Pembelajaran Ilmu-ilmu Islam dari Kitab Asli berbahasa Arab
Penggunaan kitab berbahasa
Arab dalam pembelajaran ilmu-ilmu keislaman adalah sesuatu yang umum diketahui.
Akan tetapi, kali ini, kita akan mengganti istilah yang lazim disebut yaitu kitab
kuning dengan istilah yang lebih esensial dan mengena, yaitu kitab Arab. Keistimewaan
kitab-kitab berbahasa Arab tersebut bukan terletak pada warna kertas kitab
tersebut dicetak. Itu sifatnya kondisional semata. Keistimewaan yang sebenarnya
adalah kualitas keilmuan penulisnya dan keluasan khazanah keilmuan yang hanya
ditampung dalam tulisan-tulisan berbahasa Arab. Sebagian orang mempertanyakan,
mengapa kita mesti bisa membaca rujukan berbahasa Arab dalam mempelajari
berbagai ilmu keislaman? Bukankah kita dapat juga merujuk pada buku-buku
berbahasa Indonesia. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan berbagai sisi.
Pertama, dari sisi
waktu. Kalau diibaratkan penulisan cabang-cabang ilmu keislaman sebagai sebuah
perlombaan, maka tulisan-tulisan berbahasa Arab unggul jauh sekali dibandingkan
tulisan berbahasa Indonesia, Melayu atau bahasa daerah di Nusantara.
Tulisan paling tua
dalam cabang ilmu keislaman yang berbahasa Melayu selalu direpresentasikan oleh
tulisan para ulama Islam Nusantara seperti Nuruddin al-Raniry atau Abdurrauf
al-Singkily. Keduanya bisa dikatakan memiliki tulisan berbahasa Melayu dalam
cabang ilmu fiqih dan tafsir pertama yang bisa terlacak saat ini. Padahal
keduanya hidup pada era abad 16 dan 17 Masehi, bandingkan dengan tulisan para
ulama yang mula-mula merintis tulisan dalam berbagai cabang ilmu keislaman
dalam bahasa Arab yang telah bermunculan dan berkembang sejak abad 8 dan 9
Masehi. Artinya, ada kesenjangan sejauh 9 abad jika membuat perbandingan
seberapa jauh dan luasnya khazanah keilmuan Islam dalam rujukan berbahasa Arab
dengan bahasa Nusantara. Jarak sembilan abad tersebut tentu tidak kecil pengaruhnya
dalam menentukan tingkat kepadatan ilmu yang tertampung dalam dua bahasa
tersebut.
Dalam
celah waktu sembilan abad tersebut juga sudah lahir beberapa tokoh ulama Islam
yang dikenal sangat produktif menulis. Tokoh dimaksud, misalnya, Imam Ghazali,
Ibn Taimiyah, Imam Nawawi, Jalal al-Din al-Suyuthi dan sebagainya. Bayangkan
jika pemikiran-pemikiran mereka yang sangat melimpah-ruah telah berabad-abad
tertulis sedangkan penulisan khazanah Islam dalam tulisan Nusantara pada waktu
bersamaan baru saja dimulai.
Sisi yang kedua,
untuk menjawab pertanyaan di atas adalah tingkat keluasan ilmu yang sangat
kontras jika membandingkan antara rujukan berbahasa Nusantara dengan rujukan
berbahasa Arab. Dalam kajian fiqh, setiap mazhab mu'tabar di dunia Islam telah
melahirkan ribuan ulama yang ikut menulis Mazhab fiqih mereka.
Beberapa tulisan
bahkan memuat informasi yang sangat banyak, sehingga cetakannya sampai pada
belasan bahkan puluhan jilid. Kitab-kitab fiqih yang dimaksud seperti al-Majmu',
al-Mabsuth, al-Mughny dan lain sebagainya. Kitab-kitab fiqih tersebut
memuat ragam penjelasan bab-bab fiqih secara lengkap, sehingga kita dapat
mencari informasi tentang hukum sebuah perkara dalam tinjauan fiqih bahkan
sampai kepada perkara yang paling musykil sekalipun. Hal ini tidak akan dapat
kita temukan dalam rujukan-rujukan fiqih berbahasa Indonesia karena belum ada
rujukan fiqih dengan tingkat keluasan pembahasan yang serupa di dalam bahasa
Indonesia. Kecuali hanya terjemahan-terjemahan untuk kitab Arab, padahal
kitab-kitab fiqih yang diterjemahkan secara tuntas ke dalam bahasa Indonesia
jumlahnya masih sangat terbatas.
Berikutnya, dalam
keilmuan tafsir dan hadis, penulisan tafsir yang secara tuntas menafsirkan ayat
al-Quran dari ayat pertama sampai terakhir dalam bahasa Indonesia selalu
terbatas pada tulisan-tulisan tafsir karangan Quraish Shihab, Buya Hamka,
Hasbie al-Shiddiqie, Abdurrauf al-Singkily. Karena rujukan tersebut yang
memungkinkan untuk diakses. Padahal jika merujuk pada tulisan berbahasa Arab,
penulisan tafsir yang lengkap sangat melimpah, sampai pada titik kita akan
kewalahan jika hendak mengkaji seluruhnya. Bahkan penulisan tafsir dalam bahasa
Arab dapat dipisah-pisah menjadi corak-corak tertentu.
Ada tafsir yang
kental dengan nuansa pembahasan hukum seperti al-Qurthuby, kental dengan
nuansa kebahasaan seperti Zamakhsyary, kental dengan pembahasan logika
seperti tafsir al-Razi, kental dengan pembahasan sains seperti tafsir Thantawy
Jauhari dan ada yang kental dengan nuansa tema sosial kemasyarakatan
seperti Tafsir Wahbah Zuhaili. Ragam corak dan nuansa seperti gambaran
di atas belum dapat kita temukan dalam rujukan tafsir berbahasa Indonesia atau
Melayu.
Kesenjangan yang
lebih parah terjadi dalam kajian hadis. Kitab-kitab dokumentasi hadis
kebanyakan sudah diberikan syarahan oleh para ulama dalam tulisan berbahasa
Arab. Sehingga, jika kita hendak mendalami uraian yang lebih jauh ketika
menemukan sebuah hadis, kita hanya perlu menemukan hadis tersebut
didokumentasikan oleh perawi siapa lalu membaca syarahan kitab hadis tersebut,
misalnya Fathul Bari untuk syarah hadis Bukhari, Syarah
al-Minhaj untuk Hadis riwayat Muslim dan sebagainya. Sedangkan
penulisan syarahan hadis dalam buku-buku berbahasa Indonesia masih amat sangat
sepi.
Keterbatasan
rujukan tafsir dan syarahan hadis dalam bahasa Indonesia dampaknya tidak
sederhana. Setiap permasalahan dalam agama Islam selalu berdasarkan pada ayat
al-Quran atau hadis, sehingga setiap hendak mendalami suatu permasalahan,
mencari ayat-ayat al-Quran dan hadis tentang topik tersebut adalah jalan
terbaik, kemudian membaca tafsir dan syarahan untuk masing-masing ayat dan
hadis. Namun bagi pelajar yang tidak mampu menelaah rujukan berbahasa Arab, hal
ini menjadi sebuah kesia-siaan besar.
Situasi yang lebih
parah terjadi pada cabang keilmuan yang telah dipecah menjadi lebih spesifik
dari cabang ilmu pokoknya. Misalnya saja cabang ulum al-Qura'n yang dapat
dipecahkan menjadi puluhan cabang ilmu lainnya. Spesialisasi ilmu tertentu
dalam Ulumul Quraan bahkan sama sekali belum tersedia rujukannya dalam bahasa
Indonesia.
Cabang yang
dimaksud seperti pembahasan tentang Mu'arrabah (kosa kata serapan di luar
bahasa Arab yang digunakan di dalam Al-Qur'an), wujuh dan al-Nazhair (kajian
tentang ragam pemaknaan kosa kata di dalam Al-Qur'an), ilmu Gharib al-Qura'n
(kajian kosa kata yang musykil di dalam Al-Qur'an), ilmu munasabah (harmoni
antara ayat-ayat di dalam Al-Qur'an) dan cabang-cabang ilmu yang lain.
Ilmu-ilmu
tersebut telah tersedia tulisan khusus para ulama yang memfokuskan pada topik
tersebut, tetapi dalam rujukan bahasa Indonesia rujukannya amat sangat terbatas
bahkan jika tidak dikatakan tidak ada sama sekali. Kenyataan ini nantinya
mengakibatkan para pelajar Islam akan kesulitan untuk mencari rujukan pada
banyak kajian penting jika tidak mampu membaca kitab-kitab Arab.
Sisi
yang ketiga, adalah kesesuaian dengan fase-fase pembelajaran ilmu keislaman.
Jika menyusun sebuah kurikulum cabang ilmu keislaman dari tingkat dasar sampai
tingkat lanjut, maka penggunaan kitab Arab adalah solusi yang tidak terelakkan.
Misalnya untuk kajian fiqih Syafi'i menggunakan jenjang kitab secara berurutan
dari Safinatun Naja', matn al-Ghayah wa al-Taqrib, Fath al-Qarib, Fath
al-Mu'in, Kanz al-Raghibain dan seterusnya. Atau, dalam cabang ilmu
nahwu dengan urutan matn al-Jurumiyah, Mutammimat al-Jurumiyah,
al-Khudhury dan sebagainya. Rentetan penggunaan rujukan yang sesuai dengan
jenjang pendidikan pelajar seperti gambaran di atas rasanya akan sulit
diterapkan pada rujukan-rujukan berbahasa Indonesia.
Sisi keempat,
adalah kemudahan akses. Keterbatasan jumlah buku bacaan keilmuan Islam di
perpustakaan selalu menjadi kendala bagi para pelajar saat sedang mengurai
kajian tertentu. Sebagian pelajar mungkin mencari jalan keluar dengan membeli
buku, namun tentu saja para pelajar akan berhadapan dengan masalah lain seperti
keterbatasan biaya, kelengkapan toko buku yang juga belum memadai dan ada
banyak buku yang boleh jadi tidak terlacak.
Adapun
jika berbicara tentang rujukan berbahasa Arab, kita akan memperoleh kemudahan
yang lebih besar dari sisi akses dan keterjangkauan. Banyak kitab-kitab besar
dan penting sudah tersedia scan pdf-nya di internet belum lagi kemudahan yang
ditawarkan oleh aplikasi semacam Maktabah syamilah dan sejenisnya. Hal ini juga
termasuk kemudahan yang tersia-siakan bagi pelajar yang tidak mampu membaca
kitab-kitab Arab.
Sisi yang kelima,
adalah keotentikan informasi di dalamnya. Seringkali buku-buku dalam bahasa
Indonesia hanyalah kutipan dan olahan dari pemikiran dari tulisan berbahasa
Arab. Hal ini secara tidak langsung menjadikan membaca kitab Arab seperti
memperoleh suatu komoditas yang lebih dekat dari sumbernya dibandingkan rujukan
berbahasa Indonesia.
Hal
ini juga mengurangi potensi distorsi dan manipulasi data yang bisa saja
dilakukan oleh penulis berbahasa Indonesia yang menyajikan pemikiran seorang
ulama secara tidak utuh dan persis seperti digambarkan oleh kitab para ulama
itu sendiri yang berbahasa Arab.Terakhir, melalui tulisan ini penulis hendak
mengajak para pelajar Islam dan umat Muslim secara umum agar lebih menyadari
betul urgensi penguasaan untuk membaca kitab kuning. Orang tua pelajar harus
memerhatikan kemampuan anaknya dalam hal ini.
Seorang pelajar
sendiri harus serius sedini mungkin mempelajari perangkat-perangkat yang
diperlukan untuk dapat membacanya kitab-kitab Arab. Seorang pengajar juga harus
memperhatikan anak didiknya dalam masalah ini.
Kita
tidak bisa pungkiri bahwa lemahnya kemampuan para pelajar untuk menelaah
kitab-kitab Arab secara tidak langsung menyebabkan kelesuan perkembangan
khazanah keilmuan Islam di Indonesia dan Aceh khususnya.
Dari
penjelasan di atas dapat dilihat betapa pentingnya penguasaan Bahasa Arab dalam
membaca, memahami dan menelaah kitab-kitab Arab tersebut.
*****************************
Kontributor: Rudy Fachruddin. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment