Hukum Waris
(Faraidh)
Di antara cabang
ilmu yang memiliki kedudukan penting dalam agama adalah ilmu waris (ilmu
faraidh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memotivasi umatnya untuk mempelajari dan memberikan perhatian terhadap ilmu
tersebut.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ تَعَلَّمُوا الْفَرَائِضَ
وَعَلِّمُوهَا، فَإِنَّهُ نِصْفُ الْعِلْمِ وَهُوَ يُنْسَى، وَهُوَ أَوَّلُ شَيْءٍ
يُنْزَعُ مِنْ أُمَّتِي
“Wahai
Abu Hurairah, belajarlah ilmu faraidh dan ajarkanlah, karena
sesungguhnya ia adalah setengah dari ilmu. Dan ilmu itu akan dilupakan dan
dia adalah ilmu yang pertama kali dicabut dari umatku.” (HR. Ibnu Majah
no. 2719)
Syaikh Shalih
Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala menjelaskan tentang perkataan
Nabi bahwa ilmu faraidh adalah setengah ilmu. “Sesungguhnya
manusia itu berada dalam dua keadaan, yaitu hidup atau mati. Ilmu faraidh berkaitan
dengan mayoritas hukum yang berkaitan dengan kematian. Sedangkan ilmu lainnya,
berkaitan dengan hukum-hukum ketika masih hidup.”
Dan terjadilah apa
yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan. Karena
kita jumpai di jaman ini, ilmu faraidh adalah ilmu yang
disepelekan dan dilupakan, bahkan di tengah-tengah para penuntut ilmu (thaalibul
‘ilmi) itu sendiri. Kita tidak dijumpai diajarkannya ilmu ini di
masjid-masjid kaum muslimin, kecuali sedikit saja dan langka. Demikian juga,
tidak kita jumpai diajarkannya ilmu ini di sekolah-sekolah kaum muslimin.
Kalaupun ada, maka dengan metode seadanya dan sangat lemah, yang belum bisa
menjamin eksistensi ilmu ini di tengah-tengah kaum muslimin.
Oleh karena itu,
menjadi kewajiban kita kaum muslimin untuk menghidupkan kembali ilmu ini di
tengah-tengah mereka, dan juga menjaganya, dengan menyibukkan diri untuk
mempelajarinya, baik di masjid, sekolah (madrasah), atau di masyarakat secara
umum. Hal ini karena mereka sangat membutuhkan ilmu ini, dan pada saatnya nanti
mereka akan bertanya ketika mereka membutuhkannya.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعِلْمُ ثَلَاثَةٌ، فَمَا وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ فَضْلٌ:
آيَةٌ مُحْكَمَةٌ، أَوْ سُنَّةٌ قَائِمَةٌ، أَوْ فَرِيضَةٌ عَادِلَةٌ
“Ilmu itu ada
tiga, sedangkan selebihnya hanyalah keutamaan, yaitu: ayat muhkamat, sunnah
yang tegak, dan faraidh yang adil.” (HR. Abu Dawud no.
2885 dan Ibnu Majah no. 54)
Diriwayatkan dari
sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau
mengatakan,
تعلموا العربية فإنها من دينكم، وتعلموا الفرائض فإنها من
دينكم
“Belajarlah
bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah bagian dari agama kalian. Belajarlah
ilmu waris, karena ilmu waris adalah bagian dari agama kalian.”
‘Abdullah bin
Mas’ud radhiyallahu Ta’ala ‘anhu mengatakan,
من قَرَأَ مِنْكُم الْقُرْآن فليتعلم الْفَرَائِض
“Siapa
saja di antara kalian yang belajar (membaca) Al-Qur’an, maka belajarlah ilmu
waris.”
Di dalam Shahih
Muslim terdapat sebuah kisah yang menunjukkan kemuliaan seseorang
karena orang tersebut memiliki ilmu yang terkait dengan hukum waris.
Diriwayatkan dari Amir bin Watsilah, bahwa Nafi’ bin Abdul Harits pernah
bertemu dengan ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu di
‘Usfan (nama suatu daerah, pen.). Ketika itu, ‘Umar mengangkatnya sebagai
gubernur Mekah.
Nafi’
menjawab, ”Ibnu Abza”.
‘Umar
bertanya, ”Siapakah Ibnu Abza itu?”
Nafi’
menjawab, ”Salah seorang bekas budak kami.”
‘Umar kemudian
mengatakan, ”Apakah Engkau mengangkat seorang bekas budak?”
Nafi’
menjawab, ”Sesungguhnya dia pandai memahami kitabullah ‘Azza wa
Jalla, dan dia juga ahli ilmu faraidh.”
‘Umar radhiyallahu
‘anhu berkata, ”Adapun Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sungguh dia pernah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا
وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya
Allah akan mengangkat kedudukan sekelompok orang dengan Kitab ini, dan akan
merendahkan sebagian lainnya dengan Kitab ini pula.” (HR. Muslim no. 1934)
Pada jaman jahiliyyah, wanita dan anak-anak kecil tidak boleh mendapatkan harta warisan. Harta warisan hanya
bagi laki-laki dewasa yang sudah mahir menunggang kuda
dan memainkan senjata.
Lalu datanglah
syariat Islam yang menghapus dan membatalkan hukum jahiliyyah tersebut. Allah
Ta’ala berfirman,
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ
وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا
“Bagi orang
laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah
ditetapkan.” (QS. An-Nisa’ [4]:
Berbeda 180 derajat dari
ketentuan hukum jahiliyyah jaman dahulu adalah
hukum yang ditetapkan oleh orang-orang jaman
sekarang. Yaitu mereka memberikan hak warisan bagi perempuan, namun dengan
bagian yang sama dengan kaum lelaki. Dengan alasan kesetaraan gender, kesamaan
hak asasi manusia, lalu mereka pun melampaui batas dengan melanggar ketentuan
syariat dalam hukum waris.
Padahal, Allah
Ta’ala dengan tegas menyatakan,
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ
حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian waris untuk) anak-anakmu, yaitu bagian
seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (QS.
An-Nisa’ [4]: 11)
Juga dalam
firman-Nya,
وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالًا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ
مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka
bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 176)
Oleh karena itu,
ketentuan waris dalam Islam adalah sesuai dengan hak perempuan. Hak tersebut tidak
dinihilkan sama sekali, sebagaimana hukum waris era jahiliyyah jaman dulu. Namun,
tidak juga diberikan dengan melampaui batas dengan disamakan haknya dengan kaum
lelaki, sebagaimana hukum waris yang dianut orang-orang yang bodoh pada jaman
ini.
Pembagian hukum waris dalam Islam itu didasarkan atas
ilmu dan hikmah
Sebagian orang
melontarkan klaim-klaim dan tuduhan dusta terhadap hukum Allah yang berkaitan dengan masalah
warisan. Mereka menuduh bahwa hukum waris dalam Islam itu tidak adil, mengkebiri hak-hak kaum perempuan, bias
gender, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya.
Kalau mereka mau
membuka Al-Qur’an, Allah Ta’ala telah memberikan isyarat bahwa hukum waris
dalam Islam itu ditetapkan berdasarkan ilmu dan hikmah Allah Ta’ala. Allah
Ta’ala yang mengetahui apa yang maslahat untuk umatnyaHal ini bisa kita
renungkan ketika Allah Ta’ala selesai menyebutkan tentang hukum waris dan
bagian masing-masing ahli waris, Allah Ta’ala tutup dengan firman-Nya,
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا
”Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)
Dalam ayat di
atas, terdapat faidah luar biasa ketika Allah menyebutkan dua sifat Allah yang
mulia, setelah menyebutkan ketentuan hukum waris, yaitu sifat al-‘ilmu (Maha
mengetahui) dan al-hikmah (Maha bijaksana).
Maksudnya, karena
Allah Ta’ala Maha mengetahui dan Maha bijaksana, Allah Ta’ala mengetahui
apa yang tidak diketahui oleh hamba-Nya, dan Allah Ta’ala pun meletakkan sesuatu
sesuai dengan tempatnya. Oleh karena itu, patuhilah perintah Allah ketika
membagi harta waris kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya. Karena
pembagian itu berdasarkan ilmu Allah Ta’ala dan hikmah-Nya.
Seandainya
pembagian waris ini diserahkan kepada pemikiran dan ijtihad (logika
atau hasil olah pikir) manusia sendiri, maka pembagian itu akan dilandasi
dengan kebodohan dan hawa nafsu, serta tidak ada hikmah di dalamnya. Sehingga
justru akan menimbulkan bahaya. Oleh karena itu, barangsiapa yang mencela hukum
Allah Ta’ala, atau mengatakan, “Seandainya hukumnya begini atau
begitu”, maka dia telah mencela ilmu dan hikmah
Allah Ta’ala. Dan sebagaimana Allah menyebutkan ilmu dan hikmah
setelah menyebutkan hukum syariat-Nya, Allah Ta’ala juga menyebutkannya dalam
ayat-ayat yang berisi tentang ancaman. Hal ini untuk menjelaskan kepada
hamba-Nya bahwa syariat dan balasan-Nya berkaitan dengan hikmah-Nya dan tidak
keluar dari ilmu-Nya. (Lihat Al-Qawa’idul Hisaan, hal. 51-57)
Oleh karena itu,
Allah Ta’ala mensifati bahwa hukum Allah itulah hukum yang paling baik. Dan
Allah Ta’ala sifati hukum selain hukum Allah sebagai hukum jahiliyyah. Allah
Ta’ala berfirman,
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ
اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah hukum
jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5]: 50)
Maka, renungkanlah
wahai para pencari kebenaran.
Ancaman terhadap orang-orang yang mengubah-ubah ketentuan
warisan
Melaksanakan ketentuan
hukum waris sebagaimana yang telah Allah Ta’ala tetapkan adalah sebuah
kewajiban. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang telah kami kutip sebelumnya,
فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا
حَكِيمًا
”Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
bijaksana.” (QS. An-Nisa’ [4]: 11)
Allah Ta’ala juga
berfirman,
وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
“(Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 12)
Oleh karena itu,
tidak boleh mengubah-ubah ketentuan dalam pembagian harta warisan dari
ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat. Allah Ta’ala berfirman,
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ؛ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ
حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ
“(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah batasan-batasan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah kemenangan
yang besar.Dan barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedang ia kekal di dalamnya.
Dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 13-14)
Asy-Syaukani rahimahullahu
Ta’ala berkata menjelaskan tafsir ayat tersebut,
وَالْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ: تِلْكَ إِلَى الْأَحْكَامِ
الْمُتَقَدِّمَةِ، وَسَمَّاهَا حُدُودًا: لِكَوْنِهَا لَا تَجُوزُ مُجَاوَزَتُهَا،
وَلَا يَحِلُّ تَعَدِّيهَا وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فِي قِسْمَةِ
الْمَوَارِيثِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، كَمَا يُفِيدُهُ
عُمُومُ اللَّفْظِ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهارُ
“Isyarat dalam
firman Allah Ta’ala, (تِلْكَ) merujuk
kepada hukum-hukum di ayat sebelumnya (yaitu, yang berkaitan dengan hukum
waris). Dan Allah Ta’ala menyebutnya sebagai “batasan”, karena tidak boleh
dilampaui atau tidak boleh dilewati. “Barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-nya”, yaitu dalam pembagian harta waris dan aturan-aturan syariat lainnya
-sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh cakupan makna ayat yang bersifat umum-,
“niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai.” (Fathul Qaadir, 1: 501)
Kemudian beliau
mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
مَنْ فَرَّ مِنْ مِيرَاثِ وَارِثِهِ، قَطَعَ اللَّهُ
مِيرَاثَهُ مِنَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang
lari dengan membawa warisan ahli warisnya, Allah akan memutus warisannya dari
surga pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah no. 2703) [1]
Barangsiapa yang
mengutak-atik pembagian waris sebagaimana yang telah ditentukan oleh syariat,
sehingga dia mewariskan harta kepada orang yang seharusnya tidak berhak
menerimanya; atau dia mencegah (menahan) pembagian sebagian atau seluruh harta
waris kepada orang yang seharusnya berhak menerimanya; atau dia menyamakan
antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian harta waris, sebagaimana
dijumpai dalam undang-undang sekuler buatan manusia yang bertentangan dengan
hukum syariat bahwa bagian perempuan itu setengah dari bagian lelaki; maka
orang tersebut telah kafir dan berhak berada di neraka selamanya, kecuali dia
bertaubat kepada Allah Ta’ala sebelum meninggal dunia. (Lihat Al-Mulakhkhas
Fiqhiy, hal. 335) [2]
***************************
Penulis: M.
Saifudin Hakim. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email:
ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment