Pada rakaat kedua,
setelah sujud kedua, disyariatkan untuk duduk Tasyahud Awal dan membaca doa
tasyahud awal. Duduk tasyahud awal dan doanya, keduanya hukumnya wajib. Ini
adalah pendapat Hanaifyah, Hanabilah, salah satu pendapat Imam Malik dan juga
imam Asy Syafi’i, dikuatkan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh
Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Diantara dalil akan wajibnya, dari Abdullah
bin Buhainah ia mengatakan,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى بهم الظُّهرَ،
فقام في الرَّكعتينِ الأُوليَيْنِ، لم يجلِسْ، فقام النَّاسُ معه، حتَّى إذا قضى
الصَّلاةَ، وانتظَرَ النَّاسُ تسليمَه،كبَّرَ وهو جالسٌ، فسجَد سجدتينِ قبْلَ أنْ
يُسلِّمَ، ثم سلَّمَ
“Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam mengimami para sahabat. Beliau salat di dua rakaat pertama tanpa duduk
(tasyahud awal). Maka orang-orang pun ikut berdiri (tidak tasyahud awal).
Sampai ketika salat hampir selesai, orang-orang menunggu beliau salam, namun
ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk, lalu sujud dua kali sujud
sebelum salam. Kemudian setelah itu baru salam“ (HR. Bukhari
no. 829, Muslim no. 570). Hadis ini
menceritakan tentang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lupa
mengerjakan tasyahud awal, sehingga beliau melakukan SUJUD SAHWI. Maka ini
menunjukkan bahwa tasyahud awal adalah kewajiban, yang jika ditinggalkan maka
ada kewajiban sujud sahwi. Kemudian juga hadis dari Rifa’ah bin Rafi radhiallahu’anhu,
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا أنتَ قُمْتَ في صلاتِكَ، فكبِّرِ اللهَ تعالى، ثم
اقرَأْ ما تيسَّرَ عليك مِن القُرآنِ، وقال فيه: فإذا جلَسْتَ في وسَطِ الصَّلاةِ،
فاطمئِنَّ وافتَرِشْ فخِذَك اليُسرى، ثم تشهَّدْ، ثم إذا قُمْتَ فمِثْلَ ذلك حتَّى
تفرُغَ مِن صلاتِكَ
“Jika
engkau berdiri untuk salat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Alquran
yang engkau mampu”. Kemudian Nabi juga bersabda di dalamnya: “jika engkau duduk di tengah salat, maka
duduklah dengan tuma’ninah dan
bentangkanlah pahamu yang sebelah kiri, kemudian tasyahudlah. Kemudian jika
engkau berdiri lagi (untuk rakaat ke-3) maka semisal itu juga sampai selesai
salat.” (HR. Abu Daud no. 860, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu
Daud). Dalam hadis ini Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan
untuk tasyahud awal. Menunjukkan hukumnya wajib.
Cara duduk
tasyahud awal adalah dengan duduk iftirasy, sama seperti duduk di
antara dua sujud, yaitu telapak kaki kiri dibentangkan dan diduduki, kemudian
telapak kaki kanan ditegakkan. Dalam hadis al musi’ salatuhu’ di
atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ،
وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Jika
kamu duduk di tengah salat (tasyahud awal), duduklah dengan tuma’ninah,
bentangkan pahamu yang kiri, kemudian bertasyahud-lah.” (HR.
Abu Daud no. 860, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud). Juga
termasuk keumuman hadis Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu beliau
berkata:
فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى،
وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته
“Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau
duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di
rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya
dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226). Dalam
riwayat lain:
ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ
اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً ثُمَّ أَهْوَى
سَاجِدًا
“Kemudian kaki
kiri ditekuk dan diduduki. Kemudian badan kembali diluruskan hingga setiap
anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud kembali.”(HR. Tirmidzi
no. 304. At Tirmidzi mengatakan: “hasan shahih”). Ketika duduk tasyahud tangan
kanan berada di atas paha atau lutut kanan, dan tangan kiri di atas paha atau
lutut kiri dengan posisi telapak tangan membentang, dan jari-jari menghadap
kiblat. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, ia berkata:
كان إذا جلَس في الصلاةِ ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه
اليُمنى . وقبَض أصابعَه كلَّها . وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ . ووضَع كفَّه
اليُسرى على فخِذِه اليُسرى
“Jika
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam duduk (tasyahud), beliau meletakkan telapak
tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari
tangan kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuk yang ada di sebelah
jempol. Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR.
Muslim no. 580). Kemudian dari Wail bin Hujr radhiallahu’anhu,
ia berkata:
ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على
فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ
قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ
“…
kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya. Beliau meletakkan tangan kiri
di atas paha dan lutut kirinya. Dan memposisikan siku kanannya di atas paha
kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (kelingking dan jari manis),
dan membentuk lingkaran dengan dua jarinya (jempol dan jari tengah) dan
berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no. 888, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih An Nasai). Kemudian posisi siku sejajar dengan
paha dan diletakkan di atas paha, sebagaimana dalam hadis Wail bin Hujr radhiallahu’anhu.
Dari hadis Ibnu
Umar dan Wail bin Hujr radhiallahu’anhuma ini, kita ketahui
ada dua cara berisyarat dengan tangan kanan ketika tasyahud:
- Menggenggam semua jari kecuali jari telunjuk
yang mengarah ke kiblat, sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar
- Menggenggam jari kelingking dan jari manis,
membentuk lingkaran dengan jari tengah dan jempol, dan jari telunjuk
berisyarat ke kiblat.
Ketika tasyahud,
jari telunjuk tangan kanan berisyarat ke arah kiblat dan pandangan mata ke
arah jari telunjuk tersebut. Ini disebutkan oleh beberapa hadis di atas dan
juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma:
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى
ببصرِه إليها
“… beliau
berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat,
dan memandang jari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban no. 1947,
dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati salatin Nabi [3/838])
Para ulama khilaf
mengenai kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk dalam beberapa pendapat:
- Hanafiyah berpendapat
bahwa dimulai sejak ucapan “laailaaha illallah”
- Malikiyyah berpendapat
bahwa dimulai sejak awal tasyahud hingga akhir
- Syafi’iyyah berpendapat
bahwa dimulai sejak “illallah”
- Hanabilah berpendapat
bahwa dimulai sejak ada kata “Allah”
Bila kita melihat
riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma berikut:
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ، كان إذا قعَد
في التشَهُّدِ وضَع يدَه اليُسرى على رُكبتِه اليُسرى . ووضَع يدَه اليُمنى على
رُكبتِه اليُمنى . وعقَد ثلاثةً وخمسينَ . وأشار بالسبابةِ
“Jika
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam duduk untuk tasyahud, beliau meletakkan
telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya. Dan beliau meletakkan tangan
kanannya di lutut kanannya. Dan jarinya membentuk lima puluh tiga, sedangkan
telunjuknya berisyarat ke kiblat.” (HR. Muslim no. 580)
Disebut di sini
… إذا قعَد في التشَهُّدِ …
“jika
beliau duduk untuk tasyahud” menunjukkan bahwa isyarat jari telunjuk
dimulai ketika awal tasyahud. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan:
السنة أن تشير بالسبابة، يقيم السبابة من أول الجلوس في
التحيات، التشهد الأول والأخير
“Yang
sesuai sunnah dalam berisyarat dengan telunjuk itu, mengacungkan jari telunjuk
sejak mulai duduk tasyahud awal dan akhir” ( Fatwa No.13521)
Ada tiga macam
bacaan tasyahud yang sahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
Bacaan
pertama
Dari Ibnu
Mas’ud radhiallahu’anhu,
كنا نقولُ: التَّحية في الصلاةِ،
ونسمِّي، ويسلِّم بعضُنا على بعض، فسمعه رسول الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فقال:
قولوا: التَّحِيَاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ
أيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا
وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ
أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Dahulu kami
membaca tahiyyat dalam salat, menyebut nama Allah kemudian mengucapkan salam
satu sama lain. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun
mendengar hal tersebut lalu beliau mengatakan: Ucapkahlah bacaan seperti di
atas yang artinya: (Segala ucapan selamat,
salawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Mudah-mudahan salawat
serta salam terlimpahkan kepadamu wahai engkau wahai Nabi beserta rahmat Allah
dan berkah-Nya. Mudah-mudahan salawat dan salam terlimpahkan pula kepada kami
dan kepada seluruh hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 1202,
Muslim no. 402)
Bacaan
kedua
Dari Ibnu
Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
ان رسول الله صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم يعلمنا التشهد كما يعلمنا السورة من القرآن فكان يقول: ((اَلتَّحِيَاتُ
المُبَارَكَاتُ، الصَلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لله، اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أيُّهَا
النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَينَا وَعَلَى عِبَادِ
اللهِ الصَالِحِين، أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلّا الله، وَأَشْهَدُ أنَّ
مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله))
“Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan kepada kami bacaan tasyahud sebagaimana
mengajarkan bacaan surat dalam Al-Quran, beliau mengucapkan bacaan seperti di
atas, yg artinya: Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan hanya milik
Allah. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi
beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan shalawat dan salam
terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan
aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)ز” (HR.
Muslim no. 403). Dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu’anhu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
وإذا كان عندَ القعدةِ فليكنْ مِن أوَّل قولِ أحدِكم:
اَلتَّحِيَاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لله السَّلَامُ عَلَيْكَ
أيُّهَاالنَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى
عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلّا الله، وَأَشْهَدُ
أَن مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُوْلُهُ
“Jika
kalian duduk (tasyahud) dalam salat, hendaknya yang pertama kali kalian baca
adalah seperti bacaan di atas yang artinya: Segala penghormatan, kebaikan dan
shalawat hanya milik Allah. Mudah-mudahan salam terlimpahkan kepadamu wahai
Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpah pula
kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak
ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.” (HR.
Muslim no. 404)
Apakah Menggerak-gerakkan Jari Telunjuk? Dalam hadis Wail
bin Hujr radhiallahu’anhu, ia berkata:
ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على
فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ
قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ فرأيته يحركها يدعو بها
“…
kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya. Beliau meletakkan tangan
kiri di atas paha dan lutut kirinya. Dan memposisikan siku kanannya di atas
paha kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (kelingking dan jari
manis), dan membentuk lingkaran dengan dua jarinya (jempol dan jari tengah) dan
berisyarat dengan jari telunjuknya dan aku melihat beliau menggerak-gerakkan
telunjuknya ketika berdoa.” (HR. An Nasai no. 888, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih An Nasai). Sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa
jari telunjuk digerak-gerakkan ketika tasyahud. Namun tambahan di akhir hadis,
yaitu:
فرأيته يحركها يدعو بها
“…dan aku
melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya ketika berdoa”
Ini
diperselisihkan oleh para ulama apakah sahih atau tidak. Karena tambahan ini
hanya terdapat dalam riwayat dari perawi bernama Zaidah bin Qudamah dari Ashim
bin Kulaib. Padahal ada kurang lebih 12 perawi lain yang tsiqah yang
meriwayatkan dari Ashim bin Kulaib tanpa tambahan tersebut. Yang rajih, wallahu
a’lam, tambahan tersebut adalah tambahan yang syadz sehingga
statusnya dha’if (lemah). Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
mengatakan tentang hadis Wail bin Hujr ini:
ظاهره أنه حسن ، ولكن فيه لفظة شاذة وهي ذكر تحريك الإصبع
“Zahirnya
hadis ini hasan, namun terdapat lafadz yang syadz yaitu penyebutan
menggerak-gerakkan telunjuk.” (Al Ahadis Al Mu’allah, 389). Syaikh
Syu’aib Al Arnauth juga mengatakan:
إسناده صحيح وقوله: “فرأيته يحركها يدعو بها” لفظة شاذة
“Sanad hadis ini
sahih namun tambahan [dan aku melihat beliau menggerak-gerakkan telunjuknya
ketika berdoa] ini lafadz yang syadz.” (Takhrij
Sunan Abi Daud, 2/233). Sehingga yang rajih, tidak perlu
menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud. Namun tentunya ini
masalah khilafiyah ijtihadiyyah di antara para ulama, kita
bersikap longgar terhadap pendapat yang menyatakan disyariatkan
menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud. Diantara yang menguatkan
tambahan tersebut adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah.
Tasyahud akhir dilakukan setelah sujud
kedua pada rakaat paling terakhir dalam salat. Duduk tasyahud akhir dan
bacaannya adalah rukun salat. Dalilnya adalah hadis Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu tentang bacaan
tasyahud akhir, beliau berkata:
كنَّا نقولُ قبْلَ أنْ يُفرَضَ
علينا التشهُّدُ: السَّلامُ على اللهِ قبْلَ عبادِه، السَّلامُ على جِبْريلَ،
السَّلامُ على ميكائيلَ، السَّلامُ على فُلانٍ، فقال صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: لا
تقولوا: السَّلامُ على اللهِ؛ فإنَّ اللهَ هو السَّلامُ، ولكن قولوا: التَّحيَّاتُ
للهِ
“Dahulu sebelum tasyahud diwajibkan kepada
kami, kami mengucapkan: as salaam ‘alallah qabla ibaadihi, as salaam ‘ala
Jibril, as salaam ‘ala Mikail, as salaam ‘ala fulan (Salam kepada Allah
sebelum kepada hamba-Nya, salam kepada Jibril, salam kepada Mikail, dan salam
kepada fulan). Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun mengatakan: janganlah
kalian mengatakan “as salaam ‘alallah” karena Dialah As Salam. Namun
katakanlah: at tahiyyatu lillah (segala penghormatan hanya milik Allah).” (HR.
Bukhari no. 1202, Muslim no. 402). Dalam hadis ini jelas
disebutkan “sebelum tasyahud diwajibkan
kepada kami“, menunjukkan bahwa tasyahud akhir hukumnya wajib dan merupakan
rukun salat. Dan ulama ijma bahwa duduk tasyahud akhir merupakan rukun salat.
Imam An Nawawi mengatakan:
فمِن المجمَع عليه: النيَّة،
والقعودُ في التشهُّد الأخير
“Diantara kesepakatan ulama, niat dan duduk
tasyahud akhir (adalah rukun salat).” (Syarah
Shahih Muslim, 4/107)
Cara duduk tasyahud akhir adalah dengan duduk tawarruk, yaitu duduk di lantai, kedua kaki
diletakkan di sebelah kanan pinggang, kaki kiri dibentangkan, sedangkan kaki
kanan ditegakkan. Dalam hadis Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu beliau
berkata:
فإذا جلس في الركعتين جلس على
رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب
الأخرى، وقعد على مقعدته
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau
duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di
rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya
dan duduk di atas lantai.” (HR.
Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226). Dalam riwayat lain:
حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي
تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم
سلَّمَ
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika sudah
sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki kirinya dan duduk
langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam.” (HR.
Abu Daud no. 730, dishahihkan Al Albani dalam Shahih
Abu Daud). Demikian juga jika dalam salat ada dua tasyahud,
maka tasyahud pertama dibaca dengan keadaan duduk iftirasy dan
tasyahud yang kedua dibaca dalam keaadaan duduk tawarruk sebagaimana
zahir hadis-hadis di atas. Para ulama
berbeda pendapat (khilaf) mengenai cara duduk tasyahud akhir jika di dalam
salat hanya ada satu tasyahud. Karena dalam hadis Abu Humaid di atas, terdapat
isyarat bahwa Nabi duduk iftirasy pada
rakaat kedua, sedangkan dalam riwayat Abu Daud dipahami bahwa duduk tawarruk adalah duduk tasyahud di rakaat terakhir.
Padahal jika salat hanya dua rakaat maka duduk tasyahud ketika itu adalah
tasyahud di rakaat kedua sekaligus di rakaat terakhir.
Para ulama khilaf dalam dua pendapat:
Pendapat pertama, duduk dengan cara tawarruk. Ini
adalah pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Dalil mereka adalah riwayat Abu
Humaid yang terdapat lafadz:
حتَّى إذا كانتِ الرَّكعةُ التي
تنقضي فيها الصَّلاةُ، أخَّرَ رِجْلَه اليُسرى، وقعَد على شِقِّه متورِّكًا ثم
سلَّمَ
“Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam jika sudah sampai pada rakaat terakhir salat, beliau menjulurkan kaki
kirinya dan duduk langsung di lantai dalam keadaan tawarruk, kemudian salam”
Pendapat kedua: duduk dengan cara iftirasy. Ini
adalah pendapat Hanabilah dan Hanafiyah, juga dikuatkan oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin dan Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dalilnya hadis Abu Humaid
riwayat Bukhari – Muslim di atas:
فإذا جلس في الركعتين جلس على
رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى
“Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam jika duduk dalam salat di dua rakaat pertama beliau
duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan”. Dikuatkan dengan
riwayat dari Aisyah radhiallahu’anha:
“Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam di setiap dua rakaat beliau mengucapkan tahiyyah (tasyahud). Dan beliau membentangkan kaki
kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” (HR.
Muslim no. 498). Maka pendapat kedua ini nampaknya yang lebih rajih, wallahu
a’lam. Bacaan tasyahud akhir sama dengan bacaan tasyahud awal hanya saja
ada tambahan shalawat.
Para
ulama khilaf mengenai hukumnya menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama: hukumnya sunnah.
Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Ibnu Abdil Barr, Ibnul Munzhir,
Zhahiriyah, dan juga pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al
Utsaimin. Dalil yang mereka gunakan adalah sebuah hadis dari Alqamah:
عَلقمةَ أنَّ عبدَ اللهِ بنَ مسعودٍ
أخذَ بيدِه، وأنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أخَذ بيدِ عبدِ اللهِ
فعلَّمَه التشهُّدَ في الصَّلاةِ، قال: قُلِ: التَّحيَّاتُ للهِ، والصَّلواتُ،
والطَّيِّباتُ، السَّلامُ عليك أيُّها النبيُّ ورحمةُ اللهِ وبركاتُه، السَّلامُ
علينا وعلى عبادِ اللهِ الصَّالحينَ، قال زُهَيرٌ: حفِظْتُ عنه إن شاءَ اللهُ:
أشهَدُ أنْ لا إلهَ إلَّا اللهُ، وأشهَدُ أنَّ محمَّدًا عبدُه ورسولُه، قال: فإذا
قضَيْتَ هذا أو قال: فإذا فعَلْتَ هذا، فقد قضَيْتَ صلاتَك، إن شئتَ أنْ تقومَ
فقُمْ، وإن شِئْتَ أنْ تقعُدَ فاقعُدْ
“Abdullah bin Mas’ud menarik tangannya
Alqamah sedangkan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam menarik tangan Ibnu Mas’ud untuk mengajarkannya tasyahud di
dalam salat. Nabi bersabda ucapkanlah,
“at tahiyyaatu
lillaah was shalawaatu wat thayyibaat as salaamu ‘alaika ayyuhannabiyyu
warahmatullah wabarakaatuh, as salaamu ‘alainaa wa ‘ala ibaadillahis shaalihiin”. Zuhair berkata: yang aku hafal insya Allah ada tambahan: “asy-hadu an
laailaaha illallah, wa asy-hadu anna muhammadan abduhu wara suluh”.
Nabi lalu bersabda: jika engkau sudah selesai membaca ini, maka engkau telah
menyelesaikan salatmu. Jika engkau ingin berdiri, silakan berdiri, atau jika
engkau ingin duduk silakan duduk.” (HR.
Abu Daud no. 970). Namun Syaikh Al Albani menegaskan:
شاذّ بزيادة ((إذا قلت..))،
والصواب أنَّه من قول ابن مسعود موقوفًا عليه
“Hadits ini syadz dengan
tambahan: “jika engkau sudah selesai membaca ini, dst.” yang
benar ini adalah hadis yang mauquf, merupakan perkataan Ibnu Mas’ud.” (Shahih Sunan Abu
Daud no. 970)
Pendapat kedua: hukumnya wajib. Ini adalah pendapat Hanabilah,
Syafi’iyyah, Ibnu Arabi dan dikuatkan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Dalilnya
hadis Ka’ab bin Ujrah radhiallahu’anhu,
ia berkata:
إنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم خرَج علينا، فقُلْنا: يا رسولَ اللهِ، قد علِمْنا كيف نُسلِّمُ عليك، فكيف
نُصلِّي عليك؟ قال: قولوا: اللهمَّ صلِّ على محمَّدٍ، وعلى آلِ محمَّدٍ، كما
صلَّيْتَ على آلِ إبراهيمَ، إنَّك حميدٌ مجيدٌ، اللهمَّ بارِكْ على محمَّدٍ، وعلى
آلِ محمَّدٍ، كما بارَكْتَ على آلِ إبراهيمَ، إنَّك حميدٌ مجيدٌ
“Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam keluar bersama kami, lalu kami berkata: Wahai Rasulullah kami
sudah tahu cara salam kepadamu, lalu bagaimana cara bershalawat kepadamu? Nabi
menjawab: ucapkanlah: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shalayta
‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa
‘ala aali Muhamamd kamaa baarakta ‘ala aali Ibrahim, innaka hamiidum majid”. Artinya:
Ya Allah semoga shalawat terlimpah kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad, sebagaimana shalawat terlimpah kepada Ibrahim dan keluarga
Ibrahim,Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.Ya Allah semoga keberkahan
terlimpah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana engkau berkahi
Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia” (HR. Bukhari no. 6357, Muslim no. 406). Dalam
hadis ini digunakan fi’il amr (perintah),
maka menunjukkan hukumnya wajib. Wallahu
a’lam, ini pendapat yang lebih rajih.
Setelah tasyahud akhir dan sebelum salam, DIANJURKAN
membaca doa perlindungan dari empat hal. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا فرَغَ أحَدُكم مِن التشهُّدِ
الآخِرِ، فلْيتعوَّذْ باللهِ مِن أربعٍ: يقولُ : اللهم ! إني أعوذُ بك من عذابِ
جهنمَ . ومن عذابِ القبرِ . ومن فتنةِ المحيا والمماتِ . ومن شرِّ فتنةِ المسيحِ
الدجالِ
“Jika salah seorang di antara kalian
ber-tasyahud akhir, maka setelah itu MINTALAH PERLINDUNGAN KEPADA ALLAH DARI
EMPAT HAL, ucapkanlah: “Allahumma inni a’udzubika min ‘adzabi jahannam, wamin ‘adzabil qabri,
wamin fitnatil mahyaa wal mamaat, wamin syarri fitnatil masiihid dajjaal”
(Ya Allah, aku memohon perlindunganMu dari
neraka Jahannam, dari adzab kubur, dari fitnah orang yang hidup dan juga orang
yang sudah mati, dan dari keburukan fitnah Al Masih Ad Dajjal).” (HR. Muslim no. 588).
*****************************
Kontributor: Ustaz Yulian Purnama; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
*****************************
Kontributor: Ustaz Yulian Purnama; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment