Fikih Puasa Ramadhan
1. Menentukan Awal Bulan Ramadhan
Puasa adalah
kewajiban yang diberikan Allah SWT kepada semua ummat sejak zaman Nabi Adam
sampai Nabi Muhammad SAW, meski bentuk atau caranya yang berbeda sebagai mana
sebelum tahun dua hijriyah ummat Islam belum diwajibkan puasa Ramadhan tetapi
sudah di wajibkan puasa A’asyura dan puasa tiga hari di tiap satu bulan, maka
pada bulan Sya’ban tahun dua hijriyah turun ayat yang memerintahkan puasa Ramadhan
sehingga kewajiban puasa A’asyura’ dan puasa tiga hari di tiap bulan dihapus
menjadi sunah,(kitab Durrotun Nasi’in hlm,10) Ayat tersebut adalah:
ياايها الذين امنوا كتب عليكم
الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون(183) اياما معدودات فمن كان منكم
مريضا او على سفر فعدة من ايام اخر وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين فمن تطوع
خيرا فهو خيرله وان تصوموخيرلكم ان كنتم تعلمون(184)
“Hai orang-orang yang beriman di wajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana di wajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu, maka barang siapa di antara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang di tinggalkanya itu pada hari-hari yang lain, dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankanya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin, barang siapa yang dengan
rela melakukan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya,dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu menggetahui,
Sementara itu di
Indonesia yang merupakan muslim terbesar dunia baik jumlah orang muslimnya
maupun luas wilayahnya, Negara yang bermacam-macam suku, budaya yang terbungkus
dengan slogan ‘’Bhineka Tunggal Ika” ternyata juga perbedaan dalam ibadahpun
sering terjadi di Negara kita ini,diantaranya adalah menggenai penetapan bulan
Ramadhan dan Syawal yang berpotensi pada perbedaan awal puasa Ramadhan dan
akhir Ramadhan (ibadah sholat Iedul fitri).
Kaitannya dengan hal tersebut maka di sini sedikit akan diulas menggenai penetapan awal dan akhir ramadhan, beserta referensi kitabnya. Sebagaimana yang dituntunkan oleh Rasulullah dan Salafuna Sholih, tetapi dalam referensi apapun yang kita sampaikan sebagai muslimin kita tetap menghargai pendapat yang lain dan tidak memaksa untuk menggikuti salah satu pendapat.
1. Kitab Hujjah Ahlussunah Wal Jama’ah halaman 42:
ان ائمة المذاهب الاربعة
اجمعت على ان شهر رمضان لا يثبت الا بأحد امرين : رؤيةهلاله او اكمال شعبان اذا
كان هناك مايمنع الرؤية من غيم او دخان او غبار او نحوها.
“Sesungguhnya para imam madzhab 4 (Syafi’I, Maliki, Khanafi,
Hambali) sepakat bahwa untuk menentukan bulan romadhon tidak bisa kecuali
dengan dua cara yaitu melihat hilal atau menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari.
2. Kitab Al-Iqna’
halaman 202:
ويجب صوم رمضان بأحد امرين
باكمال شعبان ثلاثين يومااو رؤية الهلال ليلة الثلاثين من شعبان
Dan wajib melakukan puasa
ramadhon atas dua perkara yaitu menyempurnakan sya’ban sebanyak 30 hari atau
melihat hilal di malam 30 sya’ban (sehingga sa’ban hanya 29 hari dan besoknya
sudah puasa )
3. Kitab Tanwirul
Qulub hlm 260-261L
يجب صوم رمضان برؤية الهلال
او استكمال شعبان ثلاثين يوما, او بتصديق من يثق به بأنه رأى الهلال او بثبوت
رؤيته ولو بشهادة عدل, ولا يجب العمل بقول المنجم والحاسب ان اليلة من رمضان.
وعليهما ان يعملابحسابهما وكذا من صدق هما
"Wajib puasa ramadhan dengan melihat hilal atau menyempurnakan
jumlah bulan sya’ban sebanyak 30 hari,(karna dalam kalender hijriyah satu bulan
tidak ada yang melebihi 30 hari) atau dengan mempercayai orang yg bisa dipercaya bahwa sesungguhya dia melihat hilal, atau dia menggetahui hilal meski
hanya dengan memakai satu orang saksi saja, dan tidak wajib puasa romadhon
dengan memakai pedoman ahli perbintangan atau ahli hisab (ilmu falak) dan bagi
mereka berdua boleh menggamalkan puasa atas dasar perbintangan dan falak (tidak
boleh untuk isbat atau penetapan untuk umum )dan boleh bagi Orang yang
mempercayai mereka,
Dari semua
keterangan di atas menggambil kesimpulan dari hadis Nabi Muhammad SAW yaitu:
عن ابي هريرة ان النبي صلى
الله عليه وسلم قال : صوموا لرؤيته وافطرولرؤيته فان غم عليكم فأكملوا عدة شعبان
ثلاثين يوما
Dari Abi Huraira R.A bahwa sesungguhnya nabi Muhammad SAW
bersabda: Berpuasalah kalian semua jika telah melihat hilal, dan idul fitrilah
kalian semua jika sudah melihat hilal,dan jika hilal tetutup oleh mendung maka
sempurnakanlah hitungan sya’ban 30 hari
عن ابن عمر رضي الله عنهما
قال : تراء الناس الهلال فأخبرت رسول الله صلى الله عليه وسلم أني رايته فصام وامر
الناس بصيامه ” رواه ابو داوود وحاكم, وان حبان وصححاه
“Dari Ibnu Umar RA berkata : manusia telah melihat hilal maka
saya menyampaikan kejadian itu kepada Rosulullah SAW bahwa sesungguhnya saya
telah melihat hilal, maka Nabi berpuasa dan menyuruh manusia untuk berpuasa.
Dari keterangngan
ini semua dapat disimpulkan bahwa menentukan awal dan ahir Ramadhan (Isbat)
yang bisa diinformasikan untuk orang umum hanya bisa dilakukan dengan cara
melihat hilal atau dengan cara menyempurnakan hitungan bulan 30 hari jika pada
malam ke 30 hilal masih belum bisa terlihat Tetapi ada yang membolehkan dengan
ilmu perbintangan dan hisab (ilmu falak) tetapi hanya boleh digunakan secara
pribadi tidak boleh diumumkan untuk masyarakat. Adapun alasan lain selain karena
memang cara ru’yah dan Istikmal merupakan cara yang dipakai Rasulullah SAW,
adalah karena dalam menentukan hkum syar’ie islam tidak boleh memakai dasar
kira-kira tanpa adanya bukti yang jelas. Sementara kepastian adanya hilal itu
bisa dipastikan kalau memang sudah benar-benar melihatnya. Sebagaimana disabdakan
oleh Rosullullah SAW “jika hilal tertutup mendung maka sempurnakanlah hitunggan
Sya’ban selama 30 hari. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih yang berbunyi:
نحن نحكم باالظواهر والله
يتول السرائر
Kami(syari’at) menghukumi sesuatu dengan dasar yang tampak
(dhohirnya) adapun urusan batin itu urusanya dengan (Allah yang mengguasainya)
2. Perihal Tidur di Bulan Puasa. Apakah benar bahwa tidur orang yang berpuasa merupakan Ibadah?
Hal Ini dapat diberi jawaban sbb:
Hal Ini dapat diberi jawaban sbb:
Jika seseorang
yang berpuasa dengan bangunnya kemudian bermuamalah dengan orang lain biasanya
menyebabkan dirinya melakukan hal-hal yang tidak baik seperti berbohong,
bergosip (ghibah), memandang hal-hal yang dilarang dan sebagainya dan dengan
tidur dia bisa terhindar dari perbuatan-perbuatan buruk tersebut, maka tidurnya
tersebut merupakan suatu amal ibadah. Dia merupakan ibadah salbiyah sebagaimana
sedekahnya orang yang tidak punya apa-apa dengan menahan diri dari perbuatan
buruk, Nabi SAW bersabda:
فليمسك عن الشر فإن إمساكه عن
الشر صدقة
“hendaknya (orang yang tidak mampu bersedekah dengan harta)
senantiasa menjauhi hal-hal yang buruk, karena menjauhi hal-hal buruk adalah
sedekah”.
Maka tidurnya
orang yang berpuasa dalam koridor ini merupakan suatu bentuk ibadah jika
diniatkan. Yang kedua : jika seseorang yang berpuasa dengan tidurnya
menyebabkan dia tidak bisa melakukan banyak hal positif, padahal Islam
mewajibkan manusia untuk memanfaatkan kekuatan dan kemampuannya untuk digunakan
dalam hal-hal yang baik. Islam juga mengajari untuk berlindung dari sifat lemah
dan malas ketika berdoa, sehingga Islam adalah agama yang menyukai gerak, kerja
dan karya. Dan orang yang berpuasa mampu untuk bergerak, bekerja juga berkarya
sesuai batas kemampuannya. Para sahabat Nabi SAW pun tidak lantas
bermalas-malasan ketika sedang berpuasa. Bahkan sebaliknya, banyak
peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah yang terjadi pada bulan Ramadhan yang
merupakan bulan puasa, diantaranya adalah perang Badar dan Fathu Makkah. Maka,
jika tidur seseorang yang berpuasa itu tidak dalam rangka menjauhi hal-hal yang
dilarang Allah melainkan sebaliknya membuat orang yang berpuasa lebih sedikit
gerak, kerja dan karya positifnya, tidurnya tersebut adalah suatu perbuatan
yang tidak baik, sama sekali bukan ibadah. Dan hendaknya diketahui, amal baik
yang dikerjakan dalam keadaan puasa apalagi pada bulan Ramadhan, pahalanya itu
berlipat-lipat. Dalam hadits disebutkan, barang siapa melaksanakan perbuatan
sunah dalam bulan Ramadhan maka pahalanya seperti melaksanakan perbuatan wajib
di selain Ramadhan, dan barang siapa melaksanakan satu perbuatan wajib pada
bulan Ramadhan maka pahalanya seperti melakukan 70 kalinya di selainnya.
3. Keutamaan Puasa
Ramadhan
Semestinya,
kalau melihat sambutan dan pernyataan-pernyataan kaum muslimin menjelang
Ramadan, tentu bulan suci itu adalah bulan yang istimewa. Tapi di manakah letak
istimewanya? Apakah hanya pada perubahan jadwal makan, ramainya tarawih
keliling, dan lomba ceramah agama, termasuk dagelan-dagelan di televisi?
Bukankah selain itu semuanya seperti berjalan sebagaimana biasa? Simaklah media
massa, media cetak, atau elektronik; bacalah berita-berita. Bukankah isinya
tidak banyak berbeda dengan hari-hari sebelum Ramadan? Anda masih dapat
menikmati gosip selebritas, sinetron percintaan, dan film kekerasan. Anda masih
bisa membaca berita, mulai copet yang dikeroyok di pasar hingga korupsi dengan
manuver-manuver politikus. Anda masih bisa menyaksikan demo-demo dan
tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama. Anda masih melihat tokoh-tokoh
memamerkan keahliannya mengulas dan memutarbalikkan fakta. Apakah hanya
pedagang-pedagang warung yang harus “menghormati” Ramadan dan mereka yang
merusak tatanan justru bisa terus melenggang “melecehkan” kesucian Ramadan?
Atau apakah sebenarnya maksud kita dengan penghormatan terhadap Ramadan itu?
Bukankah lebih mirip dan cukup jika penghormatan kita terhadap bulan suci itu
berupa berpuasa dan beribadah? Mendekatkan diri kepada Allah Yang Maha Suci?
Konon puasa berasal dari bahasa Sanskerta: upavasa. “Upa” berarti dekat dan
“vasa/wasa” berarti yang maha agung. Upavasa berarti mendekatkan diri kepada
Yang Maha Agung. Mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan
perintah-perintah-Nya adalah yang paling disukai-Nya. Semua perintah Allah
adalah untuk kepentingan hamba-Nya. Untuk kesempurnaannya sebagai hamba
sehingga pantas dekat dengan-Nya. Para wali, kekasih Allah, memulai
pendekatannya kepada Allah dengan cara itu. Dengan menunjukkan kehambaan mereka
yang tulus dan tuntas kepada Tuan mereka. Allah Yang Maha Agung. Melaksanakan
segala perintah Tuan adalah prioritas utama hamba sejati. Jadi mereka memulai
dari niat dan membersihkan hati. Puasa adalah salah satu perintah Allah yang
istimewa. Kebanyakan perintah-perintah Allah sangat rentan terhadap godaan
pamer. Salat, misalnya, yang seharusnya sebagaimana ibadah-ibadah yang lain dan
dilaksanakan semata-mata untuk Allah, sering kali pelaksanaannya tak dapat
mengelak dari godaan pamer. Puasa, karena sifatnya, lebih jauh dari godaan itu.
Kecuali, mereka yang memang maniak pamer, hampir sulit dibayangkan orang yang
berpuasa pamer kepada orang lain: menunjukkan puasanya. Orang yang berpuasa
seharusnya adalah orang yang berkeyakinan kuat bahwa puasanya dapat membuat
Tuhannya ridha, atau minimal yakin ada pahala untuk puasanya. Kalau tidak,
alangkah ruginya berpuasa hanya untuk menahan lapar dan haus. Semua amal ibadah
diganjar minimal 10 kali lipat dan bisa sampai 700 kali lipat dan seterusnya,
kecuali puasa. Puasa merupakan ibadah yang hanya Allah sendiri yang tahu
seberapa besar Ia akan mengganjarnya. “Kullu ‘amali Ibni Adam lahu illash
shiyaam,” kata Allah dalam hadis Qudsi, “fainnahu lii wa anaa ajzii bihi.” (HR
Bukhari Muslim dari Abu Hurairah r.a). “Semua amal manusia miliknya, kecuali
puasa. Puasa adalah milik-Ku; Aku sendiri yang akan membalasnya.”
4. Tentang menelan air ludah ketika Puasa. Air ludah
yang tidak tercampur dengan zat-zat lain itu boleh di telan walaupun sedang
melaksanakan puasa. Hal itu dikarenakan sangat sulitnya menjaga darinya (untuk
tidak menelannya). Maka setiap kali air ludah mengumpul tidak wajib bagi orang
yang berpuasa untuk meludahkannya. Adapun dahak yang bersumber dari paru-paru
demikian juga lendir yang berasal dari kepala ketika sampai kerongga mulut dan
di telan, maka hal itu membatalkan puasa menurut madzhab Syafi’i. Karena
praktek ini tergolong dalam kategori memasukkan sesuatu keperut dari rongga
yang terbuka dan tidak sulit juga untuk menjaga darinya (tidak menelannya),
sehingga termasuk dalam hal-hal yang membatalkan puasa. Namun ada juga sebagian
ulama yang menyatakan bahwa menelan dahak itu tidak membatalkan puasa selama
dahak tersebut belum sampai pernah keluar dari rongga mulut melewati dua bibir.
Bahkan ada pula yang menyamakan antara menelan dahak dengan menelan ludah, sehingga
hukum menelannya secara mutlak adalah boleh. Dengan demikian maka boleh bagi
yang mempunyai masalah berat dengan dahak atau lender untuk memakai pendapat
ketiga tadi sebagai bentuk sebuah keringanan. Adapun yang sehat hendaknya
memilih pendapat yang pertama atau yang kedua. Masalah : Ketika orang yang
sedang berpuasa melaksanakan sholat dan merasakan dahaknya sudah menggumpal
sedangkan dia mengambil pendapat pertama yang menyatakan bahwa menelan dahak
itu membatalkan puasa. Apa yang harus dia lakukan? Yang harus dilakukan oleh
orang yang mempunyai masalah di atas adalah tetap harus meludahkan dahak
tersebut dan tidak boleh menelannya, karena menelannya termasuk hal yang
membatalkan puasa. Dan ketika dia sholatnya adalah di masjid hendaknya tidak
meludahkannya sembarangan karena hal itu akan mengotori masjid tersebut. Maka
hendaknya dia sediakan selalu tisu atau semacamnya di saku sebagai tempat
pembuangannya ketika merasa sedang bermasalah dengan dahak. Itupun dengan
gerakan kecil yang tidak terhitung bias membatalkan sholatnya. Demikian
penjelasan hukum menelan dahak saat puasa. semoga bermanfaat. (Sumber :
Mausu’ah Ahsanil Kalam fil Fatawa wal Ahkam Syekh Athiyah Shoqr)
5. Kebahagiaan Orang
Berpuasa
Puasa merupakan
suatu ibadah mahdlah yang nilainya berbeda dibandingkan dengan ibadah lain
semacam sholat, zakat ataupun haji. Karena puasa merupakan ibadah yang
istimewa. Dilihat dari sudut pandang sufistik, puasa dianggap sebagai wujud
keromantisan dalam hubungan seorang hamba dan Tuhannya. Ketika seseorang
meniatkan diri untuk berpuasa, itu berarti dia telah mengikat janji dengan
Tuhan. Yang bisa menilai apakah seseorang itu benar-benar berpuasa atau tidak,
hanyalah Tuhan dan dirinya sendiri. Sebab bisa saja pada malam harinya dia
mengaku berniat puasa kemudian di tengah hari dia minum secara diam-diam hingga
tak ada orang lain yang mengetahuinya. Di mata manusia, mungkin saja dia tetap
dinilai sebagai orang yang sedang berpuasa, namun di hadapan Allah tidak.
Itulah mengapa puasa menduduki posisi khusus di hadapan Allah.
Bahkan Allah SWT
sendiri menyebutkan dalam sebuah hadist qudsi, “TIAP-TIAP KEBAIKAN YANG
DILAKUKAN ANAK ADAM, DIGANDAKAN DARI SEPULUH SAMPAI TUJUH RATUS KALI LIPATNYA,
KECUALI PUASA. KARENA SESUNGGUHNYA PUASA ITU UNTUK-KU DAN AKU MEMBERI BALASAN
ATASNYA.” Saking istimewanya kedudukan orang yang berpuasa sehingga Allah
sendiri yang menjanjikan balasannya. Lalu, apakah balasan itu? Disebutkan dalam
salah satu bagian dari kitab Durratun Nashihin bab Keutamaan Ramadlan mengenai
sebuah riwayat. Diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bermunajat kepada
Tuhannya, ia berkata: “Tuhanku, apakah Engkau memuliakan seorang seperti halnya
Engkau memuliakan aku, hingga Engkau perdengarkan firman-Mu kepadaku?” Allah
SWT menjawab: “Hai Musa sesungguhnya Aku mempunyai hamba-hamba yang Aku
keluarkan mereka di akhir zaman. Lalu, Aku muliakan mereka dengan bulan
Ramadlan dan Aku lebih dekat kepada merek daripadamu. Karena, sesungguhnya Aku
berbicara kepadamu, sedang antara Aku dan kamu ada tujuh ribu tabir. Namun,
apabila umat Muhammad berpuasa, sedang bibir-bibir mereka memutih dan warna –
warna mereka memucat, maka Aku angkat tabir itu di waktu berbuka. Hai Musa,
beruntunglah orang-orang yang kehausan hatinya dan lapar perutnya di bulan
Ramadlan. Aku tidak memberi balasan kepada mereka selain pertemuan dengan-Ku.”
Ternyata balasan yang dijanjikan oleh Allah tak lain adalah pertemuan
dengan-Nya.
Inilah yang disebut sebagai sebuah kebahagiaan yang akan diraih
oleh mereka yang berpuasa. Sebagaimana telah populer kita dengar bahwa orang
yang berpuasa akan mendapat dua kebahagiaan, pertama bahagia pada saat berbuka
puasa dan kedua bahagia pada saat berjumpa dengan Allah SWT. Subhanallah…
Betapa agungnya balasan yang dijanjikan. Adakah balasan yang lebih kita
inginkan selain berjumpa dengan-Nya? Adakah yang lebih membahagiakan selain
bisa leluasa memandang wajah-Nya? Barangkali benar apa yang dikatakan seorang
sufi, “Surga bukanlah sebuah tempat sebagaimana disebutkan ada sungai-sungai yang
mengalir di bawahnya, Surga yang sebenarnya adalah ketika kita diberi
kesempatan untuk bisa memandang wajah-Nya.” Allahummaj’alnaa minhum…
Keutamaan Puasa
Ramadhan
Perlu kiranya
kita mengetahui Keutamaan Puasa dan Bulan Ramadhan. Baginda Muhammad Saw
bersabda, “Puasa itu setengahnya sabar,” (HR. Imam At-Tirmidzy)
dilanjutkan dengan sabda lainnya yang menegaskan, “Sabar itu setengahnya iman,”
(HR. Imam Al-Khathib dan Imam Abi Nu’aim); Berarti sesungguhnya hasil gabungan
dua hadits di atas adalah “Puasa itu seperempatnya iman.” Selain sabagai mozaik
iman yang berbobot, pahala puasa itu langsung dibalas oleh Allah, sehingga
balasan rukun Islam yang satu ini tidak ada yang tahu selain-Nya, disaat setiap
ibadah kebajikan biasa bisa Allah lipat gandakan pahalanya mulai dari 10 hingga
700 kali lipat. Bagaimana dengan pahala puasa? Sekali lagi, pahala puasa
benar-benar melintas di luar batas prediksi hitungan hisab ibadah biasa, sebab,
“puasa itu hanya untuk-Ku dan Akulah yang kelak membalasnya,” ujar
hadits Qudsi muttafaq ‘alaih riwayat Sahabat Abu Hurairah (w. 59 H/602-679 M).
Dan karena puasa mampu melejetikan setengah potensi rasa kesabaran dalam diri
kita, Allah pun telah berfirman, إِنَّمَا يُوَفَّى
الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ “Sesungguhnya
hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
(QS: Az-Zumar: 10) إِنَّ اللّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ “Dan
Allah senantiasa bersama mereka yang selalu besabar.”(QS: Al-Baqarah ayat 153
dan Al-Anfal ayat 47).
Cukuplah untuk
mengetahui keutamaan puasa ketika Nabi sampai sudi bersumpah bahwa aroma mulut
seorang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah ketimbang harumnya misik, dan
bahkan Allah telah memberikan fasilitas khusus bagi mereka yang rajin berpuasa;
kelak mereka masuk surga dan bersua dengan-Nya via pintu yang tak bisa
dilintasi oleh selain mereka, pintu spesial ini bernama “Ar-Rayyan.” Tidak
heran, Rasul pun pernah mewartakan kepada para Sahabatnya bahwa hanya bagi
orang berpuasalah diperoleh dua kebahagiaan; kebahagiaan saat berbuka puasanya,
dan kebahagiaan disaat bertemu Tuhannya. Ketiga hadits tentang aroma mulut
berpuasa, pintu spesial “Ar-Rayyan”, dan dua kebahagiaan orang berpuasa ini
semuanya hadits-hadist shahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim. Allah
Subhanahu Wata’ala berfirmanL
“Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, yang
indah dipandang, sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka amalkan.”
(QS. As- Sajdah [32]: 17).
Ada yang
manafsiri bahwa yang mereka amalkan adalah puasa. Dan memang layak pahala puasa
sedemikian benafitnya, sebab puasa -sebagaimana yang telah disinggung diatas-
langsung disalurkan ke haribaan Allah Subhanahu Wata’ala, berbeda dengan
ibadah-ibadah lainnya. Di sini layak juga dipertanyakan, apa yang membedakan
ibadah puasa dengan yang lainnya, padahal semua ibadah lainnya pun akan
dikembalikan ke Allah Subhanahu Wata’ala? Pertama, Al-Ghazali menjawab puasa
itu sama halnya dengan masjidil Haram yang secara langsung diberi gelar “Rumah
-milik- Allah” (Baitullah), padahal toh semua permukaan bumi ini sebenarnya
milik-Nya pula.
Kedua, ada dua faktor nalar bermakna yang hanya dimiliki ibadah
puasa; a. Bahwa puasa itu sebuah sikap ketahanan diri dan pengabaian, di
dalamnya ada rahasia (sirr) yang tak terdapat di ibadah lainnya yang bisa
terlihat. Seluruh amal ketaatan (lainnya) bisa tersaksikan makhluk hidup
ciptaan-Nya dan terlihat, tidak dengan puasa. Hanya Allah semata yang bisa
melihatnya. Itu karena, sekali lagi, puasa merupakan amal ibadah batin dengan
memfungsikan kesabaran yang menjernihkan. b. Bahwa puasa itu pengekang musuh
Allah, sebab jalur Setan (menggoda manusia) hanya melalui syahwat. Sedang
syahwat hanya bisa diperkuat dengan makan-minum. Oleh karena itu, Baginda
Muhammad Saw pernah mengingatkan kita, “Sesungguhnya Setan berjalan melalui
aliran darah Ibn Adam, maka persempitlah kalian jalur-jalurnya dengan lapar!”
(HR. Muttafaq ‘alaih) Masih mengenai puasa yang melemahkan syahwat dengan rasa
lapar, suatu hari Rasulullah Saw berpetuah kepada Siti ‘Aisyah (w. 58 H/613-678
M), “Kebiasaanku telah mengetuk pintu surga.” Istri tercinta pun bertanya,
“Dengan apa, wahai Baginda Rasul?” “Dengan lapar,” jawab sang rasul. Jadi,
ketika puasa khususnya mampu mengekang Setan, menyumbat jalur-jalurnya, dan mempersempit
lintasan-lintasannya, maka sunggah pantaslah ibadah ini Allah spesialkan dengan
menasbihkan puasa hanya untuk dan milik-Nya. Sebab hanya dengan mengekang
musuh-Nya, pembelaan terhadap (agama) Allah terwujud, dan hamba yang membela
(agama) Allah pasti akan ditolong-Nya. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang
beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia menolong kalian dan
meneguhkan kedudukan kalian.” (Q.S Muhammad: 7). Jadi, permulaan itu dengan
kesungguhan perjuangan dari diri seorang hamba, dan pasti akan dibalas dengan
sebuah petunjuk (hidayah) dari Allah ‘Azza wa Jalla. Oleh sebab itu, Allah
berjanji, “Dan orang-orang yang berjuang demi (mencari keridhaan) Kami, niscaya
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (Q.S.
Al-Ankabut : 69). Allah Subhanahu Wata’ala juga pernah menegaskan;
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ
مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ “
Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang
mengubah apa-apa yang pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d:11).
Sedangkan perubahan (ke arah lebih buruk) hanya bisa terjadi dengan
memperbanyak syahwat, di sinilah ladang ketenteraman para setan dan tempat
mereka berjaga. Selagi ladang syahwat ini makin subur, maka godaan mereka
takkan pernah terhenti. Dan selagi mereka selalu menggoda, maka keagungan Allah
Subhanahu Wata’ala takkan pernah tersibak di pelupuk mata hati seorang hamba,
ia terhijab dari menemui-Nya. Rasulullah Saw pernah menyayangkan hal ini dengan
bersabda, “Andai saja para setan itu tak mampu mengitari hati manusia,
niscaya manusia pasti bisa mengamati kerajaan langit.” (HR. Imam Ahmad bin
Hanbal)
Maka dari uraian di atas, tampaklah dengan jelas bahwa puasa merupakan
pintunya ibadah menuju taman keimanan yang hakiki, sekaligus merupakan perisai
seorang beriman agar senantiasa bertakwa kepada Tuhannya dan mampu mengekang
kekuatan syahwat hingga Setan pun tak lagi mampu mengitari hati kita yang
berpuasa. Dan diatas semuanya, hanya Allah semata yang tahu seberapa besar
agungnya pahala berpuasa. Semoga kita bisa memuasakan batin kita, selain juga
jasmaninya!
=====================
Kontributor: KH
Ahmad Mustofa Bisri, Mohammad Roby Ulfi Zt dan Zuhal Qobili. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment