Syariat Islam
adalah syariat yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia,
meskipun hal-hal “kecil” yang mungkin kita anggap remeh, semacam (maaf) adab
buang air atau adab hubungan badan antara suami dan istri. Jika hal-hal semacam
itu saja diatur dalam syariat yang mulia ini, maka bagaimana lagi dengan
“hal-hal besar” yang menyangkut hajat hidup orang banyak? Tentu lebih layak
lagi untuk diatur oleh syariat.
Para ulama ahlus
sunnah dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, telah menggoreskan dalam
tinta emas mereka, di buku-buku aqidah yang mereka tulis, tentang kewajiban
taat terhadap penguasa muslim, meskipun penguasa tersebut adalah penguasa yang
dzalim (jahat) [1]. Dalam kesempatan ini, kami akan menyebutkan
secara lebih rinci hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang berkaitan dengan masalah ini. Semoga hal ini menjadi bekal
bagi kita dalam menghadapi situasi yang penuh dengan fitnah ini.
Dari Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ
كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengarlah
dan taat, meskipun penguasa (pemimpin) kalian adalah seorang budak Habsyi
(budak dari Ethiopia), yang kepalanya seperti kismis (anggur kering) (karena
secara fisik, mereka berambut keriting seperti anggur kering yang mengkerut,
pen.)” (HR. Bukhari no. 693)
Marilah kita
memperhatikan hadits di atas dengan seksama. Dalam kondisi ideal, seorang budak
Habsyi tidak sah ditunjuk (dipilih) menjadi khalifah yang mengatur urusan
seluruh negeri kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Akan tetapi, jika
realitanya demikian (misalnya ada seorang budak Habsyi yang berhasil
memberontak dan diangkat sebagai penguasa atau khalifah yang sah atas seluruh
negeri kaum muslimin), apa perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kepada kita? Tetap mendengar dan taat. Demikian pula, dalam
kondisi ideal, seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin. Akan tetapi, jika
realitanya ada seorang wanita berhasil menjadi penguasa, maka kewajiban kita
tetap mendengar dan taat.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ،
فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa
membenci tindakan (kebijakan) yang ada pada penguasanya, hendaklah dia
bersabar. Karena siapa saja yang keluar dari (ketaatan) terhadap
penguasa (seakan-akan) sejengkal saja, maka dia akan mati sebagaimana matinya
orang-orang jahiliyyah.” (HR. Bukhari no. 7053 dan Muslim no.
1849. Lafadz hadits ini milik Bukhari.). Hadits ini sungguh sangat berat
diterima oleh orang-orang yang bersemangat melakukan berbagai aksi menentang
penguasa. Ketika dia melihat kedzaliman penguasa muslim, apakah yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam perintahkan? Apakah melakukan berbagai aksi demonstrasi?
Tidak. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kita untuk bersabar.
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala menjelaskan makna “mati sebagaimana
matinya orang-orang jahiliyyah” dalam hadits di atas dengan mengatakan,
فَقَدْ ذَكَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْبُغَاةَ الْخَارِجِينَ عَنْ طَاعَةِ السُّلْطَانِ وَعَنْ جَمَاعَةِ
الْمُسْلِمِينَ وَذَكَرَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إذَا مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً؛
فَإِنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ لَمْ يَكُونُوا يَجْعَلُونَ عَلَيْهِمْ أَئِمَّةً؛
بَلْ كُلُّ طَائِفَةٍ تُغَالِبُ الْأُخْرَى
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan pemberontak yang keluar dari ketaatan
terhadap penguasa (pemerintah) yang sah dan keluar dari jamaah kaum muslimin
(yaitu ikatan jamaah kaum muslimin di bawah satu komando penguasa, pen.).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan jika mereka mati,
mereka mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyyah. Karena orang-orang
jahiliyyah tidaklah menjadikan satu orang pemimpin di tengah-tengah mereka yang
mengatur kehidupan mereka. Akan tetapi, satu kabilah (suku) akan memerangi suku
yang lainnya.” (Majmu’ Al-Fataawa, 28/487)
Berdasarkan
penjelasan Ibnu Taimiyyah di atas, “mati jahiliyyah” bukanlah mati di atas
kekafiran sebagaimana anggapan sebagian kelompok yang menyimpang dalam masalah
ini. Akan tetapi, yang dimaksud adalah orang-orang jahiliyyah dulu
(sebelum Islam) tidak mempunyai penguasa. Tidak ada satu penguasa sah (resmi)
di Mekah pada masa jahiliyyah yang mengatur urusan-urusan mereka. Padahal, kota
Mekah itu terdiri atas berbagai suku (kabilah). Jadilah mereka hidup di atas
fanatisme kesukuan, mereka akan memerangi kabilah lain untuk bertahan hidup.
Junadah bin Abi
Umayyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami menemui ‘Ubadah bin
Shamit radhiyallahu ‘anhu ketika beliau sedang dalam kondisi
sakit. Kami mengatakan, “Semoga Allah Ta’ala memperbaiki keadaanmu (menyembuhkanmu,
pen.). Sampaikanlah kepada kami suatu hadits yang Engkau dengar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, semoga Allah memberikan manfaat (pahala) kepadamu
dengan sebab hadits yang Engkau sampaikan (kepada kami).”
Sahabat ‘Ubadah
bin Shamit radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعَنَا عَلَى
السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ
تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah
kepada kami dan kami pun berbaiat kepada beliau. Maka Nabi mengatakan di antara
poin baiat yang beliau ambil dari kami, Nabi meminta kepada kami untuk
mendengar dan taat kepada penguasa, baik (perintah penguasa tersebut) kami
bersemangat untuk mengerjakannya atau kami tidak suka mengerjakannya, baik
(perintah penguasa tersebut) diberikan kepada kami dalam kondisi sulit (repot)
atau dalam kondisi mudah (lapang), juga meskipun penguasa tersebut
mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak rakyat untuk
kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.), dan supaya kami tidak
merebut kekuasaan dari pemegangnya (maksudnya, jangan memberontak, pen.). Kecuali
jika kalian melihat kekafiran yang nyata (tampak terang-terangan atas semua
orang, pen.), dan kalian memiliki bukti di hadapan Allah Ta’ala bahwa itu
adalah kekafiran.” (HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Dalam hadits di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
kita untuk tetap mendengar dan taat kepada penguasa muslim yang dzalim, yaitu
meskipun perintahnya tidak kita sukai (kita benci), dan meskipun penguasa
tersebut mendzalimi hak-hak rakyat demi kepentingan dirinya sendiri.
Dari Nafi’, dari
‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا
أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ
فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar
dan taat adalah kewajiban setiap muslim, (baik perintah yang diberikan oleh
penguasa) adalah hal-hal yang dia sukai atau dia benci, selama penguasa
tersebut tidak memerintahkan maksiat. Jika penguasa tersebut memerintahkan
maksiat, maka tidak ada (kewajiban) mendengar dan taat (dalam perintah maksiat
tersebut, pen.).” (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita, jika penguasa
memerintahkan kita berbuat maksiat dalam satu perkara, maka tidak boleh taat
dalam satu perintah tersebut. Akan tetapi, kita wajib taat dalam
(seluruh) perintah yang lain yang bukan maksiat. Perhatikanlah
baik-baik maksud hadits ini, supaya kita tidak salah paham. Karena sebagian
orang menyangka, bahwa jika penguasa memerintahkan satu perintah maksiat, itu
artinya boleh tidak menaatinya dalam semua perintahnya yang lain yang bukan
maksiat. Ini adalah kekeliruan dan salah paham yang sangat fatal
akibatnya. [2]
Sebagian orang
menyangka bahwa hubungan antara pemerintah dan penguasa adalah hubungan timbal
balik. Maksudnya, jika pemerintah berbuat baik kepada rakyat, maka rakyat pun
taat kepadanya. Sebaliknya, jika pemerintah berbuat dzalim, maka rakyat boleh
untuk tidak taat kepadanya. Ini adalah anggapan yang tidak benar, karena tidak
sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalam hadits yang
diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Shamit rahimahullah yang telah
kami sebutkan di seri sebelumnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat meskipun sang
penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri,
وَأَثَرَةً عَلَيْنَا
“ …
meskipun penguasa tersebut mementingkan diri sendiri (yaitu, dia mengambil hak
rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri dan kroni-kroninya, pen.) … “
(HR. Bukhari no. 7056 dan Muslim no. 1709)
Hal ini pun
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tegaskan kembali di sabda
beliau yang lainnya, dengan mengatakan,
سَتَكُونُ أَثَرَةٌ وَأُمُورٌ تُنْكِرُونَهَا
“Sesungguhnya
akan terjadi sepeninggalku adanya (penguasa) yang lebih mementingkan pribadinya
(dengan menelantarkan hak rakyat, pen.) dan berbagai kemunkaran (yang dilakukan
oleh penguasa, pen.) yang kalian ingkari (karena hal itu adalah maksiat dan
kemunkaran, pen.).”
Para sahabat radhiyallahu
‘anhum mengatakan, “Bagaimanakah yang Engkau perintahkan kepada
siapa saja di antara kami yang menjumpai masa-masa itu?”. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
تُؤَدُّونَ الحَقَّ الَّذِي عَلَيْكُمْ، وَتَسْأَلُونَ
اللَّهَ الَّذِي لَكُمْ
“Tunaikanlah
kewajiban kalian (berkaitan dengan hak penguasa, pen.), dan mintalah hak kalian
kepada Allah Ta’ala (yang tidak diberikan oleh penguasa, pen.).” (HR.
Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843. Lafadz hadits ini milik Muslim.)
Lihatlah, ketika
penguasa menelantarkan hak-hak rakyat, maka Nabi perintahkan kita agar kita
tetap melaksanakan kewajiban kita sebagai rakyat biasa, yaitu mendengar, taat,
bersabar dan mendoakan penguasa dengan doa kebaikan. Adapun hak kita yang tidak
ditunaikan oleh penguasa dzalim tersebut, kita minta hak tersebut kepada
Allah Ta’ala. Inilah petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada kita, yaitu manusia mulia yang tidak berbicara dengan
hawa nafsunya.
Hadits di atas
menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat menurut petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah hubungan timbal
balik. Maksud hubungan timbal balik adalah jika salah satu pihak (pihak
pertama) menunaikan hak orang lain (pihak ke dua), maka pihak ke dua menunaikan
hak pihak pertama sebagai bentuk kompensasi. Dan jika pihak pertama tidak
menunaikan hak pihak ke dua, maka pihak ke dua boleh untuk tidak menunaikan
kewajibannya terhadap pihak pertama.
Contoh hubungan
timbal balik adalah interaksi antara suami dan istri. Jika sang suami tidak
memberikan nafkah kepada istri, maka istri boleh untuk tidak melayani sang
suami ketika suami meminta hubungan biologis, misalnya. Sebaliknya, jika istri
tidak menunaikan hak suami dengan selayaknya, boleh bagi suami untuk menahan
nafkah istri dengan tidak memberikannya. Ini adalah contoh hubungan timbal
balik dalam ajaran Islam.
Namun, hubungan
antara penguasa dan rakyat bukanlah hubungan timbal balik. Artinya, jika
penguasa (pemerintah) tidak menunaikan apa yang menjadi hak rakyat, atau bahkan
dzalim terhadap rakyat, hal ini tidaklah menggugurkan kewajiban rakyat untuk
tetap taat kepada pemerintah dalam hal-hal kebajikan (hal yang ma’ruf).
Rakyat tetap wajib menunaikan hak pemerintah, yaitu mendengar dan taat. Karena
jika rakyat boleh menentang penguasa, maka akan timbul kerusakan yang lebih
besar, berupa kekacauan dan instabilitas keamanan.
Salamah bin Yazid
Al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
يَا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا
أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَمَا تَأْمُرُنَا؟
“Wahai
Nabi Allah, apa pendapatmu ketika berkuasa atas kami seorang penguasa yang
mereka meminta kepada kami untuk menunaikan hak mereka (penguasa), namun mereka
tidak mau menunaikan hak kami. Apa yang Engkau perintahkan kepada kami?”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pun berpaling darinya, kemudian sang penanya pun
bertanya lagi (ke dua kali), namun Nabi tetap berpaling. Sang penanya kemudian
bertanya lagi untuk kali ke tiga, kemudian dia ditarik oleh Al-Asy’ats bin
Qais radhiyallahu ‘anhu.
Akhirnya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا
حُمِّلُوا، وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Hendaklah
kalian tetap mendengar dan taat. Sesungguhnya kewajiban atas mereka (untuk
menunaikan) apa yang dibebankan kepada mereka (penguasa) dan menjadi kewajiban
kalian (untuk menunaikan) apa yang dibebankan kepada kalian (rakyat).” (HR.
Muslim no. 1846)
Hadits ini juga
menunjukkan bahwa hubungan antara pemerintah dan rakyat bukanlah hubungan
timbal balik. Karena kewajiban bagi masing-masing pihak adalah menunaikan apa
yang menjadi kewajiban masing-masing pihak tersebut.
Dari Hudzaifah bin
Yaman radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّا كُنَّا بِشَرٍّ، فَجَاءَ اللهُ
بِخَيْرٍ، فَنَحْنُ فِيهِ، فَهَلْ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْخَيْرِ شَرٌّ؟
“Wahai
Rasulullah, dulu kami berada di atas kejelekan (jahiliyyah), kemudian Allah
Ta’ala mendatangkan kebaikan yang kami sekarang berada di atasnya (yaitu
Islam). Maka apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?” Rasulullah
menjawab, “Iya.” Hudzaifah berkata, “Apakah setelah kejelekan itu akan ada
kebaikan lagi?”. Rasulullah menjawab, “Iya.” Hudzaifah berkata, “Apakah setelah
kebaikan itu akan ada kejelekan lagi?” Rasulullah menjawab, “Iya.” Hudzaifah
berkata, “Bagaimanakah bentuk kejelekan tersebut?” Rasulullah menjawab,
يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ،
وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ
الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ
“Akan
ada setelahku para pemimpin (penguasa) yang mereka tidak melaksanakan
petunjukku dan juga tidak melaksanakan sunnahku (ajaranku). Akan ada di
tengah-tengah mereka sejumlah penguasa yang berhati setan, raganya saja yang
berwujud manusia.” Hudzaifah kembali bertanya, “Apa yang harus kami perbuat
jika kami menjumpai masa tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ،
وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ
“Hendaklah
Engkau mendengar dan taat kepada penguasa, meskipun mereka memukul
punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat.” (HR. Muslim
no. 1847)
Dalam hadits di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan adanya
pemimpin yang sangat bengis dan kejam, yang beliau gambarkan sebagai seorang
pemimpin berhati setan, namun berwujud (berjasad) manusia. Tidak bisa kita
bayangkan bagaimanakah bengisnya penguasa muslim tersebut. Namun, jika kita
menjumpai pemimpin dengan model semacam itu, bagaimanakah yang Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam perintahkan kepada kita? Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita untuk tetap mendengar dan
taat.
Dalam lafadz lain
dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثُمَّ تَكُونُ دُعَاةُ الضَّلَالَةِ، فَإِنْ رَأَيْتَ
يَوْمَئِذٍ خَلِيفَةَ اللهِ فِي الْأَرْضِ فَالْزَمْهُ، وَإِنْ نَهَكَ جِسْمَكَ
وَأَخَذَ مَالَكَ
“Kemudian akan
ada da’i-da’i penyeru kesesatan. Jika pada masa itu Engkau menjumpai penguasa
di muka bumi, maka hendaklah Engkau komitmen (taat) dengan penguasa tersebut.
Meskipun dia membuat kebijakan yang membuat badanmu kurus kering dan merampas
hartamu.” (HR. Ahmad 5/403, Al-Hakim 4/432, Abu ‘Uwanah dalam Mustakhraj no.
5783, Al-Bazzar dalam Musnad no. 2569, Ibnu Abi Syaibah
dalam Mushannaf no. 36450. Hadits ini dinilai hasan oleh Syu’aib
Al-Arnauth dalam tahqiq beliau terhadap Musnad Imam Ahmad.)
Berdasarkan
hadits-hadits di atas dan hadits lain yang semakna dengannya, para ulama
mengutip ijma’ tentang dikecualikannya penguasa dalam masalah
bolehnya seseorang mempertahankan (membela) diri ketika ada orang lain yang
menyerangnya karena menginginkan nyawa dan hartanya secara dzalim, meskipun
dengan membunuh orang yang menyerang tersebut. Ibnul Mundzir rahimahullahu
Ta’ala mengatakan,
والذي عليه أهل العلم أن للرجل أن يدفع عما ذكر إذا أريد
ظلما بغير تفصيل إلا أن كل من يحفظ عنه من علماء الحديث كالمجمعين على استثناء
السلطان للآثار الواردة بالأمر بالصبر على جوره وترك القيام عليه
“Yang menjadi
(kesepakatan) ahlul ‘ilmi (ulama) bahwa seseorang boleh membela diri dari
perkara yang disebutkan -yaitu berkaitan dengan nyawa dan hartanya- jika (nyawa
dan hartanya tersebut) diinginkan oleh orang lain secara dzalim. Dan para ulama
tidak memberikan rincian dalam masalah ini (maksudnya, siapapun yang menyerang,
maka boleh membela diri, pen.). Akan tetapi, yang terekam dari para ulama ahli
hadits, seakan-akan mereka bersepakat (dalam masalah ini), adanya pengecualian
untuk penguasa berdasarkan berbagai hadits dan riwayat yang datang tentang
perintah bersabar atas kedzaliman penguasa dan tidak melakukan perlawanan
terhadap penguasa.” (Fathul Baari, 5/148)
Hendaknya diketahui
bahwa stabilitas masyarakat Islam dibangun di atas dua pilar pokok: (1) ketaatan
terhadap Allah Ta’ala dan Rasul-Nya; dan (2) ketaatan terhadap para
ulama dan para penguasa (pemerintah).
Allah Ta’ala
befirrman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Wahai
orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada
Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (QS. An-Nisa’
[4]: 59)
Ayat di atas
memerintahkan kita untuk taat kepada pemilik otoritas kekuasaan atau pemilik
kewenangan atas masyarakat, dengan nama (sebutan) apa pun, baik itu disebut
presiden, gubernur, bupati, menteri, raja atau sebutan-sebutan yang lainnya.
Karena merekalah yang secara riil memiliki kewenangan mengatur urusan rakyat,
memiliki hak untuk memerintah aparat kepolisian, tentara atau lainnya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ
ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ: أَنْ تَعْبُدُوهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا،
وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ
لَكُمْ: قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala meridhai atas kalian tiga perkara dan membenci tiga perkara atas
kalian. (Pertama) Allah ridha kalian menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya
dengan sesuatu apa pun. (Ke dua) kalian berpegang teguh dengan tali (agama)
Allah dan jangan berpecah belah. Lalu Allah membenci atas kalian, (pertama)
berita burung yang tidak jelas; (ke dua) banyak bertanya yang tidak ada gunanya
(atau banyak meminta harta orang lain, pen.); dan (ke tiga) menyia-nyiakan
(membuang-buang) harta.” (HR. Muslim no. 1715)
Imam Malik rahimahullahu
Ta’ala dan lainnya menambahkan untuk poin yang ke tiga,
وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ وَلَّاهُ اللهُ أَمْرَكُمْ
“Dan
hendaklah kalian menginginkan kebaikan (memberikan nasihat) kepada orang yang
Allah Ta’ala berikan kepadanya kekuasaan untuk mengatur urusan kalian.” (HR.
Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 1796, Ahmad 2/327, Ibnu Hibban
dalam Shahih 8/182, Abu ‘Uwanah dalam Musnad 4/165
dan Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 8/163)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلَاثٌ لَا يُغِلُّ عَلَيْهِنَّ قَلْبُ مُسْلِمٍ: إِخْلَاصُ
العَمَلِ لِلَّهِ، وَمُنَاصَحَةُ أَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ، وَلُزُومُ
جَمَاعَتِهِمْ، فَإِنَّ الدَّعْوَةَ تُحِيطُ مِنْ وَرَائِهِمْ
“Ada
tiga hal yang jika terdapat dalam diri seseorang, maka dia akan terbebas
dari al-ghill (yaitu, menghendaki kejelekan untuk orang lain atau
permusuhan yang tersembunyi, pen.), yaitu (1) seseorang beramal ikhlas karena
Allah Ta’ala; (2) menginginkan kebaikan (memberikan nasihat) kepada para
pemimpin kaum muslimin; dan (3) komitmen dengan jamaah kaum muslimin
(yaitu jamaah kaum muslimin di atas satu komando pemimpin yang sah, pen.).
Karena seruan itu meliputi dari belakang mereka (maksudnya, ketika seorang
pemimpin telah diangkat sebagai penguasa oleh yang berhak mengangkatnya, maka
kewajiban taat mengikat semua kaum muslimin, pen.) (HR.
Tirmidzi no. 2658, Ibnu Majah no. 230, Ahmad 3/225, hadits shahih)
Lihatlah bagaimana
petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kita hidup
tenang dan terbebas dari hati yang memiliki al-ghill (perasaan
dongkol, jengkel, permusuhan, dan semacamnya), agar tidak terbebani banyak
pikiran. Salah satu caranya adalah dengan menginginkan kebaikan kepada para
penguasa. Yang dia pikirkan bukan hanya kejelekan dan kebobrokan penguasa,
mengapa kondisinya begini dan mengapa kondisinya begitu. Karena hal itu hanya
akan membuat hatinya sempit. Akan tetapi, mereka juga memikirkan kebaikan yang
ada pada penguasa mereka dan bersabar atas kedzaliman mereka (itupun kalau
mereka benar-benar telah berbuat dzalim).
Berdasarkan hadits
di atas, maka mencela dan menghina penguasa hanya akan menimbulkan perpecahan
dan menimbulkan kebencian dalam hati rakyat, sehingga rakyat akan seenaknya
saja berbuat kerusakan, tersebarlah kekacauan dan hilanglah rasa aman. Karena
jika rakyat benar-benar menginginkan kebaikan atas pemimpinnya, maka bagaimana
mungkin mereka kemudian mencela, menghina atau merendahkan pemimpinnya di muka
umum? Semua perbuatan ini menunjukkan bahwa mereka tidak menginginkan kebaikan,
namun hanya menginginkan kekacauan dan keburukan, dan menjatuhkan kehormatan
sang penguasa.
Diriwayatkan dari
sahabat Tamim Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah
nasihat.” Kemudian para sahabat bertanya, “Untuk siapa (wahai Rasulullah)?”. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,
لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Untuk
Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat pada
umumnya.” (HR. Muslim no. 55)
Al-Khaththabi rahimahullahu
Ta’ala berkata,
النصيحةُ كلمةٌ يُعبر بها عن جملة هي إرادةُ الخيرِ للمنصوح
له
“Nasihat
adalah perkataan (kalimat) yang disampaikan untuk menghendaki kebaikan bagi
orang yang diberi nasihat.” (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam, 1/219)
Oleh karena itu,
marilah kita merenungkan, ketika kita mencela dan merendahkan penguasa di
hadapan masyarakat umum, sebetulnya kita sedang menghendaki kebaikan atau
sebaliknya, yaitu menghendaki keburukan?. Sahl At-Tusturi rahimahullahu
Ta’ala mengatakan,
لا يزال الناس بخير ما عظموا السلطان والعلماء، فإذا عظموا
هذين أصلح الله دنياهم وأخراهم، وإذا استخفوا بهذين أفسد دنياهم وأخراهم
“Kaum
muslimin akan senantiasa berada di atas kebaikan selama mereka memuliakan
penguasa dan ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, maka Allah Ta’ala akan
memperbaiki dunia dan akhirat mereka. Jika mereka meremehkannya, maka rusaklah
dunia dan akhirat mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi, 5/260). Beliau rahimahullahu
Ta’ala juga mengatakan,
هذه الأمة ثلاث وسبعون فرقة: اثنتان وسبعون هالكة، كلّهم
يبغض السلطان، والناجية هذه الواحدة التي مع السلطان
“Umat
ini akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok. Tujuh puluh dua kelompok
akan binasa, mereka semua (sepakat untuk) membenci penguasa. Adapun satu
kelompok yang selamat, mereka selalu bersama penguasa (tidak membenci penguasa,
pen.).” (Quut
Al-Quluub, 2/242)
Maksudnya, kelompok
yang selamat tersebut tidaklah menjadikan penguasa sebagai musuh. Imam
Al-Barbahari rahimahullahu Ta’ala berkata,
وإذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب هوى، وإذا
رأيت الرجل يدعو للسلطان بالصلاح فاعلم أنه صاحب سنة
“Jika Engkau melihat seseorang yang mendoakan jelek
kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang pengikut hawa nafsu
(ahli bid’ah). Jika Engkau melihat ada seseorang yang mendoakan kebaikan
kepada penguasa, maka ketahuilah bahwa dia di atas sunnah (petunjuk Nabi).” (Syarhus
Sunnah, hal. 113)
Hadits di atas dinilai dha’if oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu Ta’ala, sehingga beliau menyelisihi apa yang menjadi pendapat jumhur (mayoritas) ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Syaikh Muqbil membolehkan untuk mengkritik penguasa secara terbuka di forum-forum umum, selama niatnya baik dan tidak memberontak kepada penguasa. Akan tetapi, pendapat yang benar -Wallahu Ta’ala a’lam- adalah pendapat jumhur ulama ahlus sunnah yang melarangnya. Karena taruhlah hadits di atas dha’if, namun maknanya benar dan juga demikianlah praktek yang dicontohkan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam menasihati penguasa.
Sebelumnya telah kami sampaikan bahwa menghina dan mencela penguasa bukanlah jalan (manhaj) yang ditempuh oleh ahlus sunnah dalam berinteraksi dengan para penguasa. Hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menahan lisan dan jari kita dari mencela mereka. Renungkanlah bagaimana nasihat indah yang disampaikan oleh seorang ulama rabbani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berikut ini,
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memahami manhaj salaf (manhaj ahlus sunnah) dalam berinteraksi dengan penguasa. Janganlah kalian menjadian kesalahan penguasa sebagai jalan untuk menyebarkan kekacauan dan menjauhkan hati (rakyat) dari penguasa. Karena hal ini adalah kerusakan yang nyata dan salah satu sebab utama terjadinya kekacauan di tengah-tengah masyarakat. Memenuhi hati dengan kebencian terhadap penguasa akan menyebabkan keburukan dan kekacauan. Sebagaimana memenuhi hati dengan kebencian terhadap ulama akan menyebabkan diremehkannya para ulama, dan kemudian akan menyebabkan diremehkannya ajaran syariat yang mereka bawa (dakwahkan, pen.).
Jika seseorang berusaha untuk menjatuhkan kewibawaan ulama dan penguasa, terlantarlah syariat dan rasa aman. Karena ulama telah dijadikan sebagai bahan celaan, perkataan mereka tidak lagi dipercaya. Demikian pula, ketika penguasa telah dijadikan sebagai bahan celaan, maka mereka (rakyat) akan membangkang terhadap perintah (kebijakan) penguasa, sehingga terjadilah kejelekan dan kerusakan.
Menjadi kewajiban atas kita untuk memperhatikan jalan yang ditempuh ulama salaf (ulama ahlus sunnah) dalam berinteraksi dengan penguasa, dan mengontrol diri kita masing-masing, dan mengetahui dampak dari perbuatan kita.
Dan ketahuilah bahwa seseorang yang memancing kerusuhan, dia itu hanyalah memberikan pelayanan kepada musuh-musuh Islam. Maka yang menjadi tolak ukur (kehebatan dan ketokohan seseorang) bukanlah revolusi dan emosi yang meledak-ledak. Namun yang menjadi tolak ukur adalah sikap hikmah.
Bukanlah yang aku maksudkan dengan hikmah adalah mendiamkan kesalahan. Namun, kesalahan itu perlu diperbaiki supaya kita bisa memperbaiki keadaan, bukan semata-mata mengubah keadaan (karena kalau mengubah, bisa jadi berubah ke yang lebih jelek, pen.). Seseorang yang memberikan nasihat adalah mereka yang berbicara untuk memperbaiki keadaan, bukan semata-mata mengubah keadaan.” (Risalaah Huquuq Ar-Raa’i wa Ar-Ra’iyyah)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita bagaimanakah metode dalam menasihati penguasa, yaitu dengan memberikan nasihat antara dia dan sang penguasa saja (empat mata), tidak diumbar ke khalayak umum.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاِنِيَةً، وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa dalam suatu perkara, maka janganlah dia menasihati secara terang-terangan. Akan tetapi, ambillah tangannya dan menyepilah dengannya. Jika sang penguasa menerima (nasihatmu), itulah yang diinginkan. Jika tidak, maka dia telah menunaikan kewajibannya.” (HR. Ahmad 3/403, Ath-Thabrani dalam Musnad Asy-Syamiyyiin 2/94, Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dan yang lainnya. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Dzilaal As-Sunnah 2/507)
Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala berkata,
آمُرُ أَمِيرِي بِالْمَعْرُوفِ؟ قَالَ: إِنْ خِفْتَ أَنْ يَقْتُلَكَ فَلَا تُؤَنِّبِ الْإِمَامَ , فَإِنْ كُنْتُ لَا بُدَّ فَاعِلًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ
“Seseorang berkata kepada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Apakah aku memerintahkan penguasaku dengan melakukan kebaikan?” Ibnu ‘Abbas berkata, “Jika Engkau khawatir penguasa akan membunuhmu, maka jangan mencela dengan keras. Namun jika Engkau tidak boleh tidak (harus) melakukannya, maka hendaknya (dalam kondisi sepi) antara Engkau dan dia saja.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 15/74)
Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu berkata kepada Sa’id bin Jahman ketika Sa’id bin Jahman berusaha memaklumi tindakan kelompok Khawarij yang berbuat teror dan kerusuhan bahkan sampai membunuh ayah Sa’id bin Jahman sendiri. Karena menurut persangkaan Sa’id, tindakan Khawarij itu disebabkan oleh kedzaliman dan ketidakadilan penguasa,‘Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu meraih tangan Sa’id kemudian mencubit dengan keras dan mengatakan,
وَيْحَكَ يَا ابْنَ جُمْهَانَ عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ، عَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ إِنْ كَانَ السُّلْطَانُ يَسْمَعُ مِنْكَ، فَأْتِهِ فِي بَيْتِهِ، فَأَخْبِرْهُ بِمَا تَعْلَمُ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْكَ، وَإِلَّا فَدَعْهُ، فَإِنَّكَ لَسْتَ بِأَعْلَمَ مِنْهُ
“Celaka Engkau wahai Ibnu Jahman. Hendaklah Engkau komitmen dengan jamaah kaum muslimin (bersama penguasa mereka, pen.). Jika penguasa mau mendengarkan nasihatmu, maka datangilah rumahnya dan sampaikanlah kepadanya apa yang Engkau ketahui. Jika dia mau menerima nasihatmu, maka itulah yang diharapkan. Jika penguasa tidak mau menerima nasihatmu, biarkan, karena Engkau belum tentu lebih mengetahui daripada sang penguasa.” (HR. Ahmad 4/382, Ibnu Majah no. 173 dan Ath-Thayalisi no. 822. Lafadz hadits di atas berasal dari Musnad Imam Ahmad. Dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Sunnah li Ibni ‘Aashim no. 905 dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’i di Shahihul Musnad no. 542)
Perintah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam di atas juga diamalkan oleh sahabat Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ketika banyak orang membicarakan kepemimpinan sahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Ada seseorang yang berkata kepada Usamah radhiyallahu ‘anhu,
أَلَا تَدْخُلُ عَلَى عُثْمَانَ فَتُكَلِّمَهُ؟
“Tidakkah Engkau menemui ‘Utsman dan menasihatinya?” Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَرَوْنَ أَنِّي لَا أُكَلِّمُهُ إِلَّا أُسْمِعُكُمْ؟ وَاللهِ لَقَدْ كَلَّمْتُهُ فِيمَا بَيْنِي وَبَيْنَهُ، مَا دُونَ أَنْ أَفْتَتِحَ أَمْرًا لَا أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ فَتَحَهُ
“Apakah kalian anggap aku tidak menasihatinya karena kalian tidak mendengar pembicaraanku kepadanya? Demi Allah, sungguh aku telah berbicara dengannya empat mata, tanpa menampakkannya. Aku tidak mau menjadi orang yang pertama kali membuka (pintu fitnah).” (HR. Muslim no. 2989)
Lihatlah, bagaimana sahabat Usamah bin Zaid rahimahullah menilai bahwa membuka (menyebarkan) nasihat kepada pemimpin di tengah-tengah masyarakat (yang seharusnya hanya ditujukan kepada pemimpin secara empat mata) adalah sebab munculnya berbagai fitnah (kerusakan).
Maka kita jumpai tiga sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan bahwa nasihat kepada penguasa itu hendaknya dengan empat mata. Hal ini menunjukkan bahwa mereka mengamalkan kandungan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kami sebutkan di atas. Ibnu Nukhas rahimahullahu Ta’ala berkata,
ويختار من الكلام مع السلطان في الخلوة على الكلام معه على رؤوس الأشهاد، بل يود لو كلمه سرا، ونصحه خفية، من غير ثالث لهما
“Dan dipilihlah berbicara dengan penguasa secara sembunyi-sembunyi daripada berbicara di hadapan banyak orang. Bahkan diharapkan untuk berbicara dengannya secara sembunyi-sembunyi tanpa ada orang yang ke tiga.” (Tanbiihul Ghaafiliin, hal. 64)
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullahu Ta’ala berkata, “Bukanlah termasuk manhaj salaf (manhaj ahlus sunnah), mempopulerkan keburukan penguasa dan menyebut-nyebut kejelekan penguasa di atas mimbar-mimbar (semacam koran, medsos, buletin, dan lainnya, pen,), karena hal itu hanya akan menyebabkan penggulingan pemerintahan. Juga akan menyebabkan (rakyat) tidak mau lagi mendengar dan taat terhadap penguasa (membangkang) dalam kebaikan serta menyebabkan pemberontakan yang hanya menimbulkan madharat dan tidak ada manfaat. Akan tetapi, metode yang diikuti oleh ahlus sunnah adalah memberikan nasihat empat mata antara dia dengan penguasa, atau mengirim surat kepadanya, atau berhubungan dengan ulama yang bisa menyampaikan pesan tersebut sehingga bisa memberikan arahan kepada penguasa menuju kebaikan.” (Majmu’ Fataawa Ibnu Baaz, 8/210)
Akan tetapi, karena semakin jauhnya umat ini dengan ilmu, kita dapati sebagian orang yang justru menghina sunnah Rasulullah yang satu ini. Wal ‘iyaadzu billah.
Bolehkah Menasihati secara Terang-Terangan? Menasihati penguasa dengan terang-terangan itu diperbolehkan, namun dengan syarat pokok harus di hadapannya langsung, bukan sekedar teriak-teriak di belakang, ketika sang penguasa tidak ada di hadapannya. Ini pun ketika dalam kondisi memaksa dan ada maslahat di dalamnya dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar. Karena hukum asalnya adalah nasihat dengan empat mata. Hal ini sebagaimana kisah Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu bersama dengan gubernur Madinah, Marwan bin Al-Hakam.
Ketika shalat ‘id, Marwan bin Al-Hakam mengubah tata cara shalat menjadi memulai dengan khutbah terlebih dahulu, agar lebih banyak orang mendengar khutbahnya. Abu Sa’id pun mengingkari dengan mengatakan,
أَيْنَ الِابْتِدَاءُ بِالصَّلَاةِ؟
“Mulailah dengan shalat!” Gubernur Marwan mengatakan,
لَا، يَا أَبَا سَعِيدٍ قَدْ تُرِكَ مَا تَعْلَمُ
“Tidak wahai Abu Sa’id, sesuatu yang Engkau ketahui itu telah ditinggalkan.” Abu Sa’id menjawab,
كَلَّا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَأْتُونَ بِخَيْرٍ مِمَّا أَعْلَمُ
“Sekali-kali tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, setahuku kalian tidak akan mendatangkan kebaikan sedikit pun.” Dia mengulangi tiga kali, dan pergi meninggalkan tempat itu. (HR. Bukhari no. 956 dan Muslim no. 889. Lafadz hadits ini milik Muslim.)
Ini adalah contoh dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu yang memberikan nasihat di hadapan sang gubernur langsung, namun tidak menjelek-jelekkan sang gubernur di belakangnya. Yang perlu diperhatikan, yang menegur sang gubernur adalah sahabat senior Abu Sa’id Al-Khudhri, bukan semua orang yang hadir di situ. Dan beliau menegur atas dasar ilmu, bukan asal menegur. Hal ini menunjukkan bahwa hendaknya yang menasihati adalah seseorang yang berilmu dan memiliki kapasitas dalam bidangnya, sehingga nasihat tersebut mungkin untuk didengar. Dan ketika nasihat tersebut tidak diikuti oleh sang gubernur, maka lihatlah, sahabat Abu Sa’id pun kembali masuk shaf, shalat ‘id bersama sang gubernur sampai selesai, dan tidak menjelek-jelekkan di belakang sang gubernur setelah kejadian itu.
Selain itu, hadits ini pun kembali menegaskan bahwa menasihati penguasa sebaiknya secara sembunyi-sembunyi (sebagaimana hukum asalnya). Karena setelah shalat ‘id, Abu Sa’id kembali mendatangi sang gubernur dan membicarakan hal tersebut bersamanya, tidak di hadapan banyak manusia. Ketika menjelaskan maksud “pergi meninggalkan tempat itu” dalam hadits di atas, An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
قال القاضي عن جهة المنبر إلى جهة الصلاة وليس معناه أنه انصرف من المصلى وترك الصلاة معه بل في رواية البخاري أنه صلى معه وكلمه في ذلك بعد الصلاة
“Al-Qadhi berkata, ‘Maksudnya beliau pergi dari mimbar tersebut untuk mengambil tempat melaksanakan shalat ‘id, bukan pergi dari tempat shalat tersebut sehingga tidak shalat bersama sang gubernur. Bahkan dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Abu Sa’id tetap shalat bersama Marwan dan kemudian berbicara setelah shalat berkaitan dengan masalah tersebut.’” (Syarh Shahih Muslim, 6/178). Menasihati secara langsung di hadapan penguasa inilah yang dimaksudkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
“Sebaik-baik jihad adalah kalimat keadilan (mengungkapkan kebenaran) di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim.” (HR. Ibnu Majah no. 4011. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani). Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “di sisi penguasa yang dzalim”, yaitu berbicara langsung kepadanya (tatap muka). Sebagaimana jihad di jalan Allah Ta’ala yang dilakukan dengan berhadapan langsung melawan musuh di medan peperangan. Al-Mubarakfuri rahimahullahu Ta’ala berkata ketika menjelaskan kandungan hadits di atas,
قال الخطابي وإنما صار ذلك أفضل الجهاد لأن من جاهد العدو كان مترددا بين الرجاء والخوف لا يدري هل يغلب أو يغلب .وصاحب السلطان مقهور في يده فهو إذا قال الحق وأمره بالمعروف فقد تعرض للتلف وأهدف نفسه للهلاك فصار ذلك أفضل أنواع الجهاد من أجل غلبة الخوف
Al-Khaththabi berkata, “Tindakan itu lebih utama dibandingkan jihad karena barangsiapa berjihad (melawan musuh), maka dia berada dalam kondisi antara berharap (menang) atau ras takut (kalah), dia tidak mengetahui apakah akan menang atau kalah. Adapun orang yang ditindas penguasa dzalim tersebut, jika dia mengatakan kebenaran dan memerintahkan kebaikan, hal itu akan menyebabkan dia dilukai (disiksa) atau bahkan dibunuh oleh sang penguasa. Jadilah tindakan tersebut lebih utama daripada jihad karena yang lebih dominan adalah rasa takut.” (Tuhfatul Ahwadhi, 6/329)
Berdasarkan penjelasan ini, apa yang dilakukan oleh sebagian orang sekarang ini dengan menjelek-jelekkan penguasa di mimbar-mimbar, di forum-forum terbuka, di medsos, di koran-koran, buletin, majalah, atau dengan membuat “meme” bernada ejekan dan hinaan, dan sebagainya, tidaklah yang dimaksudkan oleh hadits tersebut di atas. Bahkan sangat jauh dari maksud hadits di atas. Dua hal ini tentu saja sangat jelas perbedaannya. Rasulullah mengatakan, “di sisi (di hadapan) penguasa yang dzalim”, sedangkan yang dilakukan oleh orang-orang itu adalah “di belakang penguasa yang dzalim (tidak di hadapannya).”
Oleh karena itu, para sahabat menilai jika seseorang bersikap manis di hadapan penguasa dan memujinya, namun menjelek-jelekkan sang penguasa ketika di belakangnya, maka para sahabat menilai tindakan seperti ini sebagai sebuah kemunafikan.
قَالَ أُنَاسٌ لِابْنِ عُمَرَ: إِنَّا نَدْخُلُ عَلَى سُلْطَانِنَا، فَنَقُولُ لَهُمْ خِلاَفَ مَا نَتَكَلَّمُ إِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِهِمْ، قَالَ: كُنَّا نَعُدُّهَا نِفَاقًا
Beberapa orang berkata kepada Ibnu Umar, “Dahulu, jika kami menemui penguasa kami, kami mengatakan sesuatu yang berbeda dengan apa yang kami katakan ketika kami telah meninggalkannya.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Yang demikian itu kami anggap sebagai suatu kemunafikan.” (HR. Bukhari no. 7178)
Sebagian orang berdalil dengan tindakan sebagian ulama salaf (sahabat dan tabi’in) yang menentang dan memberontak kepada penguasa secara terang-terangan. Hal ini mereka sampaikan sebagai dalih atas tindakan mereka yang memperbolehkan menentang penguasa yang dianggap dzalim secara mutlak dan bahkan sebagai dalih bolehnya memberontak (menggulingkan) penguasa yang sah. Pemikiran ini adalah pemikiran khuruj (keluar memberontak kepada penguasa) ala Khawarij yang sangat berbahaya. Beberapa kisah yang mereka gunakan sebagai dalih, misalnya:
Pertama, kisah tabi’in Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala ketika menentang gubernur Irak, Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Sa’id bin Jubair rahimahullahu Ta’ala bergabung dengan pasukan pemberontak, Ibnu Al-Asy’ats, untuk memerangi Al-Hajjaj. Ke dua, kisah tabi’in ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala yang juga menentang Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Beliau pun termasuk yang merestui dan bahkan bergabung dengan pasukan Ibnu Al-Asy’ats. Pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats ini berahir dengan kegagalan setelah Ibnu Al-Asy’ats mati bunuh diri, dan menyebabkan terbunuhnya sekitar 130.000 orang, 4.000 orang di antaranya adalah ulama dan ahli ibadah. Ke tiga adalah kisah Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu bersama dengan penduduk kota Madinah yang memisahkan diri (memberontak) dari khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Kisah pemberontakan ini berakhir dengan tragedi Harrah, yaitu terjadinya pertumpahan darah besar-besaran di kota Madinah, yang menyebabkan terbunuhnya sekitar 700-an sahabat Muhajirin dan Anshar, dan selain sahabat sebanyak kurang lebih 10.000 orang.
Kisah-kisah di atas dan yang lainnya lalu dijadikan sebagai dalih atas tindakan mereka yang memperbolehkan mengoreksi kesalahan penguasa secara terang-terangan di masyarakat umum, dengan dalih bahwa para ulama salaf tersebut adalah sebaik-baik contoh dan teladan.
Sanggahan atas kekeliruan pernyataan dan anggapan mereka adalah sebagai berikut.
Sanggahan pertama, tidak boleh berdalil dengan perkataan atau perbuatan siapa pun ketika tindakan mereka tersebut menyelisihi petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ini merupakan pokok-pokok aqidah ahlus sunnah yang sangat jelas dan terang benderang bagi siapa pun. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah sangat jelas memerintahkan kita untuk BERSABAR terhadap penguasa muslim yang dzalim dan sangat jelas melarang kita untuk memberontak kepada penguasa yang sah. Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah sangatlah banyak yang memerintahkan kita untuk mendahulukan perkataan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam atas perkataan siapa pun. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah. Dan jika aku memerintahkan kalian dengan satu perintah, maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no 1337. Lafadz hadits ini milik Bukhari.)
Dari sahabat yang mulia, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
أُرَاهُمْ سَيَهْلِكُونَ أَقُولُ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَقُولُ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ
“Aku menyangka mereka akan binasa. Aku katakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda’, lalu mereka mengatakan, ‘Abu Bakr dan ‘Umar melarangnya’.” (HR. Ahmad 1/337)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu Ta’ala berkata,
أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ اسْتَبَانَتْ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَكُنْ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ مِنْ النَّاسِ
“Manusia bersepakat bahwa barangsiapa yang telah jelas baginya sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak boleh baginya untuk menolaknya karena perkataan siapa pun.” (I’laamul Muwaqi’in, 2/282). Oleh karena itu, perkataan atau perbuatan ulama, siapapun mereka, itu dimintai dalil-nya (apa alasan, hujjah atau dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah), dan bukan dijadikan sebagai dalil (hujjah) untuk menolak sunnah. Karena perkataan siapa pun itu boleh diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sanggahan ke dua, Para ulama telah menjelaskan sebab atau alasan serta memberikan ‘udzur atas tindakan sebagian ulama salaf tersebut di atas yang memberontak terhadap penguasa yang dianggap dzalim. Di antaranya adalah penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala, “Sisi yang ke dua, barangsiapa yang berperang bukan atas dasar keyakinan yang (keyakinan ini) mendorong mereka untuk menolak sunnah dan jamaah (kaum muslimin), seperti perang Jamal dan Shiffin [1], tragedi Harrah dan Jamajim [2] dan yang lainnya, akan tetapi (yang mendorong mereka berperang) adalah sangkaan mereka bahwa dengan berperang (memberontak) akan terwujud maslahat yang mereka inginkan. Padahal, maslahat tersebut terbukti tidak (pernah) terwujud dengan pemberontakan. Bahkan, mafsadat (kerusakan) semakin membesar. Maka jelaslah bagi mereka di akhir peperangan tentang (benarnya) apa yang ditunjukkan oleh (dalil) syariat sejak pertama kalinya (yaitu, LARANGAN UNTUK MEMBERONTAK UNTUK MENCEGAH TERJADINYAKERUSAKAN YANG BESAR, pen.).” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/538)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu Ta’ala juga menjelaskan,
“Adapun tragedi Harrah, Ibnul Asy’ats, dan Ibnul Muhallab [3] dan yang lainnya, mereka pun dan sahabat-sahabatnya (pendukung atau pasukannya) pada akhirnya dikalahkan (artinya, pemberontakan tersebut gagal, pen.). Jadilah mereka ini tidak menegakkan agama dan tidak pula menyisakan (mendapatkan) dunia. (Karena) Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan dengan suatu perkara yang tidak mewujudkan kebaikan agama dan dunia. Meskipun pelaku tindakan (pelanggaran) tersebut (pemberontakan) adalah wali Allah yang bertakwa dan (di akhirat nanti) termasuk penghuni surga. Maka mereka (para pemberontak saat ini, pen.) tidaklah lebih utama daripada ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, Zubair dan selainnya. Meskipun demikian tidaklah mereka (para sahabat) tersebut dipuji atas tindakan pemberontakan yang mereka lakukan, meskipun mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan memiliki niat yang baik dibandingkan selain mereka. Demikian pula, orang-orang yang memberontak pada tragedi Harrah, di antara mereka ada ulama dalam jumlah yang banyak. Juga pendukung Ibnul Asy’ats, di antara mereka ada ulama dalam jumlah yang banyak. Dan Allah Ta’ala mengampuni mereka seluruhnya.” (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/528)
Kesimpulan dari penjelasan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala di atas adalah tindakan sebagian sahabat dan ulama salaf terdahulu yang memberontak kepada penguasa itu hanyalah muncul dari IJTIHAD YANG KELIRU DAN NIAT YANG BAIK, bukan karena sengaja ingin menentang dan menolak sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini karena mereka juga manusia biasa yang bisa jadi terjatuh (tergelincir) dalam kesalahan berijtihad. Akan tetapi, kesalahan ini tidaklah menjadikan kita boleh untuk mencela dan merendahkan kehormatan mereka. Kita meyakini bahwa mereka adalah para sahabat yang mulia, bahkan termasuk para penghuni surga (ahlul jannah) radhiyallahu ‘anhum. Meskipun demikian, kesalahan ijtihad mereka ketika itu yang membolehkan pemberontakan kepada penguasa, tetap tidak boleh diikuti. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/543) [4]
Sanggahan ke tiga, Terdapat riwayat yang valid dari mayoritas ulama salaf tersebut bahwa mereka telah rujuk (bertaubat) dari tindakan pemberontakan yang mereka lakukan, setelah mereka mulai terjerumus di dalamnya (baru di awal pemberontakan) atau hampir terjerumus dalam pemberontakan tersebut. Mereka pun menyesal atas perbuatan dan kesalahan yang telah mereka lakukan. Husain bin ‘Ali radhiyallahu ‘anhu telah mengurungkan niatnya untuk memberontak kepada Yazid bin Mu’awiyah setelah tampak baginya bahwa penduduk Irak (yang notabene adalah orang-orang Syi’ah) menyelisihi janji dan bahwa tindakannya tersebut akan menimbulkan kekacauan dan kerusakan yang besar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu Ta’ala berkata,
وَعَلِيٌّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي آخِرِ الْأَمْرِ تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّ الْمَصْلَحَةَ فِي تَرْكِ الْقِتَالِ أَعْظَمُ مِنْهَا فِي فِعْلِهِ. وَكَذَلِكَ الْحُسَيْنُ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – لَمْ يُقْتَلْ إِلَّا مَظْلُومًا شَهِيدًا، تَارِكًا لِطَلَبِ الْإِمَارَةِ ، طَالِبًا لِلرُّجُوعِ: إِمَّا إِلَى بَلَدِهِ، أَوْ إِلَى الثَّغْرِ ، أَوْ إِلَى الْمُتَوَلِّي عَلَى النَّاسِ يَزِيدَ.
“Adapun ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pada akhir peperangan melihat bahwa terwujudnya maslahat dengan meninggalkan peperangan adalah lebih besar daripada meneruskan peperangan. Demikian pula Al-Husain radhiyallahu ‘anhu, tidaklah beliau terbunuh kecuali dalam kondisi terdzalimi dan dalam kondisi mati syahid. (Beliau juga terbunuh dalam kondisi) meninggalkan keinginan beliau untuk meminta kekuasaan, dan beliau meninggalkan dalam kondisi beliau meminta untuk kembali (tidak jadi memberontak, pen.), baik kembali ke negerinya, atau ke daerah paling aman, atau ke daerah yang dikuasai oleh Yazid.” (Minhaajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/535)
Demikian pula, ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala, setelah beliau merestui dan bahkan terlibat dalam pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats, beliau pun menyesali perbuatannya. Dikatakan kepada beliau,
أَيْنَ كُنْتَ يَا عَامِرُ؟
“Di manakah Engkau wahai ‘Amir?”, Maksudnya, di manakah ilmu dan akalmu, wahai ‘Amir? Pertanyaan ini ditujukan kepada beliau dalam rangka mengingkari perbuatan beliau yang memasukkan diri ke dalam fitnah Ibnu Al-Asy’ats. Kemudian ‘Amir bin Syurahbil Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala berkata,
كُنْتُ حَيْثُ يَقُولُ الشَّاعِرُ:
عَوَى الذِّئْبُ فَاسْتَأْنَسْتُ بِالذِّئْبِ إِذْ عَوَى … وَصَوَّتَ إِنْسَانٌ فَكِدْتُ أَطِيرُ.
أَصَابَتْنَا فِتْنَةٌ لَمْ نَكُنْ فِيهَا بَرَرَةً أَتْقِيَاءَ، وَلَا فَجَرَةً أَقْوِيَاءَ.
“Aku pada waktu itu sebagaimana dikatakan oleh penyair: Serigala melolong, dan aku merasa nyaman dengan serigala ketika melolong. Dan ada seorang manusia yang bersuara, dan hampir-hampir saja aku terbang (maksudnya, akal dan ilmu ketika itu seolah-olah hilang, karena tertipu dan lalai dengan ajakan atau perkataan manusia, pen.). Maka kami terjerumus dalam fitnah. Dalam fitnah tersebut, kami bukanlah orang-orang baik yang bertakwa dan bukan pula orang durjana yang kuat dan perkasa.” (Minhajus Sunnah, 4/529. Diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra 6/412)
Demikian pula, ketika pemberontakan Ibnu Al-Asy’atas gagal, lalu beliau dihadapkan kepada Al-Hajjaj, sangat tampak penyesalan dari diri beliau. Beliau pun menyesal atas tindakannya tersebut. Al-Hajjaj berkata kepada Asy-Sya’bi,
كَيْفَ وَجَدْتَ النَّاسَ بَعْدَنَا يَا شَعْبِيُّ؟
“Bagaimana Engkau menjumpai manusia setelah (memberontak kepada) kami, wahai Asy-Sya’bi?” (Maksudnya, bagaimana kondisimu ketika memberontak, enak atau tidak?). Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala berkata,
أَصْلَحَ اللَّهُ الْأَمِيرَ، قَدِ اكْتَحَلْتُ بَعْدَكَ السهر، واستوعرت السهل، وَاسْتَوْخَمْتُ الْجَنَابَ، وَاسْتَحْلَسْتُ الْخَوْفَ، وَاسْتَحْلَيْتُ الْهَمَّ، وَفَقَدْتُ صَالِحَ الْإِخْوَانِ، وَلَمْ أَجِدْ مِنَ الْأَمِيرِ خلفا.
“Semoga Allah Ta’ala memperbaiki amir (pemimpin). Setelah (aku mendukung Ibnu Al-Asy’ats), aku bercelak dengan begadang (tidak pernah tidur); tanah yang landai (yang enak dilewati) justru terasa sulit; aku tidak merasa nyaman dengan tanah yang lapang; aku senang dengan rasa takut; kesusahan aku nilai sebagai suatu hal yang manis; dan aku kehilangan teman-teman yang baik. Dan aku tidak menemukan pengganti (yang lebih baik) dari pemimpin (Al-Hajjaj).” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah, 9/49).
Perhatikanlah kalimat-kalimat penyesalan Asy-Sya’bi rahimahullahu Ta’ala di atas ketika dia menceritakan kondisinya menentang Al-Hajjaj. Dan inilah kondisi pemberontak secara umum, yaitu hidup susah, lebih senang tinggal di gunung, di hutan dan di gua-gua, dan selalu diliputi rasa takut.
Sanggahan ke empat, Para ulama salaf tersebut memberontak tidak semata-mata karena penguasa dzalim tersebut dianggap fasiq (pelaku dosa besar), namun karena mereka juga meyakini kafirnya sang penguasa. Dan kafirnya sang penguasa adalah berdasarkan fatwa ulama di masa itu, bukan semata-mata fatwa orang-orang bodoh. Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullahu Ta’ala berkata, “Yahya bin ‘Isa Ar-Ramli berkata dari Al-A’masy, “Mereka berselisih tentang Al-Hajjaj. Maka mereka bertanya kepada Mujahid (ulama besar tabi’in, pen.), lalu Mujahid berkata, “Kalian bertanya tentang orang tua yang kafir.”
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Asakir, dari Asy-Sya’bi (ulama besar tabi’in, pen.), beliau berkata, “Al-Hajjaj itu beriman terhadap sihir dan thaghut, dia kafir terhadap Allah Yang Maha agung.” Demikian yang dikatakan oleh Asy-Sya’bi. Wallahu a’lam. Ats-Tsauri berkata, “Dari Ma’mar, dari Ibnu Thawus dan ayahnya (yaitu Thawus, ulama besar tabi’in, pen.), Thawus berkata, “Sungguh mengherankan saudara-saudara kita penduduk Irak. Mereka menyebut Al-Hajjaj itu seorang mukmin!” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah, 9/136)
Oleh karena itu, merupakan suatu tindakan yang ceroboh ketika menyamakan tindakan ulama salaf terdahulu yang memberontak kepada Al-Hajjaj karena diyakini telah kafir dengan tindakan orang-orang sekarang yang mengajak atau membolehkan memberontak kepada penguasa muslim yang dzalim dan tidak kafir.
Sekali lagi, tindakan ulama salaf terdahulu adalah berasal dari IJTIHAD YANG KELIRU, karena memberontak tidak hanya diperbolehkan karena kafirnya sang penguasa, namun juga dengan menimbang kekuatan (pasukan dan persenjataan) yang dimiliki untuk mencegah terjadinya mafsadat yang jauh lebih besar. Hal ini, insyaa Allah, akan kami bahas dalam tulisan tersendiri.
Sanggahan ke lima. Memang benar bahwa sebagian ulama tersebut merestui dan bahkan ikut memberontak terhadap penguasa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa terdapat orang-orang yang lebih berilmu dan lebih tinggi kedudukannya dalam Islam, yang melarang dan mencegah mereka dari memberontak terhadap penguasa. Mereka melarang tindakan pemberontakan tersebut, dengan menyebutkan dalil-dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnuz Zubair, dan Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhum yang telah melarang Al-Husain dari memberontak terhadap penguasa (Yazid bin Mu’awiyah). Sebagaimana Ibnu ‘Umar dan Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma telah melarang penduduk Madinah dari memberontak terhadap Yazid bin Mu’awiyah pada saat tragedi Harrah.
Dari Nafi’ rahimahullahu Ta’ala, beliau berkata, “Ketika penduduk Madinah melepas bai’at dari khalifah Yazid bin Mu’waiyah, Ibnu ‘Umar mengumpulkan kerabat dan anak keturunannya. Ibnu ‘Umar kemudian berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُنْصَبُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَإِنَّا قَدْ بَايَعْنَا هَذَا الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ غَدْرًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ يُبَايَعَ رَجُلٌ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُنْصَبُ لَهُ القِتَالُ، وَإِنِّي لاَ أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْكُمْ خَلَعَهُ، وَلاَ بَايَعَ فِي هَذَا الأَمْرِ، إِلَّا كَانَتِ الفَيْصَلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ
“Pada hari kiamat, akan dipasang bendera untuk setiap orang yang melanggar perjanjian.” Sesungguhnya kita telah membaiat orang ini (yaitu Yazid, pen.) di atas baiat Allah dan Rasul-Nya. Dan aku tidak mengetahui pelanggaran yang lebih serius daripada ketika seseorang telah membaiat seseorang di atas baiat Allah dan Rasul-Nya, kemudian dia memasang peperangan (pemberontakan) kepadanya. Dan sungguh aku tidak melihat salah seorang di atas kalian yang telah mencopotnya (dari jabatan sebagai khalifah) dan ikut-ikutan di dalamnya, kecuali ada pemisah di antara aku dan kalian.” (HR. Bukhari no. 7111)
Lihatlah bagaimana Ibnu ‘Umar berlepas diri dari tindakan penduduk Madinah yang melepas baiat dari khalifah Yazid bin Mu’awiyah (tidak lagi menganggap Yazid sebagai khalifah mereka) lalu memberontak kepadanya. Selain itu, Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu juga telah mengingatkan ‘Abdullah bin Muthi’ ketika terjadi tragedi Harrah di kota Madinah.
‘Abdullah bin Muthi’ yang merupakan salah satu pimpinan gerakan pemberontakan ini berkata kepada Ibnu ‘Umar,
اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً
“Berikan kepada Abu ‘Abdirrahman (Ibnu ‘Umar) sebuah bantal untuk duduk.” Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku ke sini bukan untuk duduk. Aku mendatangimu untuk menyampaikan sebuah hadits yang aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melepas tangan dari ketaatan (terhadap penguasa, pen.), maka dia akan berjumpa dengan Allah pada hari kiamat dan dia tidak memiliki hujjah atas perbuatannya itu. Dan barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak ada di lehernya ikatan baiat, maka dia mati sebagaimana mati jahiliyyah.” (HR. Muslim no. 1851). Dan juga kita melihat bagaimana Al-Hasan Al-Bashri dan Mujahid dan selain keduanya rahimahumullahu Ta’ala yang telah melarang dari memberontak kepada Al-Hajjaj bin Yusuf ketika terjadi pemberontakan Ibnu Al-Asy’ats.
Lihatlah bagaimana tabi’in yang mulia, Al-Hasan Al-Bashri rahimahullahu Ta’ala menasihati penduduk Irak agar mereka bersabar terhadap kedzaliman Al-Hajjaj bin Yusuf dan tidak memberontak kepada Al-Hajjaj, untuk mencegah tumpahnya darah pada kaum muslimin. Hasan Al-Bashari rahimahullahu Ta’ala berkata,
إِنَّ الْحَجَّاجَ عَذَابُ اللَّهِ، فَلَا تَدْفَعُوا عَذَابَ اللَّهِ بِأَيْدِيكُمْ، وَلَكِنْ عَلَيْكُمْ بِالِاسْتِكَانَةِ وَالتَّضَرُّعِ، فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ} [سُورَةُ الْمُؤْمِنُونَ: 76]
“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah adzab (hukuman) dari Allah. Janganlah kalian menolak adzab Allah dengan tangan-tangan kalian. Akan tetapi, wajib bagi kalian untuk merendahkan diri dan tunduk. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan adzab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon kepada-Nya dengan merendahkan diri.“ (Minhajus Sunnah An-Nabawiyyah, 4/529)
Oleh karena itu, taruhlah jika perkataan seseorang boleh dijadikan sebagai hujjah, tentu perkataan para sahabat dan tabi’in yang melarang dari menentang dan memberontak kepada penguasa itulah yang lebih layak untuk diikuti. Apalagi jika perkataan mereka tersebut bersesuaian dengan hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah banyak kami sebutkan.
KESIMPULAN
Termasuk di antara pokok aqidah ahlus sunnah adalah kewajiban TAAT DAN PATUH TERHADAP PENGUASA MUSLIM, MESKIPUN PENGUASA TERSEBUT ZALIM DAN LEBIH MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI,DARIPADA KEPENTINGAN RAKYATNYA. Wajib untuk bersabar atas kedzaliman mereka dan tetap mendoakan mereka dengan kebaikan. Tidak boleh menjelek-jelekkan, menghina, merendahkan, dan menyebarkan aib mereka di muka umum. Bagi yang memiliki kebiasaan ini, hendaklah mereka menghentikannya dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala berkata,
والكلام في ولاة الأمور من الغيبة والنميمة، وهما من أشد المحرمات بعد الشرك، لا سيما إذا كانت الغيبة للعلماء ولولاة الأمور فهي أشد، لما يترتب عليها من المفاسد، من : تفريق الكلمة، وسوء الظن بولاة الأمور، وبعث اليأس في نفوس الناس، والقنوط
“Mencela pemerintah termasuk perbuatan ghibah (menggunjing) dan namimah (adu domba). Keduanya termasuk di antara perkara yang paling diharamkan setelah syirik, lebih-lebih lagi jika yang digunjing adalah para ulama dan pemerintah. Karena hal ini akan menimbulkan berbagai kerusakan, yaitu tercerai berainya persatuan, buruk sangka terhadap penguasa (pemerintah) dan tersebarnya rasa putus asa pada jiwa-jiwa manusia.” (Al-Ajwibah Al-Mufiidah ‘an As’ilati Al-Manaahij Al-Jadiidah, hal. 109)
Manhaj ahlus sunnah dalam menasihati penguasa yang dinilai berbuat kesalahan adalah dengan menasihati secara tertutup dan empat mata, tidak dengan disebar-sebarkan. Adapun menasihati secara terbuka, maka diperbolehkan jika langsung disampaikan secara langsung di hadapannya (tidak di belakangnya), dengan menimbang adanya maslahat dan tidak menimbulkan madharat yang lebih besar. Juga dilakukan dengan penuh adab, karena tujuan asalnya adalah menginginkan kebaikan dari sang penguasa.
Adapun keyakinan sebagian orang, yang memperbolehkan nasihat secara terbuka secara mutlak, dengan berdalil tindakan sebagian ulama salaf terdahulu, maka hal itu tidak bisa dibenarkan. Karena para ulama salaf tersebut telah keliru dalam ijtihad, kemudian mereka pun telah menyesal dan bertaubat setelah tampak timbulnya mafsadat (kerusakan) dari ijtihad mereka, berupa terbunuhnya ribuan kaum muslimin dalam berbagai tragedi pemberontakan.
Catatan kaki:
[1] Perang Jamal terjadi setelah terbunuhnya khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, yaitu antara ‘Ali bin Abi Thalib di satu sisi, dan pihak ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallahu Ta’ala ‘anhum di sisi lainnya. Sedangkan perang Shiffin terjadi antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
[2] Yang beliau maksudkan adalah tragedi Dair Al-Jamajim, yaitu perang besar-besaran antara Ibnul Asy’ats dan Al-Hajjaj, pada tahun 82 H, pada masa khalifah ‘Abdul Malik bin Marwan.
[3] Yang dimaksud adalah pemberontakan Yazid bin Muhallab (Ibnul Muhallab) pada masa khalifah Yazid bin ‘Abdul Malik (tahun 101 H).
[4] Disarikan dari: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, hal. 42-45 (penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428). Kutipan-kutipan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Tulisan disarikan dari: Khaqiqatul Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, Penerbit Al-Mabarrah Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428), dengan beberapa penambahan dari penulis..
(Artikel muslim.or.id)
Referensi:
Khaqiqatul
Khawarij fi Asy-Syar’i wa ‘Abra At-Taarikh, karya
Syaikh Faishal Qazaar Al-Jaasim, Penerbit Al-Mabarrah
Al-Khairiyyah li ‘Uluumi Al-Qur’an wa As-Sunnah, cetakan pertama tahun 1428)/ (Sumber: muslim.or.id )
====================
Penulis: M Saifuddin Hakim. Editor: Ustaz
Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment