Tadabbur Al-Qur’an
Surah al-Ashr 1-3
Allah Azza wajalla berfirman:
وَٱلۡعَصۡرِ
١ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَفِي خُسۡرٍ ٢ إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلۡحَقِّ وَتَوَاصَوۡاْ بِٱلصَّبۡرِ ٣
“Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr:1-3)
Faidah:
1.
Penamaan surah ini hanya dengan satu kata yaitu al-Ashr (waktu), memberi kesan
pertanyaan kepada para pembaca, “Ada apa dengan waktu?”. Hal ini akan menarik
rasa ingin tahu para hamba tentang hikmah di baliknya dan memunculkan sifat
pengagungan serta rasa penasaran terhadapnya. Sehingga ketika mereka membaca
dan mengetahuinya, keagungan kandungan dan petikan hikmahnya akan sangat
menyentuh hingga merasuk di dalam dada.
2.
Surah ini sangat singkat, namun isinya menyebutkan solusi dan jalan keluar agar
selamat dari keburukan. Ia menyebutkan seluruh jalan keselamatan hanya dalam
satu kalimat yang terkumpul dalam tiga ayat.Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata:فهذه
السورة على اختصارها هي من اجمع سور القرآن للخير بحذافيره والحمد لله الذي جعل
كتابه كافيا عن كل ما سواه شافيا من كل داء هاديا إلى كل خير“Walau
surah ini ringkas, ia merupakan diantara surah-surah al-Qur’an yang terkumpul
padanya tuntunan pada kebaikan secara menyeluruh. Segala puji bagi Allah yang
menjadikan kitabNya mencukupi segala sesuatu selainnya, penyembuh
terhadap segala penyakit dan petunjuk pada seluruh kebaikan”. (Miftah
Daar as-Sa’adah: 1/57)Syaikh Abu Bakar al-Jazairi rahimahullah berkata:فضيلة
سورة العصر لاشتمالها على طريق النجاة في ثلاث آيات حتى قال الإِمام الشافعي لو ما
أنزل الله تعالى على خلقه حجة إلا هذه السورة لكفتهم“Surah
al-Ashr adalah surah yang memiliki keutamaan karena ia mengandung jalan keselamatan
yang disebutkan pada 3 ayat. (Karena keagungan hal ini) sampai-sampai imam
asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Jika Allah tidak menurunkan
hujjah kepada makhluk-makhlukNya kecuali hanya surah ini, niscaya surah ini
telah mencukupi mereka”. (Aisaru at-Tafasir: 4/426)
3. Allah Azza wajalla bersumpah
demi waktu, memberikan isyarat bahwa kerugian yang akan datang pada manusia
pasti akan berhubungan dengan waktu, bukan kerugian harta yang dapat diganti,
ataupun kerugian karena berpisah dengan kekasih yang sifatnya bisa saja dilupa.
Kerugian ini adalah kerugian hidup yang akan dipertanggung jawabkan bersama
perputaran waktu.Syaikh Ali ath-Thantahwi rahimahullah berkata:الله
قد أقسم بالعصر (الذي هو الزمان) على أن الإنسان لفي خسر إشارة إلى أن هذه الخسارة
تأتي حتما مع الزمان وليست خسارة مال يعوض ولا خسارة حبيب ينسى إنها خسارة الحياة
نفسها.
“Allah Azza wajalla bersumpah dengan al-Ashr (yaitu
zaman/waktu), yaitu bahwa manusia benar-benar berada dalam kerugian. Hal ini
memberi isyarat bahwa kerugian ini datang secara pasti bersama waktu, ia
bukanlah kerugian yang bersifat harta yang dapat diganti atau kerugian cinta
yang dapat dilupa. Ia adalah kerugian hidup itu sendiri”. (Nurun Wa Hidayah:
25)
4. Allah Azza wajalla menyebutkan
golongan/orang-orang yang akan selamat dari kebinasaan yang sifatnya
berhubungan dengan waktu, yaitu orang yang beriman, beramal saleh, saling
bernasehat dalam kebaikan dan saling bernasehat untuk bersikap sabar.
Penggunaan
huruf و athaf
“Wau athaf” menunjukkan golongan-golongan yang selamat yang disebutkan dalam
surah ini, keseluruhan sifatnya saling berkaitan secara talazum. Maksudnya
semua sifat harus saling melazimi keberadaannya pada setiap sifat yang lain).
Sehingga, setiap orang yang beriman harus beramal saleh dan harus saling
menasehati dalam kebenaran dan takwa. Orang-orang yang beriman tanpa beramal
saleh adalah orang-orang yang berdusta dalam pengakuannya. Demikian pula
orang-orang yang saling menasehati dalam kebenaran tanpa kesabaran hanya
seperti orang-orang yang menyembah Allah dengan hati yang tidak sepenuhnya.
Allah Azza
wajalla memulai firmanNya dalam surah ini dengan mengabarkan akan
adanya kebinasaan bagi orang-orang yang menyia-nyiakan waktu, lalu menyebutkan
orang-orang yang selamat darinya. Hal ini agar manusia tidak putus asa dalam
kehidupannya karena bingung dalam memilih jalan mana yang dapat
menyelamatkannya. Hal ini juga menunjukkan cinta Allah yang sangat besar kepada
hamba-hambaNya yang tidak membiarkan mereka sedikitpun bingung dalam memilih
jalan.
Pengurutan
jalan keselamatan dalam ayat ini disebutkan secara teratur. Mulai dari iman,
amal, berwasiat dalam kebanaran lalu diakhiri dengan kesabaran. Allah
mengisyaratkan bahwa perkara yang harus paling awal dilakukan adalah beriman.
Sebab amalan yang baik tanpa disertai iman hanya bagikan debu-debu yang berterbangan.
Setelah itu, Allah lanjutkan dengan amal dan nasehat dalam kebenaran. Ini
mengiysaratkan bahwa amalan yang dilakukan setiap muslim haruslah di atas
kebenaran. Terakhir Allah menutupnya dengan wasiat dalam kesabaran. Ini adalah
penutupan yang sangat sangat indah dan sempurna. Allah menutup dengan memberi
isyarat bahwa dalam melakukan setiap jalan keselamatan itu, baik iman, amal dan
kebenaran pasti akan mendapatkan berbagai macam ujian. Maka hendakklah setiap
manusia yang berharap keselamatan, bersabar dalam menjalankan semua itu.
Allah ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2)
إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ
وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْ3)
”Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati
kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).
Surat Al ‘Ashr merupakan
sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena
pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum
muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan
tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy
Syafi’i rahimahullah berkata ,لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ
”Seandainya setiap manusia
merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir
Ibnu Katsir 8/499].
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, ”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].
Iman yang Dilandasi
dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah
ta’ala menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam
kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya
seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak
untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari
satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa
kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat
kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].
Kriteria pertama, yaitu
beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena
keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna
jika tanpa ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama).
Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang
dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti
prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib
dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam
mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
”Menuntut ilmu wajib bagi
setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).
Imam Ahmad rahimahullah
berkata,
يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ
مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ
”Seorang wajib
menuntut ilmu yang bisa membuat dirinya mampu menegakkan agama.” [Al Furu’
1/525].
Maka merupakan sebuah
kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang
wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah.
Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat
keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah
ta’ala berfirman,
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
”Sebelumnya kamu
tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman
itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya
siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).
Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan
menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan
ilmu tersebut. Maksudnya, seseorang dapat mengubah ilmu yang telah
dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam
pemikiran dan amalnya. Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah
لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا
عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِم
”Seorang yang
berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya.
Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari
Hushul al-Ma’mul).
Perkataan ini mengandung makna
yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau
mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak
ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan
ilmunya.
Oleh karena itu, seorang yang
berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian,
karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
,”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).
Berdakwah kepada
Allah
Berdakwah, mengajak manusia
kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang
yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)
“Katakanlah,
“inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu)
kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).
Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang
lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ
Demi Allah,
sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu,
itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).
Oleh karena itu, dengan
merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah
mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan
mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.
Sangat aneh, jika disana
terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka
hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit
pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.
Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
”Tidak sempurna
keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya
memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).
Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.
Bersabar dalam
Dakwah
Kriteria keempat
adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah
ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam
perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai’ menyeru manusia
untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat
masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].
Hendaklah seorang da’i
mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa
dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)
”Dan sesungguhnya
telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar
terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai
datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).
Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),
”Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).
Pada akhir tafsir surat Al
‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]
”Maka dengan dua
hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri.
Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat
menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut,
manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir
Rohmaan hal. 934].
Semoga Allah memberikan taufik
kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat
memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat
kelak.
Bagaimanakah
menjadi orang yang sukses? Sukses yang dimaksud di sini bukan hanya untuk diri
sendiri, namun juga bisa menyelamatkan orang lain. Sukses inilah yang selamat
dari kerugian di dunia dan akhirat. Simak tafsir surat Al ‘Ashr berikut.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْعَصْرِ (1)
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3).
Demi Masa. Allah
bersumpah dengan al ‘ashr, yang dimaksud adalah waktu atau umur.
Karena umur inilah nikmat besar yang diberikan kepada manusia. Umur ini yang
digunakan untuk beribadah kepada Allah. Karena sebab umur, manusia menjadi
mulia dan jika Allah menetapkan, ia akan masuk surga.
Manusia Benar-Benar dalam Kerugian. Manusia benar-benar berada
dalam kerugian. Kerugian di sini adalah lawan dari keberuntungan. Kerugian
sendiri ada dua macam kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah.
Yang pertama, kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia
luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim. Yang kedua, kerugian dari
sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah mengglobalkan kerugian pada setiap
manusia kecuali yang punya empat sifat: (1) iman, (2) beramal sholeh, (3)
saling menasehati dalam kebenaran, (4) saling menasehati dalam kesabaran.
1- Mereka yang Memiliki Iman. Yang
dimaksud dengan orang yang selamat dari kerugian yang pertama adalah yang
memiliki iman. Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah perintah
beriman kepada Allah dan beriman kepada-Nya tidak diperoleh kecuali dengan
ilmu. Iman itu diperoleh dari ilmu.
Syaikh Sholeh Alu Syaikh
berkata bahwa iman di dalamnya harus terdapat perkataan, amalan dan keyakinan.
Keyakinan (i’tiqod) inilah ilmu. Karena ilmu berasal dari hati dan akal. Jadi
orang yang berilmu jelas selamat dari kerugian.
2- Mereka yang Beramal Sholeh. Yang
dimaksud di sini adalah yang melakukan seluruh kebaikan yang lahir maupun yang
batin, yang berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, yang wajib maupun
yang sunnah.
3- Mereka yang Saling Menasehati dalam
Kebenaran. Yang dimaksud adalah saling
menasehati dalam dua hal yang disebutkan sebelumnya. Mereka saling menasehati,
memotivasi, dan mendorong untuk beriman dan melakukan amalan sholeh.
4- Mereka yang Saling Menasehati dalam
Kesabaran. Yaitu saling menasehati
untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah dan menjauhi maksiat, juga sabar
dalam menghadapi takdir Allah yang dirasa menyakitkan. Karena sabar itu ada
tiga macam: (1) sabar dalam melakukan ketaatan, (2) sabar dalam menjauhi
maksiat, (3) sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa menyenangkan atau
menyakitkan.
Sukses pada Diri dan Orang Lain. Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
“Dua hal yang pertama (iman dan amal sholeh) untuk menyempurnakan diri manusia.
Sedangkan dua hal berikutnya untuk menyempurnakan orang lain. Seorang manusia
menggapai kesempurnaan jika melakukan empat hal ini. Itulah manusia yang dapat
selamat dari kerugian dan mendapatkan keberuntungan yang besar.” (Taisir Al
Karimir Rahman, hal. 934).
Sudah Mencukupi dengan Surat Al ‘Ashr. Seandainya Allah menjadikan
hujjah hanya dengan surat Al ‘Ashr ini, maka itu sudah menjadikan hujjah kuat
pada manusia. Jadi manusia semuanya berada dalam kerugian kecuali yang memiliki
empat sifat: (1) berilmu, (2) beramal sholeh, (3) berdakwah, dan (4) bersabar.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah
berkata,
هذه السورة لو
ما أنزل الله حجة على خلقه إلا هي لكفتهم
“Seandainya Allah
menjadikan surat ini sebagai hujjah pada hamba-Nya, maka itu sudah mencukupi
mereka.” Sebagaimana hal ini dinukil oleh Syaikh Muhammad At Tamimi dalam
Kitab Tsalatsatul Ushul.
Semoga
Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang sukses dan selamat dari
kerugian dunia lan akhirat.
Referensi:
Taisir
Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As
Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1423 H.
Naskah Tsalatsatul Ushul
karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan sanad dari guru kami, Syaikh
Sholeh bin ‘Abdillah bin Hamad Al ‘Ushoimi
Syarh
Tsalatsatul Ushul,
Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Maktabah Darul Hijaz,
cetakan pertama, tahun 1433 H.
Kontributor: Muhamma Ode Wahyu S.H, Muhammad Nur Ichwan Muslim. Ustadh
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email:
istazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment