Musibah Yang Menimpa Manusia
Segala puji
bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat dan menakdirkan segala sesuatu dengan
penuh hikmah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.Di pagi yang berbahagia, di bulan penuh berkah dan bulan semangat
untuk mentadabburi Al Qur’an, ada sebuah ayat yang patut direnungkan oleh kita
bersama. Ayat tersebut terdapat dalam surat Al Hadid, tepatnya ayat 22-23.
Inilah yang seharusnya kita gali hari demi hari di bulan suci ini. Karena
merenungkan Al Qur’an, meyakini dan mengamalkannya tentu lebih utama daripada
sekedar membaca dan tidak memahami artinya.
Allah Ta’ala berfirman,
مَا
أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ
مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا
تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ
كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
“Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu)
supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah
tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al Hadid: 22-23)
Berikut beberapa faedah
yang bisa diperoleh dari ayat di atas:
Yang dimaksud dengan “lauh”
dalam ayat ini adalah lembaran dan “mahfuzh” artinya terjaga. Kata Ibnu Katsir,
Lauhul Mahfuzh berada di tempat yang tinggi, terjaga dari penambahan,
pengurangan, perubahan dan penggantian.[1] Di dalam Lauhul Mahfuzh dicatat
takdir setiap makhluk. Lauhul Mahfuzh dalam Al Qur’an biasa disebut dengan Al
Kitab, Al Kitabul Mubin, Imamul Mubin, Ummul Kitab, dan Kitab Masthur.[2]
Setiap musibah dan bencana
apa pun itu yang menimpa individu atau menimpa khalayak ramai, baik itu gempa
bumi, kekeringan, kelaparan, semua itu sudah dicatat di kitab Lauhul Mahfuzh.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كَتَبَ
اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah mencatat takdir
setiap makhluk 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.”[3]
Dalam hadits lainnya
disebutkan,
إِنَّ
أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ
قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
“Sesungguhnya awal yang
Allah ciptakan (setelah ‘arsy, air dan angin[4]) adalah qolam (pena), kemudian
Allah berfirman, “Tulislah”. Pena berkata, “Apa yang harus aku tulis”. Allah
berfirman, “Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya”[5]
Takdir yang dicatat di
Lauhul Mahfuzh tidak mungkin berubah sebagaimana maksud dari ayat yang kita
bahas. Begitu pula disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
رُفِعَتِ
الأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ
“Pena telah diangkat dan
lembaran catatan (di Lauhul Mahfuzh) telah kering”.[6]
Al Mubarakfuri rahimahullah
berkata,
كُتِبَ
فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوظِ مَا كُتِبَ مِنْ التَّقْدِيرَاتِ وَلَا يُكْتَبُ
بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهُ شَيْءٌ آخَرُ
“Dicatat di Lauhul Mahfuzh
berbagai macam takdir. Ketika selesai pencatatan, tidaklah satu pun lagi yang
dicatat.”[7]
Intinya, al kitabah (pencatatan)
ada dua macam: (1) pencatatan yang tidak mungkin diganti dan dirubah, yaitu
catatan takdir di Lauhul Mahfuzh; (2) pencatatan yang dapat diubah dan diganti,
yaitu catatan di sisi para malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
يَمْحُوا
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS.
Ar Ro’du: 39). Catatan yang terakhir yang terjadi itulah yang ada di Lauhul
Mahfuzh.
Dari sini kita bisa memahami
berbagai hadits yang membicarakan bahwa silaturahmi (menjalin hubungan dengan
kerabat) bisa memperpanjang umur dan melapangkan rizki, atau do’a bisa menolak
takdir. Di sisi Allah, yaitu ilmu-Nya, Allah mengilmui bahwa hamba-Nya menjalin
hubungan kerabat dan berdo’a kepada-Nya. Ini di sisi ilmu Allah. Lantas Allah
Ta’ala mencatatnya di Lauhul Mahfuzh keluasan rizki dan bertambahnya
umur.[8]. Artinya di sini, Allah Ta’ala telah mengilmi bahwa hamba-Nya
melakukan silaturahmi atau berdo’a kepada-Nya. Demikian yang Allah catat di
Lauhul Mahfuzh yaitu adanya keluasan rizki dan bertambahnya umur.
Ibnu Taimiyah rahimahullah
ketika ditanya apakah rizki yang telah ditakdirkan bisa bertambah dan
berkurang, beliau rahimahullah menjawab, “Rizki itu ada dua macam. Pertama,
rizki yang Allah ilmui bahwasanya Allah akan memberi rizki pada hamba sekian
dan sekian. Rizki semacam ini tidak mungkin berubah. Kedua, rizki yang dicatat
dan diketahui oleh Malaikat. Ketetapan rizki semacam ini bisa bertambah dan
berkurang sesuai dengan sebab yang dilakukan oleh hamba. Allah akan menyuruh
malaikat untuk mencatat rizki baginya. Jika ia menjalin hubungan silaturahmi,
Allah pun akan menambah rizki baginya.”[9]
Jadi sama sekali takdir
yang ada di Lauhul Mahfuzh tidak berubah, yang berubah adalah catatan yang ada
di sisi Malaikat, dan itu pun sesuai ilmu Allah Ta’ala.
Musibah yang terjadi di
muka bumi dan terjadi pada diri manusia, itu telah dicatat di kitab sebelum
diciptakannya makhluk. Inilah tafsiran yang lebih baik pada firman Allah,
إِلَّا
فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا
“melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya”, yang dimaksud dengan
menciptakannya di sini adalah penciptaan makhluk. Demikian dipilih oleh Ibnu
Katsir rahimahullah. Pendapat ini didukung dengan riwayat dari Ibnu Jarir, dari
Manshur bin ‘Abdirrahman, ia berkata, “Setiap musibah di langit dan di
bumi telah dicatat di kitab Allah (Lauhul Mahfuzh) sebelum penciptaan makhluk.”[10]
Tidaklah suatu musibah itu
terjadi kecuali disebabkan karena dosa. Qotadah rahimahullah mengatakan, “Telah
sampai pada kami bahwa tidaklah seseorang terkena sobekan karena terkena kayu,
terjadi bencana pada kakinya, atau kerusakan menimpa dirinya, melainkan itu
karena sebab dosa yang ia perbuat. Allah pun dapat memberikan maaf lebih
banyak.”[11]
Ayat ini adalah di antara
dalil untuk menyanggah pemahaman Qodariyah yang menolak ilmu Allah yang telah
dulu ada[12]. Artinya, Qodariyah meyakini bahwa Allah baru mengilmui setelah
kejadian itu terjadi. Padahal sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Abdullah bin
‘Amr bin Al ‘Ash,” Allah mencatat takdir setiap makhluk 50.000 tahun sebelum
penciptaan langit dan bumi.” [13]
Maksud firman Allah,
إِنَّ
ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Sesungguhnya yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.” Yaitu
Allah mengetahui segala sesuatu sebelum penciptaan sesuatu tersebut. Allah pun
telah mencatatnya. Ini sungguh amat mudah bagi Allah karena Allah Maha
Mengetahui sesuatu yang telah terjadi, sesuatu yang tidak terjadi dan
mengetahui sesuatu yang tidak terjadi seandainya ia terjadi.[14] Sungguh Maha
Luas Ilmu Allah.
Segala sesuatu yang telah
ditakdirkan akan menimpa seseorang, tidak mungkin luput darinya. Segala sesuatu
yang tidak ditakdirkan baginya, tidak mungkin akan menimpanya. Inilah yang
dimaksudkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَتَعْلَمَ
أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَأَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ
لِيُصِيبَكَ
“Hendaklah engkau tahu
bahwa sesuatu yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin luput darimu. Dan
segala sesuatu yang ditakdirkan luput darimu, pasti tidak akan menimpamu.”[15]
Jika demikian, tidak perlu
seseorang merasa putus asa dari apa yang tidak ia peroleh. Karena jika itu ditakdirkan,
pasti akan terjadi.[16] Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
لِكَيْلَا
تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ
“(Kami jelaskan yang
demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari
kamu”
Jika memang engkau
kehilangan Hpmu yang berharga, tidak perlu bersedih karena inilah takdir yang
terbaik untukmu. Siapa tahu engkau kelak akan mendapatkan ganti yang lebih
baik. Engkau belum kunjung diangkat jadi PNS, jadi khawatir pula karena memang
itu belum takdirmu. Engkau belum juga diterima di universitas pilihanmu, jangan
pula khawatir karena takdir Allah sama sekali tidaklah kejam. Tidaklah perlu
bersedih terhadap apa yang luput darimu.
Jangan pula terlalu
berbangga dengan nikmat yang kita peroleh karena itu sama sekali bukanlah usaha
kita. Itu semua adalah takdir yang Allah tetapkan dan rizki yang telah Allah
bagi[17]. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا
تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ
“Dan supaya kamu jangan
terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu”
Janganlah menjadikan nikmat
Allah sebagai sikap sombong dan membanggakan diri di hadapan lainnya. Itulah
selanjutnya Allah Ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ
لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”
Sebagai penutup dari sajian
ini, ada penjelasan yang amat bagus dari Asy Syaukani rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Janganlah bersedih dengan nikmat dunia yang luput darimu.
Janganlah pula berbangga dengan nikmat yang diberikan padamu. Karena nikmat
tersebut dalam waktu dekat bisa sirna. Sesuatu yang dalam waktu dekat bisa
sirna tidak perlu dibangga-banggakan. Jadi tidak perlu engkau berbangga dengan
hasil yang diperoleh dan tidak perlu engkau bersedih dengan sesuatu yang luput
darimu. Semua ini adalah ketetapan dan takdir Allah … Intinya, manusia tidaklah
bisa lepas dari rasa sedih dan berbangga diri.”[18]
Jadi tidak perlu berbangga
diri dan bersedih hati atas nikmat Allah yang diperoleh dan luput darimu.
Pahamilah bahwa itu semua adalah takdir Allah, tak perlu sedih. Itu semua
adalah yang terbaik untuk kita, mengapa harus terus murung. Itu semua pun
sewaktu-waktu bisa sirna, mengapa harus berbangga diri.
Semoga sajian tafsir ini
bisa bermanfaat bagi kita dan semakin menenangkan hati yang sedang sedih.
*****************************
Kontributor:
Admin sedekahproduktif. com. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email:
ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment