Di antara orang yang masuk surga, ada yang langsung
masuk ke dalamnya ada pula yang harus menunggu lama, dan ada juga yang harus
mampir dulu ke neraka. Jika bisa memilih pastilah
kita menginginkan masuk surga tanpa harus menunggu, tanpa harus mampir neraka,
namun langsung masuk saja, tanpa dihisab tanpa diadzab. Bagaimana caranya?
Berikut dijelaskan pembahasanya.
Tauhid
adalah tujuan hidup kita. Tauhid merupakan ilmu yang paling agung, kewajiban
yang paling wajib, dan perintah Allah yang terbesar. Oleh karena itulah,
keistimewaan yang didapatkan oleh Al-Muwahhidin (orang-orang yang mentauhidkan Allah) itu banyak
dan sangat besar. Di antara keutamaan yang didapatkan oleh mereka adalah,
- Ahli Tauhid
mendapatkan keamanan dan hidayah,
- Tempat
kembalinya adalah Surga, Allah Ta’ala menyelamatkannya dari neraka,
- Ahli Tauhid
mendapatkan kesempatan diampuni seluruh dosa-dosanya,
- Timbangan
tauhid beratnya mengalahkan timbangan langit dan bumi.
Dan puncak
keutamaan yang dianugerahkan kepada Ahli Tauhid adalah mendapatkan kesempatan
masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Hadits berikut ini
menggambarkan kelompok orang-orang yang mendapatkan puncak keutamaan yang
dianugerahkan oleh Allah kepada Ahli Tauhid, yaitu, masuk Surga tanpa hisab dan
tanpa adzab.
Hushain bin
Abdurrahman berkata bahwa Sa’id bin Jubair berkata, “Siapakah di antara
kalian yang melihat bintang jatuh semalam?”Akupun menjawab “Saya.”
Lalu saya berkata, “Adapun saya ketika itu tidak sedang salat, tapi terkena
sengatan hewan berbisa”. Kemudian ia bertanya, “Lalu apa yang anda
kerjakan?” Saya pun menjawab, “Saya minta diruqyah1“.
Ia bertanya lagi, “Apa yang mendorong anda melakukan hal tersebut?” “Sebuah
hadits yang dituturkan Asy-Sya’bi kepada kami.” jawabku. Iapun bertanya
lagi, “Apakah hadits yang dituturkan oleh Asy-Sya’bi kepada anda?” Saya
menyampaikan, “Dia menuturkan hadits dari Buraidah bin Hushaib, bahwa ia
berkata, ‘Tidak ada ruqyah yang lebih bermanfaat kecuali untuk penyakit ‘ain2 atau
terkena sengatan hewan berbisa.'”
Sa’id berkata, “Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan dalil yang didengarnya, namun Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu menuturkan kepada kami hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Aku telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allah, lalu aku melihat seorang Nabi bersama beberapa orang (tidak sampai 10 orang, pent.), seorang Nabi bersama seseorang dan dua orang, serta seorang Nabi yang sendirian. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku sekelompok orang yang sangat banyak. Aku mengira mereka itu umatku, namun disampaikan kepadaku, ‘Itu adalah Nabi Musa dan kaumnya.’ Selanjutnya, tiba-tiba aku melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu, bersama mereka ada TUJUH PULUH RIBU ORANG YANG MASUK SURGA TANPA HISAB DAN TANPA ADZAB.’ Kemudian beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu.
Sa’id berkata, “Alangkah baiknya orang yang beramal sesuai dengan dalil yang didengarnya, namun Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu menuturkan kepada kami hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda, “Aku telah diperlihatkan beberapa umat oleh Allah, lalu aku melihat seorang Nabi bersama beberapa orang (tidak sampai 10 orang, pent.), seorang Nabi bersama seseorang dan dua orang, serta seorang Nabi yang sendirian. Tiba-tiba ditampakkan kepadaku sekelompok orang yang sangat banyak. Aku mengira mereka itu umatku, namun disampaikan kepadaku, ‘Itu adalah Nabi Musa dan kaumnya.’ Selanjutnya, tiba-tiba aku melihat lagi sejumlah besar orang, dan disampaikan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu, bersama mereka ada TUJUH PULUH RIBU ORANG YANG MASUK SURGA TANPA HISAB DAN TANPA ADZAB.’ Kemudian beliau bangkit dan masuk rumah. Orang-orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu.
Ada di antara
mereka yang mengatakan, ‘Barangkali mereka itu sahabat Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.’ Ada lagi
yang mengatakan, ‘Barangkali mereka orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan
Islam dan tidak pernah menyekutukan Allah.’ dan mereka menyebutkan yang lainnya
pula. Ketika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam keluar,
mereka memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau bersabda,
هُمُ
الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ وَ لاَ يَكتوونَ وَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ وَ
عَلَى رَبِّـهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka itu adalah orang yang tidak minta diruqyah, tidak
melakukan kay3 dan
tidak melakukan tathayyur4 serta
mereka bertawakkal5 hanya
kepada Rabb mereka.”
Kemudian Ukkasyah
bin Mihshon berdiri dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah, agar saya termasuk
golongan mereka!’ Beliau menjawab, ‘Engkau termasuk mereka’,Kemudian
berdirilah seseorang yang lain dan berkata, ‘Mohonkanlah kepada Allah, agar
saya termasuk golongan mereka!’ Beliau menjawab,’ Ukkasyah telah mendahuluimu'”
(HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Seorang
muslim yang baik, ketika membaca hadits yang agung di atas, tentu menginginkan
menjadi salah satu dari tujuh puluh ribu orang yang beruntung tersebut. Oleh
karena itu, sangatlah wajar jika beberapa pertanyaan muncul, ketika seorang
muslim berusaha memahami hadits yang disebutkan di atas, karena demikian
semangatnya untuk masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Perlu
diketahui bahwa masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab adalah ganjaran yang
Allah Ta’ala anugerahkan kepada hamba-hamba-Nya yang berhasil
mentauhidkan-Nya dengan sempurna (Tahqiiqut Tauhid).
Syaikh Muhammad
At-Tamimi rahimahullah dalam kitab Tauhid nya,
menyebutkan hal ini dengan ucapannya,
باب من حقق التوحيد دخل الجنة بغير
حساب
“Bab,
Barangsiapa yang merealisasikan tauhid dengan sempurna, maka masuk kedalam
surga tanpa hisab”.
Dan barangsiapa
yang masuk kedalam surga tanpa hisab, pastilah masuk surga tanpa adzab, namun
barangsiapa yang masuk kedalam surga tanpa adzab, belum tentu masuk surga tanpa
hisab. Dengan demikian, untuk menjadi kelompok orang-orang yang masuk
Surga tanpa hisab dan tanpa adzab, haruslah bisa merealisasikan tauhid dengan
sempurna. Selanjutnya, pertanyaan menarik yang perlu dilontarkan adalah Bagaimanakah
menjadi orang yang merealisasikan tauhid dengan sempurna (tahqiq tauhid)?
Mempelajari
tentang definisi Tahqiiq At-Tauhiid (perealisasian Tauhid dengan sempurna) adalah
perkara yang sangat penting guna memahami dalil-dalil tentang ciri khas
golongan yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Hal ini dikarenakan
beberapa alasan berikut ini:
- Sifat sebuah
definisi adalah jami’ dan mani’. Jami’ yaitu mengumpulkan segala sesuatu yang
tercakup di dalam lafaz yang didefinisikan tersebut. Sedangkan mani’ yaitu mencegah dan membatasi agar perkara
yang di luar cakupan definisi dari lafaz tersebut tidaklah dimasukkan
kedalam cakupan lafaz tersebut.
- Dengan Taufik
Allah, seseorang bisa menggunakan definisi tersebut untuk mengelompokkan
ciri-ciri orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab yang
disebutkan dalam sebuah dalil, sesuai dengan tingkatan Tahqiiq
At-Tauhid masing-masing
yang ditunjukkan dalil tersebut. Sehingga ketika seseorang terluput dari
salah satu ciri khas tersebut, maka bisa diketahui apakah ia keluar dari
golongan yang masuk Surga tanpa hisab dan tanpa adzab ataukah tidak?
Syaikh
Shaleh Alusy-Syaikh hafizhahullah,
di dalam kitabnya, At-Tamhiid yang merupakan syarah (penjelasan) kitab Tauhid itu, telah menjelaskan tentang definisi Tahqiiq
At-Tauhiid (perealisasian
Tauhid dengan sempurna) yang menjadi inti pembahasan hadits yang agung di atas.
Beliau menjelaskan bahwa Tahqiiq At-Tauhiid terbagi menjadi dua tingkatan, beliau
mengatakan, “Maka
Tahqiiq At-Tauhiid meliputi dua tingkatan, yaitu tingkatan wajib dan tingkatan
mustahab (sunnah). Dengan demikian, orang-orang yang merealisasikan Tauhid
dengan sempurna meliputi dua tingkatan pula.”
Syaikh Shaleh Alusy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa tingkatan yang wajib
adalah meninggalkan sesuatu yang wajib ditinggalkan berupa tiga perkara yang
telah disebutkan sebelumnya, maka (dengan demikian tingkatan wajib itu)
meninggalkan syirik, meninggalkan bid’ah, dan meninggalkan maksiat. Dengan kata
lain, Tahqiiq
At-Tauhiid pada
tingkatan yang wajib adalah membersihkan agama seseorang dari seluruh dosa,
baik dosa syirik, bid’ah maupun kemaksiatan, dengan segala macamnya.
Berdasarkan
penjelasan di atas, inti Tahqiiq At-Tauhiid pada tingkatan yang wajib adalah bersih
dari segala dosa dengan segala macamnya. Sedangkan maksud bersih dari dosa
dengan segala macamnya (syirik, bid’ah dan maksiat) adalah seorang hamba
meninggal dalam keadaan sudah bertaubat dari seluruh dosa atau dosanya sudah
terlebur dengan pelebur (mukaffirat) dosa. Jadi, yang dijadikan patokan di sini
adalah akhir hidup seseorang, karena Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam telah
bersabda:
وَإِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ
“Sesungguhnya amalan itu hanya berdasarkan penutupnya” (HR. Al-Bukhari).
Syaikh Shaleh
Alusy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan bahwa barangsiapa yang melakukan
sesuatu kemaksiatan, dosa atau bid’ah, kemudian belum bertaubat darinya, atau
belum terlebur dosanya, maka ia belumlah dikatakan telah merealisasikan tauhid
secara sempurna, jenis tingkatan wajib.
Hal ini
menunjukkan bahwa yang dijadikan patokan adalah akhir kehidupan, bukan pada
kekurangan di awal kehidupan.”
Tingkatan wajib adalah tingkatan orang-orang
yang bersih dari dosa, dengan melaksanakan kewajiban dan meninggalkan
keharaman. Tingkatan jenis ini juga disebutkan di dalam sebagian syarah
(penjelasan) kitab Tauhid yang lainnya, seperti Fathul
Majiid dan Hasyiyah
Kitab Tauhiid, tepatnya
pada bab “Man
haqqaqat Tauhiid dakhalal Jannah bighairi hisab”.
Syaikh
Shaleh Alusy-Syaikh hafizhahullah menjelaskan
bahwa tingkatan mustahab dalam Tahqiiq At-Tauhiid adalah sebuah tingkatan di mana ahli
tauhid memiliki keutamaan yang amat berbeda-beda. Dalam tingkatan ini tidak ada suatu arah atau tujuan pada hati
seseorang kepada selain Allah. Hati tersebut menghadap kepada Allah secara
totalitas, tidak terdapat kecondongan kepada selain Allah, sehingga jika
berucap ikhlas karena Allah. Jika bertingkahlaku, ikhlas karena Allah. Jika
beramal ikhlas karena Allah, bahkan seluruh gerakan hatinya karena Allah.
Beliau juga
menjelaskan bahwa sebagian ulama menjelaskan bahwa tingkatan mustahab adalah meninggalkan sesuatu yang mubah karena
khawatir berakibat ada apa-apanya jika dilakukan, maksudnya
disini adalah mencakup amal hati, lisan, dan anggota tubuh badan.
Tingkatan mustahab
adalah tingkatan orang-orang yang melaksanakan perkara yang wajib dan yang
sunnah serta meninggalkan hal yang haram, makruh, dan sebagian hal yang
mubah/halal.
Syaikh Shaleh
Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan As-Saabiqun
bil khairaat (orang-orang
yang bersegera dalam kebaikan) dalam
kitabnya I’anatul
Mustafid bahwa mereka
adalah orang-orang yang
selamat dari syirik besar maupun kecil. Mereka meninggalkan hal-hal haram dan
makruh. Bahkan mereka meninggalkan sebagian hal yang mubah/halal. Mereka
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan amal ketaatan, baik amal yang wajib
maupun yang sunnah. Mereka adalah orang-orang yang lebih dahulu berbuat
kebaikan. Maka barangsiapa yang sampai pada tingkatan ini, maka ia masuk Surga
tanpa hisab dan tanpa adzab.
Tingkatan jenis
ini juga disebutkan di dalam sebagian syarah kitab Tauhid yang lainnya,
seperti: Hasyiyah
Kitab Tauhiid dan Taisiir
Al-‘Aziiz Al-Hamiid.
Syaikh
Shaleh Alusy-Syaikh hafizhahullah,
didalam kitabnya At-Tamhiid menjelaskan perealisasian tauhid dengan sempurna
adalah perealisasian syahadatain laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah‘, karena pada ucapan seorang Ahli Tauhid laa ilaaha
illallaah’, terdapat
tuntutan pelaksanaan tauhid dan jauh dari syirik, dengan segala macamnya,
Pada ucapan asyhadu anna muhammadar rasulullah mengandung tuntutan jauh dari kemaksiatan
dan bid’ah, hal itu disebabkan karena konsekuensi syahadat Muhammadar
Rasulullah adalah taat
pada perkara yang diperintahkan oleh rasulullah, membenarkan apa yang beliau
infromasikan, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah melainkan sesuai
dengan syari’at yang diajarkannya (At-Tamhiid: 33).
Salah satu ciri seorang muslim yang masuk surga tanpa hisab dan adzab adalah tidak minta diruqyah. Sebagaimana dalam hadits yang menjelaskan ciri mereka yang kelak akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa adzab. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
ﻫُﻢْ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﺎ ﻳَﺘَﻄَﻴَّﺮُﻭﻥَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺴْﺘَﺮْﻗُﻮﻥَ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﻜْﺘَﻮُﻭﻥَ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺭَﺑِّﻬِﻢْ ﻳَﺘَﻮَﻛَّﻠُﻮﻥَ
“Mereka itu tidak melakukan thiyarah (beranggapan sial), tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb merekalah, mereka bertawakkal.” (HR. Bukhari no. 5752)
Mengapa meminta diruqyah bisa menyebabkan seorang muslim menjadi tidak termasuk dalam golongan yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab? Ada dua pendapat ulama dalam hal ini: Pertama: maksud minta diruqyah di sini adalah minta diruqyah dengan ruqyah syirkiyyah yang mengandung kesyirikan; Kedua: meminta diruqyah (dengan ruqyah syar’iyyah) akan berpotensi mengurangi tawakkal seseorang dan ia akan bergantung kepada peruqyah. Ia merasa apabila tidak diruqyah oleh ustadz fulan, maka tidak sembuh, padahal hakikat ruqyah adalah doa, seharusnya ia lebih berhak untuk berdoa kepada Allah.
Berikut penjelasannya:
Pertama: maksud minta diruqyah di sini adalah minta diruqyah dengan ruqyah syirkiyyah yang mengandung kesyirikan
Lafadz hadits adalah lafadz umum yaitu “meminta diruqyah” bisa saja mencakup ruqyah syr’iyyah dan ruqyah syirkiyyah. Terdapat hadits yang “mengkhususkan/takhshis” bahwa yang dimaksud meminta diruqyah pada hadits adalah ruqyah syirkiyyah. Haditsnya sebagai berikut:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِعْرِضُوْا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيْهِ شِرْكٌ
‘Tunjukkanlah kepadaku ruqyah kalian. Tidaklah mengapa ruqyah yang di dalamnya tidak mengandung syirik.’” (HR. Muslim)
Fatwa dari Al-Lajnah Ad-Daimah juga menjelaskan bahwa meminta diruqyah hukumnya mubah. Apabila ada semacam konsekuensi tertentu dalam syariat tentu tidak dekat ke makna mubah.
طلب الدعاء وطلب الرقية مباحان ، وتركهما والاستغناء عن الناس وقيامه بهما لنفسه أحسن
“Meminta didoakan dan meminta diruqyah keduanya hukumnya mubah. Meninggalkan keduanya dan tidak bergantung dengan manusia serta melakukannya sendiri lebih baik.” (Fatwa Al-Lajnah 24/261)
Kedua: meminta diruqyah (dengan ruqyah syar’iyyah) akan berpotensi mengurangi tawakkal seseorang dan bergantung kepada peruqyah.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu syaikh menjelaskan,
لأن الطالب للرقية يكون في قلبه ميل للراقي ، حتى يرفع ما به من جهة السبب . وهذا النفي الوارد في قوله : « لا يسترقون » ؛ لأن الناس في شأن الرقية تتعلق قلوبهم بها جدا أكثر من تعلقهم بالطب ونحوه
“Karena meminta ruqyah akan menyebabkan hati cenderung (ketergantungan hati) kepada peruqyah, sampai ia bisa menyangka peruqyah adalah penyebab kesembuhan. Inilah maksud menafikan dalam hadist “tidak minta diruqyah”, karena manusia terkait ruqyah bisa jadi hari mereka lebih bergantung pada mereka pada ruqyah daripada pengobatan kedokteran atau sejenisnya,” (At-Tamhid hal. 33, Darut Tauhid)
Ibnu Taimiyyah juga menjelaskan bahwa pujian/reward pada hadits tersebut karena orang tersebut tidak terlalu mengandalkan orang lain dalam berdoa, tetapi ia sendiri berdoa kepada Allah dan meminta. Beliau berkata,
فمدح هؤلاء بأنهم لا يسترقون: أي لا يطلبون من أحد أن يرقيهم، والرقية من جنس الدعاء فلا يطلبون من أحد ذلك” [مجموع
“Pujian bagi orang yang tidak meminta diruqyah pada orang lain karena ruqyah itu semacam doa, hendaknya ia tidak meminta orang lain (untuk didoakan).” (Majmu’ Fatawa 1/182)
Hal ini merupakan kesempurnaan tauhid dan iman seseorang yaitu hanya kepada Allah ia bersandar dan berharap. Ibnul Qayyim menjelaskan,
وذلك لأن هؤلاء دخلوا الجنة بغير حساب لكمال توحيدهم ، ولهذا نفى عنهم الاسترقاء وهو سؤال الناس أن
“Mereka yang masuk surga tanpa hisab dan adzab karena kesempurnaan tauhid mereka. Nereka tidak meminta diruqyah yaitu meminta kepada orang lain untuk meruqyah mereka (lebih baik ia sendiri langsung meminta kepada Allah).” (Zaadul Ma’aad 1/475)
Dari kedua pendapat ini, yang lebih menenangkan adalah kita berusaha sebisa mungkin tidak meminta diruqyah oleh orang lain, tetapi kita hendaknya meruqyah diri sendiri dan langsung meminta kepada Allah di waktu dan tempat yang mustajab.
Note:
- Ruqyah adalah pengobatan dengan pembacaan ayat-ayat Alquran atau do’a-do’a ataupun lafadz-lafadz tertentu
- ‘Ain adalah pengaruh buruk yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya
- Kay adalah menempelkan besi panas atau sejenisnya pada luka
- Tathayyur adalah semua hal yang menyebabkan seseorang membatalkan perbuatannya karena takut malapetaka atau meneruskan perbuatannya karena optimis akan beruntung setelah ia melihat atau mendengar sesuatu yang tidak ada bukti ilmiah bahwa sesuatu tersebut bisa mendatangkan malapetaka atau keberuntungan. (Mutiara Faidah, hal. 142)
- Tawakal adalah bersandarnya hati kepada Allah dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya dalam mendapatkan manfaat atau menolak bahaya/kerugian, diiringi dengan percaya kepada-Nya dan mengambil sebab yang diizinkan,
********************
Kontributor: dr Raehanul Bahren, V; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment