Hukum Ta’qib (Shalat Tahajjud Lagi Setelah Tarawih)
Ibnu Qudamah berkata :
فَأَمَّا التَّعْقِيبُ، وَهُوَ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ
التَّرَاوِيحِ نَافِلَةً أُخْرَى جَمَاعَةً، أَوْ يُصَلِّيَ التَّرَاوِيحَ فِي
جَمَاعَةٍ أُخْرَى
“Adapun at-Ta’qiib, yaitu
sholat sunnah berjamaáh lagi setelah sholat tarawih (dengan jamaáh yang sama),
atau sholat tarawih lagi di jamaáh yang lain” (1)
Dari sini Ibnu Qudamah
menyebutkan dua model at-Táqiib ;
Pertama: Yaitu suatu jamaáh
sholat tarwih di awal malam, setelah itu mereka sholat tarwih lagi di akhir
malam
Kedua: Yaitu seseorang
sholat tarwih pada suatu jamaáh, lalu ia sholat tarwih lagi setelah itu bersama
jamaáh yang lain.
Dari sini kita tahu
bahwasanya jika seseorang setelah sholat tarawih lalu sholat tahajjud sendirian
(tanpa berjamaáh) maka diperbolehkan tanpa ada perselisihan di kalangan para
ulama. Yang diperselisihkan adalah kedua bentuk yang disebutkan oleh Ibnu
Qudamah di atas. Adapun hukum at-Ta’qiib di bulan Ramadhan maka ada perbedaan
pandangan di kalangan salaf, sebagian membolehkan dan sebagian memandang
makruh:
1.
Pendapat yang memakruhkan: Ini adalah pendapat Qatadah(2) dan Al-Hasan, alasan
Al-Hasan adalah karena memberatkan orang-orang, beliau mengatakan “Siapa yang
memiliki kekuatan maka hendaklah ia lakukan sholat malam sendirian dan tidak
dilakukan bersama orang-orang”, beliau juga mengatakan لَا تُمِلُّوا النَّاسَ “Janganlah
kalian membuat orang-orang bosan”. (3)
Pendapat ini juga dipilih
sebagian Hanafiyah, Ishaq bin Rahawaih dan pendapat lama dari Imam Ahmad.
Al-Kaasani mengatakan : Jika mereka selesai shalat tarawih kemudian ingin
shalat tarawih lagi maka dilakukan sendiri-sendiri dan tidak berjamaah, karena
shalat yang kedua adalah shalat sunnah mutlak, dan shalat mutlak berjamaah
dibenci. (4)
2.
Pendapat yang membolehkan: ini adalah pendapat Anas bin Malik dan mayoritas Fuqohaa.
Anas radhiallahu ánhu berkata tentang at-Ta’qiib:
لَا بَأْسَ بِهِ إِنَّمَا يَرْجِعُونَ إِلَى خَيْرٍ يَرْجُونَهُ،
وَيَبْرَءُونَ مِنْ شَرٍّ يَخَافُونَهُ
“Tidak mengapa, karena
mereka kembali pada kebaikan yang mereka harapkan dan berlepas diri dari
keburukan yang mereka takuti”. (5)
Ibnu Rojab berkata :
وَأَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ عَلَى أَنَّهُ لاَ يُكْرَهُ بِحَالٍ
“Mayoritas fuqohaa’
berpendapat bahwa at-Ta’qiib tidaklah makruh sama sekali”(6).
Dan ini adalah pendapat
yang mu’tamad dalam madzhab hanabilah.
Dan pendapat jumhur ulama
adalah yang lebih tepat, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
PERTAMA: Asal hukum tarawih di
bulan Ramadhan adalah sholat malam (qiyamul lail) yang dikerjakan secara
berjamaáh. Bahkan Nabi shallallahu álaihi wasallam pernah sholat dan diam-diam
para sahabat bermakmum kepada Nabi shallallahu álaihi wasallam. Karenanya
apa yang dikerjakan Nabi shallallahu álaihi wasallam tatkala sholat malam
sendirian boleh dipraktikan secara berjamaah.
Dan telah datang dalam
hadits-hadits bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam membolehkan
sholat lagi setelah sholat witir(7). Diantaranya:
Pertama: Hadits Aisyah
dimana Nabi shallallahu álaihi wasallam shalat 11 rakaat (langsung witir 9
rakaat setelah itu beliau sholat 2 rakaat). Aisyah berkata :
كُنَّا نُعِدُّ لَهُ سِوَاكَهُ وَطَهُورَهُ فَيَبْعَثُهُ اللَّهُ
مَا شَاءَ أَنْ يَبْعَثَهُ مِنَ اللَّيْلِ فَيَتَسَوَّكُ وَيَتَوَضَّأُ وَيُصَلِّى
تِسْعَ رَكَعَاتٍ لاَ يَجْلِسُ فِيهَا إِلاَّ فِى الثَّامِنَةِ فَيَذْكُرُ اللَّهَ
وَيَحْمَدُهُ وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يَنْهَضُ وَلاَ يُسَلِّمُ ثُمَّ يَقُومُ
فَيُصَلِّى التَّاسِعَةَ ثُمَّ يَقْعُدُ فَيَذْكُرُ اللَّهَ وَيَحْمَدُهُ
وَيَدْعُوهُ ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمًا يُسْمِعُنَا ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ
بَعْدَ مَا يُسَلِّمُ وَهُوَ قَاعِدٌ فَتِلْكَ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يَا
بُنَىَّ
“Dahulu kami menyiapkan
siwak dan air untuk bersuci beliau, Allah membangunkan beliau pada malam hari
dengan kehendak-Nya, beliau pun bersiwak dan shalat 9 rakaat, tidak duduk
kecuali pada rakaat ke 8, beliau berdzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa
kepada-Nya, kemudian bangkit dan tidak salam, kemudian berdiri dan melanjutkan
rakaat ke 9, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah memuji-Nya dan berdoa
kepada-Nya, kemudian beliau salam dengan salam yang kita dengar, kemudian
shalat 2 rakaat setelah salam dalam keadaan duduk, maka semuanya adalah 11
rakaat wahai anakku. (8)
Kedua: Nabi juga pernah
sholat 9 rakaát, yaitu beliau sholat 7 rakaát setelah itu beliau sholat lagi 2
rakaát.
Berdasarkan kelanjutan
hadits Aisyah di atas juga:
فَلَمَّا أَسَنَّ نَبِىُّ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– وَأَخَذَ
اللَّحْمَ أَوْتَرَ بِسَبْعٍ وَصَنَعَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ مِثْلَ صَنِيعِهِ
الأَوَّلِ فَتِلْكَ تِسْعٌ يَا بُنَىَّ
“Ketika Nabi semakin
berusia dan gemuk, beliau witir dengan 7 rakaat, kemudian beliau melakukan 2
rakaat seperti di awal, sehingga semuanya 9 rakaat wahai anakku”. (9)
Ketiga: Nabi juga pernah
sholat 13 rakaat, yaitu beliau sholat 8 rakaát, lalu witir 3 rakaát, lalu
sholat lagi 2 rakaát.
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنْ صَلاَةِ
رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– فَقَالَتْ كَانَ يُصَلِّى ثَلاَثَ عَشْرَةَ
رَكْعَةً يُصَلِّى ثَمَانَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ يُوتِرُ ثُمَّ يُصَلِّى رَكْعَتَيْنِ
وَهُوَ جَالِسٌ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ قَامَ فَرَكَعَ ثُمَّ يُصَلِّى
رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ النِّدَاءِ وَالإِقَامَةِ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ.
Dari Abu Salamah, ia
bertanya kepada Aisyah tentang shalat rasulullah, maka ia menjawab : beliau
shalat 13 rakaat, shalat 8 rakaat kemudian witir, setelah itu shalat dua rakaat
dengan duduk, dan jika ingin ruku’ maka beliau berdiri dan ruku’, kemudian
shalat dua rakaat antara adzan dan iqamah shalat subuh. (10)
Berdasarkan
riwayat-riwayat di atas maka para ulama berkesimpulan bolehnya sholat malam
lagi setelah witir. Imam Nawawi berkata,
إذَا أَوْتَرَ ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ نَافِلَةً أَمْ
غَيْرَهَا فِي اللَّيْلِ جَازَ بِلَا كَرَاهَةٍ وَلَا يُعِيدُ الْوِتْرَ
“Jika seorang melakukan
witir kemudian ingin shalat sunnah atau lainnya pada malam itu juga maka
diperbolehkan tanpa dibenci dan tidak perlu mengulang witir”(11)
Catatan:
Tentu yang terbaik adalah
seorang menutup sholat malamnya dengan witir. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu
Umar, dimana Rasulullah bersabda:
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا.
“Jadikanlah akhir shalat
malam kalian witir”. (12)
Namun jika seseorang
sudah melakukan shalat malam beserta witirnya di awal atau pertengahan malam
kemudian ingin melakukan shalat lagi hukumnya diperbolehkan. Dan jika melakukan
shalat lagi maka tidak perlu mengulang witir dua kali, cukup dengan witir yang
dilakukan di awal, berdasarkan hadits Thalq bin Ali, beliau mendengar
rasulullah bersabda:
لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ
“Tidak boleh ada dua
witir dalam satu malam”. (13)
Ibnu Hazm mengatakan :
وَالْوِتْرُ آخِرَ اللَّيْلِ أَفْضَلُ وَمَنْ أَوْتَرَ أَوَّلَهُ
فَحَسَنٌ، وَالصَّلاَةُ بَعْدَ الْوِتْرِ جَائِزَةٌ، وَلاَ يُعِيْدُ وِتْراً آخَرَ
“Witir di akhir malam
lebih utama, siapa yang witir di awal malam maka bagus, shalat setelah witir
hukumnya boleh, dan janganlah ia mengulang witir lagi”. (14)
Demikian juga Nabi
shallallahu álaihi wasallam membolehkan sholat malam sama witir, setelah itu
istirahat tidur, dan melanjutkan lagi jika telah bangun.
Dalam hadits Tsauban
Rasulullah memerintahkan shalat dua rakaat setelah witir:
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ
كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي سَفَرٍ فَقَالَ إِنَّ هَذَا
السَّفَرَ جَهْدٌ وَثِقَلٌ فَإِذَا أَوْتَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
فَإِنِ اسْتَيْقَظَ وَإِلاَّ كَانَتَا لَهُ
Tsauban maula rasulullah
berkata : “Dahulu kami bersama rasulullah dalam safar, beliau berkata :
“Sesingguhnya safar ini berat dan melelahkan, jika salah satu dari kalian
melakukan witir maka shalatlah dua rakaat, jika dia bangun maka (bisa melakukan
shalat lagi) dan jika tidak maka shalat itu sudah cukup. (15)
Imam Ibnu Khuzaimah
berkata sebelum menyebutkan hadits di atas:
بَابُ ذِكْرِ الدَّلِيلِ عَلَى أَنَّ الصَّلَاةَ بَعْدَ الْوِتْرِ
مُبَاحَةٌ لِجَمِيعِ مَنْ يُرِيدُ الصَّلَاةَ بَعْدَهُ، وَأَنَّ الرَّكْعَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيهِمَا
بَعْدَ الْوِتْرِ لَمْ يَكُونَا خَاصَّةً لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ دُونَ أُمَّتِهِ، إِذِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ
أَمَرَنَا بِالرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْوِتْرِ، أَمْرَ نَدْبٍ وَفَضِيلَةٍ، لَا
أَمْرَ إِيجَابٍ وَفَرِيضَةٍ
“Bab dalil bahwa shalat
setelah witir diperbolehkan bagi siapa saja yang ingin shalat setelahnya, dan
dua rakaat yang dikerjakan oleh Nabi setelah witir bukan khusus bagi nabi tanpa
umat beliau, karena nabi telah memerintahkan kita melakukan dua rakaat tersebut
setelah witir dengan perintah bersifat anjuran dan keutamaan, bukan perintah
yang bersifat wajib”. (16)
Demikian juga hadits ini
menunjukan boleh ada jeda antara dua shalat malam. Karena dalam
lafadz hadits tersebut فَإِنِ
اسْتَيْقَظَ yaitu “jika bangun dari tidur”
berarti boleh ada jeda waktu antara kedua shalat malam tersebut sekalipun jeda
dengan tidur.
KEDUA: Para sahabat pernah
meminta Nabi untuk sholat tarwih lagi padahal Nabi shallallahu álaihi wasallam
telah selesai dari tarwih, dan tentu telah selesai dari sholat witir. Dan Nabi
tidak mengingkari permintaan mereka. Ini menunjukan bahwa para sahabat memahami
tidak mengapa at-Ta’qib, yaitu melakukan shalat tarwih lagi setelah shalat
tarwih yang pertama meskipun jamaáhnya sama.
Abu Dzar radhiallahu ánhu
berkata :
صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– رَمَضَانَ
فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِىَ سَبْعٌ فَقَامَ بِنَا
حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا
فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ
اللَّيْلَةِ. قَالَ فَقَالَ «إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ
حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ».
“Kami berpuasa Ramadhan
bersama Rasulullah, beliau tidak melakukan qiyam ramadhan pun kecuali tersisa 7
hari, beliau pun mengimami shalat kami hingga lewat sepertiga malam, lalu
ketika tersisa 6 hari, beliau tidak shalat bersama kami, dan ketika tersisa 5
hari beliau shalat mengimami kami hingga lewat setengah malam, lalu aku
bertanya: wahai Rasulullah, sekiranya engkau tambahi shalat lagi sisa
malam ini (17), maka beliau mengatakan “Sesungguhnya jika seorang
shalat bersama imam sampai selesai maka dihitung shalat semalam”. (18)
KETIGA: Praktik sebagian
sahabat (yaitu Tholq bin Ali radhiallahu ánhu) yang pernah sholat tarwih dua
kali dengan jamaah yang berbeda. Dan ini adalah salah satu dari 2 makna
at-Ta’qib yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah.
عَنْ قَيْسِ بْنِ طَلْقٍ قَالَ زَارَنَا طَلْقُ بْنُ عَلِىٍّ فِي
يَوْمٍ مِنْ رَمَضَانَ وَأَمْسَى عِنْدَنَا وَأَفْطَرَ ثُمَّ قَامَ بِنَا تِلْكَ
اللَّيْلَةَ وَأَوْتَرَ بِنَا ثُمَّ انْحَدَرَ إِلَى مَسْجِدِهِ فَصَلَّى
بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا بَقِىَ الْوِتْرُ قَدَّمَ رَجُلاً فَقَالَ أَوْتِرْ
بِأَصْحَابِكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم– يَقُولُ
«لاَ وِتْرَانِ فِي لَيْلَةٍ».
Qais bin Thalq berkata:
Thalq bin Ali mengunjungi kami pada satu hari Bulan Ramadhan dan sore masih
bersama kami lalu berbuka dan mengimami shalat kita pada malam itu, beliau
witir bersama kami kemudian pergi ke masjidnya dan shalat mengimami
para sahabatnya, ketika hendak witir beliau menyuruh seorang maju dengan
berkata: shalatlah witir bersama para sahabatmu karena aku mendengar Rasulullah
bersabda “Tidak boleh ada dua witir dalam satu malam”. (19)
Sahabat Tholq bin Áli
dahulu melakukan shalat malam dua kali, yang pertama di tempat ini dan yang
kedua di tempat lain
KEEMPAT: Jika seseorang
boleh sholat malam tanpa berhenti dari ba’da isya hingga jam 3 subuh, maka
tentu boleh juga jika ia sholat 2 jam, lalu istirahat 3 jam (baik tidur maupun
tidak tidur), lalu melanjutkan lagi 2 jam.
Terlebih lagi istilah “Tarawiih”
adalah istilah yang baru yang tidak ada di zaman Nabi, akan tetapi sudah di
zaman para salaf, karena mereka dahulu setiap kali sholat malam di bulan
Ramadhan 4 rakaát maka merekapun istirahat, lalu mereka melanjutkan lagi 4
rakaát lalu istirahat lagi. Istirahat tersebut dalam bahasa Arab adalah التَّرْوِيْحَة
(at-Tarwiihah), maka munculah istilah التَّرَاوِيْحُ (at-Tarawiih) yang artinya adalah kumpulan dari
istirahat-istirahat mereka tatkala sholat malam.
KELIMA: Di zaman Nabi
shallallahu álaihi wasallam bahkan para sahabat sholat berkelompok-kelompok
kecil (berjamaah-jamaah) di masjid Nabawi dalam satu waktu(20). Dan ini juga
terjadi hingga di zaman Umar bin al-Khottob. Lalu akhirnya Umar menggabungkan
mereka untuk diimami oleh Ubay bin Kaáb(21).
Sisi pendalilan di sini
adalah para sahabat tidak memandang terlarangnya berbilangnya jamaáh sholat
tarawih. Yang penting tidak menimbulkan kegaduhan.
Jika para sahabat membuat
beberapa jamaah dengan masing-masing imamnya dalam satu waktu dan dalam satu
masjid, maka lebih boleh lagi melakukan lebih dari satu jamaah dengan jeda
waktu dan waktu yang berbeda.
Jawaban atas dalil
pendapat yang memakruhkan shalat ta’qib
Adapun alasan yang
digunakan oleh Al-Hasan yang membenci shalat ta’qib maka alasan sebenarnya
tidak dibenci karena shalatnya, namun karena takut memberatkan manusia. Maka
jika orang-orang tidak merasa berat dan tidak merasa bosan tentu tidak mengapa.
Adapun Al-Kasani beliau
tidak melarang kalau melakukannya sendiri, dengan alasan shalat sunnah mutlak
tidak boleh dilakukan berjamaah, maka ini adalah kaidah Hanafiyah yang
menyelisihi jumhur ulama, sehingga ini adalah berdalil dengan sesuatu yang
masih diperdebatkan, yang menjadikan dalil pendapat ini lemah.
Abu Nashr Al-Marwazi
berkata : “Ashaburra’yi (yaitu madzhab Hanafi) membenci shalat sunnah berjamaah
kecuali qiyam Ramadhan dan shalat gerhana matahari, ini adalah pendapat yang
menyelisihi sunnah; karena telah tsabit dari Rasulullah beliau shalat sunnah
berjamaah di luar bulan Ramadhan baik malam maupun siang hari, dan dilakukan
juga oleh sejumlah sahabat beliau”. (22)
Adapun pendalilan dengan
sabda Rasulullah :
اجْعَلُوا آخِرَ صَلَاتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرًا.
“Jadikanlah akhir shalat
malam kalian witir”. (23)
Sehingga sholat ta’qiib
menjadi makruh karena terjadi sholat lagi setelah witir, maka bisa dijawab
bahwa perintah beliau di sini adalah menunjukkan sunnah bukan wajib, karena
yang shahih dari sunnah Nabi baik perbuatan maupun ucapan beliau adalah membolehkan
shalat setelah melakukan witir dan sudah kita sebutkan di atas.
Fatwa Ulama kontemporer
yang membolehkan at-Ta’qiib
1. Lajnah
Ad-Daimah dan didalamnya ada Syaikh Ibnu Bāz pernah ditanya tentang masalah ini
dan jawabannya adalah boleh.
Diperbolehkan membagi shalat qiyam Ramadhan menjadi dua bagian: satu bagian
dilakukan di awal malam dan diringankan sebagai shalat tarawih dan bagian kedua
dikerjakan di akhir malam dan dipanjangkan sebagai shalat tahajjud; karena Nabi
di sepuluh akhir Ramadhan melakukan tahajjud lebih semangat dan mencari
keutamaan malam lailatul qadr. Adapun yang mengatakan tidak boleh, maka
menyelisihi petunjuk nabi dan para salaf. (24)
2. Syaikh
Utsaimin ketika ditanya beliau menjawab : Yang saya pandang kuat adalah shalat
bersama imam sampai salam, saat imam salam witir ia tambah satu rakaat lagi
supaya witir tersebut berubah menjadi genap, lalu witir bersama imam kedua di
akhir malam. Dengan demikian dia telah menerapkan sabda Rasulullah :
“Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir”. (25)
3. Syaikh
Shalih Al-Fauzan ketika ditanya juga menjawab dengan boleh dan tidak perlu
mengulang witir lagi, tapi beliau berpendapat melakukan dua witir lebih utama,
karena yang lebih utama menurut beliau adalah mengikuti imam. (26)
Catatan
kaki:
1.
Al-Mughni 2/125
2.
Mushannaf Ibni Abi Syaibah no 7732
3.
Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 7734
4.
Bada’i Shana’i 3/156. Bahkan At-Tsauri berkata التَّعْقِيْبُ
مُحْدَثٌ “At-Ta’qiib adalah muhdats” (Fathul Baari,
Ibnu Rojab 9/175)
5.
Mushonnaf Ibni Abi Syaibah no 7733
6.
Lihat Fathul Bari, Ibnu Rajab 9/175
7.
Imam Tirmidzi dalam Sunan beliau mengatakan :
لأَنَّهُ قَدْ رُوِيَ مِنْ غَيْرِ وَجْهٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ صَلَّى بَعْدَ الوِتْرِ
“telah
diriwayatkan lebih dari satu riwayat bahwa Nabi shalat setelah witir”,
Kemudian
beliau menyebutkan riwayat Ummu Salamah tentang sholat Nabi setelah witir lalu
beliau berkata :
وَقَدْ رُوِيَ نَحْوُ هَذَا، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، وَعَائِشَةَ،
وَغَيْرِ وَاحِدٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Dan
telah diriwayatkan semacam ini dari Nabi oleh abu umamah, aisyah dan lainnya”.
8. HR. Muslim no 1773, Ibnu Majah no 1191, Nasa’i no 1315.
9.
Sama dengan hadits sebelumnya.
10.
HR. Muslim no 738, Abu Dawud no 1352, Nasa’I no 1780, Ibnu Majah no 1196
11.
Al-Majmu’ 4/16. An-Nawawi menjelaskan juga bahwa sholatnya Nabi shallallahu
álaihi wasallam 2 rakaát setelah witir bukanlah menunjukan disunnahkan sholat 2
raka’at setelah witir sehingga seseorang selalu mendawamkannya, karena yang
Nabi anjurkan adalah menjadikan sholat witir sebagai penutup. Akan tetapi
maksud Nabi adalah untuk menjelaskan bahwa setelah witir masih boleh melaksanakan
sholat sunnah (lihat al-Majmuu’ 4/17, lihat juga Syarh Shahih Muslim, Imam
Nawawi 5/21)
12.
HR. Bukhari no 998 dan Muslim no 749
13.
HR. Tirmidzi no 470, Nasai no 1679 dan Abu Dawud no 1439, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam As-Shahih Al-Jami’ no 7567
14.
Al-Muhalla 2/92-93
15.
HR. ad-Darimi no 1584, Thahawi no 2011, Ibnu Hibban no 2577, Ibnu Khuzaimah
dalam shahihnya no 1106. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah
4/646
16.
Shahih Ibnu Khuzaimah 2/169
Asy-Syaikh
al-Albani berkata mengomentari hadits ini yang menunjukan taroju’ (berubahnya
pendapat) beliau :
وهذه فائدة هامة، استفدناها من هذا الحديث، وقد كنا من قبل مترددين
في التوفيق بين صلاته صلى الله عليه وسلم الركعتين وبين قوله: ” اجعلوا آخر صلاتكم
بالليل وترا “، وقلنا في التعليق على ” صفة الصلاة ” (ص 123 – السادسة): ” والأحوط
تركهما اتباعا للأمر. والله أعلم “.
وقد تبين لنا الآن من هذا الحديث أن الركعتين بعد الوتر ليستا من
خصوصياته صلى الله عليه وسلم، لأمره صلى الله عليه وسلم بهما أمته أمرا عاما، فكأن
المقصود بالأمر بجعل آخر صلاة الليل وترا، أن لا يهمل الإيتار بركعة، فلا ينافيه
صلاة ركعتين بعدهما، كما ثبت من فعله صلى الله عليه وسلم و أمره. والله أعلم.
“ini adalah faidah penting yang bisa kami ambil faidah dari
hadits ini, karena sejak dahulu kami bimbang dalam menggabungkan antara beliau
shalat dua rakaat dan sabda beliau “Jadikanlah akhir shalat malam kalian witir”
dan dahulu kita katakan dalam ta’liq (Sifat Shalat hlm. 123 –cetakan ke 6) :
yang paling hati-hati adalah meninggalkan dua rakaat tersebut dalam rangka
mengikuti perintah beliau.
Dan
sekarang sudah terang bagi kami dari hadits ini bahwa dua rakaat setelah witir
bukanlah kekhususan beliau, karena beliau memerintahkan umatnya melakukan dua
rakaat tersebut dengan perintah umum, seolah-olah yang dimaksud dengan perintah
menjadikan akhir shalat malam witir adalah agar tidak mengabaikan witir dengan
satu rakaat, maka tidak ada lagi pertentangan dengan shalat dua rakaat
setelahnya, sebagaimana yang telah shahih dari perbuatan dan perintah beliau”
(As-Shahihah 4/647)
17.
Sebagaimana penjelasan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi 2/349
18.
HR. Abu Dawud no 1377 dan Nasa’i no 1364, dishahihkan syaikh Al-Albani dalam
shahih wa dhaif Sunan Abu Dawud.
19.
HR. Abu Dawud no : 1441, An-Nasa’I no : 1679, Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya no
: 1101, Ibnu Hibban dalam shahihnya. Dishahihkan Ad-Dhiya’ Al-Maqdisi dalam
Al-Ahadits Al-Mukhtarat 8/156, Syaikh Al-Albani dalam shahih abu dawud 5/184.
20.
Aisyah berkata :
كَانَ النَّاسُ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ فِي رَمَضَانَ
أَوْزَاعًا، فَأَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَضَرَبْتُ لَهُ حَصِيرًا، فَصَلَّى عَلَيْهِ
“Dahulun
orang-orang sholat di Masjid Nabawi di bulan Ramadhan dengan terpencar-pencar.
Maka Nabipun memerintahkan aku lalu aku membentangkan baginya karpet maka
beliaupun sholat di atasnya” (HR Abu Dawud no 1347 dan dihasankan oleh
Al-Albani)
21. Dalam Shahih Al-Bukhari no 21010, Abdurrahman bin Ábdin
al-Qoori berkata
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ
مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي
بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: «إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ
عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ» ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى
أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ
“Aku
keluar bersama Umar bin al-Khottob radhiallahu ánhu pada suatu malam di bulan
Ramadhan menuju Masjid (An-Nabawi). Ternyata orang-orang sholat dengan
terpencar-pencar. Seseorang sholat sendirian, dan seseorang sholat dan diikuti
oleh sekelompok orang. Maka Umar berkata, “Menurutku seandainya aku kumpulkan
mereka di atas satu Qori tentu lebih baik”. Lalu Umarpun bertekad, kemudian beliau
mengumpulkan mereka diimami oleh Ubay bin Kaáb”.
22. Mukhtashar qiyamul lail, Al-Marwazi hlm. 212
23.
HR. Bukhari no 998 dan Muslim no 749
24.
Fatwa Lajnah Daimah, Bagian Kedua 6/81-83 fatwa no 19854, silahkan baca juga
Fatwa Lajnah Daimah, Bagian Kedua 6/94-95 pertanyaan kedua dari fatwa no 18638
25.
Majmu’ Fatawa wa Rasail Syakh Utsaimin 14/126, lihat juga di kitab yang sama
14/190-191, 14/125-126, 14/206-208
26.
Majmu’ Fatawa Syaikh Shalih bin Fauzan 2/434-435
==========================
Comments
Post a Comment