Pertanyaan:
“Dulu ana pernah berzina
dengan pacar ana hingga hamil, dan kamipun menikah, namun akhirnya kami
bercerai.Alhamdulillah ana sudah bertobat. Ana telah mengenal manhaj salaf dan
telah berbusana yang syar’i. dan sekarang ana ingin menikah lagi. Apakah
sebelum menikah, ana harus menceritakan aib ana tersebut kepada calon
suamiana?karena ana takut kalo calon suami kecewa setelah menikah dengan ana.”
Jawaban:
(Dijawab oleh: Ustaz DR
Muhammad Arifin Badri, MA)
Alhamdulillah, sholawat dan
salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan seluruh
sahabatnya.
Tidak diragukan bahwa
perbuatan zina adalah perbuatan DOSA BESAR. Dan diantara penyebab terjerumusnya
seseorang kedalam kenistaan ini ialah rendahnya iman dan moral masyarakat,
serta praktek obral aurat dengan murah, terutama dari kaum wanita. Diantara
faktor yang menyuburkan perilaku hina ini ialah merajalelanya pergaulan bebas
antara lelaki dan perempuan. Banyak dari kirta yang berhati dingin tanpa takut
dosa, mengumbar seluruh indranya untuk menikmati sesuatu yang tidak halal
baginya. Perilaku ini sering kali menjadi langkah pertama begi terjerumusnya
seseorang kedalam perbuatan nista ini. Oleh karena itu, jauh-jauh hari Allah
dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
memperingatkan kita dari berbagai perangkap perzinaan ini
قُل
لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ {30} وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ
أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى
عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ
مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakan kepada wanita yang
beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya,
dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami atau ayah,
atau ayah suami atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau
saudara laki-laki atau putra-putra saudara laki-laki atau putra-putra saudari
perempuan mereka, atau wanita-wanita muslimah atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (kepada
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah
mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung.” An
Nur 30-31. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga
bersabda:
(كُتِبَ
على بن آدَمَ نَصِيبُهُ من الزِّنَا، مُدْرِكٌ ذلك لا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ
زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ
زِنَاهُ الْكَلامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا،
وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذلك الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ)
متفق عليه
“Telah ditentukan atas
setiap anak Adam bagiannya dari perbuatan zina, ia pasti melakukannya. Zina
kedua mata adalah dengan memandang, zina kedua telinga adalah dengan
mendengarkan, zina lisan adalah dengan berbicara, zina kedua tangan adalah
dengan menggenggam, dan zina kedua kaki adalah dengan melangkah, sedangkan hati
berkeinginan dan berandai-andai, dan kemaluan mempraktekkan keinginan untuk
berzina itu atau menolaknya.” (Hadis Muttafaqun
‘alaih)
Para ulama’ menyatakan:
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai dengan menyebutkan
zina mata, karena zina mata adalah asal usul terjadinya zina tangan, lisan
kaki, dan kemaluan([1])
.
Oleh karena itu hendaknya
kita senantiasa waspada dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi
perangkap-perangkap perzinaan diatas, agar tidak terjerumus kedalam kenistaan
ini, Allah ta’ala:
وَلاَ
تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan
suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra’ 32)
Ketahuilah saudaraku,
sesungguhnya zina adalah piutang yang pasti kita tebus, dan tebusannya ada pada
keluarga kita sendiri, dalam pepatah dinyatakan:
عفوا
تعف نساؤكم وأبناؤكم وبروا أباءكم يبركم أبناؤكم
"Jagalah dirimu niscaya
istri dan anakmu mu akan menjaga dirinya dan berbaktilah kepada orang tuamu,
niscaya anakmu akan berbakti kepadamu.“([2])
Dan dalam pepatah Arab
lainnya dinyatakan:
الزنا
دين قضاؤه في أهلك
“Perbuatan zina adalah
suatu piutang, dan tebusannya ada pada keluargamu.”
Masing-masing dari kita
seyogyanya bertanya kepada hati nurani masing-masing: Relakah kita bila anak
gadis, atau saudara wanita atau ibu kita dizinai oleh orang lain? Bila tidak
rela, maka janganlah berzina dengan anak atau seudara wanita atau ibu orang
lain. Dan bila anda telah tega menzinai anak atau saudara wanita atau ibu
seseorang, maka semenjak itu ingatlah selalu bahwa pada suatu saat perbuatan
yang serupa akan menimpa anak gadis anda atau saudara wanita anda atau bahkan
ibu anda.
Oleh karena itu hendaknya
setiap kita senantiasa berpikir panjang bila tergoda setan untuk melakukan
perbuatan zina, baik zina kemaluan atau zina pandangan atau lainnya.
Sebagaimana pedihnya hukuman Allah di dunia dan akhirat senantiasa kita ingat,
agar kita tidak mudah terjerembab ke dalam kenistaan ini. Diantara bentuk hukuman
yang diberikan oleh Islam kepada para pezina selain dicambuk ialah
diharamkannya menikah dengan mereka hingga mereka bertaubat. Allah Ta’ala
berfirman:
}الْخَبِيثَاتُ
لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ
وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ النور 26
“Wanita-wanita yang keji
adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita
yang keji (pula) dan wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan
laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik( pula).” An Nur 26.
Sebagian ulama’ ahli tafsir
menyatakan bahwa ayat ini ada kaitannya dengan ayat ke-3 dari surat yang sama,
yaitu firman Allah Ta’ala:
} الزَّانِي
لا يَنكِحُ إلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنكِحُهَا إِلاَّ
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Lelaki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh lelaki yang berzina atau
lelaki yang musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang
beriman.” (QS An
Nur 3). Sehingga penafsiran ayat ini menunjukkan bahwa lelaki yang tidak baik
adalah pasangannya wanita yang tidak baik pula, dan sebaliknya wanita yang
tidak baik adalah pasangannya orang yang tidak baik pula. Dan haram hukumnya
bagi lelaki baik atau wanita baik untuk menikahi wanita atau lelaki yang tidak
baik.([3])
Sebagian ulama’ menjabarkan
penafsiran ini dengan lebih jelas lagi: Barang siapa yang menikahi wanita
pezina yang belum bertaubat, maka ia telah meridhai perbuatan zina. Dan orang
yang meridhai perbuatan zina, maka seakan ia telah berzina. Bila seorang lelaki
rela andai istrinya berzina dengan lelaki lain, maka akan lebih ringan baginya
untuk berbuat zina. Bila ia tidak cemburu ketika mengetahui istrinya berzina,
maka akankah ada rasa sungkan di hatinya untuk berbuat serupa?! Dan wanita yang
rela bila suaminya adalah pezina yang belum bertaubat, maka berarti ia juga
rela dengan perbuatan tersebut. Barang siapa rela dengan perbuatan zina, maka
ia seakan-akan telah berzina. Bila seorang wanita rela andai suaminya merasa
tidak puas dengan dirinya, maka ini pertanda bahwa iapun tidak puas dengan
suaminya.
Oleh karena itu, orang yang
terlanjur terjerumus kedalam kenistaan ini, hendaknya segera kembali kepada
jalan yang benar. Hendaknya ia menyadari bahwa perbuatan zina telah meruntuhkan
kehormatan dan jati dirinya. Sebagaimana hendaknya ia juga senantiasa waspada
dari balasan Allah Ta’ala yang mungkin akan segera menimpa keluarganya.
Bila penyesalan dan rasa
pilu telah menyelimuti sanubari, dan tekad untuk tidak mengulangi kenistaan ini
telah menjadi bulat, istighfar kepada Allah senantiasa
dipanjatkan. Bila berbagai jalan-jalan yang akan menjerumuskan kembali kedalam
kenistaan ini, telah ditinggalkan, maka semoga berbagai dosa dan hukuman Allah
atas perbuatan ini dapat terhapuskan.Mungkin ada yang bertanya:
bagaimana halnya dengan hukuman dera atau cambuk yang belum ditegakkan atas
pezina tersebut, apakah taubatnya dapat diterima?
Ketahuilah saudaraklu,
bahwa: Sahabat Ma’iz bin Malik radhiallahu ‘anhu mengaku
kepada, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia
telah berzina. Berdasarkan pengakuan ini, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan agar ia dirajam. Tatkala perajaman telah
dimulai, dan sahabat Ma’iz merasakan pedihnya dirajam, iapun berusaha melarikan
diri. Akan tetapi para sahabat yang merajamnya berusaha untuk mengejarnya dan
merajamnya hingga meninggal. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dikabarai bahwa sahabat Ma’iz berusaha melarikan diri, beliau
bersabda:
(هلا
تركتموه لعله أن يتوب فيتوب الله عليه ) . أخرجه أحمد وأبو داود وابن أ بي شيبة
“Tidahkah kalian tinggalkan
dia, mungkin saja ia benar-benar bertaubat, sehingga Allah akan mengampuninya.” (HR Riwayat Ahmad, Abu
Dawud, dan Ibnu Abi Syaibah).
Berdasarkan hadits ini dan
juga lainnya para ulama’ menyatakan bahwa orang yang berzina taubatnya dapat
diterima Allah, walaupun tidak ditegakkan padanya hukum dera atau rajam.
Dinatara yang menguatkan pendapat ini ialah firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِينَ
لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي
حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ
أَثَامًا {68} يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ
مُهَانًا {69} إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلاً صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ
يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan lain berserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina,
barang siapa yang melakukan demikian itu niscaya dia mendapat pembalasan atas
dosanya. Yakni akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari qiyamat dan ia
akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatannya diganti Allah
dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Furqaan 68-70)
Ibnu Katsir berkata: “Tafsiran
kedua: bahwa kejelekan yang telah lalu dengan benar-benar bertaubat akan
berubah menjadi kebaikan. Yang demikian itu karena setiap kali pelaku dosa
teringat akan lembaran kelamnya, ia menyesali, hatinya pilu, dan
bertaubat/ memperbaharui penyesalannya. Dengan penafsiran demikian ini,
dosa-dosa itu berubah menjadi ketaatan kelak pada hari qiyamat. Walaupun
dosa-dosa itu tetap saja tertuliskan atasnya, akan tetapi itu semua tidak
membahayakannya. Bahkan itu akan berubah menjadi kebaikan pada lembaran catatan
amalnya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits-hadits yang shohih, dan keterangan
ulama’ salaf.” ([4])
Berdasarkan keterangan ini,
maka banyak dari ulama’ yang berkredibilitas tinggi membolehkan kita untuk
menikah dengan pezina yang benar-benar telah bertaubat.
Syeikh As Syinqithy
berkata: “Ketahuilah bahwa menurutku pendapat ulama’ yang paling kuat
adalah: bila lelaki pezina dan wanita pezina telah berhenti dari perbuatan
zina, menyesali perbuatan mereka, dan bertekad untuk tidak mengulanginya, maka
pernikahan mereka adalah sah. Sehingga seorang lelaki dibenarkan untuk menikahi
wanita yang pernah ia zinahi setelah keduanya bertaubat. Sebagaimana dibolehkan
bagi orang lain untuk menikahi mereka, tentunya setelah mereka bertaubat. Yang
demikian itu karena orang yang telah bertaubat dari dosa bagaikan orang yang
tidak pernah melakukan dosa.” ([5])
Bila pezina adalah seorang
wanita, dan ia hamil dari hasil perzinaan itu, maka untuk dapat menikahinya
disyaratkan hal lain, yaitu ia telah melahirkan anak yang ia kandung,
sebagaimana ditegaskan pada fatwa Komite Tetap Untuk Fatwa Kerajaan Saudi
Arabia berikut : “Tidak dibenarkan menikahi wanita pezina dan tidak sah akad
nikah dengannya, hingga ia benar-benar telah bertaubat dan telah selesai
masa iddahnya.”([6])
Saudaraku, ketahuilah bahwa
diantara perwujudan dari taubat kita dari perbuatan dosa ialah dengan tidak
menceritakan perbuatan dosa kita kepada orang lain. Karena menceritakan
lembaran kelam kepada orang lain merupakan pertanda akan lemahnya rasa malu, penyesalan
dan rasa takut kepada Allah. Bahkan bisa saja perbuatan ini menjadi pertanda
adanya kebanggaan dengan perbuatan nista tersebut. Simaklah sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:
(كل
أمتي معافى إلا المجاهرين وإن من المجاهرة أن يعمل الرجل عملا بالليل ثم يصبح وقد
ستره الله . فيقول : يا فلان عملت البارحة كذا وكذا وقد بات يستره ربه ويصبح يكشف
ستر الله عنه ) . متفق عليه
“Setiap ummatku akan
diampuni, kecuali orang-orang yang berterus-terang dalam bermaksiat. Dan
diantara perbuatan berterus-terang dalam bermaksiat ialah bila seseorang
melakukan kemaksiatan pada malam hari, lalu Allah telah menutupi perbuatannya,
akan tetapi ia malah berkata: wahai fulan, sungguh tadi malam aku telah berbuat
demikian dan demikian. Padahal Tuhan-Nya telah menutupi perbuatannya, dan ia
malah menyingkap tabir Allah dari dirinya.” Muttafaqun ‘Alaih. Dan pada
hadits lain beliau bersabda:
(اجتنبوا
هذه القاذورة التي نهى الله عز وجل عنها ، فمن ألم فليستتر بستر الله عز وجل ،
فإنه من يبد لنا صفحته نقم عليه كتاب الله)
“Jauhilah olehmu
perbuatan-perbuatan nista yang telah Allah Azza wa Jalla larang, dan barang
siapa yang melakukannya, maka hendaknya ia menutupi dirinya dengan tabir Allah
Azza wa Jalla, karena barang siapa yang menampakkan kepada kami jati dirinya,
maka kamipun akan menegakkan hukum Allah.” Riwayat Al Baihaqi dan dihasankan
oleh Al Albani.
Berdasarkan dalil ini dan
juga lainnya, para ulama’ menyatakan bahwa dianjurkan bagi orang yang telah
terjerumus ke dalam dosa, agar merahasiakan dosanya tersebut, dan tidak
menceritakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya anda menceritakan masa
lampau anda kepada siapapun termasuk kepada lelaki yang melamar anda.
Terlebih-lebih bila anda benar-benar telah bertaubat, dan menyesali dosa anda.
Karena yang wajib untuk diceritakan kepada pelamar anda adalah cacat atau
hal-hal yang akan menghalangi atau mengurangi kesempurnaan hubungan suami
istri.([7])
Adapun perbuatan dosa, terlebih-lebih yang telah ditinggalkan dan disesali,
maka tidak boleh diceritakan, karena siapakah dari kita yang tidak pernah
berbuat dosa?
Pada kesempatan ini saya
merasa perlu untuk mengingatkan saudara-saudaraku sekalian agar senantiasa
menjadikan pasangan hidupnya sebagai cermin akan jati dirinya. Bila anda
menjadi marah atau benci karena mengetahui ada kekurangan pada pasangan anda,
maka ketahuilah bahwa andapun memiliki kekurangan yang serupa atau lainnya yang
mungkin lebih besar dari kekurangannya. Dan bila anda merasa bahwa diri anda
memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh pasangan anda, maka ketahuilah
bahwa iapun memiliki kelebihan yang tidak ada pada diri anda. Oleh karena itu
jauh-jauh hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan
kepada kita dengan sabdanya:
(لا
يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مؤمنة إن كَرِهَ منها خُلُقًا رضى منها آخَرَ)
“Janganlah seorang mukmin
membenci wanita mukmin, bila ia membenci suatu perangai darinya, niscaya ia
suka dengan perangai yang lain.” Muslim.
Demikianlah seyogyanya
seorang muslim bersikap dan berfikir, tidak sepantasnya kita bersifat egois,
hanya suka menuntut, akan tetapi tidak menyadari akan kekurangan diri sendiri.
Bila kita menuntut agar pada diri calon pasangan kita terdapat berbagai
kriteria yang indah, maka ketahuilah bahwa calon pasangan kitapun memiliki
berbagai impian tentang pasangan hidup yang ia dambakan. Karenanya, sebelum
kita menuntut, terlebih dahulu wujudkanlah tuntutan kita pada diri kita
sendiri, dengan demikian kita akan dapat berbuat adil dan tidak semena-mena
dalam bersikap dan menentukan kriteria ideal calon pasangan hidup.
Semoga pemaparan singkat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan semoga Allah Ta’ala mensucikan jiwa
kita dari noda-noda kenistaan. wallahu ta’ala a’alam bisshowab.
Notes:
[1] )
Baca: Fathul Bari oleh ibnu Hajar Al Asqalani 11/504, & Faidhul Qadir oleh
Al Munawi 2/247.
[2] )
Majmu’ fatawa oleh Ibnu Taimiyyah 15/315-323.
[3] )
Baca Tafsir Ibnu Jarir At Thobary 18/108, Tafsir Al Qurthuby 12/211, Majmu’
Fatawa Ibnu Taimiyyah 15/322, dan Tafsir Ibnu Katsir 3/278.
[4] )
Tafsir Ibnu Katsir 3/328.
[5] )
Adhwa’ul Bayan oleh Muhammad Al Amin As Syinqithy 5/429.
[6] )
Majmu’ Fatawa Lajnah Ad Daimah 18/383, fatwa no: 17776.
[7] )
Baca As Syarhul Mumti’ oleh Ibnu Utsaimin 12/203.
Penulis: Ustaz DR. Muhammad Arifin Badri, MA. Editor: Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment