Nasehat al-Qur’an Kepada Penguasa
Terlebih
dahulu marilah kita memuji kebesaran Ilahi dengan mengucapkan, “Alhamdulillahi
Rabbil ‘Alamin”. Segala ungkapan puji dan syukur kita tujukan hanya kepada
Allah, Pengatur dan Penguasa alam semesta. Atas berkat rahmat Allah-lah,
sehingga pada hari ini kita dapat menjalankan perintah agama, yaitu
melaksanakan shalat Idul Fitri berjamaah di tempat ini.
Kemudian,
kita sampaikan shalawat dan salam kepada pemimpin para Rasul dan penutup para
Nabi, Muhammad shallalhu ‘alaihi wasallam yang telah diutus
Allah subhanahu wa ta’ala sebagai uswah hasanah, tauladan
hidup terbaik, bagi manusia. Shalawat dan salam juga kita sampaikan pada
keluarga beliau, para shahabat, tabi’in dan tabi’ut-tabi’in serta seluruh kaum
Muslimin yang istiqamah berpegang teguh pada ajaran Islam hingga hari kiamat.
Sebagai Muslim, kita ridha Islam
sebagai agama dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah subhanahu wa ta’ala.
Semoga kita semua mendapatkan ampunan Allah dan terbebas dari dosa. Kita mohon
kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar berkenan menjadikan ibadah kita sebagai
saksi yang meringankan kelak di yaumul akhir; dan menjadikan kita semua berhak
mendapatkan syafaat-Nya, ketika harta dan anak-anak tidak lagi berguna bagi
pemiliknya
يَوْمَ لَا
يَنفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ – 88 – إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ –
89 –
“Pada hari kiamat, ketika harta dan
anak-anak tidak lagi berguna bagi pemiliknya, kecuali bagi orang yang kembali
kepada Tuhannya dengan bekal amal shalih dan hati yang ikhlas.” (Q.s. Asy-Syu’ara [26]: 88-89)
Al-Hafizh Ibnu Jarir at-Thabari
rahimahullah, ketika menafsirkan ayat 35 surat Al-Maidah ini mengatakan:
“Hai orang-orang yang membenarkan
semua yang diberitakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya kepada
kalian, dan Dia telah menjanjikan pahala dan mengancam dengan hukuman.
Sambutlah seruan Allah subhanahu wa ta’ala dalam seluruh perkara yang
diperintahkan dan dilarang untuk kalian dengan penuh ketaatan kepada-Nya, dan
wujudkanlah keimanan kalian dan pembenaran kalian kepada Rabb dan Nabi kalian
dengan amal-amal shalih kalian”.
Barangkali, di antara kita ada yang
bertanya, mengapa harus takut pada Allah? Bukankah Allah Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Pengampun, kenapa ditakuti? Pernahkah kita menyadari, berapa
banyak orang yang mengaku dirinya muslim, tapi tidak shalat, tidak puasa. Dia
melanggar larangan Allah, melakukan korupsi, berzina, judi, mabuk, mengkonsumsi
narkoba, LGBT, makan riba, menolak syariat Islam, menyebar hoax, melakukan
kecurangan. Begitu lancang dia melakukan hal-hal yang dilarang agama, sebaliknya
dia meninggalkan perintah agama, bahkan meremehkan ajaran-ajaran agama. Mengapa
semua itu bisa terjadi? Hal itu disebabkan betapa minim rasa takutnya kepada
Allah subhanahu wa ta’ala.
Takut kepada Allah adalah karakter orang yang bertaqwa, sebagai bukti imannya kepada Allah. Ketahuilah, hanya orang-orang yang takut kepada Allah sajalah yang rela tunduk pada perintah maupun larangan-Nya. Akan tetapi, manusia terkadang lebih takut sudah dinasihati oleh Allah subhanahu wa ta’ala: kepada sesama manusia daripada kepada Pencipta manusia, Allah Ta’ala. Padahal
َلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ … – 5:44 “
“…janganlah kamu takut kepada
manusia, tetapi takutlah kepada-Ku”.
(QS. Al Ma’idah [5]: 44)
Ada sebuah peristiwa politik, yang
menggambarkan situasi orang yang takut pada Allah. Ketika seorang ustadz
diintrogasi oleh penyidik dalam perkara pidana akibat aktivitas dakwah dan
politiknya. Sang ustadz ditanya tentang hartanya, berapa rumah dan luas tanahnya.
Termasuk berapa banyak kendaraan yang dimilkinya. “Saya tidak punya rumah dan
tanah, yang saya tempati sekarang milik mertua saya. Kendaraan yang saya punya,
1 buah kijang lama dan 2 motor supra,” jawab sang ustadz terus terang. Tapi
penyidik belum puas. “Sebutkan lagi harta lainnya,” desak penyidik. Sang ustadz
merasa dipaksa mengakui yang dia tidak punya. Ia yakin tidak bersalah atas
tuduhan yang dialamatkan padanya. Ia pun menerawang dan matanya berkaca-kaca,
air matanya meleleh tak terbendung. “Kenapa Anda menangis?” tanya penyidik
penasaran. “Saya teringat neraka, di dunia saja sudah demikian rinci di tanya
tentang harta, bagaimana nanti di akhirat. Semua pasti di minta pertanggung
jawaban yang kita tidak akan bisa mengelaknya,” jawab ustadz, seperti
mengingatkannya pada sabda Nabi Muhammad shallalhu ‘alaihi wasallam yang
artinya: “Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba (pada hari
kiamat) sehingga ia ditanya tentang umurnya digunakan untuk apa, tentang
ilmunya apa yang ia lakukan, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan
digunakan untuk apa, dan tentang pisiknya mengapa ia menyia-nyiakannya”.
(HR. Tirmidzi, dan ia berkata: hadits ini hasan shahih).
Polisi penyidik spontan mengatakan:
“Waaahh ustadz, saya jadi takuut….!” Kedua, ayat ini juga mengandung perintah
untuk beramal shalih sebagai wasilah untuk mendekatkan diri pada Allah.
Wasilah, artinya segala sarana yang dapat mendekatkan seseorang pada Allah
subhanahu wa ta’ala, dengan melakukan amal-amal shalih, seperti mentauhidkan Allah
subhanahu wa ta’ala, membaca dan mentadabur Al-Qur’an, menjauhi segala macam
bentuk kesyirikan, melaksanakan shalat, puasa, zakat, haji, sedekah,
silaturahim, menolong orang-orang yang susah, dan kebaikan lainnya.
Imam Qatadah berkata, “Hendaklah kalian
mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dengan menaati dan
mengerjakan segala yang diridhai-Nya.” Ibadah dan amal kebaikan merupakan
wasilah yang efektif untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Amar ma’ruf dan nahi mungkar, yaitu mengajak kepada kebaikan dan mencegah
kejahatan, juga termasuk wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu
wa ta’ala. Jabatan dunia juga bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada
Allah, asalkan jabatan itu diraih dengan cara jujur, bukan dengan cara curang.
Seorang polisi atau tentara, dapat menggunakan jabatannya untuk mendekatkan
diri pada Allah, apabila jabatannya itu digunakan untuk bela negara dan
melindungi rakyat demi mencari keridhaan Allah.
Bahkan kekuasaan pemerintahan juga
dapat menjadi wasilah bagi penguasa, untuk mendekatkan diri pada Allah,
sepanjang kekuasaan itu digunakan untuk menegakkan keadilan, mensejahterakan
kehidupan rakyat, dan tidak dijadikan alat untuk menentang agama Allah. Nabi
Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ أَحَبَّ
النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا
إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ
مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
“Sesungguhnya manusia yang paling
dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi
Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci
oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang
zalim.” (HR. At-Tirmidzi)
Ketiga, ayat ini juga mengandung
perintah untuk berjuang membela Islam. Setelah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan
kita untuk bertakwa, mengikuti jalan hidup yang diridhai Allah, lalu
meninggalkan semua yang haram dan berbuat ketaatan. Kemudian Allah subhanahu wa
ta’ala memerintahkan kita untuk berjihad membela agama-Nya. Mengapa Islam harus
dibela? Karena Islam adalah agama Allah yang tidak pantas diabaikan ajarannya
oleh siapapun. Ajaran Islam terlalu hebat untuk dinista, ditolak, ataupun
dijauhkan dari kehidupan manusia. Karena itu, Islam harus dibela dan
diperjuangkan supaya ajarannya terlaksana dalam kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara.
Berkata Syaikh Dr. Abdul Aziz
Tharifi: “Wahai Al-Mushlih, orang-orang
yang melakukan perbaikan. Para ulama, kyai, ustadz, tuan guru, ajengan, atau
siapapun yang mendedikasikan dirinya di jalan Allah…! Allah hendak menjaga
agama-Nya melalui dirimu, bukan menjaga duniamu dengan menggunakan agama-Nya.
Karena itu jika hilang sesuatu dari duniamu di jalan agamamu, maka itu adalah
konsekuensi dari perjanjianmu dengan Rabb-mu. Karena sungguh Allah telah
membeli jiwamu…” “Sungguh Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin
dengan pahala surga. Mereka telah berperang guna membela Islam, lalu mereka
membunuh atau dibunuh…” (Qs. At-Taubah [9]:111)
PESAN AL-QUR’AN PADA PENGUASA
Dimana pun di dunia ini, rakyat
tentu mendambakan seorang Pemimpin, apakah ia Presiden, Gubernur,
Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa, lurah dan lain sebagainya, yang dalam
jiwanya mengalir nilai-nilai kemanusian, kebenaran dan keadilan. Pemimpin
merupakan penentu hidup dan pola perilaku masyarakat yang dipimpinnya. Di
tangan pemimpinlah warna kehidupan bangsa/Negara sangat tergantung. Jika
seorang pemimpin adil, keadilan akan dengan sangat mudah merayap dalam tatanan
kehidupan masyarakat. Begitupun sebaliknya, bila pemimpinnya zalim, maka
kehidupan rakyat tertindas dan sengsara.
Dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin,
hujjatul Islam Imam al-Ghazali mengingatkan. “Sesungguhnya, kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para penguasanya. Dan kerusakan penguasa disebabkan
oleh kerusakan ulama. Dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan
kedudukan. Dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi, ia tidak akan mampu
mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala
persoalan.”
Dalam kaitan ini, Allah
mengamanahkan pada para penguasa negara dengan firman-Nya:
الَّذِينَ إِن
مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ
وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ
الْأُمُورِ – 22:41
“Orang-orang mukmin adalah
orang-orang yang ketika Kami beri kekuasaan di muka bumi, mereka melaksanakan
shalat, membayar zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran. Di
akhirat kelak, hanya Allah-lah pemberi balasan atas semua amal manusia.” (Q.s. Al-Hajj [22]: 41)
Inilah pesan Al-Qur’an kepada para
penguasa. Ayat ini secara spesifik mengingatkan kepada penguasa muslim, yang mendapat
amanah kekuasaan mengelola pemerintahan negara, agar mereka melaksanakan
shalat, menunaikan zakat, serta menyuruh anggota masyarakatnya agar berbuat
yang ma’ruf serta mencegah dari yang munkar. Penguasa berkewajiban
memfasilitasi rakyatnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi segala bentuk
kemungkaran.
Al-Qur’an telah menjadikan amar
ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh manusia berbuat baik, mencegah perbuatan
jahat, sebagai identitas generasi terbaik di dunia. Oleh karena itu, para
penguasa pusat maupun daerah, harus menjadikan perintah ini sebagai program
utama pemerintahannya. Islam tidak menghendaki manusia berkubang dalam dosa,
sehingga masyarakat harus diselamatkan dari kemungkaran dan kemaksiatan. Allah
berfirman:
وَاتَّقُوا
فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً ۖ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ – 8:25
“Wahai kaum mukmin, janganlah kalian
membiarkan adanya kemungkaran di sekitar kalian. Sebab jika adzab Allah turun,
tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat kemungkaran saja, bahkan juga
menimpa orang-orang shalih yang berada di tengah mereka. Ketahuilah bahwa adzab
Allah itu sa¬ngat keras”. (Q.s.
Al-Anfal [8]: 25)
Selanjutnya, Imam al-Ghazali menekankan, bahwa
aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar adalah kutub terbesar dalam urusan agama.
Ia adalah sesuatu yang penting, dan karena misi itulah, maka Allah mengutus
para nabi. Jika aktivitas amar ma’ruf nahi munkar hilang, maka syiar kenabian
hilang, agama menjadi rusak, kesesatan meluas, kebodohan akan merajalela, satu
negeri akan binasa. Jujur diakui, di zaman ini kema’rufan telah digerus oleh
derasnya arus kemunkaran. Begitu mudahnya kemunkaran masuk ke dalam rumah-rumah
kaum muslimin, melalui media cetak dan elektronik, yang setiap hari dikonsumsi
oleh masyarakat.
Lima belas abad yang lalu,
Rasulullah shallalhu ‘alaihi wasallam telah menubuwah-kan tentang datangnya
arus kemerosotan, dekadensi moral, kejahatan dan kemaksiatan ini. Sebagaimana
tergambar dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Umamah, mengenai
dialog Nabi dan para sahabatnya yang seakan keheranan akan munculnya hal
tersebut. “Bagaimana kamu, jika isteri-isterimu telah berbuat zina, dan
pemuda-pemudanya telah fasik, dan kamu telah meninggalkan jihad?” Sahabat
bertanya, “Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ya, demi
Dzat yang diriku ada ditangan-Nya’ lebih dari itu akan terjadi.” Sahabat
bertanya, “Apa yang lebih berat dari itu wahai Rasulullah?” Nabi bersabda,
“Bagaimana kamu, jika kamu tidak melaksanakan amar ma’ruf dan nahi mungkar?”
Mereka bertanya, “Apakah itu akan terjadi wahai Rasulullah ?” Nabi bersabda,
“Ya, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, lebih dari itu akan terjadi!”
Mereka bertanya, “Apakah yang lebih dari itu wahai Rasul Allah?” Nabi bersabda,
“Bagaimana kamu jika kamu melihat yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar
menjadi ma’ruf?” Mereka bertanya, “Apa kah itu akan terjadi wahai Rasulullah?”
Nabi menjawab, “Ya, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, yang lebih dari
itu akan terjadi !” Mereka bertanya, “Apa yang lebih dari itu wahai
Rasulullah?” Nabi bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika kamu memerintahkan yang
mungkar dan melarang yang ma’ruf?” Mereka bertanya, “Apakah itu akan terjadi
wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ya, demi Dzat yang diriku berada di
tangan-Nya, lebih dari itu akan terjadi !” Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Aku bersumpah demi Aku, akan Aku buka untuk mereka fitnah, di mana orang yang
sabar (penyantun) karena fitnah itu menjadi kebingungan.” (HR. Abid-Dunya)
Nampaknya, sebagian besar dari
poin-poin yang diperingat-kan Rasulullah shallalhu ‘alaihi wasallam kini sudah
terjadi. Seorang istri atau suami selingkuh sudah sering kita dengar.
Begitupun, terjadinya pelacuran, seks bebas dikalangan remaja, LGBT, miras,
narkoba, pencuri, perampok, pembunuhan, judi, korupsi, dekadensi moral, sudah
jadi budaya. Sementara pemuda fasiq yang menyebarkan paham sesat atheisme,
liberalisme, zionisme, salibisme, sehingga yang ma’ruf menjadi munkar, dan yang munkar menjadi
ma’ruf, sudah tersebar di negeri kita. Sebaliknya yang terjadi, dakwah kepada
Islam dan syari’atnya dianggap radikal atau garis keras. Dan para da’i pun
dituduh sebagai fundamentalis, ekstrimis, fanatik, yang posisinya selalu
tertuduh. Bahkan ada upaya pihak tertentu membenturkan ulama dengan penguasa;
dengan membentuk tim asistensi hukum, yang tugasnya memantau, mengawasi manakah
ucapan, aksi dan perbuatan masyarakat yang dapat dkategorikan melanggar hukum
untuk ditindak hingga dipenjara.
Lebih buruk dari semua ini manakala
hati masyarakat telah mati atau sakit, setelah lamanya bergaul dengan
kemungkaran dan mendiamkannya, sehingga kehilangan rasa religiusitasnya.
Apabila suara kebenaran mulai meredup. Sementara teriakan kebathilan semakin
menggelora untuk mengajak pada kerusakan, memerintahkan untuk berbuat
kemungkaran dan melarang dari yang ma’ruf. Maka, bencana besar yang akan
menimpa masyarakat dan Negara, dengan berkuasanya orang-orang jahat sehingga
menjadi penyesalan sepanjang masa.
Rasulullah shallalhu ‘alaihi
wasallam bersabda: لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ، وَلَتَنْهَوُنَّ
عَنِ الْمُنْكَرِ ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ … ، ثُمَّ
يَدْعُو خِيَارُكُمْ فَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ
“Hendaklah kalian menyeru kepada
yang ma’ruf dan melarang dari yang munkar. Jika tidak, maka Allah akan
menguasakan atas kalian orang-orang yang paling jahat di antara kalian.
Kemudian, meskipun orang-orang terbaik di antara kalian berdo’a, tidak akan
diijabah oleh-Nya.” (HR. Al-Bazzar dari Abu Hurairah.
Dinyatakan Hasan oleh As-Suyuthi dalam Jami’ush Shaghir)
Oleh karena itu, barang siapa yang
diberikan kekuasaan oleh Allah, lalu ia menjalankan perintah Allah, maka ia
akan memperoleh akibat yang baik. Sebaliknya, barang siapa yang diberikan
kekuasaan oleh Allah, namun ia mengedepankan hawa nafsunya, maka meskipun ia
memperoleh kekuasaan dalam waktu tertentu, namun akibatnya tidak baik dan
kepemimpinannya tercela. Ulama dan Umara menjadi barometer yang menentukan
lemah atau kuatnya sebuah negara. Apabila masyarakat dan negara dipimpin oleh
penguasa yang zalim, sedangkan ulamanya menjadi corong penguasa, sementara
Syariat Islam dicampakkan dan dimusuhi, maka kehancuran negara dan masyarakat
sudah berada di depan mata. Sebaliknya, apabila penguasanya adil, para ulamanya
bersikap tegas, berani dan ikhlas, menjaga pelaksanaan Syariat Islam, maka
itulah sebaik-baiknya masyarakat dan negara yang kita dambakan bersama.
Pada kesempatan yang penuh barakah
ini, tidak lupa kita bersyukur kehadhirat Allah subhanahu wa ta’aladimana
bangsa Indonesia berhasil melewati tahun politik yang terasa mencekam. Rakyat
Indonesia telah sukses melaksanakan hak konstitusionalnya, memilih presiden
melalui Pilpres tanggal 17 April 2019. Walaupun demikian, saat kita mencermati
pelbagai peristiwa tragis yang melingkupi atmosfer politik negeri kita
akhir-akhir ini, hati terasa kian gundah dan gelisah. Sejumlah kabar duka turut
menyelimuti aktivitas Pemilu 2019. Ratusan orang anggota kepolisian dan petugas
KPPS gugur dalam menjalankan tugas. Sebanyak 554 orang meninggal dunia, 3.788
orang jatuh sakit. Korban ini jauh melebihi korban tragedi bom Bali tahun 2002,
sebanyak 202 orang dan bom Sri Langka 21 April 2019, 207 orang meninggal dunia
dan 450 orang lainnya terluka. Ini tragedi nasional. Kita semua ikut berduka
cita dengan meninggalnya lebih dari lima ratus orang “korban demokrasi” yang
telah berjuang keras menyelenggarakan pemilu, sekalipun berakhir dengan
kematian.
Marilah kita bermunajat kepada
Allah, semoga kematian saudara-saudara kita, korban pesta demokrasi, serta
berbagai bencana yang terus datang silih berganti, menyadarkan kita, khususnya
para penguasa bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam pengelolaan negeri ini.
Marilah kita berdo’a dengan meluruskan niat, membersih-kan hati dan
menjernihkan pikiran, semoga Allah berkenan menerima ibadah puasa Ramadhan kita
dan mengampuni dosa-dosa kita.
Segala puji bagi Allah Rabbul
alamin. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Pujian yang menyamai nikmat-Nya dan menandingi keutamaan-Nya. Ya Rab kami,
untuk-Mu pujian yang sebanding dengan kebesaran dan kemuliaan wajah-Mu dan
kebesaran kekuasaan-Mu. اِYa
Allah, ampunilah dosa kaum Muslimin dan Muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik
yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon
kepada engkau akan keselamatan Agama dan sehat badan, dan tambahnya ilmu
pengetahuan, dan keberkahan dalam rizki dan diampuni sebelum mati, dan mendapat
rahmat waktu mati dan mendapat pengampunan sesudah mati. Ya Allah, mudahkan
bagi kami waktu (sekarat) menghadapi mati, dan selamatkan dari siksa neraka,
dan pengampunan waktu hisab. Ya Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar itu
sebuah kebenaran dan berikan rizki kepada kami untuk mengikutinya. Tampakkanlah
kepada kami yang batil itu sebuah kebatilan dan berikan rizki kepada kami agar
menjauhinya.] Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami karunia yang telah
Engkau janjikan kepada kami melalui rasul-rasul-Mu. Janganlah Engkau jadikan
kami hina pada hari kiamat kelak. Sungguh Engkau tidak akan menyalahi janji-Mu.
Ya Allah, anugerahkanlah kepada kami kehidupan yang baik di dunia, dan
kehidupan yang baik di akhirat dan hindarkanlah kami dari azab neraka. Semoga
shalawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad shallalhu ‘alaihi
wasallam, keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan
dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah
kepada para rasul dan segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam.[]
***********************************
Kontributor: Ustadz Irfan
S. Awwas (Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin). Editor: Ustaz Sofyan
Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment