Pemimpin Zalim yang Berdusta Tak Perlu Dita'ati
Sesuai dengan tujuan kepemimpinan itu
sendiri, seorang pemimpin memiliki tanggung jawab besar dalam mengatur
kemaslahatan umat. Selain dituntut untuk menjaga eksistensi agama, tugas
seorang pemimpin semakin berat ketika ia harus menjalankan roda pemerintahannya
sesuai dengan syariat Islam. Besarnya tanggung jawab tersebut, menjadikan umat
Islam diwajibkan untuk senantiasa taat kepada para pemimpin dan membantu
kinerja mereka dalam mewujudkan nilai-nilai kebaikan tersebut. Rasulullah SAW
bersabda:
مَنْ
بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ
مَا اسْتَطَاعَ ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
“Siapa yang berbaiat kepada imam lalu
dia dia menyerahkan tangannya dan ketulusan hatinya, hendaknya dia mentaatinya
semampunya. Jika datang yang lain (mengaku pemimpin) maka penggallah
lehernya.” (HR. Muslim, no.
1844)
Imam Abu Ya’la berkata, “Jika seorang
imam telah menunaikan hak-hak umat, maka wajib bagi rakyat untuk memberikan dua
hak kepadanya, yaitu; ketaatan dan pertolongan. Hak tersebut tetap harus dijaga
selama pemimpin tersebut tidak melakukan sesuatu yang dapat membatalkan
kedudukannya.” (Ahkamu Sulthaniyah, hal: 28)
Tidak cukup hanya menaati kebijakannya
saja, Islam juga memerintahkan umatnya agar senantiasa membantu pemimpin ketika
ada sekelompok orang yang hendak merampas kedudukannya. Dalam salah satu
firmannya, Allah ta’ala memerintahkan untuk memerangi pemberontak (ahlul
bughat) bilamana mereka merebut kekuasaan pemimpin yang ada. Allah ta’ala
berfirman:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap
orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka
bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya)…” (QS. Al-Maidah: 33)
Selain itu, umat Islam juga
dituntut untuk selalu menghormati para pemimpin, berdo’a untuk mereka,
serta tidak meremehkan atau merendahkan kedudukannya. Sikap yang seperti ini
bisa kita lihat dalam kehidupan ulama salafus shaleh ketika menyikapi para
penguasa pada zamannya.
Sebuah riwayat dari Ziyad bin Kasib
menceritakan, “Saya bersama Abu Bakrah r.a sedang berada di hadapan
mimbar Ibnu Amir, saat itu ia sedang berkhutbah dengan menggunakan pakaian yang
tipis. Lalu Abu Bilal berkata, ‘Perhatikkan amir kita ini, ia
menggunakan pakaian fasik. Abu Bakrah pun menimpali.
‘Diam kamu! Saya telah mendengar dari Rasulullah saw bersabda,
‘Barangsiapa yang menghina pemimpin di dunia maka Allah pasti akan
menghinakannya’.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan Al-Baihaqi)
Huzaifah bin Yaman radhiyallahu
‘anhu berkata, “Tidaklah sekelompok kaum mendatangi khalifah Allah di
muka bumi dengan tujuan untuk menghinanya maka Allah pasti akan menghinakan
mereka sebelum ajal menjemput mereka.” (Syarhus Sunnah: 10/54)
Semantara
Imam Fudhail bin Iyadh berkata, “Seandainya aku memiliki suatu doa mustajab
(yang pasti dikabulkan) niscaya akan aku peruntukkan untuk penguasa, karena
baiknya seorang penguasa akan membawa kebaikan pula bagi negeri dan rakyat.” (Bidayah
Wan Nihayah, 10/199)
Bagaimana dengan Pemimpin yang Zalim?
Semua sepakat jika seluruh sikap di
atas hanya diperuntukkan kepada imam kaum muslimin yang berlaku adil kepada
rakyatnya. Rakyat wajib membantu kinerja pemerintahan dalam mewujudkan
kemaslahatan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Namun
bagaimana jika pemimpin yang berkuasa berlaku zalim? Masihkan kita
diperintahkan untuk menaatinya?
Sebelum masuk kepada pertanyaan
tersebut, perlu kita pahami bersama bahwa pemimpin yang dimaksud di sini adalah ulil
amri yang memimpin kaum muslimin dan menjalankan roda pemerintahannya
dengan hukum Islam. Sebab, batas ketaatan kepada pemimpin adalah ketika ia
tetap berpegang kepada prinsip-prinsip ushul dalam beragama. Di antara tandanya
selain dia mengerjakan shalat, ia juga menjalankan hukum Allah dalam memutuskan
setiap perkara yang dihadapinya.
Rasulullah saw bersabda:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَإِنْ أُمِّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
مُجَدَّعٌ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا مَا أَقَامَ لَكُمْ كِتَابَ اللَّهِ
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Allah meskipun kaliau dipimpin oleh hamba sahaya dari habasyi, dengar
dan taatilah dia selama memimpin kalian dengan kitabullah.” (HR. Tirmidzi, no. 1706, Nasa’i,
7/154, Ibnu Majah, no. 2328, Ahmad, 6/402 dan Al-Hakim, 4/206, ia berkata
hadis shahih dan dishahihkan juga oleh Al-Albani)
Lantas bagaimana dengan ulil amri yang
fasik, atau pemimpin muslim yang berbuat zalim kepada rakyatnya?
Para ulama ahlus sunnah sepakat bahwa
selama pemimpin tersebut undang-undang syariat Islam, maka umat wajib
menaatinya. Meskipun dalam beberapa hal ia tidak berlaku adil atau berbuat
zalim kepada rakyatnya. Terhadap sikapnya yang zalim tersebut, umat Islam
diperintahkan untuk bersabar. Dan tetap berusaha untuk memperbaikinya. Yaitu
dimulai dengan menasehatinya secara diam-diam, hingga pada taraf bersuara
lantang dalam rangka mencegah kemungkaran di hadapan penguasa tersebut.
Sikap Para Ulama terhadap Pemimpin
Zalim
Pada dasarnya, Islam memerintahkan
umatnya untuk saling membantu dalam kebaikan dan sama-sama mengingkari setiap
kemungkaran yang ada. Atas dasar inilah kemudian Imam Malik rahimahullah berpendapat
bahwa umat islam tetap harus menaati ulil amri yang berlaku zalim. Akan tetapi,
ketika ada sekelompok orang yang memberontak dan ingin merebutkan kekuasaannya
maka umat Islam tidak boleh membantunya, karena pemimpin tersebut zalim.
Seseorang bertanya kepada Imam Malik,
“Apakah boleh membantu pemimpin dalam rangka memerangi pemberontakan?”
Beliau
menjawab, “(ya, boleh) Jika yang dibantu tersebut khalifah seperti Umar bin
Abdul Aziz.”
Orang itu kembali bertanya lagi, “Jika
tidak seperti Umar bin Abdul Aziz?”. Maka beliau menjawab, “Biarkanlah
kezaliman mereka dibalas oleh Allah dengan kezaliman. Kemudian masing-masing di
antara mereka juga akan diberikan balasan.” (Abdul Aziz
Asy-Syinawi, Al-Aimmah Al-Arba’ah: Hayatuhum Mawaqifuhum Ara’ahum,
Terj: Abdul Majid, Lc. dkk, Hal: 235, Cet: Beirut Publishing, Jakarta
Timur)
Dalam sumber lain disebutkan, Imam
Malik menjawab, “Kalau pemimpinnya seperti Umar bin Abdul Aziz maka wajiblah
manusia membantunya dan berperang bersamanya. Tapi kalau tidak seperti itu,
maka biarkan saja apa yg dituntut dari mereka. Allah pasti akan membalas orang
zalim dengan tangan orang zalim juga, lalu Allah akan membalas keduanya.” (lihat: Syarah
Al-Kharsyi ‘Ala Mukhtashar Khalil, 8/60).
Pendapat tersebut juga disepakati oleh Imam Hasan Al-Bashri, saat ditanya mengenai orang-orang yang memberontak kepada Abdul Malik bin Marwan, beliau menjawab, “Jangan bersama mereka dan juga mereka.” awaban tersebut menggambarkan bahwa ketika seorang pemimpin sudah tidak mendengarkan arahan para ulama, tidak berlaku adil dan tetap berbuat zalim kepada rakyatnya, maka para ulama wajib mengingkarinya. Pada saat itu, menjahui diri dari penguasa menjadi sebuah keharusan untuk menyelamatkan agama. Nabi SAW melarang untuk mendekati mereka, apalagi membenarkan tindakan zalim yang mereka lakukan.
Pendapat tersebut juga disepakati oleh Imam Hasan Al-Bashri, saat ditanya mengenai orang-orang yang memberontak kepada Abdul Malik bin Marwan, beliau menjawab, “Jangan bersama mereka dan juga mereka.” awaban tersebut menggambarkan bahwa ketika seorang pemimpin sudah tidak mendengarkan arahan para ulama, tidak berlaku adil dan tetap berbuat zalim kepada rakyatnya, maka para ulama wajib mengingkarinya. Pada saat itu, menjahui diri dari penguasa menjadi sebuah keharusan untuk menyelamatkan agama. Nabi SAW melarang untuk mendekati mereka, apalagi membenarkan tindakan zalim yang mereka lakukan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Akan ada setelahku nanti para pemimpin
yang berdusta. Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui)
kebohongan mereka dan mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari
golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak bisa mendatangi telaga
(di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (penguasa dusta)
itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung
kedhaliman mereka, maka dia adalah bagian dari golonganku, dan aku dari
golongannya, dan ia akan mendatangi telaga (di hari kiamat).”(HR. Ahmad dan An-Nasa’i)
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah
r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ
أَبْغَضَ القُرَاءِ إِلَى اللهِ تَعَالَى الَّذِيْنَ يَزُوْرُوْنَ الْأُمَرَاءَ
“Sesungguhnya qurra’ (ulama,
red) yang paling dibenci Allah ialah yang mendatangi penguasa.” (HR. Ibnu Majah)
Maka tidak heran jika kemudian salah
seorang sahabat nabi bernama Muhammad bin Maslamah bertutur, “Lalat di atas
kotoran lebih baik daripada ulama yang berada di pintu penguasa.” Na’udzubillah
min dzalik!Semoga kita dihindarkan dari pengaruh ulama su’ yang membenarkan
kezaliman penguasa.
Pemerintahan zhalim yang telah nyata-nyata
menyalahi (menentang) kitabu Allah Dan sunnah Rasulullah SAW, TIDAK PERLU
DITA'ATI oleh ummat Islam.
Pada suatu hari di saat Syaikhul Islam ibnu
Taimiyyah sedang mengobarkan semangat jihad penduduk Syam dalam menghadapi
pasukan Mongol dari Yaman di bawah pimpinan Qadzan yang notabene nya mereka semua
telah memeluk Islam. Maka datanglah beberapa Ulama dari Yaman yang sengaja dikirim
oleh Qadzan untuk menghujjah ibnu Taimiyyah. Berkatalah ulama2 ini: "Wahai
Syaikh yang alim, kenapa engkau mengobarkan semangat rakyat untuk memerangi
saudara mereka? Bukankah Mongol sudah memeluk islam? Dan kenapa pula engkau
menyuruh umat islam memberontak pada pemimpin mereka, bukankah itu ciri ciri
khawarij yang memberontak pada Ali? Sebenarnya anda ini ulama terdepan dari
mazhab Hanbali. Tapi kenapa pula engkau menyelisi Imam Ahmad, bukankah Imam
Ahmad telah melarang rakyat Irak (dahulu) memberontak pada Al Makmun waktu
itu?" Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah
menjawab: "Katakan padaku, adakah Al Makmun menetapkan suatu hukum di luar
konteks Kitabullah dan Sunnah?" Ulama - ulama Yaman menjawab: "Demi
Allah, Tidak"
Syaikhul Islam bertanya lagi: "Adakah Al
Makmun membuat suatu kitab tentang hukum hukum dasar negara dan kehidupan kaum
muslimin selain dari apa yg telah ia dapatkan dari kitabullah dan
Sunnah..?" Ulama Yaman menjawab; "Demi Allah, tidak"
Kemudian Beliau bertanya kembali: "Bila
kalian mengakui bahwa Al Makmun tidak pernah membuat suatu hukum yg menyelisihi
Al Quran dan Assunnah? Terus kenapa kalian menyamakan Al Makmun yg senantiasa
menjaga dan memelihara syariat Allah dan Sunnah Rasulullah dengan seorang
Qadzan, raja Mongol yg jelas sudah keterangan dan bukti2 pada kalian bahwa ia
telah memperlakukan suatu hukum di luar hukum agama ini yg telah tersusun dlm
satu kitab bernama 'Ilyasiq'..?"
Beliau kemudian melanjutkan: "Ketahuilah
bahwa Imam Ahmad (dahulu) melarang rakyat Irak memberontak pada Al Makmun
karena Al Makmun adalah Khalifah yg sah di tunjuk sepeninggal ayahnya Harun,
dan ia tidak pernah membuat suatu kerusakan melainkan ia hanya tersesat dan
terpelintir dalam akidah Muktazilah yg dengan nya menganggap Al Quran itu
sebagai Makhluk, sedang ia sendiri sangat menjunjung tinggi apa yg ada dalam
kitabullah dan sunnah tanpa ia merobah satupun yg ada di dalamnya melainkan ia
selalu menerapkannya dalam kehidupan
rakyatnya. Sedangkan sekarang, kerusakan telah meraja lela di muka bumi akibat
ulah dari bangsa Mongol yg bengis dan jahil serta mereka berani menetapkan
suatu kebijakan (undang - undang hukum buatan) yg mereka paksakan pada kita.
Padahal kebijakan yg telah mereka buat sangat jelas menyelisihi apa yg ada
dalam kitabullah dan sunnah.
Apa yang menghalangi mereka untuk menerapkan
hukum Allah sedang mereka adalah muslim..? Demi Allah tidak lain melainkan
mereka sudah di kuasai oleh Iblis si pendurhaka pada Adam untuk menjauhkan dan
menyesatkan kita dari agama Allah yg lurus. Karena itulah kita harus melawan
kemungkaran ini supaya kemurkaan Allah tidak menimpa kita karena sikap diam
kita.."
Setelah mendengar penjelasan Ibnu Taimiyyah,
maka Ulama ulama Yaman pun membenarkannya dan mereka pun menetap di Syam tanpa
kembali lagi ke Yaman. Bersama sama mereka mengobarkan semangat perang penduduk
Syam melawan tentara Mongol hingga akhir nya Allah pun memberi pertolongan pada
penduduk Syam dengan kemenangan.
(Dikutip dari berbagai sumber, diantaranya dari bagian Kitab Bidayah wa Nihayah)
Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF . Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment