Jujur, Sabar dan Ikhlas
Semua orang pasti mengharapkan
kesuksesan dan kebahagiaan. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang bisa
menggapai hidup sukses dan bahagia. Hal ini dikarenakan banyak orang yang salah
dalam menempuh jalan menuju hidup sukses dan bahagia tersebut.
Sikap
Sabar, Syukur, & Ikhlas ini
merupakan tiga kunci utama untuk mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan. Bersyukur,
bersabar, dan ikhlas merupakan salah satu di antara sekian banyak kunci
keberhasilan hidup orang beriman, baik di dunia maupun di akhirat. Syukur dan
sabar merupakan dua kata yang akan selalu berjalan mengikuti rumus kehidupan.
Ia adalah kunci kebahagiaan. Karena setiap insan di bumi ini pasti pernah
mengalami suka dan duka. Tak ada manusia yang hidupnya selalu suka, senang dan
nyaman. Pasti di tengah-tengah kenikmatan yang diberikan Allah kepada
mereka ada ujian dan cobaan. Di sinilah rasa syukur dan sabar yang diiringi
dengan ketulusan sangat diperlukan. Syukur ada untuk mengiringi kesenangan.
Demikian juga sabar hadir untuk mengimbangi ujian dan cobaan.
Syukur
yang dimaksud di sini bukan hanya dengan mengucapkan alhamdulillah. Tapi lebih
kepada bagaimana memanfaatkan kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah SWT
untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Demikian halnya dengan sabar,
yang maknanya tidak hanya berdiam diri dan tidak berusaha untuk keluar dari
ujian dan cobaan yang menimpa. Tapi, sabar bermakna menerima apa yang telah
ditimpakan kepada seseorang seperti musibah, dengan catatan tetap berusaha
untuk senantiasa bangkit dan menyelesaikan persoalan yang ada.
Syukur
dan Sabar benar-benar mampu mengantarkan seseorang menuju kebagagiaan dan
kesuksesan. Salah satunya adalah kisah sejarah perjuangan Rasulullah SAW dan
para sahabatnya dalam mendakwakan Islam di tengah-tengah kerasnya masyarakat
Quraisy di jazirah Arab. Meskipun tantangan, ancaman, pengusiran, bahkan
percobaan pembunuhan, sudah berkali-kali dirasakannya ketika berdakwah selama
13 tahun di Makkah, akhirnya Allah SWT memenangkan Islam karena buah kesabaran
dan keikhlasan beliau serta para sahabatnya dalam berdakwah (halaman 19).
Imam
Ahmad bin Hambal pernah mengatakan bahwa di dalam surga hanya ada dua kelompok
manusia, yaitu manusia yang bersyukur dan manusia yang bersabar (halaman 18).
Untuk itulah, Imam Ahmad juga menegaskan bahwa di dalam al-Quran kata sabar
disebutkan lebih dari 90 kali. Sabar adalah bagian iman, sebagaimana kedudukan
kepala bagi jasad. Sebab, orang yang tidak punya kesabaran dalam menjalankan
ketaatan, menjauhi maksiat, dan menghadapi takdir Allah SWT yang buruk, maka ia
banyak kehilangan bagian keimanan (halaman 21).
Agar
senantiasa mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan hidup, tentunya rasa syukur
dan sabar tersebut harus benar-benar dilakukan dengan penuh ikhlas.
Ikhlas merupakan kolaborasi ketundukan pada hati dan pikiran yang
disemayamkan di alam bawah sadar seseorang, serta dijelmakan dalam perkataan
dan amal perbuatan. Pada hakikatnya, ikhlas itu mencakup dua hal, yakni
menyertakan niat dan membebaskan diri dari segala bentuk noda
Orang
yang ikhlas akan senantiasa merasa tentram, penuh kedamaian, dadanya penuh
kelapangan, dan hatinya merasa tenang. Sebab, ia selalu didorong untuk
memurnikan segala amalnya dengan tujuan untuk menggapai ridha Allah SWT. Dengan
demikian, ikhlas merupakan kunci pertama pembuka kesuksesan dan
kebahagiaan seseorang. Sebagai bukti, kisah orang-orang yang terjebak dalam
gua. Saat itu, mereka memhon dengan cara ber-tawassul atas beberapa
amalan yang dilakukan dengan ikhlas berupa birrul walidain (berbakti
kepada kedua orang tua), wafa’terhadap pegawai, dan
pengendalian syahwat yang luar biasa. Ternyata mereka bisa sukses dan berhasil
keluar dari gua tersebut berkat keikhlasan
Kisah
keikhlasan lain yang patut kita teladani adalah keikhlasan Khalid bin Walid
sebagai komandan perang. Saat menjelang perang Yarmuk, ia mendapat surat dari
Khalifah Umar bin Khattab, yang berisikan tentang pencopotan jabatan panglima
perang yang sedang disandangnya, dan digantikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah,
yang tidak lain adalah bawahan Khalid bin Walid. Khalid bin Walid menerima
pencopotan tersebut dengan penuh kesatria dan keikhlasan. Bahkan, sedikitpun
tidak terlihat rasa kecewa dan emosi pada wajahnya. Saat itu, ia berkata, “aku
tidak berperang untuk Umar. Tetapi, aku berperang untuk Tuhannya Umar”.
Beberapa saat kemudian, Khalid bin Walid mendatangi Abu Ubaidah untuk
menyerahkan kendali kepemimpinannya. Uniknya, di bawah komando mantan anak
buahnya tersebut, Khalid tetap berperang dengan penuh semangat dan kesungguhan.
Kita
perlu menggapai kesuksesan dan kebahagiaan dengan syukur, sabar, dan ikhlas.
Karena ketiganya merupakan kunci kesuksesan dan kebahagiaan yang hakiki, baik
di dunia dan di akhirat. Untuk itu, bagi kita yang menginginkan kesuksesan dan
kebahagian, maka buku ini menjadi salah satu bahan bacaan penting untuk
ditelaah dan diamalkan isinya.
Jujur dalam
arti sempit adalah sesuainya ucapan lisan dengan kenyataan. Dan dalam
pengertian yang lebih umum adalah sesuainya lahir dan batin. Maka orang yang
jujur bersama Allah dan bersama manusia adalah yang sesuai lahir dan batinnya.
Karena itulah, orang munafik disebutkan sebagai kebalikan orang yang jujur,
firman Allah :
لِّيَجْزِيَ اللهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ
الْمُنَافِقِينَ
Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar
itu karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik... (QS. Al-Ahzab:24)
Dan jujur adalah konsekuensi terhadap janji seperti firman
Allah :
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَاعَاهَدُوا اللهَ
عَلَيْهِ
Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang
menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; (QS.
Al-Ahzabjavascript:void(0):23)
Dan kejujuran itu sendiri dengan berbagai pengertiannya
membutuhkan keikhlasan kepada Allah dan mengamalkan perjanjian yang diletakkan
oleh Allah di pundak setiap muslim, firman Allah :
وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا . لِّيَسْئَلَ
الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ
Dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh,
agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka…(QS.
Al-Ahzab:7-8)
Maka apabila orang-orang yang benar (jujur) akan ditanya,
maka bagaimana pertanyaan dan hisab bagi orang-orang yang berdusta dan munafik?
Jujur termasuk akhlak utama yang terbagi menjadi beberapa
bagian. Al-Harits al-Muhasibi rahimahullah berkata: 'Ketahuilah -semoga Allah
memberi rahmat kepadamu- sesungguhnya jujur dan ikhlas adalah pondasi segala
sesuatu. Maka dari sifat jujur, tercabang beberapa sifat, seperti: sabar,
qana'ah, zuhud, dan ridha. Dan dari sifat ikhlas tercabanglah beberapa sifat,
seperti: yakin, khauf (takut), mahabbah (cinta), ijlal (membesarkan), haya`
(malu), dan ta'dzim (pengagungan). Jujur terdiri dari tiga bagian yang tidak
sempurna kecuali dengannya: 1) Kejujuran hati dengan iman secara benar, 2) Niat
yang benar dalam perbuatan, 3) Kata-kata yang benar dalam ucapan.
Dan tatkala kejujuran mempunyai ikatan kuat dengan iman, maka
Rasulullah memaafkan (memakluminya) terjadinya sifat yang tidak terpuji dari
seorang mukmin, namun beliau menolak bahwa seorang mukmin terjerumus dalam
kebohongan, karena sangat jauhnya hal itu dari seorang mukmin. Para sahabat
pernah bertanya:
يَارَسُوْلَ اللهِ, أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ جَبَّانًا؟ قَالَ:
نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ بَخِيْلاً؟ قَالَ: نَعَمْ. قِيْلَ
لَهُ: أَيَكُوْنُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا؟ قَالَ: لاَ.
"Ya Rasulullah, apakah orang beriman ada yang penakut?
Beliau menjawab,'Ya.' Maka ada yang bertanya kepada beliau, 'Apakah orang
beriman ada yang bakhil (pelit, kikir).' Beliau menjawab, 'Ya.' Ada lagi yang
bertanya, 'Apakah ada orang beriman yang pendusta?' Beliau menjawab, 'Tidak.'
Dasar pada lisan adalah memelihara dan menjaga, karena
ketergelincirannya sangat banyak dan kejahatannya tak terhingga. Maka waspada
darinya dan berhati-hati dalam menggunakannya adalah lebih taqwa dan lebih
wara`. Maka apabila engkau menemukan seseorang yang tidak perduli terhadap
omongannya dan banyak bicara, maka ketahuilah sesungguhnya ia berada di atas
bahaya besar. Rasulullah bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
"Cukuplah seseorang dipandang berdusta bahwa ia
membicarakan semua yang didengarnya."
Karena banyak bicara merupakan tempat terjerumus dalam
kebohongan dengan menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi, saat ia tidak
mendapatkan pembicaraan, atau dengan mengutip berita seseorang yang pendusta
–sedangkan dia mengetahui-, maka ia termasuk salah seorang pembohong.
Setiap akhlak yang baik, bisa diusahakan dengan
membiasakannya dan bersungguh-sungguh menekuninya, serta berusaha
mengamalkannya, sehingga pelakunya mencapai kedudukan yang tinggi, naik dari
tingkatan pertama kepada yang lebih tinggi darinya dengan akhlaknya yang baik.
Karena itulah, Rasulullah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى
الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ. وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا
"Kamu harus selalu bersifat jujur, maka sesungguhnya
kejujuran menunjukkan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan membawa ke
surga. Dan senantiasa seseorang bersifat jujur dan menjaqa kejujuran, sehingga
ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur."
Demikian pula perkara pembohong yang terjatuh, sehingga ia
dipatri dengan kebohongan.:
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى
الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ, وَمَايَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
"Jauhilah kebohongan, maka sesungguhnya kebohongan
membawa kepada kefasikan, dan sesungguhnya kefasikan membawa ke neraka.
Senantiasa seseorang berbohong, dan mencari-cari kebohongan, sehingga ia
ditulis di sisi Allah sebagai pembohong."
Di antara pengaruh kejujuran adalah teguhnya pendirian,
kuatnya hati, dan jelasnya persoalan, yang memberikan ketenangan kepada
pendengar. Dan di antara tanda dusta adalah ragu-ragu, gagap, bingung, dan
bertentangan, yang membuat pendengar merasa ragu dan tidak tenang. Dan karena
itulah:
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ
"Maka sesungguhnya jujur adalah ketenangan dan bohong
adalah keraguan." Kesudahan jujur adalah kebaikan –sekalipun yang berbicara
menduga terjadi keburukan, firman Allah :
فَلَوْ صَدَقُوا اللهَ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ
Tetapi jikalau mereka benar (imannya) tehadap Allah, niscaya
yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. Muhammad :21)
Dan dalam cerita taubatnya Ka'ab bin Malik , Ka'ab berkata
kepada Rasulullah setelah turunnya ayat yang menjelaskan bahwa Allah menerima
taubat tiga orang yang ketinggalan dalam perang Tabuk: 'Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sesungguhnya
termasuk taubatku bahwa aku tidak akan berbicara kecuali yang benar selama
hidupku."
Dan ia berkata pula: 'Maka demi Allah , Allah tidak pernah
memberikan nikmat kepadaku selamanya, setelah memberikan petunjuk Islam
kepadaku, yang lebih besar dalam diriku daripada kejujuranku kepada Rasulullah
, bahwa aku tidak berbohong kepadanya , lalu (kalau aku berbohong) aku menjadi
binasa sebagaimana binasanya orang-orang yang berdusta…'
Ibnu al-Jauzi rahimahullah meriwayatkan dalam manaqib (riwayat
hidup) Imam Ahmad, sesungguhnya dikatakan kepadanya: 'Bagaimana engkau bisa
selamat dari pedang khalifah al-Mu'tashim dan cambuk khalifah al-Qatsiq? Maka
ia menjawab, 'Jikalau kebenaran diletakkan di atas luka, niscaya luka itu
menjadi sembuh.' Dan pada hari kiamat, dikatakan kepada manusia:
هَذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ
Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang
benar kebenaran mereka. …". (QS. Al-Maidah :119)
Kejujuran membawa pelakunya bersikap berani, karena ia kokoh tidak
lentur, dan karena ia berpegang teguh tidak ragu-ragu. Karena itu disebutkan
dalam salah satu definisi jujur adalah: berkata benar di tempat yang
membinasakan. Dan al-Junaidi rahimahullah mengungkapkan hal itu dengan
ucapannya: Hakekat jujur adalah bahwa engkau jujur di tempat yang tidak bisa
menyelamatkan engkau darinya kecuali bohong.'
Berapa banyak orang yang suka membual menjadi celaka dalam
membuat-buat pembicaraan untuk menarik perhatian, dan dalam membuat cerita
untuk membuat orang-orang tertawa. Lalu mereka kembali dengan perasaan senang
dan ia kembali dengan dosa berbohong. Maka ia menjadi binasa, sebagaimana
disebutkan dalam hadits:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِاْلحَدِيْثِ لِيُضْحِكَ بِهِ
الْقَوْمَ, فَيَكْذِب, وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
"Celaka bagi orang yang berbicara untuk membuat
orang-orang tertawa, lalu ia berbohong, celakalah baginya, celakalah baginya."
Sesungguhnya dusta yang paling berat dan paling besar dosanya
adalah berbohong kepada Allah dan Rasul-Nya, ia menyandarkan kepada agama Allah
yang bukan darinya, dan mengaku dalam syari'at yang dia tidak mengetahui,
membuat nash-nash yang tidak ada dasarnya –ia melakukan hal itu karena
menghendaki kebaikan atau keburukan-, hal itu merupakan dusta yang sangat jahat
terhadap agama Allah .
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ, فَمَنْ
كَذبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
"Sesungguhnya berdusta terhadapku bukan seperti berdusta
terhadap orang lain, maka barangsiapa yang berdusta secara sengaja terhadapku,
maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka."
Karena alasan itulah, sebagian sahabat merasa khawatir
meriwayatkan hadits Rasulullah terlalu banyak, karena takut terjatuh dalam
kesalahan yang tidak disengaja, berarti mereka menyandarkan kepada Rasulullah
yang tidak pernah beliau katakan. Dan termasuk hal itu adalah Anas bin Malik
ketika ia berkata: 'Sesungguhnya menghalangi aku meriwayatkan hadits terlalu
banyak, sesungguhnya Nabi bersabda:
مَنْ تَعَمَّدَ عَلَىَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
مِنَ النَّارِ
"Barangsiapa yang sengaja berbohong kepadaku, maka
hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.'
Berdusta atas nama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan
bisa kafir. Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai
dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam.
Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas
nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang
dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”
Beberapa dalil
yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi adalah sebagai berikut.
Dari Al Mughirah,
ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى
أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ
“Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa
yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat
duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).
Dalam hadits yang
shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ بنيَ لَهُ بَيْتٌ
فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa
berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.”
(HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)
Imam Dzahabi juga
membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”
Dalam hadits
lainnya disebutkan pula,
يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ
كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ
“Seorang mukmin
memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif)
Dari ‘Ali,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى
أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang
meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia
adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR.
Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari
orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 39. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Setelah membawakan
hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan
teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits
palsu) tidaklah dibolehkan.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam
Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H, hal.
28-29).
Pembahasan
ini bermaksud menunjukkan bahayanya menyampaikan hadits-hadits palsu yang tidak
ada asal usulnya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan termasuk perkara yang menunjukkan tambahan kehati-hatian
mereka dalam mengutip hadits Rasulullah bahwa mereka tidak menambah dan tidak mengurangi.
Pendirian itulah yang diriwayatkan oleh Muslim, ketika Busyair al-'Adawi
meriwayatkan hadits di hadapan Ibnu Abbas , dan Ibnu Abbas tidak
memperdulikannya, tidak memperhatikannya dan tidak memandang kepadanya.
Maka Busyair berkata, 'Wahai Ibnu Abbas, kenapa engkau tidak
mendengarkan pembicaraanku, aku menceritakan kepada engkau tentang Rasulullah
dan engkau tidak mendengarkan? Ibnu Abbas berkata, 'Sesungguhnya kami, apabila
mendengar seseorang berkata, 'Rasulullah bersabda,' pandangan kami langsung
serius dan kami memperhatikannya dengan pendengarannya. Maka tatkala manusia
menaiki kesusahan dan kemudahan (menganggap enteng persoalan hadits, wallau
a'lam), kami tidak mengambil dari manusia kecuali yang kami kenal."
Maksudnya, tatkala manusia berbicara dalam perkara-perkara
yang susah dan mudah, tidak perduli, dan tidak berhati-hati dari terjatuh dalam
kesalahan, kami menjadi berhati-hati mengambil ilmu dari manapun jua.
Hendaklah berhati-hati orang-orang yang terburu-buru dalam
berfatwa tanpa ilmu dari berbohong terhadap agama Allah . Hendaklah merasa
takut orang-orang yang menyebarkan hadits-hadits munkar dan maudhu' dari
keikutsertaan berbohong terhadap Rasulullah . Sungguh ucapan seseorang: aku
tidak tahu –sekalipun berat terhadap nafsunya- lebih mudah baginya daripada
berbohong kepada Rasulullah .
Dan supaya semua hidupmu menjadi benar, dihasyar (digiring
pada hari kiamat) bersama orang-orang jujur, maka jadikanlah tempat masukmu
benar dan tempat keluarmu benar, jadikanlah lisanmu lisan yang benar. Semoga
Allah memberikan rizqi kepadamu langkah yang benar dan tempat yang benar. Maka
jujur adalah ketegasan dan keterusterangan dan berpaling darinya adalah
penyimpangan, dan keadaan orang yang beriman adalah jujur, dan:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لا َيُؤْمِنُونَ
بِئَايَاتِ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah
orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah
orang-orang pendusta. (QS. An-Nahl :105)
Kesimpulan:
1. Sekurang-kurang benar adalah benar lisan, dan yang lebih
umum darinya adalah benar bersama Allah secara lahir batin.
2. Tidak ada kejujuran kecuali dengan ikhlas.
3. Kejujuran terkait dengan iman.
4. Orang yang membicarakan segala yang didengar terkadang
jauh dari kebenaran.
5. Jujur bisa diperoleh dengan usaha.
6. Di antara pengaruh jujur adalah ketenangan dan teguhnya
hati.
7. Jujur adalah keselamatan, sekalipun yang berbicara menduga
adanya keburukan.
8. Orang yang jujur adalah berani dan orang yang bohong
tergagap.
9. Bohong
terbesar adalah bohong terhadap Allah dan Rasul-Nya .
10. Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena khawatir terjatuh dalam kebohongan.
10. Para sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits, karena khawatir terjatuh dalam kebohongan.
************************
Kontributor Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF . Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment