Tempat Sholat bagi Wanita Yang Paling Utama
Bismillah
walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du:
Berikut ini
kumpulan beberapa fatwa tentang tempat sholat bagi wanita yang paling utama
dari para ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah di zaman ini.
1. Fatwa Samahatul Mufti Abdul Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah
Pertanyaan:
“ Apa
hukum sholat Taraweh bagi wanita di rumahnya, dan apakah yang afdhol ia sholat
di rumah atau di masjid?”
Beliau
menjawab:
“Tergantung
keadaannya, jika ia mampu melakukannya di rumah, bisa kosentrasi melakukan
sholat tersebut dan tidak disibukkan dengan kesibukan, baik berupa mengurus
anak atau perkerjaan rumah tangga (lainnya), maka sholat di rumahnya lebih
utama (afdhol). Namun, jika ia memandang bahwa sholat di masjid itu
(menyebabkan) ia lebih semangat melakukannya, karena ia makmum dibelakang
seorang imam, dan lebih semangat baginya dengan menyaksikan para wanita
muslimah (lainnya) sholat, maka dalam hal ini tidak ada laranggannya”.
2. Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
“Apakah
boleh (saya) melakukan sholat Taraweh sendirian, karena suamiku terpaksa harus
safar ke kota lain, sedangkan di kota tersebut tidak terdapat mushola untuk
wanita, karena itu saya sholat Taraweh sendirian di rumah.
Perlu diketahui
bahwa saya hanya hafal sedikit dari Alquran, bolehkah saya membawa mushaf
Alquran (untuk dibaca) di tengah-tengah sholat Taraweh?”
Beliau
menjawab:
“Baik, saya jawab:
إن الأفضل للمرأة أن تصلي في بيتها، حتى إن كان هناك مسجد
تقام فيه صلاة التراويح. وحضورها للمسجد من باب المباح، وليس من باب المسنون أو
المشروع
“Yang terbaik bagi seorang wanita adalah
sholat di rumahnya, meskipun disitu terdapat masjid yang diselenggarakan sholat
Taraweh di dalamnya.Sedangkan kehadiran wanita di masjid tersebut hukumnya
mubah (boleh), dan bukan disunnahkan atau (bukan pula) disyari’atkan! Oleh
karena itu, jika seorang wanita sholat di rumahnya, maka tidak mengapa ia
sholat berjama’ah di tengah-tengah (anggota) keluarga (sesama) wanita, karena
diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa
sallam :
«أمر أم ورقة أن تؤم أهل دارها أو أهل بيتها»
“Bahwa beliau
memerintahkan Ummu Waraqah untuk mengimami anggota keluarganya (yang wanita,
pent.) di rumahnya (Ahlud Dar atau Ahlul Baitnya) “.
Pada keadaan ini,
jika ia tidak hafal Alquran kecuali sedikit saja, maka boleh baginya membacanya
dari mushaf, karena diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dahulu
pernah melakukannya dan karena gerakan memindah-mindahkan mushaf dan
membolak-balik lembarannya dan melihat ayat (yang tertulis) padanya termasuk
gerakan untuk kemaslahatan sholat, maka tidak makruh hukumnya.
Kalau seandainya
gerakan itu hukumnya makruhpun dengan alasan memungkinkan untuk tidak
melakukannya dan (memungkinkan) seseorang mencukupkan diri dengan hafalannya,
maka dalam keadaan ini kemakruhanpun tertutupi (tidak makruh), karena adanya
kebutuhan untuk melakukannya”.
3. Fatwa Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafizhahullah
Pertanyaan:
“Bolehkah
wanita merutinkan sholat berjama’ah di masjid, dan apakah suaminya berhak
melarangnya?”
Beliau
menjawab:
“Dibolehkan bagi
wanita untuk keluar menunaikan sholat di masjid, akan tetapi sholatnya di rumah
lebih utama baginya, karena sholatnya di rumahnya bersifat menutupinya
(tersembunyi dari pandangan) dan aman baginya dari terjerumus kedalam fitnah,
baik fitnah tersebut disebabkan olehnya atau fitnah yang mengancam dirinya,
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam : ”
«لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير
لهن»
“Janganlah
kalian larang wanita (dari) hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”.
Jika ia hendak
sholat di masjid, maka janganlah dilarang, namun ia berdiam diri dan sholat di
rumahnya itu lebih utama dari keluarnya menuju ke masjid untuk menunaikan
sholat. Namun, (yang perlu diperhatikan) jika ia keluar ke masjid, maka ia
haruslah ia beradab dengan adab Islami, seperti : tidak memakai parfum, tidak
mengenakan pakaian yang dihiasi, tidak memakai perhisasan dan menampakkannya
dan tidak menampakkan anggota tubuhnya (yang tidak boleh ditampakkan), menutupi
wajah, kedua telapak tangan dan kakinya, serta menutupi dirinya dari pandangan
laki-laki (yang bukan mahramnya). Apabila ia beradab dengan adab-adab Syar’i
ini, maka diperbolehkan baginya keluar menuju ke masjid untuk menunaikan
sholat.
Demikian pula,
ketika ia berada di masjid juga, hendaknyalah letak shofnya terpisah dengan
kaum laki-laki, tidak menjadi satu dengan shof laki-laki dan tidak pula
bercampur-baur dengan mereka, akan tetapi ia berada di bagian akhir (shof)
masjid. Jika terdapat jama’ah wanita lainnya, maka ia sholat bersama mereka
atau (jika tidak ada wanita lainnya), ia bershof sendirian di belakang
laki-laki, jika ia beradab dengan adab-adab Syar’i ini.
Adapun jika
ia tidak beradab dengannya, maka suaminya hendaknya
melarangnya dari pergi untuk menunaikan sholat ke masjid”.
4. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah
Pertanyaan:
“Manakah
yang lebih utama bagi wanita: ‘Ia sholat Taraweh di rumahnya sendirian atau di
masjid secara berjama’ah? ”
Beliau
menjawab:
“Sholat wanita di
rumahnya lebih utama dalam seluruh keadaan, baik untuk sholat wajib maupun
sholat sunnah. Sedangkan jika ia sholat di masjid, baik itu sholat wajib maupun
sholat Taraweh, maka hal itu diperbolehkan.
Demikian pula
untuk masalah Lailatul Qodar – yaitu di sepuluh hari terakhir (Ramadhan), namun
tidak diketahui kepastian harinya-, seseorang yang bersungguh-sungguh
(beribadah) di sepuluh hari terakhir tersebut, terhitung sebagai orang yang
benar-benar berusaha mendapatkannya, maka jika datang malam tersebut, ia sedang
beramal sholeh.
Jadi, sholat
wanita di rumahnya lebih utama dalam seluruh keadaan, baik di sepuluh hari
terakhir, sebelum atau sesudahnya. Sedangkan jika ia mendatangi masjid di
sepuluh hari terakhir atau masih dalam bulan Ramadhan atau pada seluruh
bulan-bulan selainnya, maka hal itu diperbolehkan”.
5. Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah
Pertanyaan:
“ Manakah yang
lebih utama : i’tikaf wanita di Masjid Nabawi ataukah duduknya mereka di rumah
mereka (untuk beribadah, pent.) ? Tolong disebutkan dalilnya.”
Beliau
menjawab:
Duduknya
mereka di rumah mereka (untuk beribadah, pent.) lebih utama dan hal ini adalah
perkara yang tidak ada keraguan (didalamnya)!
Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
(صلاة المرأة في بيتها أفضل)
“Sholat seorang
wanita di rumahnya lebih utama” dan seterusnya sampai akhir hadits yang
menunjukan bahwa sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada
sholatnya di masjid. Namun, janganlah wanita tersebut dilarang dari pergi ke
masjid jika ia menginginkannya.
Dengan demikian
berarti tetapnya ia di rumahnya (untuk beribadah) dan tidak mendatangi masjid
itu lebih utama baginya. Akan tetapi (yang perlu diingat) bahwa i’tikaf tidak
boleh dilakukan kecuali di masjid dan tidak sah dilakukan di rumah. Jika ia
ingin i’tikaf (di masjid), maka silakan saja, sebagaimana ia dipersilahkan
mendatangi masjid dan sholat di dalamnya (jika menginginkannya, pent.), namun
rumahnya lebih utama baginya”.
6. Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
“
Apakah wanita seperti laki-laki dalam masalah sholat sunah Rawatib, Witir,
Dhuha, dan duduk di masjid setelah Fajar (sholat Shubuh) hingga terbit matahari
-maksudnya- di tempat sholatnya? Tolong jelaskan hal ini dan Jazakumullahu
khairan”
Beliau
menjawab:
Pada asalnya bahwa
laki-laki dan wanita sama dalam masalah hukum Syar’i kecuali sesuatu yang
ditunjukkan dalil bahwa sesuatu tersebut khusus untuk laki-laki, barulah
hukumnya khusus untuk laki-laki, atau (dalil menunjukkan) sesuatu itu khusus
bagi wanita, maka hukumnyapun khusus pula bagi wanita. Sholat jama’ah,
misalnya, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa ibadah tersebut khusus bagi
laki-laki, merekalah yang diwajibkan untuk sholat berjama’ah, dan menunaikannya
di masjid.
Adapun wanita,
maka ia tidak diwajibkan untuk sholat berjama’ah, tidak wajib baginya sholat
berjama’ah di masjid bersama dengan jama’ah laki-laki, dan tidak wajib pula
baginya berjama’ah di rumahnya. Bahkan sesungguhnya (sholat di) rumahnya lebih
utama baginya daripada menghadiri sholat berjama’ah bersama dengan jama’ah
laki-laki (di masjid), karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
«لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير
لهن»
“Janganlah
kalian larang wanita hamba Allah pergi ke masjid-masjid Allah, namun
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, kalimat
yang terakhir ini:
«وبيوتهن خير لهن»
“namun
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”, walaupun
tidak terdapat dalam Ash-Shahihain, namun kalimat ini shahih.
Oleh karena itu,
wanita itu seperti laki-laki dalam seluruh permasalan hukum, maka jika ia
sedang bersafar, disyari’atkan baginya untuk melakukan ibadah seperti ibadah
yang dilakukan laki-laki, maksudnya ia tidak melakukan sholat: rowatib Zhuhur
dan rowatib Maghrib, dan rowatib Isya’, adapun selebihnya dari sunnah-sunnah
lainnya, maka tetap tertuntut untuk ia lakukan, sebagaimana laki-laki melakukan
hal itu.
Adapun masalah
duduknya seorang wanita di tempat sholatnya di dalam rumahnya hingga terbit
matahari, lalu sholat dua raka’at untuk mendapatkan pahala umroh dan haji,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang ulama berselisih tentang keshahihannya
itu, maka ia tidak bisa mendapatkan keutamaan tersebut. Karena haditsnya (dalam
masalah ini) adalah :
(من صلى الصبح في جماعة ثم جلس)
“Barangsiapa
yang sholat Shubuh dengan berjama’ah kemudian duduk…. ”, sedangkan
wanita tersebut bukanlah orang yang sholat Shubuh berjama’ah (di masjid), dan
jika ia sholat (shubuh) di rumahnya, maka ia tidak bisa mendapatkan pahala ini,
namun, ia tetap berada di atas kebaikan.
Jadi, jika ia
duduk dzikrullah, mengucapkan “Subhanallah”, “La ilaha
illallah” dan membaca Alquran sampai terbit matahari, kemudian
matahari meninggi, ia melakukan sholat sesuai dengan yang dikehendaki oleh
Allah, maka ia berada di atas kebaikan”.
5.
Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah
Pertanyaan:
“ Manakah yang lebih utama : i’tikaf wanita
di Masjid Nabawi ataukah duduknya mereka di rumah mereka (untuk beribadah,
pent.) ? Tolong disebutkan dalilnya.”
Beliau menjawab:
Duduknya mereka di rumah mereka (untuk
beribadah, pent.) lebih utama dan hal ini adalah perkara yang tidak ada
keraguan (didalamnya)!
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
(صلاة المرأة في بيتها أفضل)
“Sholat seorang wanita di rumahnya lebih
utama” dan seterusnya sampai akhir hadits yang menunjukan bahwa
sholat seorang wanita di rumahnya lebih utama daripada sholatnya di masjid. Namun,
janganlah wanita tersebut dilarang dari pergi ke masjid jika ia
menginginkannya. Dengan demikian berarti tetapnya ia di rumahnya (untuk
beribadah) dan tidak mendatangi masjid itu lebih utama baginya.
Akan tetapi (yang perlu diingat) bahwa
i’tikaf tidak boleh dilakukan kecuali di masjid dan tidak sah dilakukan di
rumah. Jika ia ingin i’tikaf (di masjid), maka silakan saja, sebagaimana ia
dipersilahkan mendatangi masjid dan sholat di dalamnya (jika menginginkannya,
pent.), namun rumahnya lebih utama baginya”.
6.
Fatwa Syaikh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan:
“ Apakah wanita seperti laki-laki dalam
masalah sholat sunah Rawatib, Witir, Dhuha, dan duduk di masjid setelah Fajar
(sholat Shubuh) hingga terbit matahari -maksudnya- di tempat sholatnya? Tolong
jelaskan hal ini dan Jazakumullahu khairan”
Beliau menjawab:
Pada asalnya bahwa laki-laki dan wanita sama
dalam masalah hukum Syar’i kecuali sesuatu yang ditunjukkan dalil bahwa sesuatu
tersebut khusus untuk laki-laki, barulah hukumnya khusus untuk laki-laki, atau
(dalil menunjukkan) sesuatu itu khusus bagi wanita, maka hukumnyapun khusus
pula bagi wanita. Sholat jama’ah, misalnya, terdapat dalil yang menunjukkan
bahwa ibadah tersebut khusus bagi laki-laki, merekalah yang diwajibkan untuk
sholat berjama’ah, dan menunaikannya di masjid.
Adapun wanita, maka ia tidak diwajibkan untuk
sholat berjama’ah, tidak wajib baginya sholat berjama’ah di masjid bersama
dengan jama’ah laki-laki, dan tidak wajib pula baginya berjama’ah di rumahnya. Bahkan
sesungguhnya (sholat di) rumahnya lebih utama baginya daripada menghadiri sholat
berjama’ah bersama dengan jama’ah laki-laki (di masjid), karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
«لا تمنعوا إماء الله مساجد الله وبيوتهن خير
لهن»
“Janganlah kalian larang wanita hamba Allah
pergi ke masjid-masjid Allah, namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi
mereka”, kalimat yang terakhir ini:
«وبيوتهن خير لهن»
“namun rumah-rumah mereka lebih baik bagi
mereka”, walaupun tidak terdapat dalam Ash-Shahihain, namun
kalimat ini shahih.
Oleh karena itu, wanita itu seperti laki-laki
dalam seluruh permasalan hukum, maka jika ia sedang bersafar, disyari’atkan
baginya untuk melakukan ibadah seperti ibadah yang dilakukan laki-laki,
maksudnya ia tidak melakukan sholat: rowatib Zhuhur dan rowatib Maghrib, dan
rowatib Isya’, adapun selebihnya dari sunnah-sunnah lainnya, maka tetap
tertuntut untuk ia lakukan, sebagaimana laki-laki melakukan hal itu.
Adapun masalah duduknya seorang wanita di
tempat sholatnya di dalam rumahnya hingga terbit matahari, lalu sholat dua
raka’at untuk mendapatkan pahala umroh dan haji, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits yang ulama berselisih tentang keshahihannya itu, maka ia tidak bisa
mendapatkan keutamaan tersebut.
Karena haditsnya (dalam masalah ini) adalah :
(من صلى الصبح في جماعة ثم جلس)
“Barangsiapa yang sholat Shubuh dengan
berjama’ah kemudian duduk…. ”, sedangkan wanita tersebut bukanlah orang yang
sholat Shubuh berjama’ah (di masjid), dan jika ia sholat (shubuh) di rumahnya,
maka ia tidak bisa mendapatkan pahala ini, namun, ia tetap berada di atas
kebaikan.
Jadi, jika ia duduk dzikrullah, mengucapkan “Subhanallah”,
“La ilaha illallah” dan membaca Alquran sampai terbit matahari,
kemudian matahari meninggi, ia melakukan sholat sesuai dengan yang dikehendaki
oleh Allah, maka ia berada di atas kebaikan”
.
.
********************
Oleh: Sa’id Abu Ukkasyah. Editor: Ustaz
Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment