Kehidupan
Dunia, Bagai Bunga Yang Dipetik Kemudian Layu
Dalam Al-Quran,
tepatnya Surat Thaha ayat ke-131, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ
أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ
وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ
“Dan
janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada
golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji
mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.”
Sementara itu Imam
Al-Bukhari no. 1465 dan Imam Muslim no. 1052 meriwayatkan dari shahabat Abu
Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, “Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam duduk di mimbar sedangkan kami duduk di sekelilin beliau.
Beliau bersabda,
إِنَّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ من بعدي ما يفتح عليكم من
زهرة الدنيا و زينتها
“Sesungguhnya
di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah
dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian.”
Pada ayat dan
hadits tersebut di atas, kehidupan dunia diibaratkan sebagai bunga.
Pertanyaaannya, apakah hubungan antara dunia dan bunga sehingga bunga dijadikan
sebagai sample kehidupan dunia? Jawabannya dapat kita telaah
sebagai berikut.
Ketika suatu
tanaman yang hendak mengeluarkan buahnya, biasanya diawali dengan kemunculan
bunga. Kadang kala bunga itu terlihat indah dan di saat lain terlihat begitu
sangat menawan. Bahkan terkadang tidak sedikit orang yang memandangnya
berhasrat untuk memetiknya dan dibawanya pergi. Namun tahukah kita sekiranya
bunga tadi benar-benar dipetik sebelum berubah menjadi buah? Ternyata tidak
akan berapa lama kemudian akan segera layu dan pada akhirnya akan dicampakan
oleh sang pemetiknya. Memang jika masih berada di tangkai, terlihat begitu
mempesona, namun jika diambil saat itu juga maka yang terjadi adalah malah
justru menjadi layu, tak tahan lama. Berbeda ceritanya jika kita biarkan bunga
itu terus berada di tangkainya sedikit agak lebih lama, tentu bunga tersebut
akan berubah menjadi buah yang tidak saja indah dan menyejukkan pandangan jika
dilihat, akan tetapi juga dapat dikonsumsi.
Dan gambaran dunia
pun dapat dipastikan sebagaimana kisah bunga di atas. Kehidupan dunia itu
terlihat begitu indah menawan di mata siapa saja yang melihat dan memandangnya.
Tahta, jabatan, wanita, keturunan, harta, benda, dan seterusnya. Keseluruhannya
itu nampak begitu menggoda dan membuai normalnya jiwa manusia tergoda dan
berhasrat untuk menggapai dan menikmatinya. Akan tetapi sungguh, segala yang
terlihat indah di mata itu sejatinya akan jauh lebih indah jika ditunggu
sebentar saja nanti ketika datang kampung kekelan di akhirat. Adapun
orang-orang yang terlena dan tergoda sehingga tak dapat menahan kecuali memetik
dan menikmatinya, sungguh cepat ataupun lambat segala sesuatu yang dinikmatinya
itu akan layu dan nampak suram dan bencana yang sangat mencekam. Demikianlah
Allah menguji hamba-hamba-Nya agar dapat terlihat mana di antara mereka yang
benar-benar jujur dan taat mematuhi segala titah-Nya, dan mana di antara mereka
yang terburu-buru menikmati keindahan sebelum datang waktunya.
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah mengatakan, bahwa dunia itu laksana surga bagi orang
kafir, dan penjara bagi orang mukmin (HR Muslim). Kenapa? Karena di dunia itu
dipenuhi aturan-aturan yang sama sekali tak boleh diterjang. Ada halal-haram,
ada perintah-larangan, ada ini dan itu. Kerap kali untuk menjalankan suatu
perintah, harus meninggalkan beberapa perkara yang nampak indah dan di saat tertentu
harus menelan rasa pahit. Seluruh perintah ini hanya akan dilaksanakn oleh
orang-orang mukmin karena meraka bersabar dan yakin bahwa kehidupan sebenarnya
yang terdapat berbagai kenikmatan hanya akan ada di akhirat, di dunia bukanlah
tempat berfoya-foya dan leyeh-leyeh. Dalam sebuah kaedah agung
disebutkan,
من تركَ شيئًا للهِ ، عوَّضهُ اللهُ خيرًا منه
“Orang yang
meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan sesuatu
yang lebih baik untuknya”
Sedangkan orang
kafir terburu-buru dan tidak sabar menikmati kemewahan dunia yang tak ubahnya
fatamorgana. Di dunia mereka berfoya-foya dengan disertai ejekan dan cemoohan
pada orang-orang yang mau bersabar, kelak orang-orang kafir itu akan merasakan
akibatnya. Ketika mereka sudah merasakan indahnya dunia, kelak di negeri kekal
tak akan lagi merasakan indahnya surga. Nerakalah tempat teduh mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا
يَضْحَكُونَ * وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ * وَإِذَا انقَلَبُوا إِلَىٰ
أَهْلِهِمُ انقَلَبُوا فَكِهِينَ * وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَٰؤُلَاءِ
لَضَالُّونَ * وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ * فَالْيَوْمَ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ * عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ * هَلْ
ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang
beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di
hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan
apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali
dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin,
mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang
sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga
bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman
menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan
sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi
ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS
Al-Muthaffifin: 29-36).
Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman,
مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا
مَا نَشَاءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا
مَّدْحُورًا* وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ
فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا
“Barangsiapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan
baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah
orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS
Al-Isra’: 18-19).
Dalam sebuah
kaidah fikih disebutkan sebagai berikut,
مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ
بِحِرْمَانِهِ
“Orang yang
terburu-buru melakukan sesuatu sebelum saatnya, akan diharamkan melakukannya
(setelah datang waktunya).”
Contoh kongkrit
selain orang kafir yang tak sabar menikmati dunia ialah seperti apa yang
dikatakan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, “Janganlah
kalian memakai sutera, karena barang siapa yang memakainya di dunia, maka tidak
akan memakainya di akhirat.” (HR Al-Bukhari-Muslim).
Walaupun ada dua
kemingkinan maksud di atas, yaitu orang yang memakai sutera di dunia kelak di
akhirat tidak akan masuk surge dan kemungkinan lain orang yang terlanjur
memakai sutera di dunia kelak jika masuk surga tidak lagi mengenakannya.
Begitu pula dengan
khamar dan banyak lagi contohnya.
Kaedah tersebut di
atas bermakna luas dan umum. Seperti yang kita contohkan di atas, bahwa orang
kafir telah mengambil keputusan menikmati keindahan hidup di dunia, padahal
dunia bukanlah tempat berfoya-foya. Oleh sebab itu kelak di akhirat yang
merupakan tempat kekal abadi yang sebenarnya tempat yang dijanjikan adanya
nikmat agung, kelak mereka tak lagi dapat menikmatinya. Padahal jika mereka mau
sedikit bersabar dengan meninggalkan hal-hal yang Allah murkai, mereka akan
merasakan kenikmatan yang amat lebih indah dan nikmat.
Oleh sebab itu
jangan kita merasa heran dengan keadaan orang-orang kafir di dunia. Allah Ta’ala pernah
mengatakan,
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي
الْبِلَادِ * مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Janganlah
sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam
negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian
tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang
seburuk-buruknya.” (QS Alu ‘Imran: 196-197).
Dunia memang
laksana fatamorgana. Sepertinya megah, namun pada hakekatnya lemah. Menurut
bahasa Arab, dunia berarti hina dan dekat. Hina karena harganya yang tak ada
apa-apa dibanding akhirat. Dekat karena kedekatannya dengan kampung akhirat.
Allah ‘Azza wa
Jalla berfirman,
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ
وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ
“Dan
tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan
sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS
Al-‘Ankabut: 64).
Dia juga berfirman
dalam surat Al-Hadid ayat ke-20,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ
مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ
وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا
مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Maka manakah yang
akan Anda pilih di antara keduanya? Akhirat yang telah disiapkan azab dan siksa
yang pedih bagi orang-orang yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat,
ataukah ampunan dan keridhaan dari Allah ‘Azza wa Jalla bagi
orang-orang yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia?
Imam Ahmad
meriwayatkan dari hadits Al-Mustaurid bin Syaddad –radhiyallahu ‘anhu-,
bahwasannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh,
tempat cambuk kalian di surga lebih baik daripada dunia seisinya.”
Imam Muslim
meriwayatkan dari hadits Al-Mustaurid bin Syaddad pula, Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Dunia dibandingkan akhirat hanya seperti
salah seorang di antara kalian yang memasukkan jari tangannya ke dalam lautan.
Perhatikanlah apa yang dibawa oleh jari itu?!”
Pada suatu
kesempatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah
berjalan di kerumunan pasar melewati bangkai anak kambing yang telinganya
kecil. Lantas beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkatnya
dengan memegang telinganya seraya bersabda, “Siapa di antara kalian
yang mau membeli ini seharga satu dirham?”
Para shahabat
menjawab, “Kami tidak ingin membelinya seharga apapun. Apa yang bisa kamu
perbuat dengannya?”
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam mengatakan, “Apakah kalian ingin memilikinya?”
Para hadirin
menjawab, “Demi Allah, sekiranya masih hidup pun cacat, bangkai itu bertelinga
kecil, lalu bagaimana lagi ketika ia sudah menjadi bangkai?”
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda, “Demi Allah, dunia itu lebih hina di sisi
Allah daripada bangkai itu di pandangan kalian.” (HR Muslim, dari
Jabir –radhiyallahu ‘anhu-)
Imam Muslim
meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
يُؤْتَى بِأَنْعَم أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صِبْغَةً ، ثُمَّ يُقَالُ : يَا
ابْنَ آدَمَ؛ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطٌّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطٌّ؟
فَيَقُوْلُ: لَا وَ اللهِ يَا رَبِّ.
وَ يُؤْتَى بِأَشَدِّ النَاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ
أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صِبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا
ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطٌّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطٌّ؟
فَيَقُوْلُ: لَا وَ اللهِ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطٌّ، وَ لَا رَأَيْتُ شِدَّةٌ
قَطٌّ.
“Pada hari kiamat
akan dihadirkan orang yang paling merasakan nikmat di dunia dari kalangan
penduduk neraka. Kemudian ia dicelupkan sekali ke dalam neraka lantas
ditanyakan padanya, ‘Hai manusia, apakah kamu pernah melihat kebaikan, apakah
kamu pernah merasakan kenikmatan?’
Ia menjawab,
‘Tidak, demi Allah wahai Rabb-ku.’
Dan dihadirkan
orang yang paling sengsara di dunia dari kalangan penduduk surga lalu
dicelupkan ke dalam surga dengan sekali celupan. Ditanyakan padanya, ‘Wahai
manusia, pernahkah kamu melihat satu penderitaan? Pernahkah kamu merasakan
kesulitan?’Ia menjawab,
‘Tidak, demi Allah, aku tidak pernah merasakan penderitaan sama sekali dan aku
tak pernah melihat adanya kesulitan sedikitpun.’”
Demikianlah.
Seorang muslim seharusnya benar-benar menyadari betapa dunia hanya negeri yang
penuh dengan fatamorgana. Dunia bukanlah tempat bersenang-senang dan
beristirahat. Dunia merupakan kampung mencari bekal. Sebaliknya, akhiratlah
tempat memetik buah amal. Jika perbuatan yang diusahakan di dunia baik, tentu
balasan di akhirat pun akan baik, dan demikian sebaliknya.
Imam Al-Bukhari
dan Imam Muslim melaporkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-,
bahwasannya Rasululullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah
mengatakan,
اَللهُمَّ لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشَ الْآخِرَةِ
“Ya
Allah, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.”
Kemudian mari kita
melihat kehidupan para suri tauladan kita yang benar-benar menyadari betapa
dunia tak ada harganya sama sekali jika tidak dimanfaatkan sebagai kampung
mencari bekal akhirat. Mereka menanggap bahwa harta bukanlah segalanya sehingga
mereka tidak begitu berhasrat mengumpulkannya dan bahkan jika sudah di tangan,
mereka begitu antusias untuk segera mengalihkantangan.
Ini dia
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah
menyatakan, “Seandainya saya memiliki emas sebesar gunung Uhud tentu
aku bergembira manakala tidak sampai tiga hari pada emas itu aku tidak
memilikinya sedikit pun kecuali beberapa dinar yang aku simpan untuk keperluan
hutang.” (HR Al-Bukhari-Muslim).
Sehingga ‘Amr bin
Al-Harits menceritakan, “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam wafat,
beliau sama sekali tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, budak
wanita, atau apapun kecuali keledai yang beliau kendarai dahulu, senjatanya,
serta tanah yang sudah beliau wakafkah untuk ibnu sabil.” (HR Al-Bukhari)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam sendiri ketika hidupnya tidak pernah menolak orang yang
menengadahkan tangan padanya. Sehingga saat tidak ada lagi tersisa harta di
tangannya, beliau menyampaikan uzur.
Adalah dua puteri
Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu– yang masing-masing bernama
Asma’ dan ‘Aisyah memiliki kebiasaan bersedekah yang luar biasa. Bedanya jika
Asma’ tidak pernah sabar melihat harta yang ada di tangannya, sementara ‘Aisyah
biasa mengumpulkan hartanya terlebih dahulu hingga banyak baru kemudian beliau
sedekahkan.
Maka celakalahh
bagi mereka yang masih mengagungkan dunia. Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam pernah menegaskan, “Celakalah hamba dinar dan hamba
dinar, (celakalah) hamba qathifah (pakaian yang dihiasai renda-renda yang
bergelantung-pent) dan khamishah (selimut persegi empat-pent).” (HR
Al-Bukhari).
Dan perlu
diketahui bahwa harta kesenangan di dunia hanya ada 3, yaitu apa yang dimakan
kemudian lenyap, apa yang dipakai hingga rusak, atau apa yang disedekahkan
sehingga kekal lestari. Demikian yang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terangkan
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Shahabat ‘Abdullah bin Asy-Syikhkhir –radhiyallahu
‘anhu– dan direkam oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Sungguh indah
sya’ir yang dibawakan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam
muqaddimah Riyadh Ash-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin,
إِنَّ لِلهِ عِبَادًا فُطَنَا *** طَلَّقُوْا الدُّنْيَا وَ
خَافُوْا الْفِتَنَا
نَظَرُوْا فِيْهَا فَلَمَّا عَلِمُوْا *** أَنَّهَا
لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا
جَعَلُوْهَا لُجَّةً وَ اتَّخَذُوْا *** صَالِحَ
الْأَعْمَالِ فِيْهَا سُفَنَا
Sesungguhnya
Allah memiliki beberapa hamba yang cerdik--- mereka menceraikan dunia karena
khawatir bencana
Mereka
merenungkan isi dunia--- ketika mereka mengetahui bahwa dunia bukanlah tanah
air orang yang hidup
Mereka
pun menjadikannya laksana samudera dan menjadikan amal shalih sebagai
bahteranya
Al-Hafizh
An-Nawawi –rahmatullah ‘alaih– mengatakan, “Jika keberadaan dunia
adalah seperti yang telah saya kemukakan tadi, dan status kita serta tujuan
kita diciptakan adalah seperti yang telah saya sampaikan (untuk mengabdi
pada Rabbul ‘alamin), maka sudah semestinya bagi setiap mukallaf membawa
dirinya ke jalan orang-orang pilihan dan menepaki jalan orang-orang yang
memiliki akal, nalar, dan pikiran.”
Setelah kita
mengetahui penjelasan ringkas di atas, sadarlah kita bagaimana seorang mukmin
hanya akan bersenang-sedang dan menikmati jerih payahnya di dunia yang penuh
dengan duri-duri dan jalan-jalan terjal. Apatah lagi tidak sedikit orang yang
mencemooh dan menghina mereka yang terkadang berpenghidupan serba kekurangan,
menurut mata telanjang. Padahal sungguhnya kebahagiaan dan kekayaan dalam artian
cukup itu hanya ada dalam hati, bukan harta, tahta, wanita, dan keturunan.
Sebab betapa kita sering mendengar tidak sedikit orang yang memiliki kekayaan
hebat; istana megah, kendaraan mewah, penampilan wah, namun kehidupannya
berakhir dengan bunuh diri. Jika memang itu kebahagiaan, lantas mengapa mereka
bunuh diri?!
الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَ جَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia
itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”
Semoga Allah Subhanahu
wa Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk terus istiqamah menjalankan
segala bentuk titah-Nya dan menjauhi sejauh-jauhnya apa yang menjadi
larangannya. Wallahua’lam. [Artikel: muslim.or.id)
================
Penulis: Firman
Hidayat bin Marwadi. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF.
Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment