Hukum Murtad (Keluar dari Islam)
Tanya:
Ada seseorang yang dulunya Islam kemudian dia pindah agama lain (Kristen)
krn mengikuti suaminya. Bagaimana hukumnya?
Jawaban: (oleh Ustadh Ammi Nur Baits, Dewan Pembina Konsultasi
Syariah .com)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Dari Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ، يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنِّي
رَسُولُ اللَّهِ، إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثَّيِّبُ
الزَّانِي، وَالمَارِقُ مِنَ الدِّينِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ
”Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi laa ilaaha
illallah dan bahwa aku utusan Allah, kecuali karena tiga hal: nyawa dibalas
nyawa, orang yang berzina setelah menikah, dan orang yang meninggalkan
agamanya, memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin.” (HR.
Bukhari 6878, Muslim 1676, Nasai 4016, dan yang lainnya).
Dalam hadis
lain, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ
”Siapa yang mengganti agamanya, BUNUHlah dia.” (HR.
Bukhari 3017, Nasai 4059, dan yang lainnya)
Makna: ’Mengganti
agama’: murtad, keluar dari Islam. Karena hadis ini dimasukkan para ulama hadis
dalam pembahasan hukuman orang yang murtad.
Satu hal yang
perlu kita beri garis tebal, hukuman bunuh untuk orang yang murtad, 100%
berdasarkan keputusan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan keputusan
beliau, jelas merupakan wahyu Allah. Karena itu, hukuman ini bukan hasil
pemikiran atau ijtihad manusia, apalagi dikaitkan dengan latar belakang politik
kaum muslimin.
Mengapa dihukum bunuh?
Masyarakat
islam ibarat sebuah tubuh. Seorang muslim dalam tatanan masyarakat islam ibarat
satu sel dalam tubuh. Ketika muslim ini keluar dari islam, dia menjadi sel
mati, yang jika dibiarkan akan menjadi tumor. Berbahaya bagi sel yang lain.
Karena itu, sel semacam ini harus dikarantina dan jika tidak bisa disembuhkan,
dia dibuang.
Dalam Fatawa
Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فمن
ثبتت ردته عن الإسلام وتمت إدانته بإعلانه بالردة, فقد أصبح عضواً فاسداً يجب بتره
من جسم المجتمع حتى لا يسري مرضه في الجسم عموماً، ولأن الردة اعتداء على أولى
الكليات أو الضروريات الخمس التي تواترت الأديان السماوية بالحفاظ عليها وهي:
الدين، والنفس، والنسل، والعقل، والمال
Orang yang telah menegaskan dirinya keluar dari islam, dan dia
telah mengumumkan dirinya murtad maka dia menjadi anggota tubuh yang rusak,
yang harus disingkirkan dari tubuh masyarakat muslim. Sehingga sakitnya tidak
menyebar ke seluruh tubuh. Disamping itu, orang yang murtad, berarti telah
melakukan pelanggaran terhadap dharuriyat khams (5 prinsip yang dijaga dalam
islam) yang paling penting (yaitu agama), dimana semua agama samawi sepakat
untuk menjaga dan melindunginya, prinsip itu adalah agama, jiwa, keturunan,
akal, dan harta.(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 73924)
Kemudian
ditegaskan dalam Fatawa Syabakah, bahwa masalahnya bukan semata kebebasan
berkeyakinan, namun ini menyangkut loyalitas dan keberpihakan kepada agama,
والردة
ليست مجرد موقف عقلي، بل هي تغيير للولاء وتبديل للهوية وتحويل للانتماء، فالمرتد
ينقل ولاءه وانتماءه إلى أمة أخرى، وإلى وطن آخر
”Murtad bukan semata masalah pemikiran, namun ini masalah
mengganti loyalitas, mengubah kecenderungan, dan berpindah keberpihakan. Orang
yang murtad telah mengubah loyalitasnya dan keberpihakannya kepada umat yang
lain, dan bahkan ke negeri yang lain.” (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 73924)
Karena itu,
tidak jauh jika tindakan murtad termasuk pengkhianatan kepada agama. Sehingga
hukuman mati, bukan termasuk kedzaliman baginya.
Ada beberapa
ketentuan yang berlaku dalam menerapkan hukuman untuk orang murtad,
Pertama, karena
hukuman ini masuk dalam hukum islam maka penetapan hukum bunuh untuk orang
murtad, hanya bisa dilakukan dan diputuskan oleh pengadilan syariat yang resmi
ditunjuk oleh pemerintah (jika negara kita menerapkan hukum islam).
Dalam Fatawa
Syabakah Islamiyah ditegaskan,
ولكن
الحكم على المرتد لا يكون إلا من قبل القضاء الشرعي، والتنفيذ لا يكون إلا من قبل
ولي أمر المسلمين
Hukuman untuk
orang yang murtad tidak boleh diputuskan kecuali oleh mahkamah syariah, dan
pelaksanaannya tidak bisa dilakukan kecuali oleh pemerintah kaum muslimin.
(Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 73924)
Kedua,
dianjurkan untuk menunda hukuman, jika ada harapan kembali ke Islam
Syaikhul Islam
dalam kitabnya as-Sharim al-Maslul mengutip keterangan ulama tabi’in,
وقال
الثوري: يؤجل ما رجيت توبته، وكذلك معنى قول النخعي
“Sufyan At-Tsauri mengatakan, ‘Ditunda hukumanya, jika diharapkan
dia mau bertaubat.’ Demikian pula makna dari keterangan Ibrahim an-Nakhai.” (as-Sharim
al-Maslul, hlm. 328).
Ketiga, Selama
penundaan hukuman, dia didakwahi dan ditawari untuk bertaubat. Bisa bentuknya
diajak berdebat, dialog, atau diberi harta, untuk menghilangkan segala sebab
yang membuat dia bertaubat.
Syaikhul Islam
menyebutkan keterangan at-Thahawi,
وذكر
الطحاوي عنهم: لا يقتل المرتد حتى يستتاب
At-Thahawi
menyebutkan dari para ulama hanafi: “Orang yang murtad tidak boleh dibunuh,
hingga dia diminta bertaubat.” (as-Sharim al-Maslul, hlm. 328).
Dalam
Mukhtashar Kholil – ulama Malikiyah – dinyatakan,
واستتيب
ثلاثة أيام بلا جوع وعطش ومعاقبة فإن تاب وإلا قتل
Orang yang murtad diminta bertaubat selama 3 hari, tanpa
dikondisikan lapar, haus, dan tanpa hukuman.. jika dia mau bertaubat (kembali
masuk islam), dia dilepaskan, jika tidak maka dibunuh. (Mukhtashar
Kholil, hlm. 251).Allahu a’lam.
Pertanyaan:
Pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online yang
terhormat, saya mau bertanya. Kakak ipar saya laki-laki saat berumur 28 tahun
keluar Islam demi memilih pasangan hidupnya. Karena suatu masalah mereka
berpisah setelah empat tahun berumah tangga. Kemudian ia menikah lagi dengan
seorang muslimah. Pertanyaan saya, bagaimana hukumnya Muslim menjadi murtad
lalu kembali Muslim? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Nadia)
Jawaban ( Oleh Ustadh Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Jawaban ( Oleh Ustadh Mahbub Ma’afi Ramdlan)
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya kepada kita semua. Memeluk suatu agama adalah pilihan bebas setiap individu, termasuk di dalamnya memilih Islam sebagai agama. Ketika seseorang yang sudah memeluk Islam kemudian ia keluar darinya (riddah) maka ia menjadi murtad. Ketika seseorang sudah memeluk Islam, maka sudah seharusnya ia menyakini kebenarannya. Konsekuensinya ia dilarang untuk keluar dari Islam (riddah). Jika ia nekat melakukannya, maka ia telah melakukan DOSA BESAR. Karenanya, keluar dari Islam secara hukmi dikategorikan sebagai KEKAFIRAN kelas berat. Jika ia meninggal dunia dalam keadaan murtad, maka hal tersebut dapat menghapus amal baiknya yang pernah dilakukan sebelumnya.
وَهِيَ
أَفْحَشُ الْكُفْرِ وَأَغْلَظُهُ حُكْمًا ، مُحْبِطَةٌ لِلْعَمَلِ إنْ اتَّصَلَتْ
بِالْمَوْتِ
Artinya, “Riddah (keluar dari Islam) dihukumi sebagai kekafiran yang paling keji dan berat, dapat menggugurkan amal jika diiringi dengan kematian,” (Lihat Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Fikr, juz IV, halaman 133).
Lantas bagaimana status keislamanan seseorang yang awalnya Islam kemudian ia murtad, lalu bertobat dan kembali masuk Islam? Keislamannya jelas sah. Namun yang menjadi “gegeran” di kalangan para fuqaha` sebenarnya bukan hukum kembalinya ia masuk Islam. Tetapi kewajiban yang ditinggalkan ketika murtad seperti shalat dan zakat. Apakah ia wajib mengqadha atau tidak wajib?
Dalam konteks ini mereka berselisih pendapat. Imam Syafi’i berpendapat dengan tegas bahwa ia wajib mengqadha shalat dan zakat yang ia tinggalkan ketika murtad. Menurutnya, jika ada seseorang yang keluar dari Islam kemudian kembali masuk Islam maka ia wajib mengqadha shalat dan zakat yang diwajibkan kepadanya, yang ditinggalkan ketika murtad.
إذَا
ارْتَدَّ الرَّجُلُ عن الْإِسْلَامِ ثُمَّ أَسْلَمَ كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ كُلِّ
صَلَاةٍ تَرَكَهَا في رِدَّتِهِ وَكُلِّ زَكَاةٍ وَجَبَتْ عَلَيْهِ فِيهَا
Artinya, “Ketika seseorang keluar dari Islam kemudian ia masuk Islam lagi maka ia wajib mengqadha shalat yang ia tinggalkan pada saat ia menjadi murtad, begitu juga wajib mengqadha setiap zakat yang wajib atasnya,” (Lihat Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, Beirut, Darul Ma’rifah, 1393 H, juz I, halaman 69).
Sedang menurut Madzhab Hanafi dan Maliki, ia tidak wajib mengqadha shalat yang ia tinggalkan ketika murtad. Demikian sebagaimana dikemukakan dalam kitab Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah sebagai berikut ini:
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ
وَالْمَالِكِيَّةُ إِلَى عَدَمِ وُجُوبِ قَضَاءِ الصَّلاَةِ الَّتِي تَرَكَهَا
أَثْنَاءَ رِدَّتِهِ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ كَافِرًا ، وَإِيمَانُهُ يَجُبُّهَا
Artinya, “Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat, tidak wajib (bagi orang yang murtad kemudian ia masuk Islam) mengqadha shalat yang ditinggalkan pada saat ia murtad karena ia (pada saat itu) adalah masuk kategori sebagai orang kafir, sedang keyakinannya memutuskan shalat,” (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Kuwait, Darus Salasil, juz XXII, halaman 200).
Jika kita cermati pandangan dari Madzhab Hanafi dan Maliki di atas, maka argumentasi yang ingin dikatakan adalah bahwa ketika seseorang menjadi murtad maka ia berstatus sebagai orang KAFIR. Sedang orang kafir tidak terkena kewajiban menjalankan shalat dan membayar zakat. Karenanya ketika ia masuk Islam kembali, maka tidak wajib mengqadha shalat dan zakat yang ia tinggalkan semasa murtad.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pada pembaca.Saran kami, bentengi diri kita, keluarga, dan masyarakat sekitar kita dengan keimanan yang kokoh agar tidak terjerumus ke dalam kemurtadan. Karena kemurtadan termasuk kategori kekafiran kelas berat. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
******************************
Kontributor:
Ustadh Ammi Nur Baits; Ustadh Mahbub Ma’afi Ramdlan. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy
Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment