Ilmu Yang Bermanfaat
Secara syariat,
suatu ilmu disebut bermanfaat apabila mengandung mashlahat – memiliki
nilai-nilai kebaikan bagi sesama manusia ataupun alam. Akan tetapi, manfaat
tersebut menjadi kecil artinya bila ternyata tidak membuat pemiliknya semakin
merasakan kedekatan kepada Dzat Maha Pemberi Ilmu, Allah Azza wa Jalla. Dengan
ilmunya ia mungkin meningkat derajat kemuliaannya di mata manusia, tetapi belum
tentu meningkat pula di hadapan-Nya. Oleh karena itu, dalam kacamata ma’rifat,
gambaran ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh
seorang ahli hikmah. “Ilmu yang berguna,” ungkapnya, “ialah yang meluas di dalam dada sinar cahayanya dan membuka
penutup hati.” seakan memperjelas ungkapan ahli hikmah tersebut,
Imam Malik bin Anas r.a. berkata, “Yang bernama ilmu itu bukanlah kepandaian atau banyak
meriwayatkan (sesuatu), melainkan hanyalah nuur yang diturunkan Allah ke dalam
hati manusia. Adapun bergunanya ilmu itu adalah untuk mendekatkan manusia
kepada Allah dan menjauhkannya dari kesombongan diri.” Ilmu itu hakikatnya adalah kalimat-kalimat Allah Azza wa Jalla.
Terhadap ilmunya sungguh tidak akan pernah ada satu pun makhluk di jagat raya
ini yang bisa mengukur Kemahaluasan-Nya. sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah : Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk
(menuliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis
(dituliskan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak
itu (pula).” (QS. Al Kahfi [18] : 109).
Adapun ilmu yang dititipkan kepada manusia mungkin tidak
lebih dari setitik air di tengah samudera luas. Kendatipun demikian,
barangsiapa yang dikaruniai ilmu oleh Allah, yang dengan ilmu tersebut semakin
bertambah dekat dan kian takutlah ia kepada-Nya, niscaya “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”(QS. Al Mujadilah
[58] : 11). Sungguh janji Allah itu tidak akan pernah meleset
sedikit pun! Akan tetapi, walaupun hanya “setetes” ilmu Allah yang dititipkan
kepada mnusia, namun sangat banyak ragamnya. ilmu itu baik untuk kita kaji
sepanjang membuat kita semakin dekat kepada Allah. Inilah ilmu yang paling
berkah yang harus kita cari. sepanjang kita menuntut ilmu itu jelas (benar)
niat maupun caranya, niscaya kita akan mendapatkan manfaat darinya.
Imam Syafii ketika masih menuntut ilmu, pernah mengeluh
kepada gurunya. “Wahai, Guru. Mengapa ilmu yang
sedang kukaji ini susah sekali memahaminya dan bahkan cepat lupa?”
Sang guru menjawab, “Ilmu itu ibarat cahaya. Ia hanya dapat menerangi gelas yang
bening dan bersih.” Artinya, ilmu itu tidak akan menerangi hati yang keruh dan
banyak maksiatnya. Karenanya, jangan heran kalau kita dapati ada
orang yang rajin mendatangi majelis-majelis ta’lim dan pengajian, tetapi akhlak
dan perilakunya tetap buruk. Mengapa demikian? itu dikarenakan hatinya tidak
dapat terterangi oleh ilmu. Laksana air kopi yang kental dalam gelas yang
kotor. Kendati diterangi dengan cahaya sekuat apapun, sinarnya tidak akan bisa
menembus dan menerangi isi gelas.
Begitulah kalau
kita sudah tamak dan rakus kepada dunia serta gemar maksiat, maka sang ilmu
tidak akan pernah menerangi hati. Padahal kalau hati kita bersih, ia ibarat
gelas yang bersih di isi dengan air yang bening. Setitik cahaya pun akan mampu
menerangi seisi gelas. Walhasil, bila kita menginginkan ilmu yang
bisa menjadi ladang amal shalih, maka usahakanlah ketika menimbanya, hati kita
selalu dalam keadaan bersih. hati yang bersih adalah hati yang terbebas dari
ketamakan terhadap urusan dunia dan tidak pernah digunakan untuk menzhalimi
sesama. Semakin hati bersih, kita akan semakin dipekakan oleh Allah untuk bisa
mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Darimanapun ilmu itu datangnya. Disamping itu,
kita pun akan diberi kesanggupan untuk menolak segala sesuatu yang akan membawa
mudharat.
Sebaik-baik ilmu
adalah yang bisa membuat hati kita bercahaya. Karenanya, kita wajib menuntut
ilmu sekuat-kuatnya yang membuat hati kita menjadi bersih, sehingga ilmu-ilmu
yang lain (yang telah ada dalam diri kita) menjadi bermanfaat. Bila mendapat
air yang kita timba dari sumur tampak keruh, kita akan mencari tawas (kaporit)
untuk menjernihkannya. Demikian pun dalam mencari ilmu. Kita harus mencari ilmu
yang bisa menjadi “tawas”-nya supaya kalau hati sudah bening, ilmu-ilmu lain
yang kita kaji bisa diserap seraya membawa manfaat.
Mengapa? demikian? Sebab dalam mengkaji ilmu apapun kalau kita sebagai
penampungnya dalam keadaan kotor dan keruh, maka tidak bisa tidak ilmu yang
didapatkan hanya akan menjadi alat pemuas nafsu belaka. Sibuk mengkaji ilmu
fikih, hanya akan membuat kita ingin menang sendiri, gemar menyalahkan pendapat
orang lain, sekaligus aniaya dan suka menyakiti hati sesama.
Demikian juga
bila mendalami ilmu ma’rifat. Sekiranya dalam keadan hati busuk, jangan heran
kalau hanya membuat diri kita takabur, merasa diri paling shalih, dan
menganggap orang lain sesat. Oleh karena itu, tampaknya menjadi fardhu ain
hukumnya untuk mengkaji ilmu kesucian hati dalam rangka ma’rifat, mengenal
Allah. Datangilah majelis pengajian yang di dalamnya kita dibimbing untuk
riyadhah, berlatih mengenal dan berdekat-dekat dengan Allah Azza wa Jalla. Kita
selalu dibimbing untuk banyak berdzikir, mengingat Allah dan mengenal kebesaran-Nya,
sehingga sadar betapa teramat kecilnya kita ini di hadapan-Nya.
Kita lahir ke dunia tidak membawa apa-apa dan bila datang
saat ajal pun pastilah tidak membawa apa-apa. Mengapa harus ujub, riya,
takabur, dan sum’ah. Merasa diri besar, sedangkan yang lain kecil. Merasa diri
lebih pintar sedangkan yang lain bodoh. Itu semua hanya karena sepersekian dari
setetes ilmu yang kita miliki? Padahal, bukankah ilmu yang kita miliki pada
hakikatnya adalah titipan Allah juga, yang sama sekali tidak sulit bagi-Nya
untuk mengambilnya kembali dari kita? Subhanallaah! Mudah-mudahan kita
dimudahkan oleh-Nya untuk mendapatkan ilmu yang bisa menjadi penerang dalam
kegelapan dan menjadi jalan untuk dapat lebih bertaqarub kepada-Nya.
*******************************
Kontributor: Tim Ulilalbab.com. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Uma
Comments
Post a Comment