Kematian
Kematian, salah satu rahasia ilmu ghaib yang hanya
diketahui oleh Allah ta’ala. Allah telah menetapkan setiap jiwa pasti akan
merasakannya. Kematian tidak pandang bulu. Apabila sudah tiba saatnya, malaikat
pencabut nyawa akan segera menunaikan tugasnya. Dia tidak mau menerima
pengunduran jadwal, barang sedetik sekalipun. Karena bukanlah sifat malaikat
seperti manusia, yang zalim dan jahil.
Manusia tenggelam dalam seribu satu kesenangan dunia,
sementara ia lalai mempersiapkan diri menyambut akhiratnya. Berbeda dengan para
malaikat yang senantiasa patuh dan mengerjakan perintah Tuhannya. Duhai,
tidakkah manusia sadar. Seandainya dia tahu apa isi neraka saat ini juga pasti
dia akan menangis, menangis dan menangis. SubhanAllah, adakah orang yang tidak
merasa takut dari neraka. Sebuah tempat penuh siksa. Sebuah negeri kengerian
dan jeritan manusia-manusia durhaka. Neraka ada di hadapan kita, dengan apakah
kita akan membentengi diri darinya ? Apakah dengan menumpuk kesalahan dan dosa,
hari demi hari, malam demi malam, sehingga membuat hati semakin menjadi hitam
legam ? Apakah kita tidak ingat ketika itu kita berbuat dosa, lalu sesudahnya
kita melakukannya, kemudian sesudahnya kita melakukannya ? Sampai kapan engkau
jera ?
Sebab-sebab su’ul khatimah
Saudaraku seiman mudah -mudahan Allah memberikan taufik
kepada Anda- ketahuilah bahwa su’ul khatimah tidak akan terjadi pada diri orang
yang shalih secara lahir dan batin di hadapan Allah. Terhadap orang-orang yang
jujur dalam ucapan dan perbuatannya, tidak pernah terdengar cerita bahwa mereka
su’ul khotimah. Su’ul khotimah hanya terjadi pada orang yang rusak batinnya,
rusak keyakinannya, serta rusak amalan lahiriahnya; yakni terhadap orang-orang
yang nekat melakukan dosa-dosa besar dan berani melakukan perbuatan-perbuatan
maksiat. Kemungkinan semua dosa itu demikian mendominasi dirinya sehingga ia
meninggal saat melakukannya, sebelum sempat bertaubat dengan sungguh-sungguh.Perlu diketahui bahwa su’ul khotimah memiliki berbagai
sebab yang banyak jumlahnya. Di antaranya yang terpokok adalah sebagai berikut
:
- Berbuat syirik kepada Allah ‘azza wa
jalla. Pada hakikatnya syirik adalah ketergantungan hati kepada selain
Allah dalam bentuk rasa cinta, rasa takut, pengharapan, do’a, tawakal,
inabah (taubat) dan lain-lain.
Berbuat bid’ah dalam melaksanakan agama.
Bid’ah adalah menciptakan hal baru yang tidak ada tuntunannya dari Allah
dan Rasul-Nya. Penganut bid’ah tidak akan mendapat taufik untuk memperoleh
husnul khatimah, terutama penganut bid’ah yang sudah mendapatkan peringatan
dan nasehat atas kebid’ahannya. Semoga Allah memelihara diri kita dari
kehinaan itu.
- Terus menerus berbuat maksiat dengan
menganggap remeh dan sepele perbuatan-perbuatan maksiat tersebut, terutama
dosa-dosa besar. Pelakunya akan mendapatkan kehinaan di saat mati,
disamping setan pun semakin memperhina dirinya. Dua kehinaan akan ia
dapatkan sekaligus dan ditambah lemahnya iman, akhirnya ia mengalami su’ul
khotimah.
- Melecehkan agama dan ahli agama dari kalangan
ulama, da’i, dan orang-orang shalih serta ringan tangan dan lidah dalam
mencaci dan menyakiti mereka.
- Lalai terhadap Allah dan selalu merasa aman
dari siksa Allah. Allah berfirman yang artinya, “Apakah mereka merasa
aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga). Tiadalah yang merasa aman
dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi” (QS. Al A’raaf [7] :
99).
- Berbuat zalim. Kezaliman memang ladang
kenikmatan namun berakibat menakutkan. Orang-orang yang zalim adalah
orang-orang yang paling layak meninggal dalam keadaan su’ul khotimah.
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS. Al An’aam [6] : 44).
- Berteman dengan orang-orang jahat. Allah
berfirman yang artinya, “(Ingatlah) hari ketika orang yang zalim itu
menggigit dua tangannya, seraya berkata, “Aduhai kiranya (dulu) aku
mengambil jalan yang lurus bersama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku,
kiranya aku dulu tidak menjadikan si fulan sebagai teman akrabku” (QS.
Al Furqaan [25] : 27-28).
- Bersikap ujub. Sikap ujub pada hakikatnya adalah
sikap seseorang yang merasa bangga dengan amal perbuatannya sendiri serta
menganggap rendah perbuatan orang lain, bahkan bersikap sombong di hadapan
mereka. Ini adalah penyakit yang dikhawatirkan menimpa orang-orang shalih
sehingga menggugurkan amal shalih mereka dan menjerumuskan mereka ke dalam
su’ul khotimah.
Demikianlah beberapa hal yang bisa menyebabkan su’ul
khotimah. Kesemuanya adalah biang dari segala keburukan, bahkan akar dari semua
kejahatan. Setiap orang yang berakal hendaknya mewaspadai dan menghindarinya,
demi menghindari su’ul khotimah.
Tanda-tanda husnul khotimah
Tanda-tanda husnul khotimah cukup banyak. Di sini kami
menyebutkan sebagian di antaranya saja :
- Mengucapkan kalimat tauhid laa ilaaha
illallaah saat meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang akhir ucapan dari hidupnya
adalah laa ilaaha illallaah, pasti masuk surga” (HR. Abu Dawud dll,
dihasankan Al Albani dalam Irwa’ul Ghalil)
- Meninggal pada malam Jum’at atau pada hari
Jum’at. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap
muslim yang meninggal pada hari atau malam Jum’at pasti akan Allah
lindungi dari siksa kubur” (HR.Ahmad)
- Meninggal dengan dahi berkeringat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang
mukmin itu meninggal dengan berkeringat di dahinya” (HR. Ahmad,
Tirmidzi dll. dishahihkan Al Albani)
- Meninggal karena wabah penyakit menular dengan
penuh kesabaran dan mengharapkan pahala dari Allah, seperti penyakit
kolera, TBC dan lain sebagainya
- Wanita yang meninggal saat nifas karena
melahirkan anak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang
wanita yang meninggal karena melahirkan anaknya berarti mati syahid. Sang
anak akan menarik-nariknya dengan riang gembira menuju surga” (HR.
Ahmad)
- Munculnya bau harum semerbak, yakni yang
keluar dari tubuh jenazah setelah meninggal dan
dapat tercium oleh orang-orang di sekitarnya. Seringkali itu didapatkan
pada jasad orang-orang yang mati syahid, terutama syahid fi sabilillah.
- Mendapatkan pujian yang baik dari masyarakat
sekitar setelah meninggalnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
melewati jenazah. Beliau mendengar orang-orang memujinya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Pasti (masuk) surga” Beliau
kemudian bersabda, “kalian -para sahabat- adalah para saksi Allah di
muka bumi ini” (HR. At Tirmidzi)
- Melihat sesuatu yang menggembirakan saat ruh
diangkat. Misalnya, melihat burung-burung putih yang indah atau
taman-taman indah dan pemandangan yang menakjubkan, namun tidak seorangpun
di sekitarnya yang melihatnya. Kejadian itu dialami sebagian orang-orang
shalih. Mereka menggambarkan sendiri apa yang mereka lihat pada saat
sakaratul maut tersebut dalam keadaan sangat berbahagia, sedangkan
orang-orang di sekitar mereka tampak terkejut dan tercengang saja.
Bagaimana kita menyambut
kematian?
Saudara tercinta, sambutlah sang kematian dengan hal-hal
berikut :
- Dengan iman kepada Allah, para malaikat,
kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, Hari Akhir, dan takdir baik maupun buruk.
- Dengan menjaga shalat lima waktu tepat pada
waktunya di masjid secara berjama’ah bersama kaum muslim dengan menjaga
kekhusyu’an dan merenungi maknanya. Namun, shalat wanita di rumahnya lebih
baik daripada di masjid.
- Dengan mengeluarkan zakat yang diwajibkan
sesuai dengan takaran dan cara-cara yang disyari’atkan.
- Dengan melakukan puasa Ramadhan dengan penuh
keimanan dan mengharap pahala.
- Dengan melakukan haji mabrur, karena pahala
haji mabrur pasti surga. Demikian juga umrah di bulan Ramadhan, karena
pahalanya sama dengan haji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
- Dengan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah,
yakni setelah melaksanakan yang wajib. Baik itu shalat, zakat, puasa
maupun haji. Allah menandaskan dalam sebuah hadits qudsi, “Seorang
hamba akan terus mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadah-ibadah sunnah,
hingga Aku mencintai-Nya”
- Dengan segera bertobat secara ikhlas dari
segala perbuatan maksiat dan kemungkaran, kemudian menanamkan tekad untuk
mengisi waktu dengan banyak memohon ampunan, berdzikir, dan melakukan
ketaatan.
- Dengan ikhlas kepada Allah dan meninggalkan
riya dalam segala ibadah, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurus” (QS. Al
Bayyinah [98] : 5)
- Dengan mencintai Allah dan Rasul-Nya.
- Hal itu hanya sempurna dengan mengikuti ajaran
Nabi, sebagaimana yang Allah firmankan yang artinya, “Katakanlah,
‘Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha pengampun lagi Maha
penyayang” (QS. Ali Imran [3] : 31)
- Dengan mencintai seseorang karena Allah dan
membenci seseorang karena Allah, berloyalitas karena Allah dan bermusuhan
karena Allah. Konsekuensinya adalah mencintai kaum mukmin meskipun saling
berjauhan dan membenci orang kafir meskipun dekat dengan mereka.
- Dengan rasa takut kepada Allah, dengan
mengamalkan ajaran kitab-Nya, dengan ridha terhadap rezeki-Nya meski
sedikit, namun bersiap diri menghadapi Hari Kemudian. Itulah hakikat dari
takwa.
- Dengan bersabar menghadapi cobaan, bersyukur kala mendapatkan kenikmatan, selalu mengingat Allah dalam suasana ramai atau dalam kesendirian, serta selalu mengharapkan keutamaan dan karunia dari Allah. Dan lain-lain. (dicuplik dari Misteri Menjelang Ajal, Kisah-Kisah Su’ul Khatimah dan Husnul Khatimah, penerjemah Al Ustadz Abu ‘Umar Basyir hafizhahullah). Semoga sholawat dan salam terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada sanak keluarga beliau dan para sahabat beliau.
Larangan
mengharapkan kematian karena musibah yang menimpa
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمُ المَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ، فَإِنْ
كَانَ لاَ بُدَّ مُتَمَنِّيًا لِلْمَوْتِ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا
كَانَتِ الحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah salah seorang di antara kalian berangan-angan
untuk mati karena musibah yang menimpanya. Kalau memang harus berangan-angan,
hendaknya dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik
untukku. Dan matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.” (HR. Bukhari
no. 6351, 5671 dan Muslim no. 2680)
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang seseorang berangan-angan agar mati.
Dalam riwayat dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu disebutkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَهُ
“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah
berdoa meminta mati sebelum datang waktunya.” (HR. Muslim no.
2682)
Dari dua hadits di atas dapat dipahami bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berangan-angan mati
dalam pikiran dan juga berdoa (dengan
diucapkan) meminta kematian.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَوْلاَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا
أَنْ نَدْعُوَ بِالْمَوْتِ لَدَعَوْتُ بِهِ
“Jika bukan karena aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berdoa meminta kematian, niscaya aku
akan memintanya.” (HR. Bukhari no. 7234)
Dua alasan mengapa
dilarang berangan-angan meminta kematian
Dalam hadits di atas terkandung larangan bagi
setiap muslim untuk
berangan-angan atau meminta kematian karena musibah yang dia alami, baik berupa
kemiskinan, kehilangan sesuatu yang berharga, penyakit tertentu yang parah,
luka secara fisik, atau musibah-musibah lainnya. Larangan ini karena dua
alasan:
Alasan pertama, perbuatan tersebut menunjukkan keluh
kesah terhadap musibah yang menimpa, tidak ridha dengan takdir Allah Ta’ala dan
menentang takdir yang telah Allah Ta’ala tetapkan. Yang menjadi kewajiban bagi seorang muslim adalah bersabar
dalam menghadapi musibah. Kewajiban sabar ini berdasarkan ijma’ ulama.
Yang lebih utama dari sabar adalah bersikap ridha terhadap musibah atau takdir
dari Allah Ta’ala tersebut. Ridha terhadap musibah hukumnya sunnah, tidak
sampai derajat wajib, menurut pendapat yang paling kuat.
Alasan kedua, berdoa meminta kematian tidaklah
mendatangkan maslahat, namun di dalamnya justru terdapat mafsadah (keburukan),
yaitu meminta hilangnya nikmat kehidupan dan berbagai turunannya yang
bermanfaat. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ، وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَهُ، إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ، وَإِنَّهُ لَا
يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
“Janganlah seseorang mengharapkan kematian dan janganlah
meminta mati sebelum datang waktunya. Karena orang mati itu amalnya akan
terputus, sedangkan umur seorang mukmin tidaklah bertambah melainkan akan
menambah kebaikan.” (HR. Muslim no. 2682).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
وَلاَ يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ المَوْتَ: إِمَّا مُحْسِنًا فَلَعَلَّهُ
أَنْ يَزْدَادَ خَيْرًا، وَإِمَّا مُسِيئًا فَلَعَلَّهُ أَنْ يَسْتَعْتِبَ
“Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan
kematian. Jika dia orang baik, semoga saja bisa menambah amal kebaikannya. Dan
jika dia orang yang buruk (akhlaknya), semoga bisa menjadikannya bertaubat.” (HR. Bukhari
no. 5673)
Bagaimana jika
musibah tersebut menimpa agama seseorang?
Dzahir hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa “musibah”
tersebut bersifat umum, baik musibah yang terkait dengan dunia atau yang
terkait dengan agama. Akan tetapi, sejumlah ulama salaf memaknai larangan
tersebut jika musibah tersebut berkaitan dengan dunia. Maksudnya, jika musibah
tersebut berkaitan dengan agama seseorang, di mana seseorang mengkhawatirkan
akan adanya fitnah atau kerusakan pada agamanya, maka hal ini tidak termasuk
dalam larangan di atas.
Dalam riwayat An-Nasa’i, terdapat hadits di atas dengan
lafadz,
لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ نَزَلَ بِهِ فِي
الدُّنْيَا
“Janganlah salah seorang di antara kalian berharap mati
karena musibah duniawi yang menimpanya.” (HR. An-Nasa’i no.
1820, shahih)
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan,
على أن في في هذا الحديث سببية أي بسبب أمر من الدنيا
“Bahwa kata “fii” dalam hadits tersebut
menunjukkan “sebab”. Maksudnya, dengan sebab suatu perkara (musibah)
duniawi.” (Fathul Baari, 10: 128)
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَمُرَّ الرَّجُلُ بِقَبْرِ الرَّجُلِ
فَيَقُولُ: يَا لَيْتَنِي مَكَانَهُ
“Kiamat tidak akan terjadi sampai seseorang melewati
makam orang lain dan mengatakan, “Duhai, seandainya aku menempati
posisinya.” (HR. Bukhari no. 7115 dan Muslim no. 157)
Juga dalam hadits panjang yang diriwayatkan dari sahabat
Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, di dalamya diceritakan kalau
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ فِعْلَ الخَيْرَاتِ، وَتَرْكَ المُنْكَرَاتِ،
وَحُبَّ المَسَاكِينِ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي وَتَرْحَمَنِي، وَإِذَا أَرَدْتَ
فِتْنَةً فِي قَوْمٍ فَتَوَفَّنِي غَيْرَ مَفْتُونٍ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memintamu berbuat kebaikan,
meninggalkan kemungkaran, mencintai orang-orang miskin, ampunilah aku dan
rahmatilah aku, dan bila Engkau menghendaki fitnah pada hamba-hamba-Mu, wafatkanlah
aku dalam keadaan tidak terkena fitnah.” (HR. Tirmidzi no. 3235, shahih)
Jika harus
berangan-angan kematian
Dalam hadits pertama di atas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau memang harus berangan-angan, hendaknya
dia mengatakan, “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu baik untukku. Dan
matikanlah aku jika kematian itu baik bagiku.”. Artinya, jika tidak boleh tidak dia ingin berangan-angan
kematian karena keinginan kuat dari jiwa dan hawa nafsunya, sehingga
mencegahnya untuk menjauhi larangan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam memberikan solusi untuk berdoa dengan lafadz di atas.
Dari kalimat doa yang diajarkan dan diperintahkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, terkandung makna
pasrah dan tunduk terhadap ketentuan Allah Ta’ala, memasrahkan semua urusan
kepada Allah Ta’ala yang Maha Mengetahui semua urusan dan hasil akhirnya.
Yaitu, seseorang menggantungkan urusannya kepada ilmu Allah Ta’ala.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa
dengan lafadz tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat ‘Ammar bin
Yasir radhiyallahu ‘anhu,
اللهُمَّ بِعِلْمِكَ الْغَيْبَ، وَقُدْرَتِكَ عَلَى الْخَلْقِ، أَحْيِنِي
مَا عَلِمْتَ الْحَيَاةَ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ
خَيْرًا لِي
“Ya Allah, dengan ilmu ghaib-Mu dan kekuasaanmu atas
seluruh makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau mengetahui bahwa kehidupan itu
lebih baik untukku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik untukku …
“ (HR. Ahmad 30: 265, shahih)
Soal: Sebagian orang mengatakan bahwa meminta hajat dari orang yang sudah
meninggal itu boleh dengan dalil hadits:
إذا تحيرتم في
الأمور فاستعينوا بأهل القبور
“Jika engkau memiliki
urusan-urusan yang membingungkan, mintalah pertolongan kepada penghuni kubur”
Apakah hadits ini sahih atau tidak?
Jawab Syaikh Abdul Aziz bin
Baz:
Hadits ini termasuk di antara hadits-hadits yang
merupakan kedustaan atas nama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, sebagaimana telah diperingatkan oleh lebih dari satu
ulama dalam hal ini. Di antaranya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala, dalam Majmu’ Al-Fatawa juz pertama halaman
356, setelah beliau menyebutkan hadits tersebut beliau mengatakan:
هذا الحديث كذب
مفترى على النبي صلى الله عليه وسلم بإجماع العارفين بحديثه لم يروه أحد من
العلماء بذلك ولا يوجد في شيء من كتب الحديث المعتمدة
“Hadits ini adalah dusta yang direka-reka atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, pernyataan tentang dustanya hal ini merupakan ijma para ulama
ahli hadits. Hadits ini tidak pernah diriwayatkan oleh seorang ulama pun dan
tidak terdapat satu pun di dalam kitab-kitab hadits yang menjadi pegangan.”
Hadits palsu ini bertentangan dengan dalil-dalil yang ada di dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menjelaskan wajibnya ikhlas dalam beribadah kepada
Allah dan haramnya berbuat syirik. Tidak diragukan lagi bahwa berdoa kepada
orang-orang yang sudah mati dan ber-istighatsah kepada
mereka serta memohon agar diberi jalan keluar kepada mereka dalam menghadapi
bencana dan kesulitan adalah bentuk kesyirikan yang besar kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Begitu pula berdoa kepada
mereka dalam keadaan lapang termasuk kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Orang-orang musyrik zaman dahulu ketika menghadapi
kesulitan yang sangat sulit, mereka mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah
semata. Akan tetapi, ketika kesulitan sudah berakhir mereka berbuat syirik
kepada Allah. Sebagaimana firman Allah ‘Azza
wa Jalla:
فَإِذَا رَكِبُوا
فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ
إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ
“Maka apabila mereka
naik kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya;
maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka
(kembali) mempersekutukan (Allah)” (QS. Al-Ankabut: 65).
Ayat-ayat yang semakna dengan ini banyak sekali.
Adapun orang-orang musyrik zaman sekarang, mereka berbuat
kesyirikan terus-menerus baik dalam keadaan lapang maupun sempit. Bahkan dalam
keadaan sempit kesyirikan mereka bertambah parah. Wal’iyyadzu
billah. Hal ini menjelaskan bahwa kekufuran orang musyrik zaman ini lebih
parah daripada orang musyrik zaman dahulu dari sisi ini.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا أُمِرُوا
إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus” (QS. Al-Bayyinah: 5).
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
فَادْعُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Maka sembahlah Allah
dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak
menyukai(nya)” (QS. Ghafir: 14).
Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman:
فَاعْبُدِ
اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Maka sembahlah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik)” (QS. Az-Zumar: 2-3).
Allah Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
ذَلِكُمُ اللَّهُ
رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِن
قِطْمِيرٍ * إِن تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا
اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا
يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Yang (berbuat)
demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nya-lah kerajaan. Dan orang-orang yang
kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit
ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau
mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari
kiamat mereka akan mengingkari kemusyirikanmu dan tidak ada yang dapat memberi
keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” (QS.
Fathir: 13-14).
Ayat-ayat ini mencakup semua hal yang disembah selain
Allah. Baik itu para nabi, orang-orang shalih atau selain mereka. Allah tidak
hanya menjelaskan bahwa perbuatan tersebut merupakan kesyirikan, namun
menjelaskan bahwa ia adalah kekufuran. Dalam firman-Nya:
وَمَنْ يَدْعُ
مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ لا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ
رَبِّهِ إِنَّهُ لا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ
“Dan barangsiapa
menyembah tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun
baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya.
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung” (QS. Al-Mu’minun:
117).
Ayat-ayat ini menunjukkan wajibnya mengikhlaskan ibadah
hanya kepada Allah semata dan menjelaskan bahwa doa hanya ditujukan kepada
Allah semata, tidak boleh kepada selain-Nya. Selain itu, juga menunjukkan
haramnya beribadah kepada selain Allah, baik kepada orang-orang yang sudah
mati, berhala, pohon-pohon keramat, batu-batu keramat dan semisalnya. Ayat-ayat
yang demikian ini sangat banyak bagi orang yang menadaburkan Al Qur’an dan
ingin mencari hidayah dari Al Qur’an. Wallahul musta’an, wa laahaula
walaaquwwata illa billah.
Menyia-nyiaan Waktu Lebih Berbahaya dari
Kematian
Waktu sangatlah berharga. Begitu
berharganya waktu, menyia-nyiakannya adalah bentuk puncak kerugian, bahkan
lebih berbahaya dari kematian. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata,
إضاعةُ الوقت أشدُّ من الموت ؛
لأنَّ إضاعة الوقت تقطعك عن الله والدار الآخرة، والموتُ يقطعك عن الدنيا وأهلها
“Menyia-nyiakan waktu lebih berbahaya dari
kematian, karena menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu dari Allah dan negeri
akhirat, sedangkan kematian hanya memutuskan dirimu dari dunia dan
penduduknya”. [Al-Fawaid hal 44]
Apabila waktu di sia-siakan terus-menerus
maka untuk apa ia hidup? Waktunya tidak bermanfaat baik untuk dirinya dan orang
lain. Waktu hanya digunakan untuk bermain-main dan bersenda gurau saja?
Begitu Berharganya Waktu
Ketika Allah bersumpah dengan salah satu
makhluk-Nya dalam Al-Quran, hal ini menunjukkan makhluk tersebut memiliki
keistimewaan. Allah bersumpah dengan waktu dalam Al-Quran dalam beberapa ayat.
Misalnya “wal-ashri” (demi masa), “wad-dhuha” (demi waktu dhuha), “wal-lail”
(demi waktu malam) dan lain-lainnya. Waktu memang sangat berharga dan harus
dipergunakan dengan sebaik mungkin untuk hal-hal yang bermanfaat. Manusia pun sepakat bahwa waktu itu berharga.
Misalnya orang barat mengatakan “time is money”. Pepatah Arab juga menyebutkan
waku itu penting:
اَلْوَقْتُ أَنْفَاسٌ لَا تَعُوْدُ
“Waktu adalah nafas yang tidak mungkin akan
kembali.”
Orang sukses dunia-akhirat akan sangat
menyesal jika waktunya terbuang percuma tanpa manfaat dan faidah. Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu berkata,
ﻣَﺎ ﻧَﺪِﻣْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﻧَﺪَﻣِﻲ
ﻋَﻠَﻰ ﻳَﻮْﻡٍ ﻏَﺮَﺑَﺖْ ﴰَﺴْﻪُ ﻧَﻘَﺺَ
ﻓِﻴْﻪِ ﺃَﺟَﻠِﻲ ﻭَﱂَ ْﻳَﺰِﺩْ
ﻓِﻴْﻪِ ﻋَﻤَﻠِﻲ
“Tiada yang pernah kusesali selain keadaan
ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak bertambah.” (Lihat Miftahul Afkar)
Mereka juga pelit dengan waktu mereka, Hasan
Al-Bashri rahimahullah berkata,
أَدْرَكْتُ أَقْوَامًا كَانَ
أَحَدُهُمْ أَشَحَّ عَلَى عُمْرِهِ مِنْهُ عَلَى دِرْهَمِهِ
“Aku menjumpai beberapa kaum, salah satu dari
mereka lebih pelit terhadap umurnya (waktunya) dari pada dirham (harta) mereka”(Al-‘Umru was Syaib no. 85)
Perhatikan perkataan emas yang dinukil oleh
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah berikut,
وَنَفْسُكَ إِنْ أَشْغَلَتْهَا
بِالحَقِّ وَإِلاَّ اشْتَغَلَتْكَ بِالبَاطِلِ
“Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal
yang baik, PASTI akan disibukkan dengan hal-hal yang batil” (Al Jawabul Kaafi hal 156)
Ini adalah kaidah dalam kehidupan. Apabila
waktu kita tidak diisi dengan kegiatan positif, pasti diisi oleh kegiatan
negatif. Paling minimal diisi dengan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
Buat program, rencana serta target hidup ke depan agar hari-hari kita selalu
terisi oleh hal-hal dan kegiatan yang positif.
Hendaknya kita perhatikan dan kita atur
dengan baik, waktu dan umur yang telah Allah berikan kepada kita. Mayoritas
manusia banyak lalai dan menyia-nyiakan waktu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا
كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Menyianyiakan Waktu Lebih Berbahaya dari
Kematian. “Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat
dan waktu senggang” (HR. Bukhari no. 6412)
Para Salaf Lebih Bersemangat Beragama
Meskipun Menjelang Kematian
Semangat beragama para salafus shalih (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat serta generasi sesudah mereka) perlu ditiru dan diteladani. jika dibaca oleh orang di zaman ini bagaikan dongeng yang mustahil terjadi. Semoga kita tidak hanya menjadikannya sekedar pengetahuan dan wawasan saja tanpa tergerak hati untuk lebih bersemangat lagi. Salah satu bukti semangat para salafus shalih dalam beragama yaitu sampai titik pengabisan ketika sakaratul maut tetap saja bersemangat beragama.
Berikut beberapa kisah mereka.
Abu Zur’ah rahimahullahu: Masih
Semangat Menyampaikan Hadits Ketika Sakaratul Maut
Abu Ja’far Muhammad bin
Ali As- Saawi menceritakan,
حَضَرْتُ
أَبَا زُرْعَةَ بِمَاشَهْرَانِ وَكَانَ فِي السَّوْقِ، وَعِنْدَهُ أَبُو حَاتِمٍ،
وَمُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمِ بْنِ وَارَةَ، وَالْمُنْذِرُ بْنُ شَاذَانَ،
وَجَمَاعَةٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ فَذَكَرُوا قَوْلَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ» ,
فَاسْتَحْيُوا مِنْ أَبِي زُرْعَةَ، وَقَالُوا: تَعَالَوْا نَذْكُرُ الْحَدِيثُ،
فَقَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ بْنُ وَارَةَ: حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ
أَبُو عَاصِمٍ قَالَ: ثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ , عَنْ صَالِحٍ
وَلَمْ يُجَاوِزْ وَالْبَاقُونَ سَكَتُوا، فَقَالَ أَبُو زُرْعَةَ وَهُوَ فِي
السَّوْقِ:، ثنا بُنْدَارٌ، قَالَ: ثنا أَبُو عَاصِمٍ، قَالَ: ثنا عَبْدُ
الْحَمِيدِ بْنُ جَعْفَرٍ , عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي عَرِيبٍ , عَنْ كَثِيرِ بْنِ
مُرَّةَ الْحَضْرَمِيِّ، عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ» وَمَاتَ رَحِمَهُ اللَّهُ
“saya mendatangi Abu Zur’ah yang sedang dalam
keadaan sakaratul maut, ada bersamanya Abu Hatim, Muhammad bin Muslim bin
Warah, Al-Mundzir bin Syadzan dan sekelompok ulama lainnya. Kemudian mereka
membicarakan hadits,
لَقِّنُوا
مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian
diantara kalian kalimat ‘laa ilaaha illallahu’.”
Kemudian mereka merasa malu terhadap Abu
Zur’ah. Lalu mereka berkata, “mari kita bicarakan hadits ini”.
Abdullah bin Warah berkata, “kami dapatkan
hadits ini dari Adh-Dhahak bin Mukhlad Abu Ashim, dari Abdul Hamid bin Ja’far
dari Shalih, namun dia tidak bisa meneruskan perawi selanjutnya. Sedangkan
ulama yang lain terdiam.
Maka berkata Abu Zur’ah dan beliau dalam
keadaan sakaratul maut, “Kami mendapati riwayat ini dari Bundaar dari Abu Ashim
dari Abdul Hamid bin Ja’far dari Shalih bin Abi ‘Ariib dari Kutsair bin Murrah
Al-Hadhrami dari Mu’adz bin Jabal berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَقِّنُوا
مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Talqinkanlah kepada orang yang sedang menghadapi kematian
diantara kalian kalimat ‘laa ilaaha illallahu’.”
Kemudian beliau rahimahullahu meninggal
dunia (Ma’rifah ‘ulum Al-Hadits hal.
76, Dar Kutub Al-‘Ilmiyah, Beirut, cet. II, 1397 H, Asy-Syamilah).
Faidah: Pentingnya sanad
Bagi yang belum mengenal ilmu sanad, mungkin
akan bertanya-tanya buat apa rentetan nama-nama tersebut, akan tetapi ilmu
sanad nama tersebut adalah ilmu yang mulia, dari sana diketahui dan diteliti
keshahihan hadits dan diketahui mana ajaran islam dan mana yang bukan.
‘Abdaan bin Utsman berkata,
سمعت
عبد الله بن المبارك يقول : الإسناد عندي من الدين ولو لا الإسناد لقال من شاء ما
شاء.
“Aku mendengar
‘Abdullah bin Al-Mubarak berkata, ‘Sanad bagiku termasuk bagian dari agama. Jika
sanad tidak ada, siapapun akan berkata sesuka hatinya”. (Muqaddimah Shahih
Muslim 1/15, Dar ihya’ at-turots,
Asy-Syamilah).
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullahu berkata,
حدث
الزهري يوماً بحديث؛ فقلت له : هاته بلا إسناد فقال : أترقى السطح بلا سلم؟.
“Pada suatu hari Az-Zuhri menyampaikan satu
hadits. Aku berkata padanya, ‘Sampaikanlah hadits itu tanpa sanad’. Ia
(Az-Zuhri) berkata, ‘Apakah aku akan
menaiki loteng tanpa tangga ?’. (Ash-Shahih
Al-Musnad hal. 6, Syaikh Muqbil bin Hadi, Darul Atsar, cet. VII, 1430
H).
Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu berkata,
الإسناد
سلاح المؤمن فإذا لم يكن معه سلاح فبِأي شيئ يقاتل.
“Isnad itu bagaikan senjata bagi seorang
mukmin, Jika ia tidak mempunyai senjata, dengan apa ia bisa berperang ?” (Al-Majruhin Ibnu Hibban 1/27, dinukil dari Ta’liqat
Al-Atsariyah hal. 15, Syaikh Al-Halabi, Maktabah
Islamiyah, cet. II, 1403 H).
Umar bin
Khattab radhiallahu ‘anhu: Pasca ditikam
dan Isbal
Kisahnya diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari
Amr bin Maimun radhiallahu ‘anhu bahwa
ketika Khalifah ‘Umar radhiallahu ‘anhu
ditusuk perutnya ketika shalat subuh oleh Abu Lu’luah Al-Majusi,
فأتي
بنبيذ فشربه، فخرج من جوفه، ثم أتي بلبن فشربه فخرج من جرحه، فعلموا أنه ميت،
فدخلنا عليه، وجاء الناس، فجعلوا يثنون عليه، وجاء رجل شاب، فقال أبشر يا أمير
المؤمنين ببشرى الله لك، من صحبة رسول الله صلى الله عليه وسلم، وقدم في الإسلام
ما قد علمت، ثم وليت فعدلت، ثم شهادة، قال: وددت أن ذلك كفاف لا علي ولا لي، فلما
أدبر إذا إزاره يمس الأرض، قال: ردوا علي الغلام، قال: يا ابن أخي ارفع ثوبك، فإنه
أبقى لثوبك
“[Umar] diberi minum air kurma dan diminumnya
maka keluar dari tenggorokannya, kemudian diberi air susu maka beliau
meminumnya dan keluar dari lukanya. Mereka
mengetahui bahwa beliau akan meninggal dan kamipun masuk menemuinya. Kemudian
datanglah manusia dan memujinya, dan datanglah seorang anak muda dan
berkata, “Bergembiralah wahai Amirul Mu’minin dengan berita gembira dari
Allah untukmu, dari bershahabat dengan Rasulullah dan apa yang engkau
baktikan untuk umat Islam. Apa yang engkau telah lakukan kemudian engkau
berkuasa dan berlaku adil serta mendapat syahadah (mati syahid)”.
Umar menjawab, “Saya berharap hal
itu cukup untukku (impas).”
Ketika anak muda itu pergi dilihatnya kainnya
menyentuh tanah [isbal], kemudian beliau berkata: “Kembalikan anak
muda itu kepadaku”.
Dan beliau berkata, “Wahai anak
saudaraku! Angkat kainmu, maka itu lebih kekal untuk pakaianmu dan lebih suci
untuk Rabbmu.” (HR. Bukhari no. 2700).
Faidah: Haramnya isbal baik tanpa dibarengi kesombongan
atau tidak
Inilah pendapat yang terkuat. Lihat bagaimana
sahabat Umar bin Khattab radhiallahu
‘anhu dalam keadaan luka yang sangat parah menjelang kematiannya, ia
masih saja semangat menegakkan syariat Islam yaitu menyuruh pemuda tadi agar
tidak isbal.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
من
أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
“Setiap pakaian yang melebihi mata kaki [isbal] maka tempatnya adalah di neraka” (Bukhari – Muslim dari Abu Hurairah)
Suri Tauladan kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Menelang kematian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyampaikan
beberapa nasehat yang sangat ditekankan diantaranya agar umat Islam
berhati-hati dengan fitnah “menjadikan kubur sebagai masjid” karena inilah
sumber kerusakan umat-umat sebelumnya,
Dari ‘Aisyah Radiyallahu
‘anha, bahwa ia pernah berkata, “Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
diambil nyawanya, beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun segera menutupkan kain di atas mukanya, lalu
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam buka
lagi kain itu tatkala terasa menyesakkan napas. Ketika dalam keadaan demikian,
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَعْنَةُ
اللَّهِ عَلَى الَْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ
مَسَاجِدَ
“Semoga laknat
Allah ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani, mereka menjadikan
kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid)”. (HR. Bukhari dan Muslim).
**************************
Kontributor: Abu Mushlih
Ari Wahyudi; M. Saifudin
Hakim; Yulian Purnama; Raehanul Bahraen. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment