itu adalah milik Az-Zubair, dan ketetapan itu adalah Sunnah dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mana dalam Al-Qur’an tidak ada
suatu hukum yang menetapkan tentang perkara ini.
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Az-Zubair : Bahwa seorang
laki-laki dari golongan Anshar bersengketa dengan Az-Zubair tentang tanah datar
yang penuh bebatuan dan tempat mengalirnya air, yang mana air dari tempat itu
digunakan untuk menyirami pohon kurma, laki-laki dari golongan Anshar itu
berkata :”Biarkan air itu mengalir”, lalu Zubair tidak memenuhi permintaan itu,
maka kedua orang ini menyerahkan perkara itu kepada Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Siramilah
wahai Zubair kemudian alirkanlah air itu kepada tetangga”. Lalu laki-laki
Anshar itu berkata : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah
keputusan itu didasari karena Az-Zubair adalah saudara sepupumu”, maka
berubahlah roman wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
bersabda.
“Wahai
Zubair siramlah kemudian bendunglah air itu hingga kembali kepada
dinding-dinding (pembatas)”.
Kemudian
Az-Zubair berkata : “Demi Allah sesungguhnya aku menduga bahwa ayat ini
diturunkan berkenaan dengan hal itu”. Yakni ayat.
فَلَا
وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
“Maka
demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan”. [An-Nisa/4 : 65]
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa
yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barangsiapa yang
durhaka terhadapku maka ia telah durhaka terhadap Allah”. Dan diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Datang malaikat
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau tidur, sebagian malaikat
berkata bahwa beliau tidur dan sebagian lain berkata bahwa yang tidur adalah
matanya namun hatinya jaga. Malaikat ini berkata : “Sesungguhnya sahabat kalian
ini memiliki perumpamaan maka berilah perumpamaan baginya”. Maka di antara
malaikat ada yang berkata : “Sesungguhnya beliau tidur”, sebagian lain berkata
: “Sesungguhnya mata beliau tidur namun hatinya jaga”, maka malaikat itu
berkata : “Perumpamaannya adalah bagaikan seorang laki-laki yang membangun
sebuah rumah, di dalam rumah itu ia menyediakan meja yang di atasnya terdapat
hidangan, lalu ia mengutus orang untuk mengundang. Adapun yang memenuhi
undangan itu maka ia masuk ke dalam rumah itu dan memakan hidangan itu,
sedangkan yang tidak memenuhi undangan tersebut, maka tidak masuk ke dalam
rumah itu dan tidak memakan hidangan tersebut”. Para malaikat itu berkata :
“Ta’wilkanlah itu padanya sehingga dipahaminya”. Maka di antara mereka ada yang
berkata : “Sesungguhnya beliau sedang tidur”, sebagian lainnya berkata :
“Sesungguhnya matanya tertidur sedangkan hatinya jaga”, maka berkata malaikat
itu : “Rumah itu adalah Surga, sedang orang yang mengundang itu adalah Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang mentaati Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam berarti ia taat kepada Allah, dan barangsiapa yang durhaka
terhadap Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti ia telah durhaka
terhadap Allah. Muhammad adalah (sosok) yang dapat membedakan manusia”.
Dan
telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“‘Setiap
umatku akan masuk Surga kecuali yang tidak mau.?’. Para sahabat bertanya :
‘Wahai Rasulullah siapakah yang tidak mau ?’. Beliau bersabda : ‘Barangsiapa
yang taat kepadaku maka ia masuk Surga dan barangsiapa yang tidak taat padaku
maka dialah yang tidak mau (masuk Surga)”.
Berkata
Imam Syafi’i : Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَا
تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ
يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang
yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih”.
[An-Nur/24: 63]
Diriwayatkan
oleh Al-Baihaqi dari Sufyan tentang firman Allah : “Maka hendaklah orang-orang
yang menyalahi perintah rasul takut akan ditimpa cobaan”. Ia (Sufyan) berkata :
Maksudnya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup hati mereka untuk
menerima segala sesuatu yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kepada mereka dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka, maka Allah berfirman.
“Apa
yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah”.
[Al-Hasyr : 7].
Diriwayatkan
oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
ia berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala melaknat wanita yang mentato tubuhnya,
wanita yang meminta di tato tubuhnya, wanita yang mencabut bulu (alis dan bulu
mata) dan wanita yang membuat cela diantara giginya untuk memperindah (dirinya)
dengan merubah bentuk ciptaan Allah”, kemudian ucapan Ibnu Mas’ud ini sampai
kepada seorang wanita yang dikenal dengan panggilan Ummu Yaq’ub, maka Ummu
Yaq’ub datang kepada Ibnu Mas’ud dan berkata : “Sesungguhnya telah sampai
berita kepadaku bahwa engkau mengucapkan begin dan begitu”, maka Ibnu Mas’ud
berkata : “Apa tidak boleh saya melaknat orang yang dilaknat Rasulullah, dan
hal itu telah disebutkan dalam Kitabullah”, lalu Ummu Yaq’ub berkata :
“Sesungguhnya saya telah membaca seluruh Al-Qur’an dan saya tidak mendapatkan
tentang hal itu”, Ibnu Mas’ud berkata : “Jika engkau telah membaca Al-Qur’an
maka engkau telah mendapatkan tentang itu, apakah engkau membaca firman Allah.
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Artinya
: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkan”. [Al-Hasyr/59 : 7]
Wanita
itu menjawab : “Ya”, Ibnu Mas’ud berkata : “Sesungguhnya Rasulullah Shallalahu
‘alaihi wa sallam telah melarang hal itu”.
Berkata
Imam Syafi’i : “Al-Qur’an juga telah menerangkan bahwa sesungguhnya Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi petunjuk pada jalan yang lurus,
Allah berfirman. “Tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami
tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus (Yaitu)
jalan Allah”. [Asy-Syura : 52-53]
Berkata
Imam Syafi’i : “Kewajiban bagi manusia yang hidup di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bagi manusia yang hidup setelah beliau adalah
kewajiban yang sama, yaitu diwajibkan bagi tiap-tiap manusia untuk taat kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian
Al-Baihaqi mengeluarkan suatu riwayat dengan sanadnya dari Maimun bin Marhan
tentang firman Allah.
فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah)”. [An-Nisa’/4 : 59].
Maksud
“mengembalikan kepada Allah” dalam ayat ini adalah mengembalikan kepada
kitab-Nya yaitu Al-Qur’an, sedangkan mengembalikan kepada Rasul Shallallahu
‘alaihi wa sallam, jika beliau telah wafat “adalah kembali kepada Sunnah
beliau”. Selanjutnya Al-Baihaqi menyebutkan suatu hadits riwayat Abu Daud dari
Abu Rafi’i, ia berkata : Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘laihi wa sallam.
“Sungguh
aku akan dapatkan seseorang di antara kalian yang tengah bersandar di atas
dipannya kemudian datang kepadanya suatu perkara dariku yang aku perintahkan
kepadanya atau aku larang baginya, lalu ia berkata: “Saya tidak tahu, apa yang
kami temukan di dalam Kitabullah maka kami mengikutinya”.
Imam
Syafi’i berkata : “Dalam hadits ini terkandung berita dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memberitahukan kepada umatnya bahwa
mereka diharuskan mengikuti Sunnah Rasulullah walaupun tidak ada nashnya di
dalam Al-Qur’an”.
Kemudian
Al-Baihaqi menyebutkan suatu hadits yang diriwayatkan pula oleh Abu Daud dari
Al-‘Irbadh bin Syariyah, ia berkata : “Kami singgah bersama Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Khaibar dan bersama beliau ada para sahabat
beliau, di antara penduduk Khaibar terdapat seorang laki-laki yang datang
menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, laki-laki itu berkata : “Wahai
Muhammad, apakah kalian akan menyembelih keledai-keledai kami, apakah kalian
akan memakan buah-buahan kami, dan apakah kalian akan memukuli wanita-wanita
kami .?, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam marah dan beliau bersabda.
“Wahai
Ibnu Auf (seorang sahabat) naikilah kudamu, kemudian serukan panggilan agar
mereka berkumpul untuk melaksanakan shalat”.
Maka
para sahabat berkumpul dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami mereka
shalat, kemudian beliau berdiri dan bersabda.
“Apakah
seorang di antara kalian yang bersandar pada dipannya menduga, bahwa Allah
tidak mengharamkan sesuatu kecuali yang ada di dalam Al-Qur’an ini, ketahuilah
bahwa sesungguhnya aku -demi Allah- telah memerintahkan, aku telah menasehati,
dan aku telah melarang beberapa hal, sesungguhnya semua itu adalah sama dengan
Al-Qur’an atau lebih, dan sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak membolehkan
bagi kalian untuk masuk ke dalam rumah-rumah para ahlul kitab kecuali dengan
izin, tidak boleh memukul para wanita mereka, tidak boleh memakan buah-buahan
mereka, kecuali jika mereka memberi pada kalian dari apa yang ada pada mereka”.
Rujukan: Kitab Miftahul
Jannah fii-Ihtijaj bi As-Sunnah oleh Al-Hafizh Al-Imam As-Suyuthi, hal.
36-46 Terbitan Darul Haq, penerjemah Amir Hamzah Fachruddin.
*********************************
Kontributor: Al-Hafizh
Al-Imam As-Suyuthi ; Al-Ustadz Muhammad Thalib. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar,
MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment