Kewajiban Puasa Ramadhan
Menahan diri dari syahwat makanan, minuman dan juga syahwat biologis merupakan perkara yang berat alias tidak mudah. Oleh karena itu, Allah Ta’ala baru memerintahkan kewajiban berpuasa Ramadhan pada tahun ke dua setelah hijrah ke Madinah. Allah Ta’ala mewajibkan puasa melalui beberapa tahap, yaitu tahap mewajibkan puasa ‘Asyura. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa ‘Asyura (tanggal 10 Muharram). Tahap selanjutnya Allah Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan dengan memilih antara melaksanakan puasa atau membayar fidyah.
‘Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كَانَ
يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ
صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Dulu, orang-orang Quraisy berpuasa di hari
‘Asyura di masa jahiliyyah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
berpuasa di hari tersebut (di masa jahiliyyah). Ketika beliau tiba di Madinah,
beliau mengerjakan puasa ‘Asyura dan memerintahkan kepada para sahabat untuk
berpuasa. Ketika puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah meninggalkan puasa
‘Asyura. Barangsiapa yang ingin berpuasa, maka dia mengerjakannya. Dan
barangsiapa yang tidak ingin berpuasa, maka mereka meninggalkannya.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Ketika hati dan keimanan para sahabat
radhiyallahu ‘anhum telah menancap kuat, maka Allah Ta’ala mewajibkan puasa
Ramadhan secara bertahap. Pada tahap ke dua ini, mereka boleh memilih antara berpuasa
atau membayar fidyah, meskipun lebih ditekankan dan dianjurkan untuk berpuasa.
Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak ingin berpuasa dan memilih membayar
fidyah (meskipun mereka sebetulnya mampu berpuasa), maka dipersilakan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Allah Ta’ala kemudian menurunkan ayat
berikutnya untuk menghapus ketentuan hukum ayat di atas. Hal ini diberitakan
oleh dua sahabat yang mulia, yaitu ‘Abdullah bin Umar dan Salamah bin Akwa’
radhiyallahu ‘anhuma, “Ayat tersebut (surat Al-Baqarah ayat 184)
dihapus (hukumnya) oleh ayat berikut ini,
شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ
الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ
كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ
بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ
وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan
bahwa kandungan surat Al-Baqarah ayat 184 di atas tetap berlaku bagi laki-laki
dan wanita yang sudah tua renta serta orang sakit yang tidak dapat diharapkan
lagi kesembuhannya. Bagi kedua golongan tersebut, boleh tidak berpuasa dan menggantinya
dengan membayar fidyah. Sehingga ketentuan ayat tersebut (tentang pilihan untuk
berpuasa atau membayar fidyah) hanya dihapus untuk orang yang mampu berpuasa.
Dari Atha’ radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma membaca surat Al-Baqarah ayat 184 kemudian
berkata,
لَيْسَتْ
بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الكَبِيرُ، وَالمَرْأَةُ الكَبِيرَةُ لاَ
يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا، فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
”Ayat ini tidak dimansukh (dihapus hukumnya,
pent). Ayat ini tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua yang
tidak mampu untuk berpuasa. Keduanya wajib memberi makan bagi orang miskin
setiap hari yang dia tidak berpuasa”. (HR. Bukhari no. 4505)
Pada awalnya, waktu berbuka adalah dari
tenggelam matahari sampai tertidur di malam hari. Jika sudah tidur, maka waktu
berbuka sudah habis, meskipun masih malam (belum terbit fajar) dan meskipun
mereka belum menyantap makanan. Hal ini sebagaimana hadits berikut ini,
كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ الرَّجُلُ
صَائِمًا، فَحَضَرَ الإِفْطَارُ، فَنَامَ قَبْلَ أَنْ يُفْطِرَ لَمْ يَأْكُلْ
لَيْلَتَهُ وَلاَ يَوْمَهُ حَتَّى يُمْسِيَ، وَإِنَّ قَيْسَ بْنَ صِرْمَةَ
الأَنْصَارِيَّ كَانَ صَائِمًا، فَلَمَّا حَضَرَ الإِفْطَارُ أَتَى امْرَأَتَهُ، فَقَالَ
لَهَا: أَعِنْدَكِ طَعَامٌ؟ قَالَتْ: لاَ وَلَكِنْ أَنْطَلِقُ فَأَطْلُبُ لَكَ،
وَكَانَ يَوْمَهُ يَعْمَلُ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ، فَجَاءَتْهُ امْرَأَتُهُ،
فَلَمَّا رَأَتْهُ قَالَتْ: خَيْبَةً لَكَ، فَلَمَّا انْتَصَفَ النَّهَارُ غُشِيَ
عَلَيْهِ، فَذُكِرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَنَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ: {أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى
نِسَائِكُمْ} [البقرة: 187] فَفَرِحُوا بِهَا فَرَحًا شَدِيدًا، وَنَزَلَتْ:
{وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ
الخَيْطِ الأَسْوَدِ} [البقرة: 187]
“Dahulu jika sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berpuasa dan tiba waktu berbuka, dan mereka tidur sebelum berbuka
puasa, maka tidak boleh makan di waktu malam dan siang hari (berikutnya) sampai
sore hari lagi. Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, dan ketika tiba
waktu berbuka dia mendatangi istrinya dan bertanya,’Apakah ada makanan?’ Istrinya
menjawab,’Tidak, namun aku akan pergi mencarikan makanan untukmu.’ Pada hari
itu, Qais bekerja seharian sehingga dia pun tertidur (ketika menunggu istrinya
mencari makanan, pen.). Ketika istrinya tiba kembali dan melihat Qais tertidur,
istrinya berkata,’Khaibah [5] untukmu.’ Di siang harinya Qais pun terbangun dan
menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah
ayat (yang artinya),”Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa untuk
berhubungan badan dengan istrimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)
Para sahabat pun sangat gembira, lalu
turunlah ayat (yang artinya),”Dan makan minumlah sehingga jelas bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah [2]: 187)”
(HR. Bukhari no. 1915) Sehingga berdasarkan ayat tersebut, waktu berbuka adalah
dari tenggelam matahari sampai terbit waktu fajar. Demikianlah kasih sayang dan
keluasan rahmat Allah Ta’ala yang dicurahkan kepada hamba-hambaNya. Semoga
Allah Ta’ala memberikan kita kekuatan dan kemudahan dalam menjalankan ibadah
puasa tahun ini.
Keutamaan Ibadah Puasa
Ibadah puasa memiliki banyak manfaat bagi
seorang mukmin. Di antara faidah terbesar menjalankan ibadah puasa adalah
tumbuhnya ketakwaan di dalam hati, sehingga menahan anggota badan dari berbuat
maksiat. Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu
bertakwa” (QS. Al-Baqarah
[2]: 183).
Di dalam ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa puasa disyariatkan bagi hamba-Nya untuk meningkatkan dan
menyempurnakan ketakwaan mereka. Takwa merupakan sebuah istilah yang mencakup
seluruh kebaikan. Para ulama menjelaskan bahwa takwa adalah melaksanakan
perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, karena mengharap pahala dari Allah Ta’ala
dan karena rasa takut terhadap adzab dan hukuman-Nya. Lalu, mengapa puasa
merupakan sebab ketakwaan? Terdapat beberapa penjelasan mengenai hal ini.
Pertama, dengan puasa, seseorang akan lebih
sedikit makan dan minum, yang menyebabkan lemahnya syahwat. Lemahnya syahwat
ini menyebabkan berkurangnya maksiat yang ingin dia kerjakan. Karena syahwat
adalah sumber dan awal dari semua maksiat dan keburukan. Hal ini sebagaimana
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصِّيَامُ
جُنَّةٌ
“Puasa adalah
perisai” (HR. An-Nasai no. 2228, 2229 dan Ibnu
Majah no. 1639, shahih).
Kedua, berpuasa melatih seseorang untuk kuat,
sabar, dan tabah. Semua ini akan mendorong seseorang untuk meninggalkan dan
menjauhi hal-hal buruk yang disukai jiwanya. Sebagai salah satu contoh,
seseorang yang terbiasa dan sulit untuk berhenti merokok, dia mampu
meninggalkannya dengan sebab puasa. Dia pun mampu meninggalkan kebiasaan buruk
itu dengan lebih mudah.
Ketiga, berpuasa memudahkan seseorang untuk
berbuat ketaatan dan kebaikan. Hal ini tampak nyata di bulan Ramadhan.
Orang-orang yang di luar bulan Ramadhan malas dan merasa berat beribadah, maka
ketika bulan Ramadhan mereka berlomba-lomba untuk beribadah sebanyak mungkin.
Keempat, berpuasa menyebabkan lunaknya hati
untuk senantiasa berdzikir kepada Allah Ta’ala dan memutus berbagai sebab yang
dapat melalaikan-Nya.
Semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya
kepada kita sehingga bisa menjadi hamba-Nya yang bertakwa.
Tingkatan
Orang yang Berpuasa
Amalan puasa adalah amalan yang luar biasa
dan memiliki pahala yang Allah membalasnya secara langsung. Rasulullah
sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ
أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : إِلَّا
الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Semua amal Bani Adam akan dilipatgandakan
kebaikan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali lipat. Allah ‘Azza wa Jalla
berfirman, ‘Kecuali puasa, maka ia untuk-Ku dan Aku yang akan memberikan
pahalanya.” [HR. Muslim]
Dalam riwayat yang lain, Allah sendiri yang
akan membalasnya karena seorang hamba meninggalkan semuanya itu karena Allah.
يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : الصَّوْمُ لِي ، وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ ، يَدَعُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Puasa itu
untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya, sebab ia telah meninggalkan
makannya, minumnya dan syahwatnya karena Aku.” [HR.
Ahmad]
Bahkan pahala yang hamba dapatkan karena
berpuasa karena Allah bisa jadi berupa pahala yang tidak terhingga di mana
hanya Allah saja yang tahu kadarnya. Ibadah puasa sangat identik dengan
kesabaran yaitu menahan diri dari berbagai pembatal dan yang bisa mengurangi
pahala puasa. Hal ini termasuk dalam firman Allah,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ
حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” [QS.
Az Zumar: 10]
Mengingat besarnya pahala puasa, hendaknya
kita bersungguh-sungguh menjalani puasa sampai tingkatan yang paling baik. Ibnu
Qudamah menjelaskan tingkatan orang yang berpuasa:
- Tingkatan orang awam yang hanya sebatas menahan perut dan
kemaluan saja
- Tingkatan puasa khusus yaitu juga menahan pandangan lisan,
penglihatan dan semua anggota badan dari perbuatan dosa
- Tingkatan puasa yang lebih khusus menahan diri dari
keinginan-keinginan yang jelek yang dapat menjauhkan dari Allah
Beliau berkata,
فأما صوم العموم فهو كف البطن والفرج عن قضاء الشهوة وأما
صوم الخصوص فهو كف النظر ، واللسان، واليد، والرجل ، والسمع ، والبصر، وسائر
الجوارح عن الآثام . وأما صوم خصوص الخصوص فهو صوم القلب عن الهمم الدنيئة،
والأفكار المبعدة عن الله تعالى، وكفه عما سوى الله تعالى بالكلية، وهذا الصوم له
شروح تأتى فى غير هذا الموضع
“Puasa orang awam yaitu sebatas menahan perut
dan kemaluan dari keinginan syahwatnya. Sedangkan puasa orang khusus menahan
pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh anggota
badan dari segala perbuatan dosa. Sedangkan puasa orang yang lebih khusus yaitu
puasanya hati dari keinginan-keinginan yang hina, serta pikiran-pikiran yang
dapat menjauhkan dirinya dari Allah serta menahannya secara total dari segala
sesuatu selain Allah Ta’ala.” [Mukhtashar Minhajul Qashidin hal. 45]
Semoga kita bisa mewujudkan tujuan dari puasa
dan bulan Ramadhan yaitu bertakwa kepada Allah.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu
bertaqwa.” [Al-Baqarah:183
Puasa
dan Al-Quran bisa memberikan syafa’at bagi kaum muslimin di hari kiamat kelak
dengan izin Allah.
Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻭَﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ ﻳَﺸْﻔَﻌَﺎﻥِ ﻟِﻠْﻌَﺒْﺪِ ﻳَﻮْﻡَ
ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ : ﺃَﻱْ ﺭَﺏِّ، ﻣَﻨَﻌْﺘُﻪُ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ
ﻭَﺍﻟﺸَّﻬَﻮَﺍﺕِ ﺑِﺎﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ، ﻓَﺸَﻔِّﻌْﻨِﻲ ﻓِﻴﻪِ، ﻭَﻳَﻘُﻮﻝُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥُ :
ﻣَﻨَﻌْﺘُﻪُ ﺍﻟﻨَّﻮْﻡَ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ، ﻓَﺸَﻔِّﻌْﻨِﻲ ﻓِﻴﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻓَﻴُﺸَﻔَّﻌَﺎﻥِ
“Amalan puasa
dan membaca Al-Qur’an akan memberi syafa’at bagi seorang hamba di hari kiamat.
Puasa berkata: Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makan dan syahwat di siang
hari, maka izinkanlah aku memberi syafa’at kepadanya. Dan Al-Qur’an berkata:
Aku menahannya dari tidur di waktu malam, maka izinkanlah aku memberi syafa’at
kepadanya, maka keduanya pun diizinkan memberi syafa’at.” [HR. Ahmad,
Shahih At-Targhib: 1429]
Dalam riwayat yang
lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
“Rajinlah
membaca al-Qur’an, karena dia akan menjadi syafaat bagi penghafalnya di hari
kiamat.” [HR. Muslim 1910]
Hendaknya kita
sangat berharap syafa’at terutama di bulan Ramadhan yang merupakan bulan
berpuasa dan membaca Al-Quran.
Apakah itu Syafa’at?
Para ulama
mendefinisikan syafa’at:
ﻓﺎﻟﺸﻔﺎﻋﺔ ﻫﻲ ﺍﻟﺘﻮﺳﻂ ﻟﻠﻐﻴﺮ ﻓﻲ ﺟﻠﺐ ﺍﻟﻤﻨﻔﻌﺔ ﺃﻭ ﺩﻓﻊ ﺍﻟﻤﻀﺮﺓ
“Syafa’at
adalah sebagai penengah/wasilah bagi yang lain untuk mendatangkan manfaat dan
mencegah bahaya/madharat.”
Syafa’at ini bisa
berupa syafa’at di dunia maupun syafa’at di akhirat. Syafa’at di dunia bisa
berupa syafa’at yang baik dam buruk sedangkan syafa’at di akhirat adalah
syafa’at yang baik
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ
مِنْهَا ۖ وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا
“Barangsiapa
yang memberikan syafa’at yang BAIK, niscaya ia akan memperoleh bahagian
(pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa’at yang BURUK, niscaya ia
akan memikul bahagian (dosa) dari padanya.” (An-Nisaa’ :85)
Maksud hadits yang kami sampaikan di awal
tulisan mengenai syafa’at oleh puasa dan Al-Quran adalah syafaat di akhirat.
Saat itu, manusia sangat butuh syafa’at dengan izin Allah karena kesusahan yang
manusia alami pada hari kiamat, semisal:
1. Matahari didekatkan pada manusia sejauh
satu mil
2. Manusia ada yang tenggelam dengan keringatnya
3. Manusia ada yang diseret dan berjalan dengan wajahnya
4. Kejadian di padang mahsyar yang sangat lama, di mana satu hari di akhirat
sama dengan 1000 tahun di bumi.
Kami nukilkan
salah satu dalil mengenai hal ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻜُﻢْ ﺗُﺤْﺸَﺮُﻭْﻥَ ﺭِﺟَﺎﻻً ﻭَﺭُﻛْﺒَﺎﻧًﺎ ﻭَﺗُﺠَﺮُّﻭْﻥَ
ﻋَﻠَﻰ ﻭُﺟُﻮْﻫِﻜُﻢْ
“Sesungguhnya
kalian akan dikumpulkan (ke Padang Mahsyar) dalam keadaan berjalan, dan (ada
juga yang) berkendaraan, serta (ada juga yang) diseret di atas wajah-wajah
kalian.” (HR. Tirmidzi, Shahih at-Targhib wat-Tarhib no. 3582).
Kita sangat butuh
syafa’at di hari kiamat termasuk yang bisa memberi syafa’at adalah puasa dan
Al-Quran sebagaimana dalam hadits.
Perlu ditekankan
bahwa syafa’at ini hanya milik Allah
Allah Ta’ala berfirman,
ﻗُﻞ ﻟِّﻠَّﻪِ ﭐﻟﺸَّﻔَٰﻌَﺔُ ﺟَﻤِﻴﻌٗﺎۖ
“Katakanlah
semua syafaat hanyalah milik Allah.” (az-Zumar: 44)
Puasa dan Al-Qur’an
serta makhluk lainnya yang bisa memberi syafa’at sebagaimana dalam dalil
tidaklah mempunyai syafa’at sebenarnya, tetapi diberikan izin oleh Allah untuk
memberikan syafa’at. Oleh karena itu, kita hanya boleh meminta syafa’at hanya
kepada Allah saja. Tidak boleh meminta kepada makhluknya. Semisal perkataan
yang TIDAK boleh:
“Wahai Nabi, aku
minta syafa’at-mu” Tapi katakanlah: “Yaa
Allah, aku memohon syafa’at Nabi-Mu”
Allah Ta’ala berfirman
ﻣَﻦ ﺫَﺍ ﭐﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺸۡﻔَﻊُ ﻋِﻨﺪَﻩُۥٓ ﺇِﻟَّﺎ ﺑِﺈِﺫۡﻧِﻪِۦۚ
“Tidak ada yang
memberikan syafaat disisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” (al-Baqarah: 255)
Semoga kita
termasuk orang yang beruntung mendapatkan syafa’at dan bisa memberikan syafa’at
pada orang lain.
Puasa
dan membicarakan orang Lain
Bisa jadi banyak yang mampu menahan tidak
makan dan tidak minum selama berpuasa, akan tetapi terkadang ia tidak bisa
menahan diri untuk “tidak makan daging saudaranya sendiri”. Maksudnya adalah
melakukan ghibah, sibuk bergosip dan membicarakan aib orang lain. Ghibah
diperumpamakan dalam Al-Quran dengan “memakan daging mayat saudara sendiri”. Allah Ta’ala berfirman,
ﻭَﻻَ ﻳَﻐْﺘِﺐْ ﺑَﻌْﻀُﻜُﻢْ ﺑَﻌْﻀًﺎ ﺃَﻳُﺤِﺐُّ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺃَﻥْ
ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﻟَﺤْﻢَ ﺃَﺧِﻴْﻪِ ﻣَﻴْﺘًﺎ ﻓَﻜَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮْﻩُ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮْﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ
ﺗَﻮَّﺍﺏٌ ﺭَﺣِﻴْﻢٌ
“Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging bangkai
saudaranya yang telah mati, pasti kalian membencinya. Maka bertaqwalah kalian
kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih”. [Al
Hujurat :12]
Harusnya seseorang sangat benci makan mayat
(bahkan jijik), seharusnya ini juga yang ia rasakan ketika melakukan ghibah.
Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy rahimahullah menjelaskan,
شبه أكل لحمه ميتًا، المكروه للنفوس [غاية الكراهة]،
باغتيابه
“Diserupakan dengan memakan daging mayat
saudara karena hal ini dibenci oleh jiwa, (sangat benci) dengan melakukan
ghibah.” (Tafsir As-Sa’diy)
Ghibah adalah menyebut-nyebut kejelekan
saudaranya, padahal saudaranya tidak suka jika dibicarakan dan orang tersebut
sedang tidak ada di majelis tersebut ketika dibicarakan. Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda,
اتدرون ما الغيبه؟ قالوا: الله ورسوله أعلم .قال:الْغِيبَة
ذِكْرك أَخَاك بِمَا يَكْرَه قِيلَ : أَفَرَأَيْت إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُول
؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُول فَقَدْ اِغْتَبْته ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
فَقَدْ بَهَتّه
“Tahukah kalian apa itu ghibah?” Mereka
(para sahabat) menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian beliau
shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, “Engkau menyebut-nyebut saudaramu
tentang sesuatu yang ia benci.” Kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana
menurutmu jika sesuatu yang aku sebutkan tersebut nyata-nyata apa pada
saudaraku?” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Jika memang apa yang
engkau ceritakan tersebut ada pada dirinya itulah yang namanya ghibah, namun
jika tidak berarti engkau telah berdusta atas namanya.” (HR Muslim 2589)
Apabila yang dibicarakan itu berupa aib dan
kekurangan itu tdak benar, maka perkaranya lebih berat lagi karena merupakan
fitnah, sehingga tidak ada gunanya membahas dan membicarakan orang lain tanpa
kemashalahatan yang lebih semisal mencari solusi dan berniat akan menasehati. Bisa jadi seseorang berpuasa tetapi masih
melakukan ghibah bahkan menjadi hobi. Hal ini akan mengurangi pahala puasanya
bahkan membuat pahala puasanya menjadi sia-sia.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mengingatkan bahwa puasa itu bukan sekedar menahan makan
dan minum saja. Beliau bersabda,
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشَّرَبِ ، إِنَّمَا
الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ ، فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ
عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah hanya menahan makan dan
minum saja. Akan tetapi, puasa adalah dengan menahan diri dari perkataan lagwu
dan rafats. Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu,
katakanlah padanya, “Aku sedang puasa, aku sedang puasa”.” (HR. Ibnu Majah,
Shhih At Targib wa At Tarhib no. 1082)
Puasa itu juga mempuasakan semua anggota tubuh
kita dari kemaksiatan dan semoga Allah memudahkan kita.
Sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu berkata,
إذا صمت فليصم سمعك، وبصرك، ولسانك، عن الكذب، والمحارم، ودع
أذى الجار، وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك
“Jika engkau berpuasa maka puasakanlah
pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu dari dusta. Janganlah menyakiti
tetangga, hendaknya engkau penuh ketenangan dan wibawa pada hari puasamu.”
(Lathaif Al Ma’arif,Ibnu rajab Al Hambali)
Apabila seorang yang berpuasa tidak bisa
menjaga diri dari hal-hal ini bisa jadi pahala puasa sia-sia dan yang hanya ia
dapatkan adalah lapar dan haus saja.
Karenanya Rasulullah shallallahu
‘alaih wa sallam bersabda,
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun
dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.”
(HR. Thabrani, sahih lighairihi)
Bahkan Allah tidak butuh terhadap puasanya dan
ini bentuk ungkapan bahwa ibadah puasanya tidak benar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ
لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan
perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa
lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari no. 1903)
Semoga kita bisa menjaga anggota badan
terutama lisan dari hal-hal yang bisa merusak puasa.
Jadikanlah
Momentum Puasa untuk Berhenti Merokak
Para perokok bisa
menjadikan Ramadhan sebagai momentum
untuk berhenti merokok. Merokok sudah jelas secara kesehatan membahayakan tubuh
dan pihak produsen rokok pun mengakui dan menulis di bungkus rokok bahwa rokok
membahayakan kesehatan. Berbuat bahaya dan membahayakan orang lain hukumnya
adalah haram. Ini ada pada rokok yaitu membahayakan diri sendiri dan
membahayakan orang di sekitar yang menghirup udara rokok. Dari Ibnu ‘Abbas,
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﻻ
ﺿَﺮَﺭَ ﻭﻻ ﺿِﺮﺍﺭَ
“
Tidak (boleh melakukan/menggunakan sesuatu yang) berbahaya atau membahayakan ”. [HR.
Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Allah Ta’ala
berfirman,
ﻭَﻟَﺎ
ﺗُﻠْﻘُﻮﺍ ﺑِﺄَﻳْﺪِﻳﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺘَّﻬْﻠُﻜَﺔِ
“ Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan“. (QS.
Al Baqarah: 195).
ﻭَﻟَﺎ
ﺗَﻘْﺘُﻠُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻛَﺎﻥَ ﺑِﻜُﻢْ ﺭَﺣِﻴﻤًﺎ
“ Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu “. (QS. An Nisaa: 29).
Merokok bisa
membatalkan puasa
Merokok adalah
perbuatan sengaja memasukkan uap padat rokok. Uap padat rokok bisa dipastikan
masuk ke dalam lambung. Rokok diisap dengan kekuatan mulut dan dilakukan
berkali-kali, apalagi rokoknya tidak hanya satu batang dan uap rokok juga bisa
ditelan.
Perlu diketahui
bahwa salah satu pendapat ulama adalah: “Jika sengaja memasukkan sesuatu
benda ke dalam perut, maka puasanya batal meskipun yang dimasukkan bukan
makanan”. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
وكل
ما وصل إلى المعدة والجوف فإنه مفطر ، سواء كان نافعاً أم ضاراً ، حتى لو ابتلع
للإنسان خرزة سبحة مثلاً ، أو شيئاً من الحديد ، أو غيره فإنه يفطر
“Segala
sesuatu yang masuk dalam perut dan dalam tubuh termasuk pembatal puasa, baik
yang masuk adalah sesuatu yang bermanfaat atau yang mendatangkan bahaya.
Misalnya seseorang menelan biji tasbih, besi atau selainnya (dengan sengaja),
maka puasanya batal.” [ Majmu’ Fatawa Al-‘Utsaimin, fatwa As-Shiyam, 203-204)
Dengan alasan
ini, pendapat terkuat merokok bisa membatalkan puasa karena sengaja memasukkan
uap padat ke dalam lambung. Dalam Fatwa As-Sabakah Al-Islamiyah,
ﻓﺎﻟﺪﺧﺎﻥ
ﺑﺠﻤﻴﻊ ﺃﻧﻮﺍﻋﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻮﺍﺩ ﺍﻟﻌﻀﻮﻳﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺤﺘﻮﻱ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻄﺮﺍﻥ ﻭﺍﻟﻨﻴﻜﻮﺗﻴﻦ، ﻭﻫﺬﻩ ﺍﻟﻌﻨﺎﺻﺮ
ﻟﻬﺎ ﺟِﺮْﻡ ﻳﻈﻬﺮ ﺟﻠﻴﺎً ﻓﻲ “ ﺍﻟﻔﻠﺘﺮ ” ﻭﻋﻠﻰ ﺍﻟﺮﺋﺘﻴﻦ .
ﻭﻋﻠﻴﻪ؛
ﻓﺎﺳﺘﻌﻤﺎﻝ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻟﻪ ﻣﻔﻄﺮ ﻷﻧﻪ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﺎﺧﺘﻴﺎﺭﻩ ﺟﺮﻣﺎً ﺇﻟﻰ ﺟﻮﻓﻪ، ﻳﻘﻮﻝ ﺍﻷﻃﺒﺎﺀ : ﺇﻥ
ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ ﻳﻤﺮ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻢ ﻭﺍﻟﺒﻠﻌﻮﻡ ﺍﻟﻔﻤﻲ ﺛﻢ ﻳﻨﺰﻝ ﺟﺰﺀ ﻣﻨﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﻠﻌﻮﻡ ﺍﻟﺤﻨﺠﺮﻱ، ﻭﻣﻨﻪ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﺮﻏﺎﻣﻲ ﻓﺎﻟﺮﺋﺘﻴﻦ، ﻭﻳﻨﺰﻝ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻵﺧﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺉ ﻓﺎﻟﻤﻌﺪﺓ، ﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﺭ ﺍﻟﻤﺨﺘﺎﺭ ﻣﻦ
ﻛﺘﺐ ﺍﻷﺣﻨﺎﻑ : ( ﻟﻮ ﺃﺩﺧﻞ ﺣﻠﻘﺔ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ ﺃﻓﻄﺮ ﺃﻱ ﺩﺧﺎﻥ ﻛﺎﻥ .… ﻹﻣﻜﺎﻥ ﺍﻟﺘﺤﺮﺯ ﻋﻨﻪ (… ﻗﺎﻝ
ﺍﺑﻦ ﻋﺎﺑﺪﻳﻦ ﺗﻌﻠﻴﻘﺎً : ( ﻭﻻ ﻳﺘﻮﻫﻢ ﺃﻧﻪ ﻛﺸﻢ ﺍﻟﻮﺭﺩ ﻭﻣﺎﺋﻪ ﻭﺍﻟﻤﺴﻚ، ﻟﻮﺿﻮﺡ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ
ﻫﻮﺍﺀ ﺗﻄﻴَّﺐ ﺑﺮﻳﺢ ﺍﻟﻤﺴﻚ ﻭﺷﺒﻬﻪ، ﻭﺑﻴﻦ ﺟﻮﻫﺮ ( ﺟِﺮْﻡ ) ﺩﺧﺎﻥ ﻭﺻﻞ ﺇﻟﻰ ﺟﻮﻓﻪ ﺑﻔﻌﻠﻪ )
ﺍﻧﺘﻬﻰ
“Rokok
dengan berbagai jenisnya merupakan bahan organik yang mengandung Tar dan
nikotin, ini adalah unsur/bahan yang nampak jelas pada “filter rokok”, pada
kedua paru-paru dan pada badannya. Rokok juga melewati mulut dan kerongkongan.Maka
menghisap rokok membatalkan puasa, karena ia memasukkannya dengan pilihan
sendiri (sengaja) ke perutnya. Para dokter berkata, asap rokok melewati mulut
dan kerongkongan, sebagian zat rokok akan menetap di mulut, sebagian di
kerongkongan, sebagian pada mukosa paru-paru, sebagian lagi pada lambung. Dalam
kitab Ad-Dur Al-Mukhtar disebutkan, “jika ia (sengaja) memasukkan asap/uap
ke kerongkongan maka puasanya batal, asap/uap apapun jenisnya … karena hal
tersebut bisa dicegah)”
Ibnu Abidin
mengomentari, “tidak disalahpahami (dari
keterangan di atas), bahwa mencium bunga mawar dan airnya atau mencium misk
(membatalkan puasa). Karena jelas perbedaan antara uap farfum, bau misk atau
sejenisnya dengan zat pada rokok yang masuk ke kerongkongan dengan keinginannya
sendiri.” Berbuka puasa dan sahur dengan merokok. Ada beberapa kasus dari
mereka yang kecanduan merokok, mereka tidak tahan tidak merokok sehingga ketika
sahur yang paling terakhir adalah merokok dan ketika berbuka yang paling awal
adalah merokok. Tentu ini cukup aneh, artinya ia hampir seharian menahan diri
dengan hal yang haram kemudian berbuka dengan hal yang haram juga.
Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah ditanya,
ﺳﺎﺋﻞ
ﻳﻘﻮﻝ : ﺍﺑﺘﻼﻧﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﺸﺮﺏ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ ﻭﻳﻄﻠﺐ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﻟﻪ ﺑﺎﻟﻌﺼﻤﺔ ﻣﻨﻪ، ﺛﻢ ﻳﻘﻮﻝ : ﺇﻥ ﺁﺧﺮ ﻣﺎ
ﻳﺘﻨﺎﻭﻟﻪ ﻣﻦ ﻃﻌﺎﻡ ﺍﻟﺴﺤﻮﺭ ﺳﻴﺠﺎﺭﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ، ﻭﻣﺎ ﺃﻥ ﻳﺴﻤﻊ ﺃﺫﺍﻥ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭﻣﺪﻓﻊ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ
ﺣﺘﻰ ﻳﺘﻨﺎﻭﻝ ﻣﺜﻠﻬﺎ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﻤﺎﺀ ﻭﺍﻟﻄﻌﺎﻡ، ﻓﻬﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﺑﺄﺱ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﻭﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﺻﻴﺎﻣﻪ؟
Berkata penanya:
Allah memberi ujian kepada saya dengan kecanduan merokok. Kemudian ia meminta
agar didoakan perlindungan. Ia berkata, yang paling terakhir saya lakukan
ketika sahur adalah merokok satu batang. Ketika mendengar adzan magrib tidaklah
berbuka kecuali merokok dahulu sebelum minum dan makan. Apakah ada masalah
dalam hal ini? Apa hukum puasanya?
ﺃﻣﺎ
ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﻟﻌﻤﻠﻪ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻌﻤﻠﻪ ﻛﻮﻧﻪ ﻳﺨﺘﻢ ﺳﺤﻮﺭﻩ ﺑﺸﺮﺏ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ، ﻭﻳﺒﺪﺃ ﺇﻓﻄﺎﺭﻩ ﺑﺸﺮﺑﻪ، ﻓﺈﻥ
ﺷﺮﺏ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ ﻣﺤﺮﻡ، ﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﺎﻝ، ﺃﻭ ﻋﻠﻰ ﺣﺎﻝ ﺃﺧﺮﻯ، ﻟﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻀﺮﺭ ﺍﻟﺒﺪﻧﻲ،
ﻭﺍﻟﻤﺎﻟﻲ، ﻭﺍﻟﺪﻳﻨﻲ … ﻭﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﺣﺘﻰ ﻟﻮ ﺷﺮﺏ ﺍﻟﺪﺧﺎﻥ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﺘﺴﺤﺮ
ﻓﻬﻮ ﺣﺮﺍﻡ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻟﻮ ﺷﺮﺑﻪ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ ﻋﻠﻰ ﺗﻤﺮ ﻭﻣﺎﺀ ﻓﺈﻧﻪ ﺣﺮﺍﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻳﻀﺎً، ﻓﻌﻠﻰ
ﺍﻟﻌﺎﻗﻞ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﻌﻴﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺨﻠﺺ ﻣﻨﻪ، ﻭﻓﻲ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﺮﺻﺔ ﻟﻤﻦ ﻭﻓﻖ
ﻟﺬﻟﻚ، ﺣﻴﺚ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻳﻤﺴﻚ ﻋﻨﻪ ﻓﺈﺫﺍ ﺟﺎﺀ ﺍﻟﻠﻴﻞ ﺃﻣﻜﻨﻪ ﺃﻥ ﻳﺘﺴﻠﻰ ﻋﻨﻪ ﺑﻤﺎﺃﺑﺎﺡ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻪ
ﻣﻦ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺍﻟﺸﺮﺍﺏ، ﻭﺃﻥ ﻳﺒﺘﻌﺪ ﻋﻦ ﺍﻟﺠﻠﻮﺱ ﻣﻊ ﺷﺎﺭﺑﻴﻪ، ﻭﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ
ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﺭﻃﺐ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻓﻌﻠﻰ ﺗﻤﺮ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻓﻌﻠﻰ ﻣﺎﺀ، ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺠﺪ ﻣﺎﺀ ﻓﻠﻴﻔﻄﺮ
ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺃﺑﺎﺣﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﻦ ﺃﻱ ﻃﻌﺎﻡ ﻛﺎﻥ
Beliau menjawab:
Adapun keadaannya
menutup sahur dengan merokok dan berbuka dengan rokok juga, maka perlu
diketahui bahwa merokok hukumnya haram. Baik dalam keadaan ini ataupun keadaan
lainnya. Karena bisa membahayakan badan, harta dan agama… tidak boleh ia
melakukan perbuatan ini walaupun ia merokok sebelum sahur karena ini haram.
Walaupun juga ia merokok setelah berbuka dengan kurma atau air, ini juga haram.
Bagi muslim yang
berakal hendaknya ia memohon pertolongan kepada Allah agar bisa lepas dari
kecanduan merokok. Bulan Ramadhan adalah kesempatan bagi mereka yang mendapat
taufik. Ketika di siang hari ia menahan diri dari merokok (sebagai latihan,
pent) dan malam hari ia bisa mencari ganti lain (merokok) dengan makanan dan
minuman yang mubah.Hendaknya ia mejauhi duduk dan berkumpul dengan orang yang
merokok.
Dan sunnah dalam berbuka, hendaknya ia
berbuka dengan kurma basah, jika tidak ada dengan kurma kering, jika tidak ada
dengan air dan jika tidak ada dengan makanan apapun yang mubah.( Majmu’ Fatawa
wa Rasa’il 20/81-82, asy-syamilah)
Sekali lagi kita berdoa agar para perokok sadar bahwa merokok hanya merugikan diri mereka sendiri. Semoga mereka segera bisa berhenti total dan dimudahkan
Pahala Besar Dibalik Memberi Makan
Orang yang Berpuasa
Alhamdulillah di bulan Ramadan ini banyak kaum muslimin
berlomba-lomba dalam kebaikan. Salah satu ladang kebaikan itu adalah memberi
makan kepada orang yang berbuka puasa, memberikan sumbangan ke masjid atau
tempat di mana orang banyak berbuka puasa secara gratis. Kebaikan-kebaikan
seperti Ini tidaklah terasa ringan jika belum mengetahui keutamaan yang sangat
besar dalam memberi makan orang yang berbuka puasa, yaitu mendapatkan pahala
sebagaimana orang yang berpuasa tersebut.
Nabi shallallahualaihiwasallam bersabda,
ﻣَﻦْ
ﻓَﻄَّﺮَ ﺻَﺎﺋِﻤًﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﻣِﺜْﻞُ ﺃَﺟْﺮِﻩِ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﻨْﻘُﺺُ ﻣِﻦْ
ﺃَﺟْﺮِ ﺍﻟﺼَّﺎﺋِﻢِ ﺷَﻴْﺌًﺎ
“Siapa memberi
makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa
tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga .”
Al-Munawi menjelaskan bahwa memberi
makan di sini yaitu dengan apa yang bisa digunakan untuk berbuka puasa, tidak
harus memberikan “makan besar” atau makanan porsi lengkap. Beliau berkata,
ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ
ﻣﻦ ﺗﻔﻄﻴﺮﻩ ﻫﻮ ﺃﺩﻧﻰ ﻣﺎ ﻳﻔﻄﺮ ﺑﻪ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻭﻟﻮ ﺑﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﺣﺪﺓ،
“Yang dimaksud dengan memberi berbuka puasa yaitu apa
saja yang bisa dijadikan makanan berbuka puasa walaupun hanya dengan sebutir
kurma”.
Doakanlah Orang yang
Memberikan Makanan Untuk Berbuka
Bagi kita yang diberi makanan berbuka puasa oleh orang
lain hendaknya mendoakan orang yang telah memberi makanan walaupun yang
diberikan hanya sebutir kurma atau yang lainnya.
Doa yang bisa dibaca ketika kita mendapatkan makanan/takjil untuk berbuka puasa adalah:
اللَّهُمَّ
أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَاسْقِ مَنْ سَقَانِي
“Ya Allah, berilah makanan orang yang memberi aku makan
dan berilah minuman orang yang memberi aku minum.“[3]
Atau doa:
اللَّهُمَّ
بَارِك لَهُم فِيمَا رَزَقْـــتَهُم وَاغْفِرْ لَهُم وَارحَمْهُم
Allahumma baarik
lahum fii maa razaqtahum, waghfir lahum, warhamhum
“Ya Allah,
berkahilah rezeki yang Engkau anugerahkan kepada mereka, ampuni mereka dan
berikanlah rahmat kepada mereka.”
Hendaknya kita bersemangat dalam
mendoakan saudara kita sendiri yang telah berbuat baik kepada kita, walaupun
orang tersebut tidak ada di tempat atau tidak ada di hadapan kita karena
terdapat keutamaan yang sangat besar ketika kita mendoakan saudara kita, yaitu
doa kita akan di-amin-kan oleh malaikat dan malaikat akan
mendoakan agar kita juga mendapatkan kebaikan yang semisal dari doa yang kita
panjatkan.
Dari Abu Ad-Darda’ beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda,
مَا
مِنْ عَبْدٍ مُسْلِمٍ يَدْعُو لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ إِلَّا قَالَ
الْمَلَكُ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Tidak ada seorang
muslimpun yang mendo’akan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) tanpa
sepengetahuannya, melainkan malaikat akan berkata, “Dan bagimu juga kebaikan
yang sama.”
Dalam riwayat lainnya,
دَعْوَةُ
الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ
رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ
الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
“Doa seorang
muslim untuk saudaranya (sesama muslim) tanpa diketahui olehnya adalah doa yang
mustajab. Di atas kepalanya (orang yang berdoa) ada malaikat yang telah diutus.
Sehingga setiap kali dia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, maka malaikat
yang diutus tersebut akan mengucapkan, “Amin dan kamu juga akan mendapatkan
seperti itu.”
Puasa
Ibadah yang Istimewa
Puasa adalah ibadah yang istimewa karena memiliki banyak
keutamaan. Di antara keistimewaannya yaitu puasa merupakan perisai bagi seorang
muslim. Dalam sebuah hadits, Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ
جُنَّةٌ
“Puasa adalah perisai” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Yang dimaksud puasa sebagai (جُنَّةٌ) (perisai) adalah puasa
akan menjadi pelindung yang akan melindungi bagi pelakunya di dunia dan juga di
akhirat.
- Adapun di
dunia maka akan menjadi pelindung yang akan menghalanginya untuk mengikuti
godaan syahwat yang terlarang di saat puasa. Oleh karena itu tidak boleh
bagi orang yang berpuasa untuk membalas orang yang menganiaya dirinya
dengan balasan serupa, sehingga jika ada yang mencela ataupun menghina
dirinya maka hendaklah dia mengatakan, “Aku sedang berpuasa.”
- Adapun di
akhirat maka puasa menjadi perisai dari api neraka, yang akan melindungi
dan menghalangi dirinya dari api neraka pada hari kiamat (Lihat Syarh Arba’in An-Nawawiyyah,
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah).
Puasa akan menjadi perisai yang
menghalangi dari siksa api neraka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما من
عبد يصوم يوما في سبيل الله إلا باعد الله بذالك وجهه عن النار سبعين خريفا
“Tidaklah seorang
hamba yang berpuasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena
puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
قَالَ
رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ
النَّارِ، وَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
“Rabb kita ‘azza wa jalla berfirman, Puasa adalah perisai,
yang dengannya seorang hamba membentengi diri dari api neraka, dan puasa itu
untuk-Ku, Aku-lah yang akan membalasnya” (H.R. Ahmad,
shahih).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّمَا
الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
”Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba
dari siksa neraka” (H.R. Ahmad, shahih).
Imam Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah menjelaskan, “Puasa merupakan perisai selama tidak
dirusak dengan perkataan jelek yang merusak. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ
يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ
أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ
“Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian
sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang
yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, ‘Aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Perisai (جُنَّةٌ) adalah yang melindungi seorang
hamba, sebagaimana perisai yang digunakan untuk melindungi dari pukulan ketika
perang. Maka demikian pula puasa akan menjaga pelakunya dari berbagai
kemaksiatan di dunia, sebagaimana Allah berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian
bertakwa” (Al-Baqarah: 183).
Jika hamba mempunyai perisai yang melindunginya dari perbuatan
maksiat maka dia akan memiliki perisai dari neraka di akhirat. Sedangkan bagi
yang tidak memiliki perisai dari perbuatan maksiat di dunia maka dia tidak
memiliki perisai dari api neraka di akhirat (Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal
Hikam).
Syaikh Shalih Fauzan hafidzahullah menjelaskan, “Maksudnya puasa adalah penghalang
antara dirinya dengan api neraka. Hal ini mencakup puasa yang wajib seperti
puasa Ramadhan dan juga puasa sunnah seperti puasa enam hari di Bulan Syawal,
puasa senin-kamis, puasa tiga hari setiap bulan, puasa Dzulhijjah, puasa
‘Arafah, dan puasa ‘Asyura” (Lihat Al-Minhatu Ar-Rabaniyyah fii Syarhi Al-Arba’in
An-Nawawiyyah).
Inilah di antara keutamaan ibadah puasa, yang akan menjadi
perisai yang melindungi seorang muslim di dunia dan di akhirat. Semoga Allah
memudahkan kita untuk menyempurnkan ibadah puasa dan meraih banyak pahala dan
berbagai keutamaannya.
Jangan
Mengeluh, Puasa Itu Luar Biasa
Menjelang bulan Ramadhan, sebagian kaum Muslimin banyak
yang kurang semangat menyambutnya. Karena mereka menganggap bahwa ibadah puasa
adalah beban berat dan kesulitan. Padahal nyatanya ibadah puasa itu adalah
ibadah yang agung dan luar biasa. Andaikan mereka mengetahui betapa agung dan
luar biasanya ibadah puasa, niscaya mereka akan menyambut Ramadhan dengan suka
cita.
Puasa Ramadhan Adalah Salah Satu Rukun
Islam
Puasa Ramadhan hukumnya wajib berdasarkan firman Allah
Ta’ala,
يا
أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصّيَام كما كُتب على الذين من قبلكم لعلّكم تتّقون
“Wahai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa” (QS. Al Baqarah:
183).
Dan juga karena puasa ramadhan adalah salah dari rukun
Islam yang lima. Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
بُنِي
الإسلامُ على خمسٍ : شَهادةِ أن لا إلهَ إلا اللهُ وأنَّ محمدًا رسولُ اللهِ ،
وإقامِ الصلاةِ ، وإيتاءِ الزكاةِ ، والحجِّ ، وصومِ رمضانَ
“Islam dibangun di
atas lima rukun: syahadat laa ilaaha illallah muhammadur rasulullah, menegakkan
shalat, membayar zakat, haji dan puasa Ramadhan” (HR. Bukhari no.
8, 4515 – Muslim no. 16).
Puasa Adalah Ibadah yang Tidak Ada Tandingannya
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda kepada Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu’anhu,
عليك
بالهجرةِ فإنَّه لا مثلَ لها ، عليك بالصَّومِ فإنَّه لا مثلَ له ، عليك
بالسُّجودِ ، فإنَّك لا تسجُدُ للهِ سجدةً إلا رفعك اللهُ بها درجةً ، وحطَّ عنك
بها خطيئةً
“Hendaknya engkau
hijrah, karena ia ibadah yang tidak ada tandingannya, hendaknya engkau berpuasa
karena puasa itu ibadah yang tidak ada tandingannya, hendaknya engkau bersujud
karena tidaklah engkau sujud sekali melainkan Allah tinggikan derajatmu satu
derajat dan menghapus satu dosamu” (HR. An Nasa-i no. 2220.
Dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa-i).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
يقولُ
اللهُ عزَّ وجلَّ كلُّ عمَلِ ابنِ آدمَ له إلا الصيامَ فهو لِي وأنا أجزِي بِهِ
“Allah ‘azza wa
jalla berfirman: setiap amalan manusia itu bagi dirinya, kecuali puasa. Karena
puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalas pahalanya” (HR.
Bukhari no. 1904 , Muslim no. 1151).
Sabar dalam melakukan ketaatan kepada
Allah, sabar dalam menjauhi hal yang dilarang Allah dan sabar terhadap takdir
Allah. Dan semua ini ada dalam ibadah puasa. Padahal pahala kesabaran itu tidak
terbatas. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا
يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya
orang-orang yang bersabar itu diganjar pahala oleh Allah tanpa batasan”
(QS. Az Zumar: 10).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
الصِّيامُ
والقرآنُ يشفعان للعبدِ يومَ القيامةِ يقولُ الصِّيامُ أيْ ربِّ منعتُه الطَّعامَ
والشَّهوةَ فشفِّعني فيه ويقولُ القرآنُ منعتُه النَّومَ باللَّيلِ فشفِّعني فيه
قال فيشفعان
“Puasa dan
Al-Qur’an, keduanya akan memberi syafaat kelak di hari kiamat. Puasa berkata:
‘Ya Rabb, aku menahannya makan dan menyalurkan syahwatnya, maka izinkanlah aku
memberi syafaat padanya’. Al Qur’an berkata: ‘Ya Rabb, aku menahannya dari
tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberi syafaat padanya’. Allah
berfirman: ‘jika demikian berilah ia syafa’at’” (HR. Ahmad 10/118.
Ahmad Syakir dalam Ta’liq-nya terhadap Musnad Ahmad menyatakan bahwa sanadnya
shahih).
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ
الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ
وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ
وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ
وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ
اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al Ahzab: 35).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
الصيامُ
جُنَّةٌ
“Puasa adalah perisai”
(HR. Bukhari no. 1894 , Muslim no. 1151).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
في
الجنة ثمانيةُ أبْوابٍ ، فيها بابٌ يُسَمَّى الرَّيَّانَ ، لا يدخلُهُ إلا
الصَّائِمُونَ
“Di surga ada
delapan pintu, di antaranya ada pintu yang dinamakan Ar Rayyan. Tidak ada yang
bisa memasukinya kecuali orang-orang yang berpuasa” (HR. Bukhari
no. 3257).
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
والذي
نفسُ محمدٍ بيدهِ لَخَلوفِ فمِ الصائمِ أطيبُ عندَ اللهِ من ريحِِ المسكِ ,للصائمِ
فَرْحتانِ يفرَحْهُما إذا أَفطرَ فَرِحَ ، وإذا لقي ربَّه فَرِحَ بصومِهِ
“Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa di sisi
Allah itu lebih wangi daripada misik. Bagi orang yang berpuasa ada dua
kebahagiaan. Kebahagiaan ketika ia berbuka dan kebahagiaan ketika ia bertemu
Rabb-Nya” (HR. Bukhari no. 1904, Muslim no. 1151).
Dikabarkan dalam sebuah hadits,
كل
عمل ابن آدم له الحسنة بعشر أمثالها إلى سبعمائة ضعف قال عز و جل : إلا الصيام
فإنه لي و أنا الذي أجزي به
“Setiap amal
manusia akan diganjar kebaikan semisalnya sampai tujuh ratus kali lipat. Allah
Azza Wa Jalla berfirman: ‘Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang
akan membalasnya‘” (HR. Muslim no.1151).
Dan sedekah, telah kita ketahui keutamaannya. Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam, teladan terbaik bagi kita,
beliau adalah orang yang paling dermawan, dan kedermawanan beliau lebih dahsyat
lagi di bulan Ramadhan. Hal ini diceritakan
oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma,
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه
جبريل ، وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيُدارسه القرآن ، فالرسول الله صلى الله
عليه وسلم أجودُ بالخير من الريح المرسَلة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah orang yang paling dermawan. Dan beliau lebih dermawan lagi di
bulan Ramadhan saat beliau bertemu Jibril. Jibril menemuinya setiap malam untuk
mengajarkan Al-Qur’an. Dan kedermawanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melebihi angin yang berhembus” (HR. Bukhari, no.6).
Kemudian shalat malam, juga merupakan ibadah yang agung,
jika didirikan di bulan Ramadhan dapat menjadi penghapus dosa-dosa yang telah
lalu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
من
قام رمضان إيماناً واحتساباً غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang yang shalat
malam karena iman dan mengharap pahala akan diampuni dosanya yang telah lalu”
(HR. Bukhari no.37, 2009, Muslim, no. 759).
Ketiga amalan yang agung ini terkumpul di bulan Ramadhan
dan jika semuanya dikerjakan balasannya adalah jaminan surga. Sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إن في
الجنة غرفا يرى ظاهرها من باطنها وباطنها من ظاهرها أعدها الله لمن ألان الكلام
وأطعم الطعام وتابع الصيام وصلى بالليل والناس نيام
“Sesungguhnya di
surga terdapat ruangan-ruangan yang bagian luarnya dapat dilihat dari dalam dan
bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Allah menganugerahkannya kepada orang
yang berkata baik, bersedekah makanan, berpuasa, dan shalat dikala kebanyakan
manusia tidur” (HR. At Tirmidzi no.1984, Ibnu Hibban di Al Majruhin
1/317, dihasankan Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah,
2/47, dihasankan Al Albani di Shahih At Targhib,
946).
Ternyata puasa itu ibadah yang luar biasa. Bergembiralah
kita ketika akan melaksanakannya dan hasung diri kita untuk bisa bersungguh-sungguh
melaksanakannya dengan baik. Semoga kita bisa meraih keutamaan-keutamaan yang
ada pada ibadah yang agung ini.Semoga Allah memberi taufik.
Sakit Sebagai Sebab
Tidak Berpuasa
Bismillah. Kita semua telah mengetahui bahwa sakit adalah salah
satu sebab seorang muslim boleh tidak berpuasa. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ
سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ
“Barangsiapa di
antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah:185).
Jenis Sakit yang Bisa Menjadi Uzur Tidak Berpuasa
Sakit seperti apakah yang bisa menjadi uzur
untuk tidak berpuasa? Semua jenis penyakit atau ada kriteria tertentu? Berikut
penjelasan dari Prof. Dr. Sulaiman Ar-Ruhaili -hafizahullah- (guru besar di Fakultas Syariah
Universitas Islam Madinah KSA, dan pengajar di masjid Nabawi):
Ada permasalahan penting yang
dijelaskan oleh para ulama, tentang bagaimana cara mengetahui kadar penyakit
yang menjadi uzur untuk tidak berpuasa?
Sebagian ulama menerangkan, “melihat pada penyakit-penyakit
kronis yang dikenal, kemudian dilihat apakah penyakit yang dialaminya memiliki
kadar sakit yang mendekati penyakit kronis tersebut ataukah tidak. Apabila
mendekati maka tergolong uzur menurut syariat, namun apabila tidak maka bukan
uzur. Akan tetapi pendapat ini sangat sulit diterapkan oleh masyarakat dan
tidak ada kaidah atau dalil syariat yang mendukung.”
- Ulama yang lain berpandangan, “kadar sakit yang
mendapat uzur dikembalikan kepada urf (kebiasaan)
masyarakat setempat. Apabila masyarakat memandang bahwa suatu penyakit
tergolong memberatkan maka bisa menjadi uzur untuk tidak berpuasa, namun
apabila menurut pandangan masyarakat bukan termasuk sakit yang memberatkan
maka tidak bisa dijadikan uzur untuk tidak puasa. Pendapat ini juga perlu
dikoreksi karena patokan ini kurang konsisten.
- Ulama lain berpandangan, “setiap mukallaf (orang yang terkena
beban syariat) harus menimbang sendiri penyakit yang diderita, mana
penyakit yang memberatkan dan yang tidak.
Tampaknya pendapat terakhir inilah yang paling
mendekati kebenaran dan lebih moderat, karena masing-masing orang berbeda-beda,
ada orang yang mengalami suatu penyakit namun ia tidak merasa berat untuk
melakukan puasa dan ada orang yang mengalami penyakit yang sama namun ia merasa
berat untuk berpuasa karena sakitnya tersebut. Misalnya sebagian orang saat
menderita flu, ia merasakan capek dan berat sekali, sedangkan sebagian yang
lain merasa seakan tidak terjadi apa-apa.
Kesimpulannya, penyakit yang memberatkan
seseorang dalam melakukan puasa maka bisa menjadi uzur untuk tidak berpuasa
menurut syariat, sedangkan jika tidak sampai memberatkan maka bukan uzur untuk
tidak berpuasa.
Para ulama mengatakan,
العبرة
بالحقائق لا بالأوهام
“Yang menjadi patokan adalah hakikat bukan
sangkaan.”
Artinya suatu penyakit akan menjadi uzur untuk
tidak berpuasa apabila sakit itu memang terbukti ada dan memberatkan untuk
melakukan puasa, bukan sekedar sangkaan yang dibuat-buat, karena sekedar
sangkaan tidaklah teranggap, seperti seorang anak kecil ketika disuruh
berangkat ke sekolah kemudian ia mengatakan sedang sakit padahal tidak sakit,
supaya dimaklumi untuk tidak berangkat ke sekolah.
Dan ingat bahwa seorang mukallaf (orang yang terkena beban syariat) sejatinya sedang
bermuamalah dengan Allah Ta’ala.Maka bila suatu penyakit memang benar
menimpa seseorang dan penyakit tersebut memberatkannya untuk berpuasa maka ia
mendapat keringanan untuk tidak berpuasa. Kemudian, orang sakit berkaitan
dengan rukhsah (keringanan) yang diberikan, ada dua jenis:
Mengalami sakit dan ia merasa berat
untuk berpuasa karena sakit tersebut, namun bila berpuasa tidak sampai
membahayakan jiwanya atau salah satu anggota badannya.
Pada keadaan ini, boleh bagi orang tersebut
untuk tidak puasa, namun yang paling afdal adalah memilih yang paling ringan
bagi darinya. Apabila ada yang bertanya, “lebih afdal puasa atau tidak puasa
(untuk orang jenis ini)?” Jawabannya,”yang paling ringan menurutmu itulah yang
lebih afdal. Sehingga apabila puasa itu menurut anda lebih ringan, maka
puasalah, namun apabila tidak berpuasa merupakan pilihan yang lebih ringan,
maka berbukalah.”
Mengalami sakit dan ia merasa berat
untuk berpuasa karena sakit tersebut, kemudian apabila berpuasa akan
membahayakan jiwa atau salah satu anggota badannya.
Untuk keadaan ini seseorang wajib untuk tidak
berpuasa, bahkan haram berpuasa. Misalnya seseorang menderita penyakit nephrosis dan puasa dapat membahayakannya maka berpuasa haram
hukumnya dan dia wajib tidak berpuasa. Berdasarkan sabda Nabi shallallahualaihiwasallam,
لا
ضرر ولا ضرار
“Tidak
boleh memberikan mudarat kepada diri sendiri dan kepada orang lain.” (HR. Daruquthni (3/ 77 ).
Hadis ini dalil yang menunjukkan
haramnya melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Wallahua’lam bis shawab.
================
Kontributor: dr Raehanul Bahraen; Muhammad
Saefuddin Hakim; Ahmad Ansori; dr. Adika Mianoki; Yulian
Purnama. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment