Menyambung Silaturrahmi
Rasulullah SAW sangat
mewasiatkan umatnya untuk tetap menjaga hubungan dan melanggengkan
silaturahim. Berikut keajaiban-keajaiban
silaturahim yang utama. Kenapa ajaib? Karena di balik silaturahim ada
‘tangan ghaib’ yang ikut melanggengkannya. Ya, tangan Allah ada di antara
mereka yang saling menggenggam silaturahim.
Silaturahim adalah bagian dakwah
sosial. Jika diniatkan karena Allah SWT, insya Allah akan membawa
pelakunya menjadi ahli syurga. Silaturahim yang utama adalah dengan
keluarga dan saudara dekat. Pupuk dan jaga agar jangan sampai
retak. Kadang ada yang bisa menjaga hubungan baik dengan orang lain tapi
dengan saudara sekandung malah jauh bahkan bermusuhan akibat terjangkiti
penyakit iri dengki. Semoga Allah melindungi kita dari hal demikian.
Aamiin
Islam
adalah agama yang menganjurkan umatnya untuk senantiasa berbuat baik. Amalan
dalam islam tidak hanya berupa ibadah seperti shalat baik shalat wajib
maupun shalat sunnah.
puasa, zakat dan
sebagainya melainkan juga tersenyum, dan menjalin tali silaturahmi. Menjalin
silaturahmi adalah salah cara mewujudkan ukhuwah islamiyah ( baca ukhuwah
islamiyah insaniyah dan wathaniyah) dan dapat dilakukan dengan
cara mengunjungi sanak keluarga dan saudara. Hikmah Silaturahmi, Selain membuat orang lain yang kita
kunjungi merasa senang, silaturahmi memiliki banyak keutamaan . Berikut adalah
keutamaan menyambung tali silaturahmi dalam islam :
1
Merupakan konsekuensi iman kepada Allah SWT
Silaturahmi
adalah tanda-tanda seseorang beriman kepada Allah SWT ( baca manfaat
beriman kepada Allah SWT dan fungsi Iman )
sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata:
Rasulullah saw bersabda:
” مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ, وَمَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ “
“Barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia memuliakan
tamunya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maha
hendaklah ia menyambung hubungan silaturahmi”
Jika mengaku beriman kepada Allah, maka
perbanyaklah silaturahim, Insya Allah kita akan diridhai-Nya dalam menjalani
kehidupan. Siapa yang ingin hidup disukaiNya?. Sambungkan
silaturahim terutama kepada orang-orang yang mungkin saja ingin memutuskan
hubungan kepada kita.
Dari Abu Hurairah RA. Rasulullah SAW
bersabda, “Barangsiapa yang beriman pada Allah dan hari
akhirat maka lakukanlah silaturahmi (HR. Bukhari dan
Muslim).
2.
Dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizqinya
Orang
yang suka mengunjungi sanak saudaranya serta menjalin silaturhami akan
dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya. Sebagaimana hadist Rasullullah
SAW yang berbunyi
” مَنْ
أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ
رَحِمَهُ “
“Barangsiapa
yang senang diluaskan rizqinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia
menyambung hubungan silaturahmi”
Alangkah indahnya ukhuwah yang
berlandaskan cinta kepada Allah di mana antara satu sama lain saling
membutuhkan dan mendoakan, bahkan tidak hanya memperpanjang umur biologis juga
umur historisnya, meski sudah meninggal akan selalu dikenang oleh
teman-temannya.
3.
Terhubung dengan Allah SWT
Menyambung
tali silaturahmi sama dengan menyambung hubungan dengan Allah SWT sebagaimana
disebutkan hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata
sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:
” إَنَّ
اللهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ
فَقَالَتْ:هَذَا مَقَامُ الْعَائِذُ بِكَ مِنَ الْقَطِيْعَةِ. قَالَ: َنعَمْ,
أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكَ وَأَقْطَعَ مَنْ َقطَعَكَ؟ قَالَتْ:
بَلَى. قَالَ: فَذَلِكَ لَكَ ”
“Sesungguhnya
Allah swt menciptakan makhluk, hingga apabila Dia selesai dari (menciptakan)
mereka, rahim berdiri seraya berkata: ini adalah kedudukan orang yang
berlindung dengan-Mu dari memutuskan. Dia berfirman: “Benar, apakah engkau
ridha jika Aku menyambung orang yang menyambung engkau dan memutuskan orang
yang memutuskan engkau?” Ia menjawab: iya. Dia berfirman: “Itulah untukmu”
4.
Penyebab Masuk surga dan dijauhkan dari neraka
Balasan
orang yang menyambung tali silaturahmi adalah didekatkan dengan surga dan
dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana yang tertera dalam hadist berikut ini :
” تَعْبُدُ
اللهَ وَلاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ
وَتَصِلُ الرَّحِمَ “
“Engkau
menyembah Allah swt dan tidak menyekutukan sesuatu dengan-Nya, mendirikan
shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturahmi” (HR Bukhari dan
Muslim)
Dan
dalam satu riwayat:
” إِنْ
تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُهُ بِهِ دخَلَ َالْجَّنََّةَ “
“Jika
dia berpegang dengan apa yang Kuperintahkan kepadanya niscaya ia masuk surga.”
“Silaturahmi itu tergantung di ‘Arsy dan
berkata Barangsiapa yang menyambungku maka Allah akan menyambung hubungan
dengannya, dan barangsiapa yang memutuskanku maka Allah akan memutuskan hubungan
dengannya”(HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata
seorang bertanya, “Wahai Rasulullah, posthulah saya satu amalan yang dapat
memasukkan saya ke dalam syurga. “ beliau menjawab, “Menyembah Allah dan tidak
menyekutukan-Nya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahim”.
5.
Merupakan bentuk Ketaatan kepada Allah SWT
Menyambung
tali silaturahmi adalah salah satu hal yang diperintahkan oleh Allah SWT maka dengan
menjalankan perintahnya maka kita taat kepada Allah SWT. Menjalin silaturahmi
juga merupakan salah satu cara
meningkatkan akhlak terpuji.
Allah
swt berfirman:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَآأَمَرَ اللهُ
بِهِ أَن يُوصَلَ وَيَخشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
“dan
orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk” (QS. Ar-Ra’d :21)
6.
Pahalanya seperti memerdekakan budak
Sebuah
hadist meriwatkan bahwa dari Ummul mukminin Maimunah binti al-Harits
radhiyallahu ‘anha, bahwasanya dia memerdekakan budak yang dimilikinya dan
tidak memberi kabar kepada Nabi saw sebelumnya, maka tatkala pada hari yang
menjadi gilirannya, ia berkata: Apakah engkau merasa wahai Rasulullah bahwa
sesungguhnya aku telah memerdekakan budak (perempuan) milikku? Beliau bertanya:
“Apakah sudah engkau lakukan?” Dia menjawab: Ya. Beliau bersabda:
” أَمّا
إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ ِلأَجْرِكِ “
“Adapun
jika engkau memberikannya kepada paman-pamanmu niscaya lebih besar pahalanya
untukmu.”
7.
Bersedekah terhadap keluarga sendiri tidak seperti sedekah terhadap orang lain
Mengunjungi
sanak saudara dan bersedekah adalah salah satu perbuatan mulia dan memiliki
faedah yang besar. Bersedekah kepada keluarga lebih diutamakan daripada
bersedekah kepada orang lain dan bisa menghindari dari perbuatan riya.
Bersedekah kepada keluarga dan orang lain kemudian menceritakannya atau riya
adalah salah satu dari hal-hal yang
menghapus amal ibadah sedekah tersebut
Silaturahmi merupakan kata majemuk yang
berasal dari akar kata bahasa Arab, shilat dan rahim. Kata shilat berakar dari
kata washal, yang berarti menyambung atau menghimpun. Sedangkan rahim awalnya
berarti kasih-sayang, kemudian berkembang sehingga berarti peranakan atau
kandungan, sebab anak yang dikandung senantiasa mendapat curahan kasih sayang.
Rasulullah
SAW mendefinisikan orang yang bersilaturahmi dengan sabda beliau, “Bukanlah
bersilaturahmi orang yang membalas kunjungan atau pemberian, tetapi yang
bersilaturahmi adalah yang menyambung apa yang telah putus.” (HR. Bukhari).
Firman Allah
dalam Al-Qur’an: “Maka apabila telah ditunaikan shalat, bertebaran kamu di muka
bumi, dan carilah karunia Allah.” (QS. Al-Jumu’ah:10) Sahabat Anas r.a berkata:
bersabda Rasulullah SAW, “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan ditunda
ajalnya hendaknya menyambung silaturahmi (menghubungi famili).” (HR.
Bukhari-Muslim)
Silaturahmi erat hubungannya dengan bertebaran di
muka bumi. Namun demikian di zaman sekarang bertebaran di muka bumi tidak
selalu bersifat fisik. Dengan kemajuan teknologi manusia bisa bersilaturahmi
tanpa harus bertatap muka langsung, cukup dengan telepon, SMS, e-mail,
internet, dan juga surat tentunya. Sarana-sarana tadi telah memberi kemudahan
kepada manusia untuk menghemat tenaga dan waktunya dalam bersilaturahmi.
Mengapa silaturahmi bisa
melapangkan kekayaan seseorang? Karena Allah selalu menggunakan hukum
sebab-akibat di muka bumi ini termasuk cara pemberian kekayaan-Nya kepada
manusia. Kekayaan itu datang kepada manusia yang secara fisik dapat dinalar
oleh manusia. Tidak mungkin uang akan muncul tiba-tiba di tangan seseorang.
Dibutuhkan jalan untuk mengalirnya kekayaan Allah itu, dan jalan utama adalah
tali silaturahmi. Orang modern menggunakan istilah networking. Siapa yang
memiliki jaringan sangat luas maka kekayaannya akan semakin mudah. Jadi,
sebenarnya mudah saja, siapa yang ingin dilapangkan kekayaannya maka
banyak-banyak menyambung tali silaturahmi, dengan cara banyak-banyak
fantashiruu fil arldh, yaitu bertebaran di muka bumi.
Bersilaturahmi
selain merupakan aktivitas sehari-hari yang memiliki muatan ibadah, juga
bermanfaat untuk memperbanyak relasi, dan menambah usia serta menambah rezeki.
Logika mana yang akan digunakan bahwa silaturahmi akan menambah kekayaan,
menambah umur?
1). Ketika
seseorang rajin bersilaturrahmi, baik dengan famili, tetangga dekat, atau
saudara seiman maupun dengan mereka yang hubungannya hanya sebatas teman, maka
dengan sendirinya ia akan banyak memiliki atau sahabat. Manusia adalah makhluk
yang dijamin tidak akan betah hidup sendiri, teman dan sahabat akan membuat
terpenuhinya kebutuhan batin berupa kerinduan akan hangatnya nilai-nilai
persahabatan dan perkawanan. Tentu bukan hanya itu, karena ketika satu sahabat
ada sebuah problem, katakanlah perlu uang untuk suatu keperluan, maka di
antara sahabat tersebut akan datang dengan bantuannya. Bagi sahabat yang
memiliki problem lain seperti susah jodoh, belum memiliki pekerjaan dan
masalah-masalah lain, tentu teman, sahabat, dan saudara memiliki banyak
kemungkinan untuk berperan. Di sinilah, di antara makna silaturahmi mempermudah
datangnya rezeki. Adapun rezeki yang langsung jika bertandang ke tempat teman
atau saudara, biasanya makanan apa pun yang dimiliki orang tersebut akan
diberikannya.
2).
Memperpanjang umur menurut arti kuantitatif. Bisa berarti umurnya bertambah, tapi
menurut arti kualitatif bisa juga berarti nilai-nilai kemakmuran dan ibadahnya
yang mengalami grafik menanjak. Umur yang bertambah boleh jadi karena orang
tersebut sehat lahir batin yang antara lain faktornya sering berjalan sehingga
secara fisik ia sering olah raga, bertemu, dan bertatap muka dengan teman dan
sahabat, sehingga banyak menyerap ilmu, kesehatan, dan pesan-pesan bijak untuk
menjalani hidup dan kehidupan.
3). Iman
Syafi’i pernah menulis sebuah bait puisi yang terjemahannya berbunyi: berjalanlah,
sebab berjalan memiliki lima manfaat menghilangkan stres dan kesedihan,
menambah rezeki, bertambahnya ilmu pengetahuan dan pengalaman mengenal etika
dan norma sehingga akan semakin santun serta akan memperbanyak teman dan
relasi.”
4) Mewujudkan keluarga sakinah, Keluarga sakinah bisa terwujud dengan selalu
mengajak seluruh anggota keluarga untuk berkunjung ke keluarga besar atau
sahabat karib Anda. Hal ini akan membuat anak-anak Anda mengenal dan akrab
kepada keluarga besar. Kelak jika Anda sudah tiada, merekalah yang akan menjaga
silaturahim Anda dengan keluarga dan sahabat-sahabat Anda
Luar biasa
bukan? Nah sekarang Anda sudah tahu kan manfaat silaturahmi, untuk itu terus
jalin silaturahmi dengan semua orang yang Anda kenal. Jadwalkan untuk
berkunjung ke rumah mereka jika ada waktu luang atau minimal sapalah mereka dan
tanyakan kabar melalui telepon atau media sosial. Jagalah tali persaudaraan
itu. Karena satu muslim dengan muslim lainnya adalah bersaudara!
Silaturahmi
artinya tali persahabatan atau tali persaudaraan, sedangkan bersilaturahmi
yaitu mengikat tali persahabatan. Jadi, untuk mengikat tali persahabatan itu
kapan saja waktunya, dan tidak boleh diputuskan, harus dilanjutkan oleh anak
dan keturunannya.
Kita pun sebagai
umat Islam telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk menjaga hubungan
silaturahmi (Q.S. An-Nisaa: 1). Sebagai umat Islam, perintah Allah SWT itu
harus dipatuhi. Orang yang mematuhi perintah Allah SWT itu adalah orang yang
bertakwa. Takwa artinya terpeliharanya sifat diri untuk tetap taat dan patuh
melaksanakan perintah Allah SWT serta menjauhi segala apa yang dilarang-Nya.
Kini dapat kita
mengerti, betapa pentingnya silaturahmi dalam Islam. Maka melihat pentingnya
silaturahmi tersebut, berikut merupakan 10 manfaat Silaturahmi menurut Abu
Laits Samarqandi, yaitu:
1. Mendapatkan
ridho dari Allah SWT.
2. Membuat orang
yang kita dikunjungi berbahagia. Hal ini amat sesuai dengan sabda Rasulullah
SAW, yaitu “Amal yang paling utama adalah membuat seseorang berbahagia.”
3. Menyenangkan
malaikat, karena malaikat juga sangat senang bersilaturahmi.
4. Disenangi oleh
manusia.
5. Membuat iblis
dan setan marah.
6. Memanjangkan
usia.
7. Menambah banyak
dan berkah rejekinya.
8. Membuat senang
orang yang telah wafat. Sebenarnya mereka itu tahu keadaan kita yang masih
hidup, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka merasa bahagia jika
keluarga yang ditinggalkannya tetap menjalin hubungan baik.
9. Memupuk rasa
cinta kasih terhadap sesama, meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa
kekeluargaan, mempererat dan memperkuat tali persaudaraan dan persahabatan.
10. Menambah
pahala setelah kematiannya, karena kebaikannya (dalam hal ini, suka
bersilaturahmi) akan selalu dikenang sehingga membuat orang lain selalu
mendoakannya.
Marilah
kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada
kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah
tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang
dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak
perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang
sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun
kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan
rahim ataupun nasab.
Banyak
cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berziarah
(berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain.
Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah
berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam
membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diproleh dari
Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam
surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan
dengan Allah di dunia dan akhirat.
Disebutkan
dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ
اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ
فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟
فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ
شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ
فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Bahwasanya
ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai
Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke
dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi
hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi
perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau
beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan
shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu
pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa
yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga”.
Silaturahmi
juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak
rizki. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي
رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barang
siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah
ia menyambung tali silaturahmi”. [Muttafaqun ‘alaihi].
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ
تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
“Ar-rahim
itu tergantung di Arsy. Ia berkata: “Barang siapa yang menyambungku, maka Allah
akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus
hubungan dengannya”.
[Muttafaqun ‘alaihi].
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi
lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahîh
al-Bukhâri, dari Maimûnah Ummul-Mukminîn, dia berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي
أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ
لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
“Wahai
Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?” Nabi bertanya,
“Apakah engkau telah melaksanakannya?” Ia menjawab, “Ya”. Nabi bersabda,
“Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih
besar pahalanya”.
Yang
amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung
silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya.
Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahmi,
tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal tentu
berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya,
meskipun dari orang jauh.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ
وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
“Orang
yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah
terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang
menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus”. [Muttafaqun
‘alaihi].
Oleh
karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat-kerabat kita,
meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan mendapatkan balasan yang baik
atas mereka.
Diriwayatkan,
telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي
قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ
وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ
فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ
عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Wahai
Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan
tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka
berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka
kasar terhadapku,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan
Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan.”
[Muttafaq ‘alaihi].
Begitu
pula firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ
اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ
يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ ۙ أُولَٰئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ
سُوءُ الدَّارِ
“Orang-orang
yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa
yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam)”.
[ar-Ra’d/13:25].
Dari
Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
“Tidaklah
masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi].
Memutus
tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua,
kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena
itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ
الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
”Maukah
kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau
mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau,
ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik
kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.
Demikianlah,
betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan
setelah dosa syirik kepada Allah Ta’ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada
kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi
jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Dalam
shahîhain, dari ‘Abdullah bin ‘Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ
وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ
قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
فَيَسُبُّ أُمَّهُ
”Termasuk
perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para
sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang
tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang
menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan
seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina
ibunya”.
Wahai
orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kepada
Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita masing-masing, sanak
keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung
tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita
tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka?
Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat,
saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar
meringankan yang mereka butuhkan?
Ada
sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah
merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya,
tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi
menjahui bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia
sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang
tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia
bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh
jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya
kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.
Ada
pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai
keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang
sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegus sapa dan
melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia
tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba
kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau
menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu
termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam
berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia
tidak mau menafkahinya.
Para
ahlul-‘ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan
orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain
itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam
keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan
nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada
hari Kiamat.
Oleh
karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari
memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa
pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan
membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon
ampun kepada Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang amalan yang dapat memasukkan ke dalam surga, lantas Rasul menjawab,
تَعْبُدُ اللَّهَ لاَ تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا ، وَتُقِيمُ الصَّلاَةَ ، وَتُؤْتِى الزَّكَاةَ ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ
“Sembahlah Allah, janganlah berbuat syirik pada-Nya, dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan jalinlah tali silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat).” (HR. Bukhari no. 5983)
Dari Abu Bakroh, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِى الدُّنْيَا – مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِى الآخِرَةِ – مِثْلُ الْبَغْىِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ
“Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan balasannya bagi para pelakunya [di dunia ini] -berikut dosa yang disimpan untuknya [di akhirat]- daripada perbuatan melampaui batas (kezhaliman) dan memutus silaturahmi (dengan orang tua dan kerabat)” (HR. Abu Daud no. 4902, Tirmidzi no. 2511, dan Ibnu Majah no. 4211, shahih)
Abdullah bin ’Amr berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ ، وَلَكِنِ الْوَاصِلُ الَّذِى إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
”Seorang yang menyambung silahturahmi bukanlah seorang yang membalas kebaikan seorang dengan kebaikan semisal. Akan tetapi seorang yang menyambung silahturahmi adalah orang yang berusaha kembali menyambung silaturahmi setelah sebelumnya diputuskan oleh pihak lain.” (HR. Bukhari no. 5991)
Abu Hurairah berkata, “Seorang pria mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya punya keluarga yang jika saya berusaha menyambung silaturrahmi dengan mereka, mereka berusaha memutuskannya, dan jika saya berbuat baik pada mereka, mereka balik berbuat jelek kepadaku, dan mereka bersikap acuh tak acuh padahal saya bermurah hati pada mereka”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kalau memang halnya seperti yang engkau katakan, (maka) seolah- olah engkau memberi mereka makan dengan bara api dan pertolongan Allah akan senantiasa mengiringimu selama keadaanmu seperti itu.” (HR. Muslim no. 2558)
Abdurrahman ibnu ‘Auf berkata bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنا الرَّحْمنُ، وَأَنا خَلَقْتُ الرَّحِمَ، وَاشْتَقَقْتُ لَهَا مِنِ اسْمِي، فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ، وَمَنْ قَطَعَهَا بتَتُّهُ
“Allah ’azza wa jalla berfirman: Aku adalah Ar Rahman. Aku menciptakan rahim dan Aku mengambilnya dari nama-Ku. Siapa yang menyambungnya, niscaya Aku akan menjaga haknya. Dan siapa yang memutusnya, niscaya Aku akan memutus dirinya.” (HR. Ahmad 1/194, shahih lighoirihi).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَنِ اتَّقَى رَبَّهُ، وَوَصَلَ رَحِمَهُ، نُسّىءَ فِي أَجَلِه وَثَرَى مَالَهُ، وَأَحَبَّهُ أَهْلُهُ
“Siapa yang bertakwa kepada Rabb-nya dan menyambung silaturrahmi niscaya umurnya akan diperpanjang dan hartanya akan diperbanyak serta keluarganya akan mencintainya.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 58, hasan)
Memang terjadi salah kaprah mengenai istilah silaturahmi di tengah-tengah kita sebagaimana yang dimaksudkan dalam hadits-hadits di atas. Yang tepat, menjalin tali silaturahmi adalah istilah khusus untuk berkunjung kepada orang tua, saudara atau kerabat. Jadi bukanlah istilah umum untuk mengunjungi orang sholeh, teman atau tetangga. Sehingga yang dimaksud silaturahmi akan memperpanjang umur adalah untuk maksud berkunjung kepada orang tua dan kerabat. Ibnu Hajar dalam Al Fath menjelaskan, “Silaturahmi dimaksudkan untuk kerabat, yaitu yang punya hubungan nasab, baik saling mewarisi ataukah tidak, begitu pula masih ada hubungan mahrom ataukah tidak.” Itulah makna yang tepat.
*************************
*************************
Kontributor:
Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri yang menukil dari kitab ad-Dhiyâ-ul Lâmi’ karangan Syaikh Muhammad bin Shâlih
al-‘Utsaimîn; Muhammad Abduh Tuasikal, MSc. Editor: Usaz Sofyan Kaoy Umar, MA, C{IF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment