Selayaknya hidup ini kita orientasikan untuk menjadi pribadi yang
membangun keluarga dan masyarakat yang bertakwa. Semua orang pasti suka diberi sehat, panjang umur, hidup
indah dan hidup berkecukupan. Hanya saja, perjalanan hidup tak selalu ideal.
Ibarat pepatah, hidup seperti roda pedati. Kadang
di atas, kadang di bawah. Ada orang mudah mencari harta, dia kaya-raya, tetapi
tidak berkah. Hatinya selalu gundah, penyakit datang tiap saat. Sementara itu,
ada orang yang setiap hari hanya mampu makan dan minum saja. Tidur bahkan hanya
di atas becak. Namun Allah subhanahu Wata’ala selalu memberinya kesehatan, jauh
dari sakit dan jauh dari kegelisahan batin.
Karena itu dalam
Islam, kaum Muslim dianjurkan mencari keberkahan (barakah). Berkah (barokah).
Dalam kamu Al Munawwri, barakah (البركة)
artinya adalah “karunia Tuhan yang mendatangkan kebaikan bagi kehidupan
manusia.” Sedang menurut Imam al Ghazali, berkah artinya ziyadatul khair, “bertambah-tambahnya kebaikan”.
Di bawah ini empat
kunci meraih keberkahan hidup.
Takwa. Sebagian orang, takwa itu masih dinilai abstrak. Meskipun dalam
beberapa ayat, teknik operasionalnya cukup jelas. Seperti takwa pada ayat 133
dan 144 Surah Ali Imran, operasionalnya cukup jelas. Tetapi, dalam konteks
keuntungan yang langsung diperoleh dalam kehidupan dunia, kejelian berpikir
memang sangat diperlukan. Operasional takwa pada ayat ini diantaranya adalah
tetap membelanjakan (infaq) harta bendanya di jalan Allah baik dalam kondisi
lapang maupun sempit. Infaq dalam kondisi lapang, mungkin tidak seberat kala
dalam kondisi sempit (amat berhajat terhadap harta). Tetapi, jika ingin sampai
pada derajat takwa, keduanya mesti diupayakan.
Muslim yang mau
berpikir, tentu akan menggali hikmah di balik diberlakukannya perintah
yang sepintas cukup memberatkan ini. Mari kita kupas perlahan-lahan.
Kalau diperhatikan,
setiap akhir pekan, warga ibu kota dan warga kota-kota besar di negeri ini
(dominan kaum hawa) sangat gemar kongkow atau shopping di mall. Mall bak rumah kedua yang amat
membahagiakan hati mereka. Apa pasal, diskon, sale dan obral komoditi yang
mereka sukai, sehingga berada di mall meski akan menguras tabungan, tetap
mereka lakukan dengan senang hati. Sedangkan takwa, tidak sependek berbelanja
di mall yang lagi obral diskon dan hadiah. Tetapi, secara logika, pengamalan
takwa secara sungguh-sungguh akan mendatangkan keuntungan tak terkira, yang
bukan saja di dunia, tetapi juga di akhirat. Tetapi, lagi-lagi di sini
diperlukan kejelian atau tepatnya kedalaman berpikir, sehingga ada kekuatan
untuk terus sabar dan istiqomah dalam menjalani kehidupan ini dengan takwa.
Shalat. Manivestasi iman paling dasar yang akan membuat ketakwaan seorang Mukmin
terpelihara adalah shalat. Shalat secara fisik dalam tinjauan medis, ternyata
memberikan dampak signifikan bagi kesehatan tubuh. Padahal, shalat di sisi yang
lebih inti, merupakan media komunikasi setiap hamba dengan Alah Ta’ala.
Posisi sujud
misalnya. Gerakan menungging dengan meletakkan kedua tangan, lutut, ujung kaki,
dan dahi pada lantai itu ternyata memiliki dampak sangat bagus bagi kesehatan
tubuh. Manfaat: Aliran getah bening dipompa ke bagian leher dan ketiak. Posisi
jantung di atas otak menyebabkan darah kaya oksigen bisamengalir maksimal ke
otak. Aliran ini berpengaruh pada daya pikir seseorang. Karena itu, lakukan
sujud dengan tuma’ninah, jangan tergesa – gesa agar darah mencukupi
kapasitasnya di otak. Postur ini juga menghindarkan gangguan wasir. Khusus bagi
wanita, baik rukuk maupun sujud memiliki manfaat luar biasa bagi kesuburan dan
kesehatan organ kewanitaan.
Manfaat pada
gerakan lain, tentu juga tidak kalah baiknya bagi kesehatan tubuh. Logikanya,
semakin sering shalat dilakukan semakin baik kesehatan kita. Dengan kata lain,
kewajiban shalat ini sejatinya adalah perintah yang Allah berikan kepada kita
untuk memenuhi kebutuhan jiwa raga manusia itu sendiri. Dengan kata lain, siapa
enggan shalat apalagi tidak mau shalat, maka kerugiannya sangat luar biasa.
Sedekah. Sedekah ini empirisnya terkesan mengurangi aset atau harta. Tapi,
hakikatnya tidak. Contoh, seorang ibu yang merelakan 100 persen daya potensi
dan waktunya untuk mendidik anak-anaknya, hampir pasti akan memiliki anak yang
cerdas, kuat dan insha Allah sholeh dan sholehah. Bandingkan dengan seorang ibu
yang tidak memberikan 100 persen daya potensi dan waktunya kepada
putra-putrinya. Demikian pula dengan sedekah. Sedekah itu mengurangi nominal
atau angka, tetapi menambah pada sisi lainnya, yang pada akhirnya akan berimbas
pada penambahan nominal itu sendiri. Abdurrahman bin Auf memang banyak
mengeluarkan sedekah, tetapi sedekah itu pula yang membuatnya kwalahan menerima
keuntungan dalam bisnis yang dijalaninya.
Oleh karena itu,
tidak salah jika belakangan muncul istilah Giving is
Receiving (memberi itu hakikatnya menerima). Toh, dalam
Al-Qur’an, satu sedekah atau infaq Allah janjikan balasan hingga 700 kali lipat
(QS. Al-Baqarah [2]: 261). Tentu semua mensyaratkan keikhlasan dan kebeningan
hati dan keseuaian dengan tuntunan Nabi.
Memberi Maaf. Terluka, sakit hati, setiap orang rasanya pasti pernah mengalami ini.
Tetapi, memelihara dendam ilustrasinya sama dengan orang yang menyimpan bau
busuk di lemari pribadinya. Mustahil kan orang mau melakukan itu? Tetapi,
dendam tidak sama dengan bau busuk. Kebanyakan orang yang enggan berpikir dan
mengedepankan egonya, lebih memilih dendam daripada iman. Akhirnya tidak mau
memaafkan, bahkan kalau bisa cari cara gimana caranya bisa balas dendam.
Tetapi,
bagaimanapun Islam tidak menghendaki umatnya menjadi pendendam. Dalam soal ini,
kita patut bercermin kepada Nabi Yusuf Alayhissalam. Beliau mengalami derita
luar biasa karena sifat iri, dengki dan hasad saudara-saudaranya. Tetapi, kala
Nabi Yusuf menjadi orang dan saudara-saudaranya datang dalam kondisi tak
berdaya, beliau memaafkan mereka yang pernah menganiaya dan menyengsarakan
kehidupan beliau.
قَالَ لاَ تَثْرَيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللّهُ لَكُمْ
وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Dia (Yusuf) berkata: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu,
mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara
para penyayang” (QS. Yusuf [12]: 92).
Kita bisa lihat,
apa pengakuan Allah terhadap sikap Nabi Yusuf yang jantan memberi maaf itu?
Allah menyebut kisah beliau sebagai sebaik-baik kisah dari sejarah kehidupan
umat manusia yang pernah ada di muka bumi ini.
Tentu, masih
banyak amalan lain yang penting yang juga merupakan bagian dari manivestasi
takwa dalam kehidupan dan keseharian kita, yang jika diamalkan tidak saja akan
mendatangkan manfaat baik bagi jiwa dan raga, tetapi juga pengakuan dari Allah
Ta’ala sendiri yang mencptakan kita ini. Oleh karena itu, selayaknya hidup ini
kita orientasikan untuk menjadi pribadi yang membangun keluarga dan masyarakat
yang bertakwa.*
Tidur pagi, memang terasa mengenakkan, terutama bagi mereka yang memang tak
bisa mengelakkannya. Usai Subuh, kepala langsung terasa berat dan hati pun
seolah mendesak agar badan segera rebah dan secepat mungkin memejamkan mata. Mungkin
wajar, membuat kondisi tubuh memang lejar. Tetapi, jika tanpa sebab, lantas
setiap pagi melenakan diri dengan tidur, aduhai betapa ruginya.
Sedang Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wassallam setiap pagi hari memanjatkan doa untuk umatnya. اللَّهُمَّ بَارِكْ لأُمَّتِى فِى بُكُورِهَا “Ya Allah berikanlah berkah kepada umatku di pagi
hari mereka.” (HR. Tirmidzi). Artinya, pagi bukan saatnya
untuk berleyeh-leyeh, apalagi kembali pulas mendengkur. Oleh sebab
itu, mesti ada niat dan ikhtiyar kuat
dalam diri agar kita tidak termasuk umat Islam yang kehilangan berkah, justru
di awal suatu hari bermula. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pagi hari bagi seseorang itu seperti waktu muda dan akhir harinya
seperti waktu tuanya.”
Rasulullah
menjelaskan, barangsiapa yang tidak bagun di pagi hari,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ : { يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ
ثَلَاثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلًا طَوِيلًا
فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ وَإِذَا تَوَضَّأَ
انْحَلَّتْ عَنْهُ عُقْدَتَانِ فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتْ الْعُقَدُ فَأَصْبَحَ
نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَ إِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ}.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu bahwa Nabi shollallahu ’alaih wa
sallam bersabda: “Setan akan mengikat tengkuk salah seorang dari kalian saat
tidur dengan tiga ikatan ia akan membisikkan kepadamu bahwa malam masih
panjang, jika ia terbangun lalu berdzikir pada Allah lepaslah satu ikatan, jika
ia berwudlu maka lepaslah dua ikatan, dan jika ia melanjutkan dengan sholat,
maka lepaslah seluruh ikatan itu, sehingga pada pagi harinya ia mulai dengan
penuh kesemangatan dan jiwanya pun sehat, namun jika tidak, maka dia akan
memasuki waktu pagi dengan jiwa yang keji dan penuh kemalasan.” [HR Bukhari]
Pertama, Berdzikir
Dzikir pagi adalah
amalan yang patut digalakkan. Karena selain membuat lebih bersemangat di pagi
hari juga berdampak dimudahkan segala urusan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Dzikir
pagi dibaca saat masuk waktu Subuh hingga matahari terbit. Namun boleh
juga dibaca sampai matahari akan bergeser ke barat. Soal bacaan wirid, ada
bermacam-macam pilihan. Masalah dzikir pagi ini, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
* وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu
pagi dan petang.” [QS. Al-Ahzaab : 41-42].
Dari Anas Ibnu
Mali, Rasulullah bersabda;
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُونَ اللَّهَ
تَعَالَى مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ
أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً مِنْ وَلَدِ إِسْمَاعِيل، وَلَأَنْ أَقْعُدَ مَعَ قَوْمٍ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ مِنْ صَلَاةِ الْعَصْرِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ
أَحَبُّ إِلَيَّ مَنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَةً
”
“Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Aku duduk
bersama orang-orang yang berdzikir kepada Allah ta’ala mulai shalat Subuh
hingga terbit matahari lebih aku senangi daripada memerdekakan empat orang
budak dari anak Ismaa’iil. Dan aku duduk bersama orang-orang yang berdzikir
kepada Allah mulai shalat ‘Ashar hingga tenggelam matahari lebih aku senangi
daripada memerdekakan empat orang budak.” [HR: Abu Daawud, Al-Baihaqiy]
Kedua, tilawah Al-Qur’an
Tilawah Al-Qur’an,
terlebih jika diniati untuk dibaca dengan penuh penghayatan, perenungan dan
kesiapan hati mengikuti dan mengamalkan kandungannya, hal ini akan sangat
membantu fokus otak dan hati untuk lebih siap menyudahi Shubuh dengan kebaikan,
ilmu dan spirit iman yang lebih hidup. Terlebih waktu Shubuh udara masih
bersih, suasana belum bising dan fisik juga masih segar. Tentu hal tersebut
akan memudahkan akal, hati dan emosi lebih cepat merasakan getaran, kesan dan
spirit dari ayat demi ayat yang dibaca. Bahkan, para penghafal Qur’an,
memanfaatkan waktu emas ini sebagai momentum untuk muroja’ah (mengulang-ulang
hafalannya). Andaikata hanya bisa tilawah selembar atau dua lembar, sebagai
langkah awal, ini tentu suatu kemajuan yang harus terus dijaga dan
ditingkatkan.
Ketiga, memulai beraktivitaslah
Rasulullah, tidak
menjumpai pagi melainkan bergegas dalam beraktivitas. Seperti yang Allah
firmankan;
وَإِذْ غَدَوْتَ مِنْ أَهْلِكَ تُبَوِّئُ الْمُؤْمِنِينَ مَقَاعِدَ
لِلْقِتَالِ وَاللّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan (ingatlah), ketika kamu berangkat pada pagi hari dari (rumah)
keluargamu akan menempatkan para mukmin pada beberapa tempat untuk berperang.” (QS. Ali Imron
[3]: 121).
Jadi, tidak salah
jika bangsa Arab mengenal petuah, “Waktu adalah pedang.” Kemudian dalam bahasa
kita dikenal, “Siapa cepat dia dapat.” Dengan kata lain, siapa bergegas dalam
beraktivitas insya Allah dia akan sukses. Sinkron dengan apa yang jamak
diketahui orang, “Man jadda wajada” (Siapa bersungguh-sungguh dia dapat). Dengan
demikian, selesai sholat Subuh, selesai tilawah, jangan rebahkan badan. Tapi
bangkit dan bergeraklah melakukan aktivitas mulia lainnya. Seperti menyapu rumah,
mencuci piring, atau apapun yang pada intinya tubuh bisa bergerak sehingga
lepas dari gelayutan mata yang memaksa diri terus mengangut.
Keempat, segerakan mandi
Kebaikan, dalam
Islam hukumnya mesti disegerakan, demikian pula halnya dengan mandi di pagi
hari. Andaikata jam keluar rumah terbilang masih siang, menyegerakan mandi pagi
jelas tidak merugikan. Selain akan memberikan kesegaran lebih dini, waktu untuk
melakukan persiapan sebelum menjalani rutinitas harian di luar rumah, bisa
dilakukan lebih awal, sehingga mencegah adanya barang tertinggal atau urusan
yang terselap, termasuk terhindar dari berangkat terburu-buru. Dengan begitu,
insya Allah, semua urusan akan berjalan sesuai rencana. Kemudian, dalam
tinjauan medis, mandi pagi memberikan banyak keuntungan. Mulai dari lancarnya
peredaran darah, meningkatnya produksi sel darah putih, mengurangi resiko darah
tinggi, serta meningkatkan kesuburan.
Kelima, beramal
Diriwayatkan
sahabat Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ
غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ
وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani
dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan. Hendaklah kalian
melakukan amal dengan sempurna (tanpa berlebihan dan menganggap remeh). Jika
tidak mampu berbuat yang sempurna (ideal) maka lakukanlah yang mendekatinya.
Perhatikanlah ada pahala di balik amal yang selalu berterusan . Lakukanlah
ibadah (secara berterusan) di waktu pagi dan waktu setelah matahari tergelincir
serta beberapa waktu di akhir malam.” [HR. Bukhari no. 39]
Keenam, Shalat Dhuha
Shalat Dhuha
merupakan sunnah mu’akkadah,
terbukti telah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana
diriwayatkan Muslim, dari hadits Aisyah radhiallahu anha, dia berkata;
( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يُصَلِّي الضُّحَى أَرْبَعًا ، وَيَزِيدُ مَا شَاءَ اللَّهُ )
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam shalat Dhuha sebanyak empat
(rakaat), kadang beliau menambah sesuai keinginannya.”
Dari Abu Dzar,
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ
تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ
وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ
الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ
الضُّحَى
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian
untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah,
setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil
(laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu
akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada
ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini
semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2
raka’at.”[HR
Muslim]
Adalah Ibnul
Qayyim Dalam Kitab Zaadul Ma’ad,
(4/378) pernah berkata tentang empat hal yang akan menghampat datanganya rizki;
“Empat hal yang menghambat datangnya rizki: tidur di waktu pagi,sedikit
shalat, malas-malasan dan berkhianat.” Semoga empat hal yang
dimaksud Ibnu Qayyim tidak masuk di antara kita semua. Selamat menjemput
berkah pagi hari.
Kunci Sukses Umar
bin Abdul Aziz
Masa kepemimpinan Umar bin ‘Abdul ‘Aziz –meski hanya dua tahun setengah
bulan (Ibnu Jauzi, Sirah wa Manaqib Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz, 94)- dalam Dinasti Umawiyah terbilang sukses.
Pada masanya, keadilan benar-benar tegak. Rasa aman meliputi seantero negeri.
Harta begitu melimpah ruah. Bahkan, pada suatu kesempatan, Umar bin Usaid
memberi kesaksian tentang Umar bin Abdul ‘Aziz bahwa sebelum beliau wafat,
masyarakat sudah dalam kondisi makmur. Begitu sejahteranya, sampai sangat
kesulitan mencari orang yang berhak menerima zakat karena Umar telah membuat
mereka sejahtera. (Adz-Dzahabi, Siyaru A’lam
al-Nubala, V/131). Melihat kesuksesan ini, tidak berlebihan jika
Sufyan Ats-Tsauri, Tabi’in kenamaan sampai menyandingkannya dengan keempat al-Khulafā al-Rasyidīn (As-Suyuthi, Tārīkh al-Khulafā, 180).
Salah satu kunci
sukses Umar bin ‘Abdul ‘Aziz dalam menjalankan roda pemerintahanya (99-101
H/717-720M) adalah sinerginya dengan para ulama. Beliau sendiri, dalam catatan
sejarah dikenal sebagai amir (penguasa) yang alim (berilmu), atau dalam bahasa
lain, umara sekaligus ulama. Dalam catatan sejarah, beliau terhitung sebagai
ulama dan fuqaha besar sekaligus umara. Bahkan, seorang ulama bernama Maimun
bin Mahran, menyebutnya sebagai mu’allim al-‘Ulama (Ibnu
Jauzi, Ibnu Jauzi, 1984: 35).
Untuk mengetahui
kedekatan beliau dengan ulama, nasihat Umar berikut bisa dijadikan ukuran,
“Jadilah seorang ulama! Jika tidak bisa, maka jadilah seorang pembelajar! Jika
tidak bisa, maka cintailah mereka! Jika tidak bisa, maka jangan murka kepada
mereka.” (Sirah ‘Umar bin Abdul Aziz, 118). Kata-katanya ini bukan
sekadar wacana teoritis. Dalam kehidupan nyata, memang ulama benar-benar begitu
diperlakukan secara istimewa.
Pada masanya,
ulama dijamin kesejahteraannya. Sebagai contoh, saat ia mengutus Ibnu Abi Malik
dan Harits bin Muhammad ke suatu desa untuk mengajarkan as-Sunnah kepada
masyarakat. Keduanya diberi upah. Yazid menerima, sedangkan Harits menolaknya,
sembari berkata, “Aku tidak akan mengambil upah dari ilmu yang telah Allah
ajarkan kepadaku.” Hal itu kemudian diberi tahukan kepada Umar bin Abdul ‘Aziz,
lalu beliau berkomentar, “Aku melihat tidak menjadi masalah apa yang dilakukan
Yazid. Semoga Allah memperbanyak orang seperti Harits (Ibnu Jauzi, Sirah Umar bin Abdul ‘Aziz, 141).
Mengingat begitu banyaknya
ulama yang ikut andil dalam tampuk kepemimpinannya, tidak berlebihan jika
Muhammad Shallabi dalam buku ‘Umar bin Abdul
‘Aziz Ma’alimu al-Tajdid wa wa al-Ishlah al-Rasyid ‘ala minhaj al-Nubuwwah menyatakan
bahwa pemerintahan yang dinahkodainya layak disebut “Daulah (negara) Ulama”
(2006: 192). Penilaian ini lahir karena memang Umar melibatkan banyak
bersinergi dengan ulama dalam memimpin, dan itu terbukti sukses.
Paling tidak ada
tiga poin penting, sebagaimana paparan Shallabi (2006: 193, 195, 196), yang
menunjukkan bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz melibatkan banyak ulama dalam
pemerintahannya: Pertama,
beliau dikenal sangat dekat dengan ulama. Sebagai contoh, ‘Arāk bin Malik
al-Ghifari (salah satu ulama yang dekat dengan beliau) dikenal sebagai sosok
ulama yang sangat keras dalam mengusut kasus kedzaliman keluarga Marwan. Tentu
saja, saran-saran dari ‘Arāk bin Malik ini, sangat diperhitungkan oleh Umar bin
Abdul ‘Aziz.
Kedua, rajin meminta
nasihat mereka. Ulama sekaliber Salim bin Abdillah bin Umar bin Khattab,
Muhammad bin Ka’ab Al-Quradhi, Abu Hazim Salmah bin Dinar, Al-Qasim bin
Mukhaimirah, Hasan al-Bashri dan lain sebagainya, adalah di antara ulama yang
diminta nasihatnya oleh beliau.
Ketiga,
melibatkan mereka secara langsung dalam menjalankan pemerintahan. Sebagai
contoh, berikut ini adalah beberapa nama ulama yang dilibatkan dalam
kepemimpinannya: Ma`mun bin Mahran diberi mandat memegang urusan pajak
al-Jazirah; Abdul Hamid bin Abdurrahman bin Zaid bin Khattab sebagai gubernur
Kuffah: Abu Bakar bin Umar bin Hazm sebagai gubernur Madinah Munawwarah.;
Ismail bin Abi Muhajir sebagai gubernur Afrika; Addi bin Addi al-Kindi sebagai
gubernur al-Jazirah, al-Furatiyah, Armeniya dan Azarbaijan; Ubadah bin Nasi bin
Wabishah al-‘Abdi sebagai wali Raqqa; Wahab bin Munabbih sebagai penanggung
jawab Baitul Maal di Yaman; al-Shalih bin Jubair al-Shudai sebagai penanggung
jawab pajak untuk Umar.
Dari ketiga poin
tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu kunci sukses Umar bin Abdul ‘Aziz
ialah kebersamaannya dengan ulama dalam mengatur urusan pemerintahannya.
Sangat beralasan jika Imam Hasan Al-Bashri, ketika khalifah yang dikenal adil
ini wafat, beliau benar-benar kehilangan, “Telah meninggal manusia terbaik.”
(Ibnu Jauzi, 1984: 35).
Setiap manusia
pasti mendambakan kesuksesan dalam hidupnya. Kita juga sebagai orang Islam
tentunya ingin sukses baik di kehidupan dunia maupun akhirat sebagaimana
digambarkan dalam doa kita “Rabbana atina fiddun ‘ya hasanah wa fil akhirati
hasanah waqina aza bannar“. Islam adalah agama yang menuntun umatnya untuk
menjadi orang-orang yang sukses. Untuk meraih kesuksesan dunia akhirat itu,
Allah Swt juga telah memberikan petunjuk yang fenomenal yaitu Al-Qur’an. Di
dalam Al-Qur’an banyak sekali ditemukan ayat-ayat yang berbicara tentang
kesuksesan dan orang-orang sukses. Ternyata sukses menurut manusia berbeda
total dengan sukses menurut Allah Subhanahu Wata’ala.
”Sungguh rugi orang yang mengira dirinya
telah sukses dan dianggap manusia sebagai orang sukses dalam kehidupan di
dunia, tapi ternyata ia termasuk orang yang gagal total. Sukses yang
sebenarnya, sejati, hakiki dan abadi adalah sukses menurut Allah Subhanahu
Wata’aladalam kitab-Nya, Al-Qur’an,” ujar Hajarul Akbar.
Ada yang menyebut
sukses ketika orang berhasil meraih apa pun yang dia inginkan, ada pula yang
menyebut sukses ketika kita mampu menjadi orang yang bernilai di mata manusia. Tak jarang pula yang menyebut sukses
dalam hidup ketika banyak uang dan lancar dalam bisnis dan pekerjaan. Apa pun
pandangan orang tentang kesuksesan patut diapresiasi, selama terarah untuk
meraih kedekatan dengan Sang Pencipta. Al-Quran sendiri mempunyai standar dan
indikator kesuksesan seseorang dalam hidup. Sukses menurut Al-Quran tak
terletak pada banyaknya properti, uang, lahan bisnis, kekuasaan atau
popularitas.
“Kesuksesan di
dunia bukanlah hal yang mutlak untuk diupayakan. Justru kesuksesan tersebut
haruslah menjadi dasar pencapaian kehidupan sukses di akhirat. Seorang mukmin
sebaiknya menjaga dirinya dari bahaya fitnah yang disebabkan harta dan
kedudukan. Ia harus tetap mempertahankan agama dan keimanannya agar memperoleh
kesuksesan yang sama di akhirat, Rasulullah juga bersabda, “Barangsiapa yang
obsesinya akhirat, tujuannya akhirat, niatnya akhirat, cita-citanya akhirat,
maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan kecukupan di hatinya, Allah
mengumpulkan urusannya, dan dunia datang kepada dia dalam keadaan dunia itu
hina. Barangsiapa yang obsesinya dunia, tujuannya dunia, niatnya dunia,
cita-citanya dunia, maka dia mendapatkan tiga perkara: Allah menjadikan
kemelaratan ada di depan matanya, Allah mencerai-beraikan urusannya, dan dunia
tidak datang kecuali yang ditakdirkan untuk dia saja.”
Untuk
mendapatkan pesona dunia tersebut manusia menghabiskan demikian banyak waktu
bekerja keras menumpuk harta mengejar kebahagiaan duniawi. Pencinta dunia
bahkan tidak atau sedikit saja menyisakan waktunya untuk amal akhirat di
sela-sela kesibukan kerjanya atau di waktu luangnya dan dikala ia sehat. Mereka
bahkan melupakan shalat atau minimal menunda shalat berjamaah karena lebih
penting waktu untuk urusan dunia yang lebih jelas terlihat di depan mata
mereka. Sebagian bahkan siap korupsi, merampok, mencuri, menganiaya, menipu,
memperkosa, membodohi orang lain untuk mendapatkan tiket membeli pesona dunia.
Disisi lain,
sebagian manusia meluangkan demikian banyak waktunya untuk menikmati pesona
dunia, bahkan tanpa mau bekerja dengan keras apalagi beribadah kepada pemilik
dunia ini, Allah Swt. Merekalah para pemilik harta berlebih yang menggunakannya
untuk bersantai dan menikmati fasilitas dunia, termasuk para pemilik waktu yang
menggunakannya untuk bermalas-malas di rumahnya yang nyaman, bermaksiat atau
menikmati narkoba, termasuk juga para pemilik kekuasaan yang menggunakan
kelebihannya untuk mendengar kekaguman orang lain pada dirinya atau memamerkan
pengaruhnya atau fisiknya yang indah.
”Hari
ini banyak orang yang tidak percaya lagi pada umat Islam, sampai-sampai ada
anggapan lebih baik pemimpin kafir dari pada muslim. Ini musibah besar bagi
umat ini. Kenapa sampai tidak dipercaya, karena sudah rendah sekali moralnya,
akhlaknya, ketaatannya kepada Allah semakin berkurang dengan munculnya penyakit
wahn yaitu cinta dunia takut mati,” Para pecinta dunia hanya berpikir bahwa
tak mungkin Tuhan menciptakan dunia yang sangat sempurna, luas dan lengkap ini
kalau tidak untuk dinikmati. Bahkan mereka berpikir tak mungkin Tuhan akan
menghancurkan dunia ciptaan-Nya sendiri yang demikian menakjubkan ini melalui
suatu bencana kiamat. Pencinta dunia hanya takjub kepada dunia yang luar biasa
ini dan tidak pada akhirat karena mereka tidak tahu gambaran mengenai akhirat.
Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassallam pernah bersabda: “Seandainya dunia itu ada
nilainya di sisi Allah Swt bahkan seberat sayap nyamuk sekalipun, tentu Dia
tidak akan sudi memberi makan dan minum pada orang kafir meskipun seteguk air.”
(HR Tirmidzi, shahih).Hadits ini juga memberi makna, rezeki dan kebahagiaan
dunia juga diberikan Allah pada orang kafir maupun fasik, bahkan sering
diberikan lebih banyak dibanding yang Ia berikan kepada orang-orang yang
shaleh, ini karena nilai dunia yang sangat tidak ada artinya dibanding akhirat.
Karenanya, setiap
muslim diingatkan harus mempertimbangkan kepentingan akhirat dalam setiap
aktivitasnya. Dunia ini adalah ladang untuk bercocok tanam (tempat melakukan
amal ibadah dan amal kebajikan) yang hasilnya dipanen kelak di negeri akhirat.
Sering membacakan
Al quran merupakan salah satu cara agar kehidupan berkualitas, menjadi tertata
dan berkah. Namun jika jarang membaca ayat suci Al quran, maka berbagai masalah
akan muncul, karena Al Quran itu sendiri obat dan solusi untuk mengatasi semua
persoalan umat manusia. Dalam mempelajari dan interaksi dengan Al Quran ada
tiga tingkatan. Pertama, tingkatkan kuantitasnya baca Al Quran minimal khatam
Al Quran 40 hari sekali bagi orang selemah-lemahnya iman. “Jika Al Quran jauh
dari bacaan seorang muslim, maka setan masuk. Jika sampai malas baca quran,
pertanda banyak penyakit dalam tubuh. Baru lima menit saja pegang dan baca
al-Quran sudah ngantuk. Jangan seolah-olah Al Quran hanya untuk anak-anak TPA.
Ketika usia anak-anak ngaji, sudah tua tidak ngaji-ngaji lagi,”.Kemudian juga,
kualitas bacaan Al-Quran perlu jugaditingkatkan, serta intensitas atau
seringnya membaca Al quran setiap saat.
Kita selalu harus
berupaya agar kerja keras yang kita lakukan dalam hidup menghasilkan prestasi
besar di bidang kita masing-masing. Umumnya, ayah-ibu kita dari keluarga
sederhana, ada yang dari guru, dosen, hidup pas-pasan, kita tidak diwarisi
harta yang banyak. Jadi apa yang merubah hidup kita? Ilmu!” Contohnya dengan
ilmu arsitektur yang dikuasai seseorang bisa mendatangi lebih dari 150 kota di
dunia untuk urusan pekerjaan di bidang tersebut, seperti Ridwan Kamil. Ia pun
memenangkan sayembara pembangunan Museum Tsunami Aceh yang diikuti lebih dari
200 arsitek pada tahun 2007. Selain ilmu yang menjadi modal dasar dalam
berkarya hidup itu berkompetisi. Dalam menjalaninya pun seseorang harus
memberikan yang terbaik. “Apa itu yang terbaik? Kalau diminta lima, kasih
tujuh; diminta seratus, kasih dua ratus; diminta satu hari, kasih dua hari. Itu
yang disebut memberikan energi positif,”
Hasan Al-Bashri
berkata, “Waktu, paling berharga untuk kujaga. Dan, kulihat begit mudah untuk
hilang.”
Ibarat gasing,
waktu begitu kencang berputar. Detik ke menit, menit ke jam, jam berubah jadi
hari, lalu menjadi pekan, bulan, tahun, windu, abad, dan seterusnya. Manusia
dan waktu adalah dua bagian yang tak terpisahkan, seperti jiwa dan raga. Karena
itu, waktu sangat esensi dalam perjalanan hidup kita. Esensi atawa
mendasar, sebab dengan waktu manusia dapat menjadikan dirinya sukses atau
gagal, bahagia atau sengsara.
Secara umum. Umat
Nabi Muhammad memetakan perjalanan hidup manusia dengan lima fase yang semuanya
terkait dengan waktu. Keempat masa tersebut adalah, masa penetapan, masa rahim,
masa kehidupan di dunia, masa barzakh, dan masa akhirat. Kelima fase tersebut,
masa kelahiran manusia di dunia adalah menjadi bagian paling menentukan,
akankah ia bahagia atau sengsara, selamat dunia-akhirat atau tidak, dan
seterusnya. Bahkan, Allah sangat jelas memberikan peringatan, Demi waktu,
sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi. Kecuali mereka yang beriman dan
berbuat kebajikan, saling menasihati dalam haq serta nasihat-menasihati dalam
kesabaran, (QS. Al-‘Ashr [103]: 1-3).
Merujuk pada surah
di atas, yang dalam Istilah Imam Syafi’i sebagai surah agung, keagungannya bahkan
cukup mewakili segenap isi Al-Qur’an. Artinya, andai saja Allah menurunkan
surah ini, maka itu sudah cukup menjadi pelajaran dan bimbingan bagi umat
manusia untuk sukses dunia-akhirat. Pilar-pilar kesuksesan yang berlandaskan
pada optimalisasi waktu dapat dilihat dalam surat Al-‘Ashr di atas yang
meliputi empat pilar utama yaitu:
Pertama, Beriman. Iman adalah dasar utama bagi
hamba Allah setelah menyatakan diri beragama Islam. Jika rukun Islam adalah
pondasi, maka iman adalah tiangnya, dan ihsan adalah buahnya. Iman, hanya dapat
digapai dengan menegakkan pilar agama yang didahului dengan syahadat bahwa
tiada sesembahan yang berhak diibadahi selain Allah, La ma’bud illallah. Dan,
bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, pembawa risalah
dinul-Islam. Setelah itu, dipermantap dengan salat, zakat, puasa, dan ibadah
haji bagi yang mampu. Amalan-amalan inilah yang disebut rukun Islam akan
memantapkan, meneguhkan, bahkan meningkatkan iman seseorang.
Kedua, Beramal saleh. Di dunia ini, manusia
dengan fitrahnya cenderum menicintai kebaikan, dan setiap orang yang melakukan
kebaikan pasti disukai oleh siapa dan apa pun. Dengan beramal saleh maka
segenap kemungkaran tidak akan terujud. Kekacauan yang merebak di mana-mana
dengan ragam latar belakang dan motifnya dapat dipastikan karena nihilnya amal
saleh. Maka, amal saleh ditinjau dari aspek sosial kemasyarakatan paling utama
adalah mendorong manusia untuk berbuat baik dan mencegah mereka dalam melakukan
kemungkaran, (al-amru bil-ma’ruf wan nahyu ‘anil munkar’). Sedangkan
dalam pespektif individual, amal saleh adalah pengabdian kepada Allah subhanahu
wa ta’ala secara totalitas, menjadikan segenap aktivitasnya sebagai ibadah
lillahi ta’ala. Itulah dimaksud oleh doa iftiah dalam salat, inna shalati wa
nusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil ‘alamin. Sungguh, salatku, ibadahku,
hidup dan matiku kupersembahkan hanya kepada Allah pemelihara alam semesta.
Dalam perpektif
kenegaraan, amal saleh adalah mengabdi untuk bangsa dan negara. Pengabdian
dapat dinilai berdasarkan kedudukan dan kapasitas masing-masing. Rakyat jelata,
mengabdi pada negara dengan cara menjaga dan merawat lingkungan di mana ia
berada, mulai dari kebersihan, hubungan antarsesama, rumah tangga, tetangga,
kampung, dst. Seorang aparat pemerintah rendahan, dapat beramal saleh untuk
negara dengan menjalankan fungsiinya sebagaimana mestinya, minimal adil dalam
melayani masyarakat, hingga seorang kepala negara dapat beramal saleh untuk
rakyat dan bangsa dengan begitu banyak jalan. Yang paling sederhana adalah
memenuhi segala janji-janji kampanyenya, tidak bohong, apalagi khianat kepada
bangsa dan negara dengan cara menjual asset-asset negara dengan harga yang
murah demi memenuhi hasrat para penjilat dan perampok di sekelilingnya. Begitu
banyak jalan untuk melakukan amal saleh dan dapat dilakukan dengan berbagai
jenis, yang terkecil hingga yang besar. Terkecil adalah menyingkirkan duri di
jalanan dan terbesar adalah rela mati di jalan Allah demi membela kebenaran
menurut syariat.
Ketiga, Saling menasihati dalam kebenaran (al-haq).
Terminologi benar dalam konteks keindonesiaan tidak selalu berarti al-haq,
namun sebaliknya setiap al-haq pasti benar jika tinjau secara filosofis.
Misalnya, seorang guru menasehati muridnya agar konsisten menunaikan shalat
fardhu lima waktu padahal guru tersebut mengajar ilmu sains dan dalam job
disciption dia tidak memiliki wewenang menasehati muridnya untuk rajin
beribadah. Dan, negara juga tidak menekankan agar setiap guru sains bersinergi
dengan guru agama dan anak didik hanya dinilai dari hasil ujiannya di akhir
semister dan sedikit penilain prilaku ketika berada di kelas.
Dalam sistem
pendidikan sekuler seperti yang terjadi di negara kita, para guru sains
adalah bagian terpisahkan dengan guru agama, sesaleh apa pun seorang murid,
setaat apa pun ia pada orang tuanya, serajin apa pun beribadah, mengaji, puasa,
dst., tapi nilai ujiannya tidak memenuhi standar, maka tidak boleh diluluskan,
bahkan seorang murid yang jujur tidak menyontek namun tidak mendapatkan hasil
ujian yang sesuai standar tetap tidak diluluskan. Padahal begitu banyak yang
menyontek dan menadapat nilai yang tinggi keluar sebagai juara. Ini semua
bermula dari absennya wa tawashau bil
haq dalam berbagai dimensi kehidupan terutama dalam dunia
pendidikan.
Keempat. Saling menasihat dalam kesabaran. Di era penuh
fitnah ini (‘ahdul fitan), sabar adalah pilar terpenting untuk
menghindari kerugian. Dimulai dengan menegakkan kesabaran dalam menjalankan
segenap perintah Allah Subhanahu Wata’aladan konsisten menjauhi larangan-Nya.
Dalam konteks ini, makna sabar bukan sebagai musibah tapi lebih kepada nikmat,
sebab tidak mutlak sabar selalu berhubungan dengan musibah.
Orang-orang yang
sabar di jalan Allah Subhanahu Wata’alaadalah mereka yang diberi nikmat oleh
Allah, jadi kesabaran itu sendiri sudah menjadi bagian dari nikmat. Namun,
puncak segala kesabaran adalah ketika ditimpa musibah, namun tetap konsisten
beribadah, tidak berburuk sangka pada Allah, dan mengembalikan segala urusannya
kepada Allah Subhanahu Wata’alayang Maha Adil. Dalam konteks ini, Nabi Ayyub
‘alaihissalam adalah contoh nyata, ketika harta, keluarga, dan kesehatannya
dicabut oleh Allah Subhanahu Wata’aladalam tenpo yang singkat, namun ia tetap
bersabar dan berbaik sangka kepada Allah. Begitulah kemuliaan ajaran Islam,
dengan bersabar dalam menunaikan perintah Allah, menjauhi larangan syariat,
sabar dalam menghadapi ragam musibah adalah ladang pahala dan sumber amal
saleh. Bahkan pada level tertentu kesabaran menjadi daya energi untuk
menuntaskan sebuah pekerjaan, as-shabru yu’inu
‘ala kulli amalin, begitu kata Ahli Hikmah.
Demikianlah, empat
pilar yang harus dijadikan amalan dalam mengisi waktu yang telah diberikan
kepada segenap manusia yang ada di jagad raya ini. Tanpa optimalisasi waktu
sesuai tuntunan syariat, maka kita hanya hidup sia-sia dan kelak akan sengsara.
Waktu dan prilaku kita yang akan mengubah segalanya, sebab tanpa usaha apa-apa
dari manusia, waktu berlalu tanpa makna dan jika waktu hidup kita telah selesai,
saat itulah baru terasa cepatnya waktu berlalu dan tak ada lagi waktu untuk
kembali.
Bahkah saat itu,
orang-orang yang memilik harta sangat ingin ditangguhkan ajalnya, agar ada
waktu baginya untuk berinfak, katanya, Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak
menangguhkan kematianku walaupun sesaat, agar aku dapat bersedekah dan termasuk
orang-orang yang salih? Namun, Allah Subhanahu Wata’alasekali-kali tidak akan
menangguhkan ajal seseorang apabila telah datang waktu kematiannya, (QS.
Al-Munafiqun [63]: 10-11).
Begitulah mahalnya
waktu saat kita dalam sekarat, mumpun masih ada waktu, mari mengisi waktu-waktu
kita untuk berbuat kebajikan sesuai kapasitas dan kemampuan, semoga tahun 2016
Miladiyah ini dapat dioptimalkan dalam meningkatkan amal saleh dan menumpas
amal salah. Selamat Tahun Baru, 2016 Miladiyah.*/Enrekang, 1
Januari 2016 M.
Apakah ada orangtua yang ingin masa depan putra-putrinya
dalam ketidaksuksesan? Tentu tidak ada. Lantas bagaimana agar kelak mereka
menjadi pribadi yang sukses? Pertanyaan tersebut sangat penting, sebab itu
bagian dari tradisi para ulama dan menjadi anjuran mereka kepada umat Islam
untuk memperhatikan masa depan buah hati. Ibn Qayim berkata, “Di antara hal
yang harus diperhatikan ketika anak masih keccil adalah mempersiapkan pekerjaan
yang sesuai dengan potensi anak. Hendaklah orangtua mengetahui potensi anak
dengan baik.
Anak jangan
dipaksa melakukan pekerjaan lainnya, selama pekerkaan yang dipilihnya
dibolehkan agama. Karena bila orangtua memaksa anak melakukan pekerjaan lain,
yang ia tidak memiliki kesiapan untuknya (bukan kompetensinya), maka anak tidak
akan berhasil di dalmanya. ia akan kehilangan potensinya” (Lihat Jamal
Abdurrahman dalam bukunya Athfalul
Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabi Al-Amin). Selanjutnya Ibn Qayyim
memberikan contoh indikasi keseuaian anak dengan kapasitasnya untuk sukses di
masa depan depan. “Bila orangtua melihat anaknya memiliki pemahaman yang bagus,
daya tangkapnya baik, hafalannya kuat dan cepat mengerti, maka ini merupakan
pertanda bahwa ia siap untuk menerima ilmu (menjadi ulama).”
Maka lihatlah
bagaimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi
Wassallam mengenali potensi dan kompetensi dari setiap
sahabatnya. Mereka yang ahli dalam memimpin pasukan, meski usianya muda, beliau
tunjuk untuk memimpin pasukan umat Islam. Itulah Usamah bin Zaid yang ditunjuk
Nabi menjadi panglima perang saat usianya baru 17 tahun. Terhadap yang memiliki
memori kuat, seperti Abu Hurairah, maka Rasulullah mengizinkan perawi hadits
paling populer itu untuk senantiasa hadir dalam aktivitas Nabi Muhammad.
Anak kalau
agamanya kuat, mau milih jadi apapun dia akan sukses. Dan, sekarang saya
bersyukur sebab anak saya bisa menjadi selebriti, (tentu) bukan selebriti dalam
pengertian umum, tetapi selebriti yang mendidik bangsa ini dengan keahlian yang
dia miliki,” ucapnya penuh kehati-hatian. Dengan demikian teranglah bagi kita
para orangtua, untuk menjadikan anak-anak kita sukses di masa depan bisa kita
mulai dengan mengidentifikasi minat, bakat dan komptensi anak. Jadi jangan
lupakan pendidikan agama, karena dari menjalankan agama itu akan lahir
kedisiplinan, empati, dan tentu saja integritas.
Dalam sejarah
peradaban Islam, kita bisa lihat bagaimana dahulu saintis Muslim, inventor dan
para cendekiawan Muslim adalah orang yang memiliki keahlian dalam berbagai
disiplin ilmu, seperti fisika, matematika, kedokteran, filsafat, dan pada saat
yang sama mereka adalah ahli Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqh. Beberapa di antaranya
bisa kita sebut Ibn Sina, Ibn Rusd, Fakhruddin Al-Razi, Imam Ghazali, Ibn
Haytam, dan yang lainnya.
Terakhir, tentu
saja doa. Karena doa adalah senjata yang paling ampuh untuk membuat diri
mendapatkan kemudahan dan keberkahan dalam menjalani kehidupan ini, terutama
dalam upaya mendidik anak menjadi pribadi sukses, bermanfaat bagi kehidupan
sesama. Wallahu Alam.
***********************
Kontributor: Imam Nawawi; Ustad Hajarul
Akbar Alhafiz, MA; Mahmud Budi Setiawan; Ridwan Kamil; Muhammad Abdus Syakur; T Zulhairi . Editor: Ustaz
Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Ket:
1. Ustad Hajarul Akbar Alhafiz, MA
(Pimpinan Pesantren Darul Qur'an Mulia, Bogor.
2. Ilham Kadir, Kandidat Doktor Pendidikan Islam Fakultas Pascasarjana Universitas Ibn
Khaldun (UIKA)
Comments
Post a Comment