Pertanyaan:
1. Punya Uang dan Mampu, Tapi Tidak Mau Qurban,
Dosakah? Assalamu
'alaikum wr. wb. Ustadz yang dirahmati Allah.. Saya ingin menyampaikan
sebuah pertanyaan sederhana, namun buat saya cukup penting. Bila ada orang yang
cukup berada dan lebih dari mampu dari sisi finansial, namun tidak menyembelih
hewan qurban di hari Raya Idul Adha, apakah dia salah dan berdosa? Mohon
dijelaskan dengan disertai dengan dalil-dalilnya. Terima kasih banyak
sebelumnya. Wassalam.
2. Hukum Menjual
Kulit Hewan Qurban. Assalamu'alaikum
wr. wb. Pak Ustadz, kami mau menanyakan tentang hukumnya panitia qurban yang
kebiasaan setiap tahunnya terutama kulit hewan qurban itu dijual sedangkan
hasilnya dimanfatkan untuk operasional acara qurban itu sendiri atau membeli
jamuan untuk panitia kurban dan sisanya masuk pada kas masjid. Sementara ada
perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa haram hukum menjual kulit dari hewan
kurban itu sendiri. Untuk itu kami mohon kepada pak ustadz untuk menjelaskan
tentang hal ini. Sebelum dan sesudahnya kami mengucapkan banyak terima kasih.
3. Kulit Hewan
Qurban. Saya mengucapkan banyak terima
kasih atas jawaban Pak Ustadz mengenai hukum menjual kulit hewan qurban. Saya
ingin menanyakan kembali bagaimana sebaiknya agar kulit qurban itu bisa
dimanfaatkan lebih baik, karena selama ini kulit qurban itu tidak
didistribusikan, kita hanya membagikan dagingnya atau yang selain kulit. Dan
bagaimana hukumnya apabila kulit qurban itu menjadi haknya yang berqurban,
kemudian orang yang berqurban tersebut menginfakan kulit tersebut kepada DKM
dan bolehkah kulit tersebut dijual dan dijadikan sebagai uang kas DKM. Sebelum
dan sesudahnya kami mengucapkan banyak terima kasih.
4. Diqurbankan
oleh Perusahaan Tempat Bekerja. Ustadz,di tempat
saya bekerja tiap tahun diadakan qurban yang hewannya diberikan perusahaan dan
qurbannya di atasnamakan untuk karyawan. Apakah sah qurbannya? Mengingat tidak
ada pernyataan serah terima secara resmi antara pihak manajemen dengan karyawan
yang bersangkutan mengenai qurban tersebut.
5. Pendistribusian
Qurban Ustadz, bolehkah panitia qurban & para
tukang cincangnya mengambl daging untuk dimakan bersama? Mohon hadis-hadis yang
terkait.
6. Beda Qurban dengan Akikah. Saya mau tanya apa bedanya Qurban
dengan Aqiqah:
a.
Dasar-daasr hukum yang menjelaskan (al-Qur'an dan haditsnya yang
shahih),
b. Kapan dilaksanakannya Qurban dengan Aqiqah?
shahih),
b. Kapan dilaksanakannya Qurban dengan Aqiqah?
c.
Dagingnya boleh atau tidak dimakan oleh sang empunya?
d. Apa hukumnya apabila aqiqah baru dilaksanakan setelah sekian tahun
(misal 10 tahun kemudian, karena waktu kelahiran anaknya masih belum
mampu).
e. Apa hukumnya apabila berkurban untuk orang tua yang telah meninggal.
f. Bolehkah mengeluarkan aqiqah bagi anak kita yang meninggal dalam
kandungan (keguguran ). Hukumnya bagaimana?
d. Apa hukumnya apabila aqiqah baru dilaksanakan setelah sekian tahun
(misal 10 tahun kemudian, karena waktu kelahiran anaknya masih belum
mampu).
e. Apa hukumnya apabila berkurban untuk orang tua yang telah meninggal.
f. Bolehkah mengeluarkan aqiqah bagi anak kita yang meninggal dalam
kandungan (keguguran ). Hukumnya bagaimana?
Jawaban:
1.
Segala Puji bagi Allah
Meski nampak
sederhana namun pertanyaan Anda ini cukup penting untuk kita bahas. Sebab di
balik eforia orang menjelang Hari Raya Idul Adha yang sibuk mengurus dan
menyembelih hewan qurban, banyak juga yang tidak terlalu mendalami hukum fiqih
di balik itu. Sampai ada yang beranggapan bahwa menyembelih hewan qurban itu
hukumnya wajib. Sehingga bila sampai tidak dilaksanakan seolah-olah berdosa
besar. Meskipun pendapat yang mewajibkan ini tidak terlalu salah, namun
sebenarnya mayoritas ulama (jumhur) tidak mewajibkannya, meskipun seseorang
terbilang cukup berada dari sisi finansial. Lalu apa hukumnya sebagaimana yang
dipahami oleh para fuqaha berdasarkan dalil-dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah?
Hukum
Menyembelih Hewan Qurban
Setidaknya
secara umum hukumnya berkisar pada dua hal, yaitu antara sunnah dan wajib.
A. Sunnah
A. Sunnah
Umumnya para
ulama (jumhur), yaitu mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi'iyah dan Al-Hanabilah
berpendapat bahwa hukum menyembelih hewan qurban bukan merupakan kewajiban,
melainkan hukumnya sunnah.
(1). Dalil. Kenapa hukumnya menjadi sunnah? Jawabnya
karena ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa jenis ibadah ini memang sunnah.
Di antaranya adalah hadits-hdits berikt ini:
a. Hadits
Rasulullah SAW :
إِذَا دَخَل الْعَشْرُ وَأَرَادَ
أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ بَشَرِهِ
شَيْئًا
Bila telah
memasuki 10 (hari bulan Zulhijjah) dan seseorang ingin berqurban, maka
janganlah dia ganggu rambut qurbannya dan kuku-kukunya. (HR. Muslim dan lainnya)
Dalam hal ini
perkataan Rasulullah SAW bahwa seseorang ingin berkurban menunjukkan bahwa
hukum berkurban itu diserahkan kepada kemauan seseorang, artinya tidak menjadi
wajib melaikan sunnah. Kalau hukumnya wajib, maka tidak disebutkan kalau
berkeinginan.
ثَلاَثٌ هُنَّ عَلَيَّ فَرَائِضَ
وَهُنَّ لَكُمْ تَطَوُّع: الوِتْرُ وَالنَّحْرُ وَصَلاَةُ الضُّحَى
Tiga perkara
yang bagiku hukumnya fardhu tapi bagi kalian hukumnya tathawwu' (sunnah),
yaitu shalat witir, menyembelih udhiyah dan shalat dhuha. (HR. Ahmad dan Al-Hakim)
b. Perbuatan
Abu Bakar dan Umar
Dalil lainnya
adalah atsar dari Abu Bakar dan Umar bahwa mereka berdua tidak melaksanakan
penyembelihan hewan qurban dalam satu atau dua tahun, karena takut dianggap
menjadi kewajiban. Dan hal itu tidak mendapatkan
penentangan dari para shahabat yang lainnya. Atsar ini diriwayatkan oleh
al-Baihaqi.
(2). Jenis Hukum Sunnah : Sunnah Muakkadah
Dalam pandangan jumhur ulama, nilai kesunnahan penyembelihan hewan qurban ini menduduki posisi yang cukup tinggi, yaitu sunnah muakkadah. Dari sisi nilainya, jumhur ulama bukan sekedar menyebutkan bahwa menyembelih hewan qurban itu sunnah, tetapi sunnah yang punya posisi nilai paling atas, yaitu sunnah muakkadah.
Selain ketiga mazhab besar itu, para shahabat yang termasuk berada pada pendapat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khattab, Bilal bin Rabah radhiyallahu'anhum. Termasuk Abu Ma'sud Al-Badri, Said bin Al-Musayyib, Atha', Alqamah, Al-Aswad, Ishaq, Abu Tsaur dan Ibnul Munzdir. Bahkan Abu Yusuf meski dari mazhab Al-Hanafiyah, termasuk yang berpendapat bahwa menyembelih hewan udhiyah tidak wajib, hanya sunnah muakkadah. Karena bukan wajib, maka kalau pun seseorang yang mampu tapi tidak menyembelih hewan qurban, maka dia tidak berdosa.
Apalagi bila
mereka memang tergolong orang yang tidak mampu dan miskin. Namun bila
seseorang sudah mampu dan berkecukupan, makruh hukumnya bila tidak menyembelih
hewan qurban.
2.Mazhab As-Syafi'i : Sunnah 'Ain dan Sunnah Kifayah
Yang agak
menarik adalah pembagian jenis sunnah 'ain dan sunnnah kifayah sebagaimana yang
dijelaskan oleh Asy-syafi'iyah. Selama ini kita hanya mengenal adanya fardhu
'ain dan fardhu kifayah saja. Misalnya shalat lima waktu adalah fardhu 'ain,
sedangkan shalat jenazah adalah fardhu kifayah.
Dalam
penetapan hukum qurban ini, Asy-Syafi'iyah menyebutkan hukumnya sebagai sunnah
ain buat kepala keluarga, dan sunnah kifayah buat anggota keluarganya,
yaitu anak dan istri yang hidupnya dari nafkah kepala keluarga. Maksudnya, buat
masing-masing kepala keluarga memang disunnahkan untuk menyembelih hewan
qurban, sehingga hukumnya sunnah 'ain. Sedangkan buat anak dan istrinya, bila
kepala keluarganya sudah menyembelih, cukuplah sembelihan itu buat sekeluarga.
Sehingga hukumnya buat anak dan istri menjadi sunnah kifayah.
Dasarnya adalah
hadits nabi SAW berikut ini :
كُنَّا وُقُوفاً مَعَ النَّبِيِّ
فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَى كُلِ أَهْلِ بَيْتٍ فيِ كُلِّ
عَامٍ أُضْحِيَّةِ
Kami wuquf
bersama Rasulullah SAW, Aku mendengar beliau bersabda,"Wahai manusia,
hendaklah atas tiap-tiap keluarga menyembelih udhiyah tiap tahun. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
At-Tirmizy)
B. Wajib
Sedangkan pendapat yang mewajibkan terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang mewajibkan penyembelihan hewan qurban sebagai hukum yang dasar dan asli. Kedua, mereka yang mewajibkanya sebagai hukum turunan dan bukan hukum asli
(1).Mazhab
Al-Hanafiyah : Wajib
Mazhab
Al-Hanafiyah menyebutkan bahwa menyembelih hewan udhiyah hukumnya wajib bagi
tiap muslim yang muqim untuk setiap tahun berulang kewajibannya. Selain mazhab
Abu Hanifah, yang berpendapat wajib diantaranya Rabi'ah, Al-Laits bin Saad,
Al-Auza'ie, At-Tsauri dan salah satu pendapat dari mazhab Maliki. Dalil yang
mereka kemukakan sampai bisa mengatakan hukumnya wajib adalah ijtahad dari
firman Allah SWT :
فَصَل لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. (QS. Al-Kautsar : 2)
Menurut
mereka, ayat ini berbentuk amr atau perintah. Dan pada dasarnya setiap perintah
itu hukumnya wajib untuk dikerjakan. Selain itu juga ada sabda Rasulullah SAW
berikut ini yang menguatkan, yaitu
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ
فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Dari Abi
hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang memiliki
kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat
kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan
Al-Hakim menshahihkannya). Hadits ini melarang orang Islam yang tidak
menyembelih udhiyah untuk tidak mendekati masjid atau tempat shalat.
Seolah-olah orang itu bukan muslim atau munafik.
(2). Jumhur : Dari Sunnah Menjadi Wajib
Jumhur ulama menyebutkan bahwa menyembelih hewan qurban bisa saja hukumnya berubah menjadi wajib, yaitu apabila sebelumnya telah dinadzarkan. Nadzar itu sendiri adalah sebuah janji kepada Allah SWT yang apabila permintaannya dikabulkan Allah, maka dia akan melakukan salah satu bentuk ibadah sunnah yang kemudian menjadi wajib untuk dikerjakan. Nadzar untuk menyembelih hewan udhiyah membuat hukumnya berubah dari sunnah menjadi wajib, baik dengan menyebutkan hewannya yang sudah ditentukan, atau tanpa menyebutkan hewan tertentu.
Kalau
seseorang punya kambing yang menyebutkan bahwa kambingnya akan disembelihnya
sebagai udhiyah apabila permohonannya dikabulkan Allah, maka wajib atasnya
untuk menyembelih kambing itu, dan tidak boleh diganti dengan kambing yang
lain. Sedangkan kalau dia tidak menentukan kambing tertentu, hanya sekedar
berjanji untuk menyembelih kambing udhiyah, maka boleh menyembelih kambing yang
mana saja.
Kesimpulan
- Dari perbedaan pendapat di atas, menurut jumhur ulama bahwa
menyembelih hewan qurban itu hukumnya sunnah. Sehingga bila seseorang yang
mampu tidak menjalankannya, tentu tidak berdosa.
- Namun bila seseorang telah bernadzar sebelumnya dan Allah SWT
mengabulkan nadzarnya, hukumnya berubah menjadi wajib. Kalau tidak
dikerjakan jadi dosa.
- Pendapat yang mewajibkan adalah pendapat sebagian kecil ulama
dan bukan mewakili pendapat mayoritas ulama.
- Namun meski hukumnya tidak wajib, tetap saja orang yang mampu
dan punya keluasan harta, sangat dianjurkan untuk menyembelih hewan
qurban. Wallahu a'lam bishshawab,
2. Segala Puji bagi Allah,
Hewan yang
disembelih untuk qurban itu ditujukan untuk tiga hal, yaitu dimakan sendiri,
dihadiahkan atau disedekahkan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dalam hadist
riwayat Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah
membagi daging kurban menjadi tiga, sepertiga untuk keluarganya, sepertiga
untuk fakir miskin dan tetangga dan sepertiga untuk orang meminta-minta"
(HR Abu Musa al-Asfihani dalam Wadlaif). Dalam riwayat lain Rasulullah s.a.w.
bersabda, "Makanlah sebagian, simpanlah sebagian dan
bersedekahlah dengan sebagian."
Adapun panitia
penyembelihan hewan qurban sesungguhnya secara syar'i tidak diisyaratkan untuk
dibentuk, sehingga dari segi pembiayaan pun tidak dialokasikan dana secara
syar'i. Hal ini berbeda dengan amil zakat, yang memang secara tegas disebutkan
di dalam Al-Quran Al-Kariem sebagai salah satu mustahiq zakat.
Siapa yang menjual kulit qurban (udhiyyah) itu maka tidak dianggap
qurban baginya. (Hadis riwayat al-Hakim)
Maka bila
seseorang meminta jasa orang lain (tukang jagal) untuk disembelihkan hewan
qurban miliknya, tetapi dengan imbalan berupa kulit hewan itu menjadi milik
tukang jagalnya, maka tidaklah termasuk qurban, sesuai hadits di atas. Demikian
juga dengan panitia penyembelihan dan pendistribusian hewan qurban, seharusnya
mereka punya kas tersendiri di luar dari hasil hewan yang diqurbankan. Boleh
saja panitia mengutip biaya jasa penyembelihan kepada mereka yang meminta
disembelihkan. Hal seperti ini sudah lumrah, misalnya untuk tiap seekor
kambing, dipungut biaya Rp 30.000 s/d Rp 50.000. Biaya ini wajar sebagai ongkos
jasa penyembelihan hewan dan pendistribusian dagingnya, dari pada harus
mengerjakan sendiri.
Tetapi panitia
penyembelihan hewan qurban dilarang mengambil sebagian dari hewan itu untuk
kepentingan penyembelihan. Baik dengan cara menjual daging, kulit, kepada atau
kaki. Demikian pula dengan masjid, tidak perlu masjid dibiayai dari hasil
penjualan daging qurban, sebab daging atau pun bagian tubuh hewan qurban itu
tidak boleh diperjual-belikan. Termasuk dalam hal ini jasa para tukang potong,
haruslah dikeluarkan dari kas tersendiri, di luar dari hewan yang dipotong.
Ali ra.
berkata, "Aku diperintah Rasulullah menyembelih kurban
dan membagikan kulit dan kulit di punggung onta, dan agar tidak memberikannya
kepada penyembelih." (Bukhari Muslim). Memberikan kulit
atau bagian lain dari hewan kurban kepada penyembelih bila tidak sebagai upah,
misalnya pemberian atau dia termasuk penerima, maka diperbolehkan. Bahkan bila
dia sebagai orang yang berhak menerima kurban ini lebih diutamakan sebab dialah
yang banyak membantu pelaksanaan kurban.
Bagi pelaku
kurban juga diperbolehkan mengambil kulit hewan kurban untuk kepentingan
pribadinya. Aisyah r.a. diriwayatkan menjadikan kulit hewan kurbannya sebagai
tempat air minum. Wallahu
a'lam bishshawab
3. Segala
Puji bagi Allah.
Memang telah
banyak disebutkan oleh para ulama dan juga didukung oleh nash-nash yang shahih,
bahwa pihak yang menyembelih kambing berhak atas daging atau bagian tubuh hewan
tersebut. Kalau dagingnya tentu bisa dimakan langsung setelah dimasak.
Sedangkan kulitnya bisa dimanfaatkan sendiri atau juga boleh saja diinfaqkan
untuk kepentingan lain. Misalnya diinfaqkan buat masjid untuk keperluan yang
kira-kira dibutuhkan. Misalnya untuk kulit jilid kitab, atau buat masjid
tertentu buat bedug. Meskipun sebenarnya masalah bedug ini ada bab
pembahasannya tersendiri.
Namun semua
itu jangan dijadikan syarat, haruslah berangkat dari kerelaan si pengurban.
Pengurus masjid yang menyelenggarakan penyembelihan hewan qurban tidak boleh
mensyarati bahwa kulitnya harus diserahkan kepada mereka. Tapi pihak pemilik
hewan itulah dengan berangkat dari keikhlasannya menyerahkannya kepada pihak
masjid untuk digunakan demi keperluan masjid. Wallahu a'lam bishshawab.
4. Segala Puji bagi Allah
Sesungguhnya bila kita kembali mengacu kepada aturan syariah, ibadah
qurban yang hukumnya sunnah
muakkadah itu dibebankan kepada individu, bukan lembaga.
Kalaupun uang itu berasal dari suatu lembaga semacam perusahaan, maka yang
dilihat adalah pemiliknya, komisaris, atau penentu kebijakan yang ada. Sebab
uang yang ada diperusahaan itu bukan milik karyawan, melainkan punya pemilik
perusahaan itu. Harta milik karyawan hanyalah terbatas gaji yang mereka terima,
plus bonus dan pos-pos tertentu yang dialokasikan untuk para karyawan.
Tapi bila
pihak perusahaan punya kebijakan untuk memberikan sejumlah uang kepada karyawan
dengan tujuan agar karyawan itu menyembelih hewan qurban, tentu saja kebijakan
itu sangat baik. Sebab harga seekor kambing untuk umumnya karyawan biasa yang
gajinya pas-pasan tentu sangat berarti.
Namun tetap
yang namanya sembelihan hewan qurban itu dilakukan oleh orang per orang, bukan
atas nama sekumpulan orang. Sebagaimana ibadah shalat, juga harus dilakukan
orang per orang. Tidak bisa sekumpulan orang menyepakati untuk memilih satu
orang mewakili mereka melakukan shalat, sedangkan yang lainnya duduk santai.
Puasa pun juga tidak bisa diwakilkan atas nama satu orang yang mewakili sekian
banyak orang.
Sebab ibadah
qurban memang ibadah yang unik dan spesifik. Sarat aturan dan ketentuan. Bukan
sekedar donasi dan bantuan. Tetapi sebuah ritual peribadatan.
Seharusnya
pihak managemen ketika mengambil kebijakan menyembelih hewan qurban harus mengerti
bahwa ibadah qurban itu bukan ibadah yang bersifat shareware (baca:
saweran), melainkan ibadah yang bersifat individualis. Bahkan patungan uang
recehan pun tidak bisa dijadikan sebagai ibadah qurban. Rasulllah SAW telah
menetapkan seekor kambing untuk satu orang, atau seekor sapi, kerbau, unta
untuk tujuh orang.
Maka ketika
memutuskan hewan qurban yang disembelih di atas-namakan seorang karyawan,
ketahuilah bahwa hal itu bukan sekedar formalitas, melainkan hakikatnya adalah
perusahaan memberikan uang kepada karyawan yang bersangkutan, lalu karyawan
itulah yang melakukan ibadah penyembelihan hewan qurban. Bila berpahala, tentu
saja pahala berkurban itu untuk dirinya sendiri, bukan buat manajemen kantor.
Manajemen kantor hanya dapat pahala karena memberi hadiah, tetapi bukan pahala
beribadah qurban. Tentu saja dari segi ukuran, kualitas, nilai dan derajat,
kedua jenis pahala itu berbeda jauh.
Wallahu a'lam bish-shawabwassalamu 'alaikum warahmatullahi
wabarakatuh,
5. Segala puji bagi Allah,
Tentang
pendistribusian daging hewan qurban, Rasulullah SAW bersabda
"Makanlah,
berilah makan orang miskin dan hadiahkanlah." (HR Bukhari 5567, Muslim
1972).
Sedangkan
panitia yang dititipi amanah untuk menyembelih, justru dilarang untuk
mendapatkan bagian dari daging itu secara langsung, kecuali lewat jalur
lainnya. Larangan itu ada di dalam hadits berikut ini.
Dari Ali ra
berkata, "Rasulullah SAW memerintahkan kepadaku menyembelih unta dan
menyedekahkan dagingnya dan kulitnya. Tapi tidak boleh memberikan kepada
penyembelihnya." Beliau berkata, "Kami memberi upah kepada
penyembelih dari uang kami sendiri." (di luar hewan qurban). (HR Bukhari dan Muslim)
.
Dalam riwayat yang lain dari Muslim disebutkan, "Tidak boleh dikeluarkan dari daging itu biaya untuk penyembelihannya."
Dalam riwayat yang lain dari Muslim disebutkan, "Tidak boleh dikeluarkan dari daging itu biaya untuk penyembelihannya."
Maka yang
paling aman dalam masalah ini adalah bila ada akad di mana salah seorang pemberi
hewan qurban menghadiahkan bagiannya untuk dimakan para panitia. Bisa sebagai
hadiah atau bisa juga sebagai sedekah. Tetapi bukan sebagai upah apalagi
bayaran.Misalnya, ada salah seorang yang berqurban kambing menitipkan
penyembelihan hewannya pada satu panitia tertentu, sambil mengatakan bahwa
sebagian dari dagingnya dihadiahkan kepada para pantia untuk makan siang. Tentu
hal ini boleh, karena pihak yang berqurban memang punya hak untuk memakan
dagingnya atau menyedekahkannya atau memberikan daging itu sebagai hadiah. Bahkan
kalau ada di antara panitia itu yang ikut berqurban, lalu dia memberikan
sebagian dari daging hewan yang diqurbankannya itu untuk makan para panitia,
tentu akan lebih utama.
Namun bila
inisiatif mengambil daging qurban itu hanya datang dari panitia semata,
sedangkan pihak yang berqurban sama sekali tidak mengetahui, apalagi sampai
tidak setuju bila mengetahuinya, tentu saja hal itu harus dihindari. Terutama
sekali bila akadnya hanyalah panitia itu membantu menyembelihkan dan membagikan,
sama sekali tidak ada akad memberi hadiah atau sedekah kepada panitia. Maka
panitia dilarang mengambil daging hewan itu. Yang dibolehkan adalah panitia
meminta uang jasa penyembelihan dan pendistribusian, di luar harga hewan yang
diqurbankan.
Panitia juga
dilarang menjadikan kebolehan memakan sebagian daging itu sebagai syarat dari
kesediaan mereka menerima penyembelihan hewan qurban. Maksudnya, tidak boleh
hukumnya bila panitia mensyaratkan kepada khalayak, siapa saja yang meminta
jasa mereka untuk menyembelihkan hewan qurban, panitia berhak atas sebagian
daging itu. Maka persyaratan seperti ini dilarang, karena hewan itu bukan hak
panitia secara spontan. Intinya, panitia berhak atas daging hewan qurban itu
selama mereka diberikan sebagai hadiah atau sedekah, bukan sebagai 'pembayaran'
atas jasa panitia.
6.
Segala Puji bagi Allah
Qurban dan aqiqah punya banyak persamaan dan perbedaan. Di antara
persamaannya adalah sama-sama ibadah ritual dengan cara penyembelihan hewan.
Dagingnya sama-sama boleh dimakan oleh yang menyembelihnya, meskipun sebaiknya
sebagian diberikan kepada fakir miskin, tapi boleh juga diberikan sebagai
hadiah. Hal ini berdasarkan hadis Aisyah ra.
Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor
kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak tanpa mematahkan tulangnya. Lalu
dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh. (HR
Al-Baihaqi).
Sedangkan
perbedaannya, ibadah qurban hanya boleh dilakukan pada hari tertentu saja,
yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Dimulai sejak selesainya shalat
'Idul Adha. Sedangkan aqiqah dilakukan lantaran adanya kelahiran bayi, yang
dilakukan penyembelihannya pada hari ketujuh menurut riwayat yang kuat.
Sebagian ulama membolehkannya pada hari ke 14, bahkan pendapat yang lebih luas,
membolehkan kapan saja.
7. Segala
Puji bagi Allah.
Umumnya para ulama membenarkan menyembelih hewan qurban untuk
keluarganya yang telah wafat. Kalau pun ada berbedaan di antara mereka, maka
sedikit saja permasalahannya. Apalagi bila semasa hidupnya pernah berwasiat
untuk berkurban dari harta yang dimilikinya, maka semua mazhab menerimanya dan
berpendapat bahwa berkurban untuk orang yang sudah meninggal itu syah. Sedangkan bila
inisiatif itu datang dari orang lain dan juga uangnya, maka para ulama sedikit
berbeda pendapat.
Fuqaha dari
kalangan Al-Malikiyah mengatakan bahwa hal itu masih tetap boleh tapi dengan karahiyah (kurang disukai). Sebaliknya, kalangan
fuqaha dari Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah sepakat bahwa hal itu
boleh hukumnya. Artinya tetap shah dan diterima disisi Allah SWT sebagai pahala
qurban.
Sebenarnya
jumhur ulama umumnya menerima bahwa pahala yang dikirimkan kepada mayit di
kubur itu bisa sampai. Terkecuali pendapat kalangan Asy-Syafi'iyah, mereka
tidak menerima pandangan itu. Artinya, kalangan fuqaha Asy-Syafi'iyah
mengatakan bahwa tidak bisa dikirm pahala kepada orang yang sudah wafat.
Kecuali bila memang ada wasiat atau waqaf dari mayit itu ketika masih hidup.
Sebenarnya
pendapat kalangan Asy-Syafi'iyah ini justru bertentangan dengan perilaku umat
Islam di negeri ini yang mengaku bermazhab Asy-Syafi'iyah. Dan fenomena
tahlilan atau mengirim pahala bacaan ayat Al-Quran al-Kariem kepada ruh di
kubur justru menjadi ciri khas keagaamaan bangsa ini. Sementara mazhab mereka
dalam hal ini Imam Asy-Syafi'i justru mengatakan bahwa pengiriman itu tidak
akan sampai. Sedangkan dasar kebolehannya adalah bahwa dalil-dalil
menunjukkan bahwa kematian itu tidak menghalangi seorang mayit bertaqaruub
kepada Allah SWT, sebagaimana dalam masalah shadaqah dan haji.
Dari Ibnu Abbas ra bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada
Nabi SAW dan berkata, "Ibu saya telah bernazar untuk pergi haji, tapi
belum sempat pergi hingga wafat, apakah saya harus berhaji untuknya?"
Rasulullah SAW menjawab, "Ya pergi hajilah untuknya. Tidakkah kamu tahu
bila ibumu punya hutang, apakah kamu akan membayarkannya? Bayarkanlah hutang
kepada Allah karena hutang kepada-Nya lebih berhak untuk dibayarkan." (HR
Al-Bukhari).
Hadits ini
menunjukkan bahwa pelaksanaan ibadah haji dengan dilakukan oleh orang lain
memang jelas dasar hukumnya, oleh karena para shahabat dan fuqaha mendukung hal
tersebut. Mereka di antaranya adalah Ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah,
Imam Asy-Syafi`i ra. dan lainnya. Sedangkan Imam Malik ra. mengatakan bahwa
boleh melakukan haji untuk orang lain selama orang itu sewaktu hidupnya
berwasiat untuk dihajikan.
Seorang wanita dari Khats`am bertanya, "Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-nya untuk pergi haji, namun ayahku seorang
tua yang lemah yang tidak mampu tegak di atas kendaraannya, bolehkah aku pergi
haji untuknya?" Rasulullah SAW menjawab, "Ya." (HR Jamaah)
Adapun anak
yang meninggal saat dilahirkan, menurut banyak ulama tidak perlu disembelihkan
aqidah, sebab secara umum aqidah hanya untuk anak yang hidup, sebagai doa atas
kebaikannya di dunia ini. Wallahu a`lam bishshawab
****************************
Semua Pertanyaan dijawab oleh Ustadh DR Ahmad
Sarwat, Lc, MA. Editor: Ust. Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com.
Comments
Post a Comment