Keutamaan Tahfiz al-Quran
Pertanyaan: Apa manfaat yang didapatkan bagi
penghafal (Al-Qur’an)) di dunia dan di akhirat? Dan apa yang didapatkan kerabat
dan keturunannya? Bagaimana dengan generasi sebelum dan sesudahnya?
Teks Jawaban: (Oleh Syeikh Muhammad Shalih
al-Munajjid)
Alhamdulillah.
Pertama: Sesungguhnya
menghafal Al-Qur’an itu adalah ibadah, dimana pelakunya mengharapkan wajah dan
pahala Allah di akhirat. Tanpa niatan ini, dia tidak akan mendapatkan pahala
bahkan akan disiksa karena memalingkan ibadah ini ke selain Allah Azza Wajalla.
Seharusnya penghafal Qur’an jangan meniatkan dalam hafalannya manfaat dunia
yang dihasilkan karena hafalannya bukan barang dagangan yang dijadikan bisnis
di dunia. Bahkan ia adalah ibadah yang dipersembahkan di sisi Tuhannya Tabaroka
wa ta’ala. Allah telah memberikan kekhususan kepada penghafal Qur’an dengan
beberapa kekhususan di dunia dan di akhirat, diantaranya:
1.Bahwa dia
didahulukan daripada yang lainnya dalam shalat sebagai imam. Dari Abu Mas’ud
Al-Ansori berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
" يؤم
القوم أقرؤهم لكتاب الله فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة فإن كانوا في
السنة سواء فأقدمهم هجرة فإن كانوا في الهجرة سواء فأقدمهم سلما ولا يؤمن الرجل
الرجل في سلطانه ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه. رواه مسلم (673)
“Yang mengimami suatu kaum adalah yang
paling banyak hafalan Kitab Allah. kalau dalam bacaan (hafalan) itu sama, maka
yang lebih mengetahui sunnah. Kalau dalam sunah sama, maka yang paling dahulu
hijrahnya. Kalau dalam hijrahnya sama, maka yang paling dahulu masuk Islam. Dan
jangan seseorang menjadi Imam atas saudaranya dalam kekuasaannya. Dan jangan
duduk di tempat duduk khusus di rumahnya kecuali atas seizinnya. ( HR. Muslim, 673.)
Dari Abdullah bin
Umar berkata, “Ketika generasi pertama dari kalangan orang-orang Muhajirin
di temapat Quba’ sebelum kedatangan Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam,
yang menjadi imam mereka adalah Salim budak Abu Huzaifah dimana beliau paling
banyak (hafalan) Qur’an.” (HR. Bukhori, (660).
2. Beliau
didahulukan atas lainnya dalam kuburan dihadapkan ke kiblat kalau mengharuskan
dikubur bersama lainnya. Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu nahuma berkata:
كان النَّبي صلى الله عليه وسلم يجمع
بين الرجلين من قتلى " أحد " في ثوب واحد ثم يقول : أيهم أكثر أخذاً
للقرآن ؟ فإذا أشير له إلى أحدهما قدَّمه في اللحد وقال : أنا شهيد على هؤلاء يوم
القيامة وأمر بدفنهم في دمائهم ولم يغسلوا ولم يصل عليهم. رواه البخاري (1278)
“Dahulu Nabi sallallahu alaihi wa
sallam mengumpulkan dua orang yang wafat pada ‘Perang Uhud’ dalam satu baju
kemudian beliau bersabda, “Siapa diantara mereka yang paling banyak mengambil
Qur’an? Ketika ditunjuk salah satunya, maka beliau dahulukan ke dalam liang
lahad. Seraya bersabda, “Saya menjadi saksi untuk mereka di hari kiamat. Dan
beliau memerintahkan untuk menguburkan dengan darahnya tanpa dimandikan dan
tanpa dishalati.” ( HR. Bukhori,
(1278).
3. Didahulukan
dalam kepemimpinan kalau dia mampu mengembannya. Dari Amir bin Wailah
sesungguhnya Nafi’ bin Abdul Harits bertemu dengan Umar di Asfan. Dimana dahulu
Umar telah mengangkatnya di Mekkah. Maka beliau mengatakan, “Siapa yang anda
angkat untuk penduduk wadi (Mekkah)? Maka dia menjawab, “Ibnu Abza? (Umar)
bertanya, “Siapa Ibnu Abza? Dijawab, “Diantara budak-budak kami. Berkata,
“Apakah anda angkat untuk mereka seorang budak? Dijawab, “Beliau pembaca
(penghafal) Kitab Allah Azza Wajalla dan beliau pandai dalam bidang ilmu Faroid
(ilmu warisan). Maka Umar mengatakan, “Maka sesungguhnya Nabi kamu semua
sallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah mengangkat
dengan Kitab ini suatu kaum dan merendahkan kaum lainnya.” HR. Muslim, 817.
4. Kedudukan
penghafal Qur’an adalah di akhir ayat yang dihafalkannya. Dari Abdullah bin Amr
dari Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
" يقال
لصاحب القرآن : اقرأ وارتق ورتل كما كنت ترتل في الدنيا فإن منزلتك عند آخر آية
تقرأ بها "
رواه الترمذي (2914) و قال : هذا حديث
حسن صحيح ، وقال الألباني في " صحيح الترمذي برقم (2329) : حسن صحيح ، وأبو
داود (1464) "
“Dikatakan kepada
pemilik Qur’an, “Bacalah dan naiklah serta bacalah secara tartil. Sebagaimana
anda membaca tartil di dunia. Karena kedudukan anda di ayat terakhir yang anda
baca.” ( HR. Tirimizi,
(2914) dan berkomentar: Hadits ini Hasan Shoheh. Albani mengomentari di Shoheh
Tirmizi no. 2329 Hasan Shoheh. Abu Dawud, (1464). Maksud bacaan
disini adalah mengahafalkan.
5. Dia bersama
para Malaikat sebagai teman di rumahnya. Dari Aisyah radhiallahu anha dari Nabi
sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مثل الذي يقرأ القرآن وهو حافظ له مع
السفرة الكرام البررة ومثل الذي يقرأ وهو يتعاهده وهو عليه شديد فله أجران. رواه
البخاري (4653) و مسلم (798)
“Perumpamaan orang yang membaca Qur’an
sementara dia telah menghafalkannya. Maka bersama para Malaikat yang mulia. Dan
perumpamaan yang membaca dalam kondisi berusaha keras (belajar membacanya) maka
dia mendapatkn dua pahala.’
( HR. Bukhori, 4653 dan Muslim, 798.
6.Dia akan diberi
mahkota kemulyaan dan gelang kemulyaan. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari
Nabi sallallahu alahi wa sallam bersabda:
: يجيء
القرآن يوم القيامة فيقول : يا رب حلِّه ، فيلبس تاج الكرامة ثم يقول : يا رب
زِدْه ، فيلبس حلة الكرامة ، ثم يقول : يا رب ارض عنه فيرضى عنه ، فيقال له: اقرأ
وارق وتزاد بكل آية حسنة " . رواه الترمذي ( 2915 ) وقال : هذا حديث حسن صحيح
، وقال الألباني في " صحيح الترمذي " برقم ( 2328 ) : حسن
.
“Qur’an datang pada hari kiamat dan
mengatakan, “Wahai Tuhan, pakaikanlah. Maka dia memakai mahkota karomah
(kemulyaan) kemudian mengatakan, “Wahai Tuhan, tambahkanlah dia. Maka dia
memakai gelang karomah (kemulyaan). Kemudian mengatakan, “Wahai Tuhan, redoilah
dia, maka (Allah) meredoinya. Dikatakan kepadanya, “Bacalah dan naiklah.
Ditambah setiap ayat suatu kebaikan.”
( HR. Tirmizi, (2915)) dan mengatakan, “Hadits ini Hasan Shoheh. Albani
mengatakan di Shoheh Tirmizi, no. 2328. Hasan.
7. Qur’an akan
memberikan syafaat kepadanya di sisi Tuhannya. Dari Abu Umamah Al-Bahili
berkata, saya mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
اقرءوا القرآن فإنه يأتي يوم القيامة
شفيعا لأصحابه اقرءوا الزهراوين البقرة وسورة آل عمران فإنهما تأتيان يوم القيامة
كأنهما غمامتان أو كأنهما غيايتان أو كأنهما فرقان من طير صواف تحاجان عن أصحابهما
اقرءوا سورة البقرة فإن أخذها بركة وتركها حسرة ولا تستطيعها البطلة قال معاوية
بلغني أن البطلة السحرة. رواه مسلم (804) و البخاري معلقا
“Bacalah Qur’an, karena ia akan datang
pada hari kiamat menjadi syafaat kepada pemiliknya. Bacalah Zahrawain (dua
cahaya) surat Al-Baqarah dan Surat Ali Imran. Karena keduanya akan datang pada
hari kiamat seperti mendung atau seperti awan atau seperti dua kelompok dari
burung yang berbulu (membantu) menghalangi untuk pemiliknya. Bacalah surat
Al-Baqarah, karena mengambilnya berkah dan meninggalkannya suatu kerugian. Dan
(tukang sihir) tidak dapat (mengganggunya). Muawiyah mengatakan, sampai
kepadaku bahwa arti ‘Batolah ‘ adalah tukang sihir. ( HR. Muslim, (804) dan Bukhori secara
menggantung.)
Kedua:
Sementara kerabat
dan keturunannya. Telah ada dalil terkait kedua orang tuanya, keduanya akan
dipakaikan dua gelang dimana (nilainya) tidak dapat menyamai dunia seisinya.
Hal itu tiada lain karena perhatian dan pengajaran kepada anaknya. Meskipun
keduanya tidak faham, maka Allah memulyakan keduanya karena anaknya. Sementara
orang yang menghalangi anaknya dari (belajar) Qur’an dan melarang darinya, maka
ini termasuk tidak mendapatkan ( kebaikan).
Dari Abu Hurairah
berkata, Rasulullah sallallahu alahi wa sallam bersabda:
يجيء القرآن يوم القيامة كالرجل الشاحب
يقول لصاحبه : هل تعرفني ؟ أنا الذي كنتُ أُسهر ليلك وأظمئ هواجرك ، وإن كل تاجر
من وراء تجارته وأنا لك اليوم من وراء كل تاجر فيعطى الملك بيمينه والخلد بشماله
ويوضع على رأسه تاج الوقار ، ويُكسى والداه حلَّتين لا تقوم لهما الدنيا وما فيها
، فيقولان : يا رب أنى لنا هذا ؟ فيقال لهما : بتعليم ولدكما القرآن. رواه
الطبراني في " الأوسط " ( 6 / 51
“Al-Qur’an datang pada hari kiamat
seperti lelaki pucat, menanyakan kepada pemiliknya, “Apakah kamu mengenaliku?
Saya yang dahulu dimana saya begadang malam hari dan (menahan) dalam kehausan.
Sesungguhnya setiap pedagang dibelakang ada perniagaannya. Dan saya sekarang
untuk anda dibelakang semua pedagang. Dan diberikan kerajaan (Malik) dikananya
dan Khuldi (kekal) di kirinya serta ditaruh di atas kepalanya mahkota wiqor. Dipakaikan
untuk kedua orang tuanya dua gelang yang tidak ada (bandingan) nilainya dunia
dan seisinya. Keduanya mengatakan,”Wahai Tuhan, dari manakah ini? Dikatakan
kepada keduanya, “Karena hasil pengajaran Al-Qur’an kepada anak anda berdua.” HR. Tobroni, di Ausath, (6/51).
Dari Buraidah
radhiallahu anhu berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
من قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس
والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم
لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال : بأخذ ولدكما القرآن. رواه الحاكم
(1/756)
“Siapa yang membaca Qur’an, belajar dan
mengamalkannya. Maka dipakaikan pada hari kiamat kepada kedua orang tuanya
mahkota dari cahaya, cahayanya seperti pancaran cahaya matahari. Dipakaikan dua
gelang untuk orang tuanya dimana tidak dapat dibandingkan dengan dunia
seisinya. Kedua berkata, “Kenapa kita dipakaikan ini? Dikatakan, “Karena
kedua anak anda mengambil Qur’an.”
HR. Hakim, (1/756).
Kedua hadits dapat
menghasankan satu dengan lainnya. Silahkan melihat ‘Silsilah Shohehah, (2829). Wallahu
a’lam .
Pertanyaan:
Apa
balasan dan pahala serta manfaat yang terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah bagi
orang yang menikah dengan laki-laki penghafal Al-Quran dan mahar yang dia
berikan juga Al-Quran? Jazaakumullah khairan.
Teks Jawaban: (Oleh Syeikh Muhammad Shalih
al-Munajjid)
Alhamdulillah.
Keutamaan menikah
dengan penghafal Al-Quranul Karim adalah keutamaan menikah dengan orang yang
memiliki warisan kenabian. Jika penghafal tersebut mengamalkan apa yang dia
hafal, maka berkumpullah sifat-sifat kebaikan seluruhnya, kebaikan batin yang
menyimpan Kalamullah di dalamnya, dan kebaikan zahir dengan amal saleh dan
akhlak mulia.
Allah Ta'ala
berfirman,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ
الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا (سورة فاطر: 32)
"Kemudian
kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara
hamba-hamba Kami,"
(QS. Fathir: 32)
Allah Ta'ala
berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ
اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا
وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ. لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ
وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ (سورة فاطر: 29-30)
"Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi. Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah
kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Mensyukuri." (QS. Fathir:
29-30). Muthraf rahimahullah, jika membaca ayat ini berkata, "Ini adalah
ayat bagi para penghafal." (Lihat tafsir Al-Quranul Azim, 6/545)
Menikah dengan
orang yang memiliki keutamaan seperti itu, besar harapan akan mendatangkan
kebahagiaan bagi sang isteri dan besar harapan anak-anaknya memiliki kecerdasan
dan kesalehan atas izin Allah, begitu pula keluarga akan ridha dan menerima. Akan
tetapi, semua itu dengan syarat penghafal Al-Quran tersebut mengamalkan apa
yang dihafal, berakhlak dengan akhlak Al-Quran, beradab dengan adabnya dan
bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam semua urusannya. Inilah yang
selayaknya menjadi bahan perhatian utama bagi setiap pemuda pemudi yang hendak
menikah. Bukan sekedar menghafal namun tidak mengamalkan, atau sekedar
menghafal kata-kata dan huruf yang tidak berbekas pada kepribadian dan akhlak.
Kondisi seperti ini harus dijauhi agar tidak terjebak pada sikap terpedaya.
Sebagaimana telah dipesankan kepada Ibnu Jauzi dalam kitab Talbis Iblis,
137-140 dalam satu bab yang membahas tentang tipudaya Iblis terhadap para
penghafal.
Rasulullah saw
menikahkan salah seorang shahabatnya dengan hafalan Al-Qurannya.
Dari Sahl bin Sa'd
As-Sa'idy radhiallahu anhu, dia berkata,
"Suatu saat
aku bersama sejumlah orang di sisi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Tiba-tiba datang seorang wanita dan berkata, "Wahai Rasulullah, dia ingin
menyerahkan dirinya untukmu Bagaimana pendapatmu,' Ternyata beliau tidak
memberi jawaban kepadanya sama sekali. Kemudian datang wanita kedua, lalu
berkata, "Ya Rasulullah, dia ingin memberikan dirinya untukmu, bagaimana
pendapatmu.' Ternyata beliau juga tidak menjawabnya sama sekali. Lalu datang
wanita ketiga, lalu berkata, "Ya Rasulullah, dia ingin memberikan dirinya
untukmu.' Ternyata beliau tidak menjawabnya sama sekali. Lalu ada seorang
laki-laki yang datang. Ya Rasulullah, nikahkan aku kepadanya.' Maka beliau
berkata, "Apakah engkau punya sesuatu (untuk mahar)" Dia berkata,
"Tidak." Lalu dia berkata, "Carilah sana sesuatu (untuk
dijadikan mahar) walau sekedar cincin besi." Lalu orang itu pergi untuk
mencarinya, kemudian dia datang dan berkata, "Aku tidak mendapatkan apapun
walaupun sekedar cincin besi." Lalu beliau berkata, "Apakah kamu
punya hafalan Al-Quran?" Dia berkata, "Saya hafal surat ini dan
ini." Lalu beliau berkata, "Aku nikahkan engkau dengannya (engkau
mengajarkan) Al-Quran yang engkau hafal."
(HR. Bukhair, no.
5149, dalam bab Menikahkan dengan Al-Quran, dan Muslim, no. 1425)
Al-Hafiz bin Hajar
rahimahullah, berkata, Qadhi Iyadh berkata, 'Perkataan beliau "Dengan
Al-Quran yang ada padamu." Memiliki dua makna; Yang paling kuat; Dia
mengajarkan isterinya Al-Quran atau sejumlah tertentu darinya, maka hal itu
menjadi mahar baginya. Penafsiran ini terdapat dalam riwayat Malik, dan
dikuatkan oleh perkataan beliau dalam sebagian riwayat shahih, "Ajarkan
dia (isterimu) Al-Quran." Mungkin juga hurfu ba' (ب)
di dalamnya berarti 'karena'. Maksudnya adalah karena Al-Quran yang engkau
hafal. Maka beliau memuliakan dia dengan menikahkannya dengan wanita tersebut
tanpa mahar karena dia hafal Al-Quran atau sebagiannya.
Perbandingannya
adalah kisah Abu Talhah bersama Ummu Sulaim. Yaitu dalam riwayat Nasa'I dan dia
nyatakan shahih dari riwayat Ja'far bin Sulaima, dari Tsabit, dari Anas, dia
berkata, "Abu Talhah melamar Ummu Sulaim. Lalu Ummu Sulaim berkata,
"Demi Allah, orang sepertimu tidak akan ditolak, akan tetapi engkau kafir,
sedangkan aku muslimah. Tidak halal bagiku menikah denganmu. Jika engkau masuk
Islam, maka itulah mahar untukku, aku tidak meminta kepadamu selain itu.
Akhirnya dia masuk Islam. Maka itu menjadi maharnya."
Diriwayatkan oleh
Nasa'I dari riwayat Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Talhah dari Anas, dia
berkata, "Abu Talhah menikah dengan Ummu Sulaim. Maka mahar mereka adalah
masuk Islam." Lalu disebutkan kisah tersebut, dan diakhirnya dia berkata,
"Itulah mahar mereka berdua." An-Nasai sendiri memberi judul bagi
hadits tersebut dengan ungkapan, "Menikah dengan Islam." Sedangkan
untuk hadits Sahal beliau beri judul, "Menikah dengan hafalan
Al-Quran." Seakan dia condong menguatkan kemungkinan makna yang kedua. (Fathul
Bari, 9/212-213)
Dengan apa yang
telah kami sebutkan, namun tidak kami ketahui ada hadits atau atsar yang secara
khusus menyebutkan keutamaan menikah dengan penghafal Al-Quran, bahwa baginya
pahala begini dan begini, atau suatu janji keutamaan dan semacamnya. Wallahua'lam
Pertanyaan:
Allah Azza
Wajalla berfirman ‘Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah
dikerjakannya.’ Saya tahu bahwa manusia akan mengingat segala sesuatu yang
dilakukannya di dunia pada hari kiamat atas perintah Allah Azza Wajallah. Akan
tetapi bagaimana dengan orang yang hafal Al-Qur’an laki-laki maupun perempuan.
Kalau keduanya meninggal dunia tanpa mengulang-ulang (hafalan) Al-Qur’annya. Dan
dia telah lupa sebagian ayat atau kata. Sementara dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Amr bin Ash radhiallahu anhuma sesungguhnya Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
( يقال لقارئ القرآن يوم القيامة : اقرأ وارق ورتل كما كنت ترتل في الدنيا ، فإن منزلتك عند آخر آية كنت تقرأها )
“Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an pada hari kiamat, ‘Bacalah, tunaikanlah dan tartillah sebagaimana anda (membaca secara) tartil di dunia. Sesungguhnya posisi anda adalah di akhir ayat yang pernah anda baca.” Pertanyaannya adalah apakah mungkin orang yang hafal Al-Qur’an teringat dengan apa yang pernah dihafalkannya dari Al-Qur’an di dunia. Walaupun saat meninggal dunia dia sempat mengulang-ulang hafalannya atau lupa sebagiannya?
Pertanyaan kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
( عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهُ الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهُ )
“Diperlihatkan padaku pahala umatku, termasuk (pahala) sampa h yang dikeluarkan seseorang dari masjid. Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku. Saya tidak melihat dosa yang lebih besar dibandingkan seseorang yang telah diberi (hafalan) surat Al-Qur’an atau ayat kemudian dia melupakannya.”
( يقال لقارئ القرآن يوم القيامة : اقرأ وارق ورتل كما كنت ترتل في الدنيا ، فإن منزلتك عند آخر آية كنت تقرأها )
“Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an pada hari kiamat, ‘Bacalah, tunaikanlah dan tartillah sebagaimana anda (membaca secara) tartil di dunia. Sesungguhnya posisi anda adalah di akhir ayat yang pernah anda baca.” Pertanyaannya adalah apakah mungkin orang yang hafal Al-Qur’an teringat dengan apa yang pernah dihafalkannya dari Al-Qur’an di dunia. Walaupun saat meninggal dunia dia sempat mengulang-ulang hafalannya atau lupa sebagiannya?
Pertanyaan kedua adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu anhu sesungguhnya Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda:
( عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهُ الرَّجُلُ مِنَ الْمَسْجِدِ ، وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهُ )
“Diperlihatkan padaku pahala umatku, termasuk (pahala) sampa h yang dikeluarkan seseorang dari masjid. Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku. Saya tidak melihat dosa yang lebih besar dibandingkan seseorang yang telah diberi (hafalan) surat Al-Qur’an atau ayat kemudian dia melupakannya.”
Tolong dijelaskan kepadaku. Terima kasih.
Teks Jawaban: ( Oleh Syaikh Muhammad Shalih
al-Munnajid)
Alhamdulillah.
Pertama,
Ayat yang mulia:
Alhamdulillah.
Pertama,
Ayat yang mulia:
فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى .
يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى (سورة النازعات: 34-35)
“Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.” (QS. An-Naziat: 34-35).
“Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang. Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya.” (QS. An-Naziat: 34-35).
Ayat ini berbicara
tentang manusia yang teringat akan apa yang telah dikerjakannya, maksudnya
pekerjaan yang telah dia lakukan di dunia, baik kebajikan atau keburukan.
Kegentingan saat dihisab, menjadikan setiap pelaku teringat dengan apa yang
dilakukannya. Sehingga perbuatannya yang telah dia lakukan terlintas cepat
dalam benaknya dari secara cepat. Sehingga dia berhadap kepada Allah agar
dibalas kebaikannya dan dimaafkan dari semua keburukan dan kekeliruannya. Maka
ayat tersebut menjelaskan ingatnya manusia dengan amalan dan apa yang dilakukan
di dunia. Tidak ada korelasinya dengan teringatnya (seorang penghafal) apa yang
dia lupa dari Al-Qur’an Al-Karim. Hal tersebut keluar dari konteks susunan
ayat. Padahal memperhatikan kontek susunan ayat termasuk salah satu komponen
penafsiran yang shahih.
Al-Hafid Ibnu
Katsir rahimahullah mengatakan, “Pada
hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya) yakni pada
waktu itu, anak Adam teringat semua amalannya, yang baik maupun yang jelek.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu ‘Dan pada hari itu diperlihatkan neraka
Jahannam; dan pada hari itu ingatlah manusia, akan tetapi tidak berguna lagi
mengingat itu baginya." (QS. Al-Fajr: 23.) (Tafsir Al-Qur’an Al-Azim,
8/317
Al-Allamah As-Sa’di
rahimahullah mengatakan, “Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang
telah dikerjakannya) di dunia kebaikan dan kejelekan. Dia mengangankan
kebaikannya bertambah berat. Dan bersedih dikala kejelekannya bertambah berat.
Saat itu dia mengetahui bahwa hakekat keuntungan dan kerugiannya adalah
tergantung perbuatan apa yang dilakukan di dunia. Semua sebab dan
perantara yang bermanfaat di dunia, menjadi terputus kecuali
amalan-amalannya." (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 910)
Dengan demikian
jelas, bahwa tidak ada dalil agama yang menunjukkan bahwa seorang muslim akan
ingat kembali hafalan Al-Qur’an yang dia lupa di hari kiamat. Kami telah
mencari di buku-buku tafsir yang memperhatikan pendapat berbeda dalam
penafsiran ayat, seperti Mawardi dan Ibnu Al-Jauzi. Akan tetapi kami tidak
mendapatkan dalam ayat pendapat yang berbeda dengan apa yang telah kami
sebutkan.
Kedua,Di antara hadits
nan agung yang ada terkait dengan keutamaan penghafal Al-Qur’an adalah hadits
Abdullah bin Amr dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
يُقَالُ - يَعْنِي لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ -: اقْرَأْ وَارْتَقِ
وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا ، فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ
آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُ بِهَا (رواه الترمذي، رقم 2914 وقال : هذا حديث
حسن صحيح ، وصححه الألباني في صحيح الترمذي)
“Dikatakan –yakni penghafal Al-Qur’an-, bacalah, mendakilah. Bacalah
dengan tartil sebagaimana engkau (membaca) secara tartil di dunia. Karena
kedudukanmu (pada hari kiamat) di akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Tirmizi, no.
2914, dia mengatakan, ‘Hadits ini hasan shahih. Dishahihkan oleh Al-Albany
dalam Shahih Tirmizi)
Mayoritas ulama
mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan ‘Shohibul Al-Qur’an’ adalah orang yang
dapat merealisasikan dua hal; Menghafal dan mengamalkan. Bukan sekedar orang
yang menghafal saja tanpa diamalkan, bukan juga orang yang bagus bacaannya
tanpa menghafal.
Ketiga,
Ada dua perkara
penting terkait disyaratkan memiliki hafalan Al-Quran untuk mendapatkan
keutamaan yang ada dalam hadits:
1. Jika keutamaan itu mencakup setiap orang yang membaca AL-Qur’an dari
mushaf, maka hal tersebut bukan merupakan keutamaan pada kebanyakan orang.
Karena membaca lewat mushaf, masing-masing orang umumnya mampu, tidak ada yang
lebih utama –kebanyakan- kecuali dengan tajwid yang terbaik. Mengaitkan
keutamaan semacam ini dengan tajwid yang baik, sangat jauh sekali. Karena dalam
hadits, keutamaan dikaitkan dengan (bacaan) dan mengaitkan kedudukan yang
semakin tinggi (dengan ayat terakhir yang dibacanya) bukan karena kemahiran
dalam tajwid.
2. Secara umum, istilah qari (pembaca) diartikan sebagai orang yang
hafal (Al-Qur’an), sudah terkenal penggunaannya sejak zaman Nabi sallallahu
alaihi wa sallam dan para shahabatnya,
3.
وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجَالِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ
كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا (رواه البخاري، رقم 4276)
"Dahulu para
Qari (penghafal AL-Qur’an) temasuk orang terdekat dalam majlis Umar dan orang
yang diajak untuk bermusyawarah. Baik dari kalangan tua maupun muda." (HR. Bukhari,
4276).
Kemudian menghafal Al-Qur’an menuntut,
kesungguhan, kesabaran dan kelebihan, sehingga layak mendapatkan keutamaan
dibanding mereka yang hanya sekedar membacanya. Apalagi hafalan ini termasuk
fardu kifayah untuk umat. Maka selayaknya para penghafal Al-Qur’an diberi
pahala – karena menanggung kewajiban umatnya- dengan mendapatkan pahala yang
banyak.
Kemudian yang
tampak dalam hadits ini juga menunjukkkan bahwa penghafal Al-Qur’an yang baik
berbeda dengan penghafal yang tidak baik. Maka diangkatnya derajat sesuai
dengan sampai dimana bacaan dari hafalannya. Maka bacaan penghafal Al-Qur’an
yang baik akan bertambah (kedudukanna) ayat perayat dibandingkan dengan bacaan
penghafal yang kurang baik. Kemahiran ini tiada lain dia dapatkan dengan
begadangnnya waktu malam hari dan susah payah di siang hari, serta kesabarannya
dalam lelah saat menghafalnya dan mengulang-ulang ayat dan kata. Timbangan yang
adil memutuskan bahwa pahala penghafal yang baik lebih tinggi dibandingkan
dengan pahala (penghafal) yang kurang baik. Dan masing-masing mendapatkan janji
Allah yang baik.
Ibnu Hajar
Al-Haitsami rahimahullah berkata, “Hadits yang disebutkan tadi, khusus
bagi orang yang hafal Al-Qur’an. Bukan orang yang sekedar membaca mushaf.
Karena kalau sekedar membaca huruf, tidak ada perbedaan dengan orang-orang.
Tidak ada perbedaan sedikit dan banyaknya. Yang ada perbedaan dalam hal itu
adalah karena dari hafalan di hati. Oleh karena itu posisi mereka berbeda-beda
di surga sesuai dengan perbedaan hafalannya.
Untuk menguatkan
pendapat tersebut, bahwa hafalan Al-Qur’an (hukumnya) FARDHU KIFAYAH untuk
umat. Sementara hanya sekedar bacaan di mushaf yang bukan hafalan, tidak
menggugurkan tuntutan dan tidak begitu besar keutamaan seperti keutamaan
orang yang menghafal. Maka ditegaskan –yakni hafalan di luar kepala- adalah
yang dimaksud dalam hadits ini. Kesimpulan inilah yang tampak saat
memahami hadits ini dengan sedikit perenungan.
Ucapan para
Malaikat kepadanya ( اقرأ وارتق
), tidak diragukan lagi secara jelas menunjukkan hafalan di luar kepala."
(Diringkas dari Al-Fatawa Al-haditsiyyah, karangan Ibnu Hajar Al-Haitsami, hal
113)
Al-Adhim Al-Abadi
rahimahullah mengatakan, “Disimpulkan dari hadits, bahwa pahala yang
agung ini tidak didapatkan kecuali orang yang hafal Al-Qur’an, mahir dalam
menunaikan serta membacanya sesuai yang diharapkan." (Aunul Ma’bud, 4/237).
Syekh Al-Albany rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa maksud
perkataan ( صاحب القرآن
) adalah penghafal (Al-Qur’an) di luar kepala. Sesuai dengan sabda Nabi
sallallahu’alalihi wa sallam: “Yang menjadi imam suatu kaum adalah orang yang
paling bagus bacaan Kitabullah.” maksudnya yang paling banyak hafalannya. Maka
perbedaan keutamaan derajat di surga itu sesuai dengan hafalannya di dunia.
Bukan karena bacaannya waktu (di dunia) dan memperbanyak bacaan, sebagaimana
yang disangka oleh sebagian orang. Di dalamnya juga ada keutamaan yang tampak
bagi penghafal Al-Qur’an. Akan tetapi dengan syarat, hafalannya hanya mencari
keridoan Allah Tabaraka Wa Ta’ala, bukan untuk dunia, dirham dan dinar. Kalau
tidak, maka Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda:أكثر منافقي أمتي قراؤها
"Kebanyakan
orang munafik dari ummatku adalah para pembaca (penghafal Al-Qur’an).” (Silsialh
Al-Ahadits As-Shahihah, 5/284)
Keempat,
Adapun terkait disyaratkannya
mengamalkan Al-Qur’an untuk mendapatkan pahala yang agung ini, hal itu juga
sangat tampak petunjuknya. Terdapat ancaman keras bagi orang yang tidak
mengamalkan Al-Qur’an Al-Karim. Hal tersebut ditunjukkan dalam hadits
panjang , oleh Samurah bin Jundub dari Nabi sallahu alaihi wa sallam terkait
dengan mimpi berkata,
أَمَّا الَّذِي يُثْلَغُ رَأْسُهُ بِالحَجَرِ ، فَإِنَّهُ يَأْخُذُ
القُرْآنَ فَيَرْفِضُهُ ، وَيَنَامُ عَنِ الصَّلاَةِ المَكْتُوبَةِ
(رواه البخاري، رقم 1143)
“Adapun orang yang kepalanya dipukul dengan batu, hal itu karena dia
mengambil (menghafal) Al-Qur’an namun dia molaknya, serta serta tertidur
meninggalkan shalat wajib.” (HR. Bukhari, no. 1143). Ibnu Bathal mengatakan, “(menghafal Al-Qur’an
namun menolaknya) maksudnya adalah meninggalkan hafalan huruf-hurufnya dan
tidak beramal dengan maknanya. Adapun jika dia hanya meninggalkan hafalan
huruf-hurufnya namun dia beramal dengan maknanya, maka dia bukan termasuk
menolaknya." (Syarh Shahih Bukhari, 3/135)
Adapun hadits yang
disebutkan, telah diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, dia
berkata, Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Ditampakkan padaku pahala umatku, hingga sampah yang dikeluarkan
seseorang dari masjid. Dan ditampakkan kepadaku dosa umatku. Aku tidak melihat
dosa yang lebih besar dibandingkan seseorang yang telah diberi (hafalan) surat
Al-Qur’an atau ayat, kemudian dia melupakannya.” (HR. Tirmizi, 2916 dan
lainnya). Semua riwayat ini dari jalur Abdul Majid bin Abdul Aziz dari Ibnu
Juraij dari Al-Matlab bin Abdullah bin Hantob dari Anas bin Malik sampai kepada
Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam (marfu). Akan tetapi hadits ini lemah
berdasarkan kesepakan para ulama hadits. Di dalamnya terdapat banyak cacat.
Misalnya dibicarakan perawi Abdul Majid bin Abu Ruwad yang meriwayatkan
hadits ini seorang diri, juga tentang terputusnya sanad antara Ibnu Juraij
dengan Al-Muththalib dan antara Al-Muththalib dengan Anas bin Malik.
Tirmizi
rahimahullah mengatakan, “Hadits ini asing. Kami tidak mengenalnya kecuali dari
jalan ini. Muhammad bin Ismail menyebutkannya tapi beliau tidak mengenal dan
merasa asing dengannya. Muhammad mengatakan, “Saya tidak mengetahui bahwa
Al-Muththalib bin Abdullah bin Hanthob mendengar salah seorang pun dari para
shahabat Nabi sallallahu alaihi wa sallam. Kecuali dia mengatakan, menyampaikan
kepadaku orang yang menyaksikan khutbah Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Dia juga berkata, "Aku mendengar Abdullah bin Abdurrahman –yaitu Ad-Darimi
pemilik Musnad- mengatakan, “Kami tidak mengetahui bahwa Al-Muththalib
mendengarkan (hadits) dari salah seorang pun para shahabat Nabi sallallahu
alaihi wa sallam. Abdullah mengatakan, ‘Ali bin Al-Madini mengingkari
Al-Muthtahlib mendengarkan dari Anas." Ibnu Abdul Bar rahimahullah
mengatakan, “Hadits ini termasuk yang tidak dapat dijadikan hujjah karena
lemahnya.” (At-Tamhid, 14/136). Ad-Daruquthni rahimahullah mengatakan, “Hadits
ini tidak kuat. Karena Ibnu Juraij tidak mendengar apapun dari Al-Muththalib.
Dikatakan, dahulu dia memanipulasi dari Ibnu Abi Saburah atau lainnya dari
orang-orang dilemahkan (dhu’afa)." (Al-‘Ilal, 12/171). An-Nawawi
rahimahullah mengatakan, “Dalam sanadnya ada yang lemah.” (Al-Khulashah,
1/306). Dilemahkan juga oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 9/70. Dan Al-Albany
dalam Dhaif Abu Daud, 1/164-167. Wallahu’alam .
Pertanyaan:
Apa
yang seharusnya dilakukan oleh seseorang yang lupa sebagian Al-Quran yang telah
dihapal kemudian bertaubat. Apakah diharuskan sebagai syarat diterimanya taubat
untuk mengulangi kembali hapalan yang telah dia lupa? Jika dia harus mengulangi
lagi hafalannya, bagaimana caranya dia mengulangi potongan-potongan ayat yang
telah dia hafal secara acak disana sini dan dia tidak ingat lagi? Adapun
surat-surat yang pernah dihapal secara utuh, tidak ada masalah. Apakah wajib
baginya mengulang hafalannya kembali secara langsung ataukah tidak mengapa dia
lakukan di kemudian hari di waktu yang senggang?
Teks Jawaban: Oleh Syeikh Muhammad Shalih
al-Munajjid)
Alhamdulillah.
Pertama:
Tidak diragukan
lagi bahwa mempelajari Al-Quran, membaca dan menghafalnya, merupakan salah satu
amal shaleh yang paling utama. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah
memotivasi agar kita menjaga hafalan Al-Quran karena khawatir terlupa; yaitu
dengan cara selalu mengulang hafalan secara kontinyu dan membacanya
berulang-ulang.
Karena
sesungguhnya lupa terhadap hafalan Al-Quran merupakan perkara tercela, karena
hal itu menunjukkn kurangnya perhatian terhadap Kitabullah dan berpaling
darinya.
Kedua:
Para ulama berbeda
pendapat tentang hukum lupa hafalan Al-Quran. Ada yang berpendapat bahwa
melupakan hafalan Al-Quran merupakan dosa besar, yang lain berpendapat bahwa
dia adalah maksiat dan dosa, tapi tidak sampai derajat dosa besar. Ada juga
yang berpendapat bahwa dia merupakan musibah yang menimpa seorang hamba pada
diri dan agamanya, atau boleh jadi dia merupakan hukuman dari Allah karena
sebagian amalnya, meskipun dia bukan merupakan dosa besar atau dosa. Pendapat
inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini.
Akan tetapi, tidak
layak bagi seorang penghafal Al-Quran untuk lalai membacanya, atau lalai
menjaga hafalannya. Justeru dia harus menjadikannya sebagai wirid harian yang
dapat membantunya untuk memperbaiki hafalannya dan agar tidak mudah lupa,
seraya berharap pahala dan mengambil manfaat dari hukum-hukumnnya.
Ketiga:
Lupa atas sebagian
hafalan Al-Quran adalah buah dari meninggalkannya, sebagian sikap meninggalkan,
lebih ringan atas sebagian lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qayim dalam
kitab Al-Fawaid, hal. 82, bahwa melupakannya adalah karena berpaling darinya dan
sibuk dengan selainnya. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini adalah musibah dan
boleh jadi dapat mengakibatkan musibah serta hilangnya peluang pahala.
Yang dinasehatkan
kepada mereka yang hafal Al-Quran kemudian lupa adalah;
-Hendaknya dia
murajaah surat-surat yang lupa hingga hafal kembali dengan baik.
-Mengulang-ulang
murajaahnya secara berkala agar tidak lupa lagi.
-Mengulang
murajaahnya di hadapan seorang guru yang berkualitas.
-Mengulang
potongan-potongan ayat yang panjang, seperti juz, hizb dan semacamnya dan
bersungguh-sungguh mengulang hafalannya seluruhnya. Awali mengulangi yang sudah
dihafal dahulu untuk mengembalikan hafalannya sebagai motivasi untuk
menyempurnakan hafalan surat lainnya. Adapun mengulangi hafalan
potongan-potongan ayat pendek yang telah dia hafal, lalu lupa seperti dua atau
tiga ayat dan semacamnya, maka jangan terlalu disibukkan dengannya. Andapun
tidak dibebankan untuk mengingat ayat-ayat yang telah lupa hafalannya.
Agar semangat
dalam mengulang hafalannya surat dan potongan ayat-ayat yang panjang dan tidak
ada dosa baginya jika tidak dapat mengembalikan hafalan potongan ayat-ayat
pendek yang mungkin telah dia lupa sebagiannya. Hendaknya ketika itu dia
melihat kondisi dirinya, jika terdapat dosa, maka mohonlah ampunan kepada Allah
dan bertaubatlah darinya, jika ada kekurangan, hendaklah dia perbaiki, jika dia
lalai dari perkara akhirat dan sibuk dengan urusan dunia, hendaknya dia bangkit
mengurusi urusan akhirat, karena hal itu lebih baik dan lebih kekal.
Kemudian yang
lebih baik adalah bersungguh-sungguh dalam mengambalikan hafalan Al-Quran
secara langsung, selama masih ada semangat untuk itu dan belum dihinggapi malas
dan menunda-nunda. Ibnu Mubarak meriwayatkan dalam kitab Zuhud (1/469) dari
Ibnu Masud radhiallahu anhu dia berkata, “
إِنَّ لِهَذِهِ الْقُلُوبِ شَهْوَةً
وَإِقْبَالًا، وَإِنَّ لَهَا فَتْرَةً وَإِدْبَارًا، فَخُذُوهَا عِنْدَ
شَهْوَتِهَا وَإِقْبَالِهَا، وَذَرُوهَا عِنْدَ فَتْرَتِهَا وَإِدْبَارِهَا
" .
“Hati ini
mengalami dorongan dan semangat, juga mengalami masa-masa malas dan berpaling.
Gunakan (untuk kebaikan) saat dia terdorong dan semangat dan tinggalkan saat
dia malas dan berpaling.”
Tidak diragukan
lagi bahwa hadirnya perasaan bersalah saat hafalan Al-Qurannya hilang dan
terlupa serta bertanya tentang bagaimana cara mengulanginya lagi, adalah sikap
adanya dorongan hati dan kesadaran setelah lalai. Orang yang kondisinya
demikian, maka lebih utama baginya langsung melakukan program mengulang hafalannya
dan tidak ditunda-tunda.Apabila tidak mungkin baginya melakukan murajaah
(mengulang hafalan) kecuali di waktu luangnya, karena banyaknya kesibukan dan
tugas-tugas atau beban menafkahhi keluarga serta semacamnya, maka tidak mengapa
baginya. Wallahu a’lam.
Pertanyaan:
Aku
telah hafal Al Qur’an sejak berumur delapan tahun, akan tetapi aku belum pernah
mengajarkannya kepada seorang-pun, sekiranya tidak ada seorangpun yang
mngundangku untuk mengajarkan Al Qur’an, maka apakah saya berdosa karena hal
tersebut? Dan apa pula kewajiban bagi orang yang hafal Al Qur’an?
Teks Jawaban: (Oleh Syeikh uhammad Shalih
al-Munajjid)
Alhamdulillah.
Yang pertama :
Mempelajari Al
Qur’an dan mengajarkannya merupakan pekerjaan yang paling mulya dan
paling utama; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam :
“Sebaik – baik kalian adalah orang yang yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya” Hadits riwayat Bukhori (5027).
وعَنْ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِيِّ عن
رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال : ( فَضْلُ الْعَالِمِ
عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ، إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى
الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ ) رواه الترمذي (2685)
وصححه الألباني في "صحيح الترمذي" .
Dan dari Abu
Umamah Al Bahily dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Keutamaan seorang alim dibanding Ahli ibadah adalah bagaikan
keutamaanku atas kalian semua, sesungguhnya Allah dan para Malaikat
serta penduduk langit dan bumi hingga semut dalam liangnya juga ikan pasti
mereka mendoakan atas orang–orang yang mengajarkan kebaikan kepada sesamanya” (HR At- Turmudzi (2685) dan dishahihkan
oleh Albani dalam “Shahih At Turmudzi”.
Dan tidak
diragukan lagi bahwasannya mengajarkan Al Qur’an kepada sesama manusia
merupakan mengajarkan kebaikan kepada orang lain, bahkan akan dibukakan
bagi mereka seagung–agungnya pintu-pintu kebaikan.
Yang kedua :
Mengajarkan Al
Qur’an merupakan fardlu kifayah, maka jika ada seseorang yang mengajarkan Al
Qur’an di negara anda ( didaerah anda ), maka anda tidak mendapatkan dosa
(dengan tidak mengajarkan Al Qur’an) akan tetapi anda kehilangan
keutamaan yang besar. Dan jika tidak ada seorangpun di negara anda yang
mengajarkan Al Qur’an ; maka wajib bagi diri anda untuk mengajarkan Al Qur’an
kepada mereka, dan jika anda tidak melakukannya maka anda telah berdosa dan
hendaklah anda bertaubat. Imam An Nawawi Rahimahullah berkata : “
Mengajar orang–orang yang mau belajar adalah fardlu kifayah; maka jika tidak
menemukan orang yang layak mengajar kecuali hanya seorang, maka orang tersebut
wajib dipaksa (untuk mengajar), dan apabila didadapati diantara mereka
komunitas yang layak untuk mengajar kepada sesamanya sedang mereka enggan untuk
mengajar dan membagikan ilmunya; maka mereka semua berdosa, dan jika ada
sebagian dari mereka berkenan untuk mengajar, maka gugurlah kewajiban bagi
sebagian yang lain, dan jika seseorang diantara mereka diminta (untuk mengajar
) sedang ia menolak maka terdapat dua pilihan; ia tidak berdosa akan
tetapi ia mendapatkan murka jika penolakannya tidak disertai ‘Udzur yang bisa
diterima”. Diambil dari kitab : “At Tibyaan fie Aadaabi hamalatil Qur’an”
(Halaman : 41-42 ).
Jika anda
menginginkan mendapatkan peluang pahala dengan mengajar, maka janganlah anda
hanya duduk–duduk di rumah sambil menunggu orang yang datang untuk belajar
kepadamu, akan tetapi hendaklah anda pergi menghampiri mereka dan mengajak
mereka supaya belajar dan menghafal serta memberikan motifasi kepada
mereka sambil menjelaskan keutamaan dan kemulyaan orang yang
belajar dan menghafal Al Qur’an karena yang demikian itu akan lebih mensucikan
hatimu dan hati mereka, dan akan membantu anda untuk tidak
melupakan Al Qur’an meskipun anda tidak mendapati mereka yang
belajar kepadamu melainkan hanya anak- anak belia, atau bisa juga anda mencari
rumah–rumah Tahfidz atau halaqoh–halaqoh tahfidz yang ada di masjid–masjid lalu
anda bergabung dengannya .
Yang ketiga :
Sudah sepatutnya
bagi orang yang hafal Al Qur’an memiliki keistimewaan dan dan berbeda dengan
yang lainnya, maka barangsiapa yang diberikan Taufiq oleh Allah dengan
mendapatkan karunia ini hendaklah ia meningkatkan kapasitas dan prestasi
dirinya, karena jika tidak maka keberadaannya tidak jauh beda dengan
orang–orang pada umumnya, dan kami akan mengemukakan secara global
beberapa adab yang patut untuk diteladani bagi orang yang hafal kitab Allah
Subhanahu wata’ala, diantaranya :
o Hendaklah ia
mengikhlaskan niat karena Allah dalam hafalannya, tilawahnya dan
mengajarnya.
o Hendaklah ia
senantiasa berinteraksi dengan Al Qur’an senantiasa melakukan
muroja’ah sehingga ia tidak lupa atau lupa beberapa darinya.
o Hendaknya dengan
hafalan yang ia miliki tidak bertujuan untuk meraih dunia atau bagian
darinya; yang berupa harta, kepemimpinan, kekuasaan, memposisikan dirinya
diatas yang lain, ingin mendapatkan pujian dari orang lain atau ingin menarik
perhatian orang lain dan lain sebagainya.
o Senantiasa
berusaha untuk memiliki halaqoh Al Qur’an, guna meneladani Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam.
o Selalu berusaha
mengajarkan Al Qur’an kepada sesama manusia, menyeru mereka untuk mempelajari
dan menghafalkannya serta memberikan taujih kepada mereka terhadap akhlaq dan
adab-adabnya.
o Menyambut baik
dan bersikap lembut terhadap orang yang datang untuk membaca Al Qur’an
dihadapannya.
o Mengamalkan Al
Qur’an dan tidak menyalahi hukum–hukum dan syariat–syariatnya, bukan sebagai
orang yang hafal hurufnya akan tetapi lalai akan batasan– batasannya,
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Dan AlQur’an iti
akan menjadi Hujjah bagimu atau Hujjah atasmu” Hadits riwayat Muslim
(223). Dari Ibnu Mas’ud dalam riwayat yang shahih ia berkata : “Adalah
seseorang dari kami apabila mempelajari sepuluh ayat dari Al Qur’an ia
tidak melampauinya hingga ia mengerti makna kandungannya serta
mengamalkannya”. Dari tafsir At Thobary (80/1).
Abu Abdur Rahman
As Sulami berkata : “ Mereka yang dahulu membacakan Al Qur’an kepada kami
menceritakan : Sesungguhnya mereka yang membaca Al Qur’an dari Nabi
Shallallahu Alaihi wasallam apabila mereka mempelajari sepuluh ayat mereka
tidak menambahkan dari sepuluh ayat tadi, hingga mereka mengerti kandungan
isinya dan mengamalkannya, maka kami mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya
semuanya secara bersama-sama”. Tafsir At Thobary (80/1).
o Hendaknya ia
membedakan malam harinya dengan malam–malam hari orang–orang pada umumnya,
dengan bangun malam untuk melaksanakan Shalat malam sekedar apa yang Allah
telah memberikan kemudahan baginya; karena sesungguhnya para huffadz salafus
shalih mereka adalah orang-orang yang terbiasa qiyamul lail dan bermunajat
kepada Allah diwaktu sahur.
Kami memberikan
nasihat kepada anda agar mendalami dan memahami dua kitab yang teramat mulya
dan berharga tentang bab ini; yang pertama :“Akhlaqu Hamalatil Qur’an” Imam Al
Aajiri Rahimahullah, dan yang kedua adalah : “AtTibyaan Fie Aadaabi
Hamalatil Qur’an” Imam An Nawawi Rahimahullah, maka bacalah keduanya dan semoga
anda mengambil manfaat dari keduanya.Wallahu
A’lam .
Pertanyaan:
Aku telah hafal Al Qur’an sejak berumur delapan tahun, akan tetapi aku belum pernah mengajarkannya kepada seorang-pun, sekiranya tidak ada seorangpun yang mngundangku untuk mengajarkan Al Qur’an, maka apakah saya berdosa karena hal tersebut? Dan apa pula kewajiban bagi orang yang hafal Al Qur’an?
Jawaban: (oleh Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid):
Alhamdulillah
Yang pertama : Mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya merupakan pekerjaan yang paling mulya dan paling utama; sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam : “Sebaik – baik kalian adalah orang yang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya” Hadits riwayat Bukhori (5027).
وعَنْ أَبِي أُمَامَةَ البَاهِلِيِّ عن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنه قال : ( فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ ، إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ وَأَهْلَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرَضِينَ حَتَّى النَّمْلَةَ فِي جُحْرِهَا وَحَتَّى الْحُوتَ لَيُصَلُّونَ عَلَى مُعَلِّمِ النَّاسِ الْخَيْرَ ) رواه الترمذي (2685) وصححه الألباني في "صحيح الترمذي" .
Dan dari Abu Umamah Al Bahily dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Keutamaan seorang alim dibanding Ahli ibadah adalah bagaikan keutamaanku atas kalian semua, sesungguhnya Allah dan para Malaikat serta penduduk langit dan bumi hingga semut dalam liangnya juga ikan pasti mereka mendoakan atas orang–orang yang mengajarkan kebaikan kepada sesamanya” (HR At-Turmudzi (no. 2685) dan dishahihkan oleh Albani dalam “Shahih At Turmudzi”.
Dan tidak diragukan lagi bahwasannya mengajarkan Al Qur’an kepada sesama manusia merupakan mengajarkan kebaikan kepada orang lain, bahkan akan dibukakan bagi mereka seagung–agungnya pintu-pintu kebaikan.
Yang kedua : Mengajarkan Al Qur’an merupakan fardlu kifayah, maka jika ada seseorang yang mengajarkan Al-Qur’an di negara anda ( didaerah anda ), maka anda tidak mendapatkan dosa (dengan tidak mengajarkan Al Qur’an) akan tetapi anda kehilangan keutamaan yang besar. Dan jika tidak ada seorangpun di negara anda yang mengajarkan Al Qur’an ; maka wajib bagi diri anda untuk mengajarkan Al Qur’an kepada mereka, dan jika anda tidak melakukannya maka anda telah berdosa dan hendaklah anda bertaubat. Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata : “ Mengajar orang–orang yang mau belajar adalah fardlu kifayah; maka jika tidak menemukan orang yang layak mengajar kecuali hanya seorang, maka orang tersebut wajib dipaksa (untuk mengajar), dan apabila didadapati diantara mereka komunitas yang layak untuk mengajar kepada sesamanya sedang mereka enggan untuk mengajar dan membagikan ilmunya; maka mereka semua berdosa, dan jika ada sebagian dari mereka berkenan untuk mengajar, maka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain, dan jika seseorang diantara mereka diminta (untuk mengajar ) sedang ia menolak maka terdapat dua pilihan; ia tidak berdosa akan tetapi ia mendapatkan murka jika penolakannya tidak disertai ‘Udzur yang bisa diterima”. (Diambil dari kitab : “At Tibyaan fi Aadaabi hamalatil Qur’an” (Halaman : 41-42 )).
Jika anda menginginkan mendapatkan peluang pahala dengan mengajar, maka janganlah anda hanya duduk–duduk di rumah sambil menunggu orang yang datang untuk belajar kepadamu, akan tetapi hendaklah anda pergi menghampiri mereka dan mengajak mereka supaya belajar dan menghafal serta memberikan motifasi kepada mereka sambil menjelaskan keutamaan dan kemulyaan orang yang belajar dan menghafal Al-Qur’an karena yang demikian itu akan lebih mensucikan hatimu dan hati mereka, dan akan membantu anda untuk tidak melupakan Al-Qur’an meskipun anda tidak mendapati mereka yang belajar kepadamu melainkan hanya anak- anak belia, atau bisa juga anda mencari rumah–rumah Tahfidz atau halaqoh–halaqoh tahfidz yang ada di masjid–masjid lalu anda bergabung dengannya .
Yang ketiga : Sudah sepatutnya bagi orang yang hafal Al-Qur’an memiliki keistimewaan dan dan berbeda dengan yang lainnya, maka barangsiapa yang diberikan Taufiq oleh Allah dengan mendapatkan karunia ini hendaklah ia meningkatkan kapasitas dan prestasi dirinya, karena jika tidak maka keberadaannya tidak jauh beda dengan orang–orang pada umumnya, dan kami akan mengemukakan secara global beberapa adab yang patut untuk diteladani bagi orang yang hafal kitab Allah Subhanahu wata’ala, diantaranya :
o Hendaklah ia mengikhlaskan niat karena Allah dalam hafalannya, tilawahnya dan mengajarnya.
o Hendaklah ia senantiasa berinteraksi dengan Al-Qur’an senantiasa melakukan muraja’ah sehingga ia tidak lupa atau lupa beberapa darinya.
o Hendaknya dengan hafalan yang ia miliki tidak bertujuan untuk meraih dunia atau bagian darinya; yang berupa harta, kepemimpinan, kekuasaan, memposisikan dirinya diatas yang lain, ingin mendapatkan pujian dari orang lain atau ingin menarik perhatian orang lain dan lain sebagainya.
o Senantiasa berusaha untuk memiliki halaqoh Al-Qur’an, guna meneladani Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
o Selalu berusaha mengajarkan Al-Qur’an kepada sesama manusia, menyeru mereka untuk mempelajari dan menghafalkannya serta memberikan taujih kepada mereka terhadap akhlaq dan adab-adabnya.
o Menyambut baik dan bersikap lembut terhadap orang yang datang untuk membaca Al Qur’an dihadapannya.
o Mengamalkan Al-Qur’an dan tidak menyalahi hukum–hukum dan syariat–syariatnya,bukan sebagai orang yang hafal hurufnya akan tetapi lalai akan batasan– batasannya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Dan AlQur’an iti akan menjadi Hujjah bagimu atau Hujjah atasmu” Hadits riwayat Muslim (223).
Dari Ibnu Mas’ud dalam riwayat yang shahih ia berkata : “Adalah seseorang dari kami apabila mempelajari sepuluh ayat dari Al Qur’an ia tidak melampauinya hingga ia mengerti makna kandungannya serta mengamalkannya”. Dari tafsir At Thobary (80/1).
Abu Abdur Rahman As Sulami berkata : “ Mereka yang dahulu membacakan Al Qur’an kepada kami menceritakan : Sesungguhnya mereka yang membaca Al Qur’an dari Nabi Shallallahu Alaihi wasallam apabila mereka mempelajari sepuluh ayat mereka tidak menambahkan dari sepuluh ayat tadi, hingga mereka mengerti kandungan isinya dan mengamalkannya, maka kami mempelajari Al Qur’an dan mengamalkannya semuanya secara bersama-sama”. Tafsir At Thobary (80/1).
o Hendaknya ia membedakan malam harinya dengan malam–malam hari orang–orang pada umumnya, dengan bangun malam untuk melaksanakan Shalat malam sekedar apa yang Allah telah memberikan kemudahan baginya; karena sesungguhnya para huffadz salafus shalih mereka adalah orang-orang yang terbiasa qiyamul lail dan bermunajat kepada Allah diwaktu sahur.
Kami memberikan nasihat kepada anda agar mendalami dan memahami dua kitab yang teramat mulya dan berharga tentang bab ini; yang pertama :“Akhlaqu Hamalatil Qur’an” Imam Al Aajiri Rahimahullah, dan yang kedua adalah : “AtTibyaan Fie Aadaabi Hamalatil Qur’an” Imam An Nawawi Rahimahullah, maka bacalah keduanya dan semoga anda mengambil manfaat dari keduanya. Wallahu A’lam
Pertanyaan
Telah berlalu dari umurku 26 tahun, saya ingin menuntut dan mempelajari ilmu Syar’i, dan aku telah menetapkan untuk memulai dengan menghafal Al Qur’an Al Karim –dengan izin Alloh dan pertolonganNYA - dan pertanyaanku tentang Atsar yang menyebutkan bahwa Abdullah bin Umar -Radhiyallahu Anhuma- menghafal surat Al Baqarah dalam jangka waktu delapan tahun, apakah Atsar ini shahih ? Dan apa penyebab lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menghafal ? Apa tata cara yang paling sukses dan ampuh untuk menghafal Al Qur’an Al Karim ? Apakah saya melanjutkan menghafal keseluruhan Al-Qur’an ataukah saya berpindah ke kitab-kitab (tentang agama atau syari’at) dan saya mencampur antara menghafal Qur’an dan menghafal matan-matan ? Meskipun saya diberi pilihan antara menghafal Al Qur’an dengan kesulitannya atau menghafal shahih Al Bukhari dengan banyak sekali kemudahannya dari pada menghafal Al-Qur’an, manakah diantara keduanya yang harus dipilih?
Jawaban: (Oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid)
Alhamdulillah.
Yang pertama, Menuntut ilmu merupakan kemulyaan yang agung dan pemberian terbesar yang diberikan Alloh Ta’ala kepada hambanya, Allah Ta’ala berfirman : (Allah akan mengangkat mereka orang-orang yang beriman diantara kalian dan mereka orang-orang yang di beri ilmu beberapa derajat). “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Mujadilah :11). Allah Ta’ala juga berfirman :
( قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ) الزمر/ 9
“ … Apakah sama orang-orang yang mengerti dengan orang-orang yang tidak mengerti? Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal saja yang dapat menerima pelajaran.” (Az Zumar :9)
Dan kami memberikan penghormatan kepada anda yang telah meniti jalan yang menghantarkan ke Syurga.
عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ : كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِي الدَّرْدَاءِ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّي جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَدِيثٍ بَلَغَنِي أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ قَالَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ( مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ ،وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ ،وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ ) رواه أبو داود ( 3641 ) وصححه الألباني في " صحيح أبي داود " .
Katsir bin Qois ia berkata : “Aku pernah duduk-duduk bersama Abi Darda’ di masjid di Demaskus lalu ia didatangi seorang lelaki seraya berkata : Wahai Abu Darda’ sesungguhnya aku datang kepadamu dari kotanya Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam bukan karena satu urusan, tapi hanya demi satu hadits yang sampai kepadaku bahwasannya engkau meriwayatkannya dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam, ia berkata sesungguhnya aku telah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang meniti jalan untuk mencari ilmu (syari’ah Islamiyyah) maka Alloh akan menuntunnya satu jalan dari jalan-jalan ke Syurga, dan sesungguhnya para Malaikat akan meletakkan sayap-sayapnya karena ridho (untuk menaungi) terhadap orang-orang yang mencari ilmu, dan sesungguhnya penduduk langit dan bumi juga ikan-ikan yang berada di dasar air akan memohonkan ampunan bagi orang-orang yang berilmu, dan sesungguhnya keutamaan seorang ‘alim dengan seorang ahli ibadah itu bagaikan keutamaan bulan purnama atas sekalian bintang-bintang, dan sesungguhnya para Ulama’ itu pewaris para Nabi, dan sesungguhnya para Nabi itu tidak mewariskan Dinar dan Dirham akan tetapi mereka mewariskan Ilmu, maka barangsiapa yang meraihnya maka ia mendapatkan bekal atau bagian yang amat banyak ).” (HR Abu Daud (no. 3641 ) dan disahkan oleh Albani dalam Shohih Abu Daud.
Dan cukuplah dengan hadits ini kemulyaan, ganjaran dan pahala bagi penuntut ilmu.
Yang kedua: Diantara hal yang paling utama yang disyari’atkan bagi seorang muslim adalah menghafal al Qur’an Al Karim,
فعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : ( يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا ) رواه الترمذي ( 2914 ) وقال : حسن صحيح ، وأبو داود ( 1464 ) ، وحسنه الشيخ الألباني في " مشكاة المصابيح " (2134) .
Abdullah bin ‘Amr ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “ Diucapkan bagi pembaca dan penghafal Al Qur’an; bacalah dengan tartil dan naiklah, sebagaimana engkau telah membacanya di dunia, sesungguhnya derajatmu (di surga) sesuai dengan akhir ayat yang engkau membacanya (didunia). ” HR Turmudzi (no. 2914) dia berkata: Hadits Hasan Shahih, Abu Daud (no. 1464), dan Syaikh Albani menghasankannya sebagaimana disebutkan dalam kitab : “Misykat Almashabih” (2134). Yang dimaksud dengan kata : Al Qiro’ah dalam hadits tersebut adalah : Alhifdlu (menghafal). Dan hadits-hadits semacam ini amatlah banyak dengan keutamaan- keutamaan yang luar biasa.
Ibnu Abdil Barr – Rahimahullah – berkata : “Menuntut ilmu itu memiliki tingkatan- tingkatan kebajikan dan urutan–urutan yang seseorang tidak selayaknya melampaui batasan-batasannya, dan barangsiapa yang melampaui batasannya secara global maka sungguh ia telah menyalahi jalan yang ditempuh para salafussholih Rohimahumulloh, dan barangsiapa yang melampaui batasan-batasannya dengan sengaja maka ia akan tersesat, dan barangsiapa yang melampaui pembatasnya sedang dia bukanlah orang yang lalai maka dia akan tergelincir. Maka permulaan ilmu itu adalah menghafal kitab Allah ‘Azza wajalla dan memahaminya, dan setiap ilmu yang menunjang kemudahan untuk memahaminya maka wajib dipelajari bersamanya, aku tidak mengatakan bahwa menghafal seluruh Al Qur’an merupakan sebuah keharusan, akan tetapi menghafal Al Qur’an suatu hal yang wajib dan lazim bagi seseorang yang ingin disebut sebagai seorang ‘Alim.” Diambil dari kitab : “ Kumpulan penjelasan keutamaan Ilmu” (166/2).
Yang ketiga : Adapun Atsar tentang Ibnu Umar ; maka Imam Malik Rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya “Almuwattha’” (479) bahwasannya riwayat tentang Ibnu Umar yang menghabiskan waktu selama delapan tahun dalam mempelajari surat al Baqarah, adalah riwayat yang terputus di awal sanadnya sehingga riwayat atau Atsar ini lemah (Dlo’if ). Ada sebuah riwayat dari Ibnu Umar Radliyallahu anhu dengan sanad yang shahih dan tersambung ; bahwasannya beliau menghabiskan waktu selama empat tahun dalam mempelajari surat Al Baqarah, hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam kitab “At Thobaqoot Al Kubro” (164/4), ia berkata : Mengabarkan kepada kami Abdullah bin Ja’far menceritakan kepada kami Abu Al Malih dari Maimun “ Sesungguhnya Ibnu Umar mempelajari surat Al Baqoroh dalam waktu empat tahun”. Timbul sebuah pertanyaan ; Apakah kata Ta’allum (belajar) dalam dua atsar diatas berartikan menghafal atau memahami dan mendalami ? perkara ini memiliki dua kemungkinan, bisa jadi hidayah Sahabat itu tercurah dan fokus untuk memahami dan mendalami, sebab ada sebuah riwayat ; Abu Abdur Rahman As Sulami berkata : “Diceritakan kepada kami bahwasannya mereka yang mengajarkan Al Qur’an kepada kami, mereka tidak akan melampaui sepuluh ayat Al Qur’an sebelum mereka memahami dan mengetahui apa yang terkandung didalamnya dari sisi ilmu dan amal”.
Azzarqoni Rohimahullah berkata : “ yang demikian itu bukan berarti karena lambannya hafalan mereka – Kita berlindung kepada Allah akan hal ini – akan tetapi mereka para sahabat mempelajari fardlu–fardlu, hukum–hukum dan hal–hal yang berkaitan dengan ayat–ayat tersebut, diriwayatkan bahwasannya Nabi Shallallahu Alaihi wasallam melarang menyegerakan dan mempercepat dalam menghafal Al Qur’an tanpa memahaminya, dan bisa jadi Ibnu Umar tatkala menghafal surat Al Baqoroh beliau juga mencampur dan mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, yang demikian itu karena ada kehawatiran akan kesalahan dalam mentakwilkan Al Qur’an, sebagaimana yang disampaikan oleh Al Baji dalam ; “Syarh Azzarqoni limuwattho’ Malik (27/2).
Yang keempat : Adapun tatacara yang paling baik dalam menghafal Al-Qur’an sangat banyak sekali, akan tetapi wajib bagi anda mengetahui kadar kemampuan anda dalam menghafal, waktu luang anda, lalu kapan anda akan memulai bekerja. Dan kami memberikan nasihat kepada anda akan beberapa perkara :
1.Tidak memperbanyak menghafal melebihi kapasitas kemampuan sehingga tidak timbul kejenuhan dan senantiasa energik untuk menghafal pada hari-hari berikutnya.
2. Bergabung dengan kumpulan Halaqoh penghafal qur’an atau menghafal kepada Syaikh; karena hal ini akan menjadikan berkesinambungan.
3. Memahami ayat–ayat sebelum menghafal, hal ini akan memberikan motifasi tersendiri bagimu dan akan lebih melekat dalam benak dan yang demikian dengan mentelaah Tafsir Muyassar.
4. Memberikan porsi muroja’ah hafalan yang lebih banyak dibanding waktu untuk menghafal. Dari Abu Musa dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda : “Hendaklah kalian senantiasa menjaga hafalan kalian, maka demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditanganNya ; sesungguhnya Al Qur’an itu akan lebih cepat hilangnya dari pada onta yang diikat pada tambatannya”. Hadits riwayat Muslim (791).
5.Tidak bergonta–ganti dalam menggunakan mushaf Al Qur’an, sehingga bentuk lembar dan halamannya tergambar dalam benak dan ingatan.
6. Memperbaiki tilawah beserta hafalan dihadapan Qori’ Al Qur’an.
7. Banyak mendengarkan tilawah para Qori’ yang Tersohor.
8. Mengamalkan dan melaksanakan apa yang telah anda hafalkan dan hal ini merupakan tujuan puncak keutamaan.
9. Laksanakan Qiyamullail dengan menerapkan apa yang anda hafal dari Al Qur’an atau anda memperdengarkan untuk diri anda sendiri pada saat shalat disiang hari.
10. Memperbanyak berdo’a dan senantiasa memohon Taufiq kepada Allah Subhanahu WaTa’ala.
Yang kelima :Jawaban dari pertanyaan apakah menghafal Al Qur’an terlebih dahulu, kemudian berpindah kepada disiplin ilmu yang lain ataukah menggabung antara keduanya ? Yang paling utama dan lebih bagus adalah apabila anda mengerahkan segala kemampuan untuk menghafal al Qur’an, dan jika anda telah selesai menghafalkannya lalu anda berpindah ke disiplin ilmu yang lain, akan tetapi jika anda mendapati diri sedang tidak semangat dan malas maka segarkanlah dengan beralih kesebagian ilmu-ilmu yang lain dengan tanpa berlebihan. Adalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alus Syaikh – Rohimahullah – apabila datang kepada beliau seorang mahasiswa yang ingin menuntut ilmu, beliau bertanya kepadanya; apakah engkau telah hafal al Qur’an ? dan bila mahasiswa ini menjawab tidak, beliaupun memerintahkannya untuk menghafal al qur’an terlebih dahulu, dan pendapat semacam ini telah disampaikan sebelumnya oleh Imam Ibnu Abdil Barr –Rahimahullah- .
Yang keenam : Adapun pertanyaan anda yang terakhir ; maka sesungguhnya menghafal Al Qur’an lebih mudah dari pada menghafal hadits nabawi karena telah dimudahkan dari sisi Allah Subhanahu WaTa’ala, Allah berfirman : “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? “ (Al Qomar:17)
Akan tetapi anda mendapati saat ini peluang–peluang dan dauroh–dauroh untuk menghafal hadits nabawi lebih banyak dari pada menghafal al qur’an sehingga hal ini yang memberikan semangat dan motifasi kepada anda untuk lebih giat menghafal hadits-hadits nabawiyyah, tidak jadi masalah kecenderungan untuk menghafal hadits kemudian setelah itu kembali lagi untuk menghafal Al Qur’an. Ada yang tidak membenarkan dan merupakan sebuah aib bagi penuntut ilmu jika ia hafal Shohih Bukhori akan tetapi tidak hafal Al Qur’an, sungguh firman Allah lebih utama untuk dihafal dan difahami karena merupakan asal sumber hukum.
Aku memohon kepada Allah agar memberikan Taufiq dan keridhoannya kepada anda dan memberikan keberkahan pada setiap waktu anda dan memudahkan anda dalam menghafal Al Qur’an dan Assunnah serta mengamalkan keduanya. Wallahu A’lam
************************************
Kontributor: Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment