Skip to main content

Pemilihan Umum Menurut Hukum Islam


PEMILIHAN UMUM MENURUT HUKUM ISLAM



Abstract.
General Election in Islamic Law. This article discusses the implementation general election in Islamic law, both the legislative elections, elections of regional heads and presidential elections. Indonesian elections in accordance with the mechanism of the western democracies, so that the election is the only way in choosing representatives and leaders. In the Islamic view of the elections is not the only way but one of the ways to choose a government or leader. Elections according to the Islamic view of the law may permissible, but must be in accordance with the implementation of shari’a, not using a mechanical cause many western democracies not helpful.

Tulisan ini menjelaskan tentang pelaksanaan pemilihan umum menurut hukum Islam, baik pemilu legislatif, kepala daerah maupun presiden. Pelaksanaan pemilu di Indonesia sesuai dengan mekanisme demokrasi Barat sehingga pemilu merupakan satu-satunya cara dalam memilih wakil rakyat maupun pemimpin. Dalam pandangan Islam, pemilu bukan merupakan satu-satunya cara tetapi salah satu cara yang dilakukan untuk memilih wakil rakyat atau pemimpin. Pemilu menurut pandangan Islam hukumnya boleh atau mubah, tetapi pelaksanaannya harus sesuai ketentuan syariah, tidak menggunakan mekanisme demokrasi Barat yang banyak menimbulkan kemudaratan.

Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam
Pemilu dalam sejarah peradaban Islam ditemukan dari peristiwa yang mengarah pada bentuk sebuah pemilu yang kemudian dijadikan landasan oleh para ulama sekarang untuk membenarkan pemilu yang saat ini dipraktekkan. Misalnya Baiat al-Nuqabâ’ (wakil-wakil suku), yaitu ketika kaum Anshar membaiat Nabi Saw. di ‘Aqabah. Saat itu, Nabi Saw. bersabda bahwa pilihlah untukku dari kalian dua belas orang wakil yang akan menunaikan apa-apa yang

Pendahuluan
 Pemilihan umum, yang kemudian dikenal dengan pemilu, dalam demokrasi Barat merupakan salah satu implementasi dari kedaulatan rakyat, sehingga apa pun alasannya agar hak-hak rakyat dapat disalurkan maka pemilulah yang harus diselenggarakan. Hiruk pikuk penyelenggaraan pemilu di Indonesia, baik pemilu kepala daerah, legislatif maupun presiden dan wakil presiden, dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi kedaulatan rakyat yang merupakan suatu praktek ketatanegaraan untuk mengisi jabatan publik.
Perdebatan panjang mengenai RUU pemilihan kepala daerah yang kemudian hasil sidang paripurna DPR mengesahkan pemilihan kepada daerah melalui DPRD juga merupakan alasan dalam rangka untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat yang dimaksud. Oleh karena pelaksanaan pemilu tersebut merupakan amanat yang dikandung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemilu yang merupakan praktek ketatanegaraan yang harus dilaksanakan. Pemilu selain implementasi dari kedaulatan rakyat, juga pemilu dilaksanakan sebagai pemenuhan hak-hak asasi manusia, juga pemilu dilaksanakan sebagai penggantian pejabat negara secara teratur. Akan tetapi, setiap pemilu yang diselenggarakan selalu menimbulkan masalah, dan terjadi sengketa antara peserta pemilu maupun dengan penyelenggara pemilu. Pemilu yang diselenggarakan membutuhkan biaya yang sangat mahal, baik biaya sosial maupun dana yang berasal dari anggaran negara/daerah. Konflik yang terjadi setelah pemilu dilaksanakan, karena ada pihak yang merasa tidak puas dengan hasil yang diperoleh. Wakil-wakil rakyat yang terpilih juga belum tentu menghasilkan wakil yang membawa amanah, justru wakil yang dipilih adalah para koruptor, baik anggota legislatif maupun kepala daerah.

Apabila melihat realita demikian, maka pemilu yang dilaksanakan di Indonesia banyak menimbulkan mudarat daripada manfaat yang diperoleh. Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan agama Islam harus menjadi bagian dalam kehidupannya, termasuk di dalamnya adalah bagaimana cara memilih pemimpin. Agama Islam (termasuk hukumnya) memberikan batasan untuk memilih metode tertentu dalam memilih wakil rakyat atau pemimpinnya. Hal ini dikarena dalam Islam (Hukum Islam) mempunyai tujuan yang agung yaitu agar tidak ada kesulitan (haraj) bagi kaum muslimin. Dengan demikian, umat dapat memilih pemimpinnya (wakil rakyat, kepala daerah maupun presiden) mereka berdasarkan metode yang sejalan dengan tuntutan zaman, tempat dan waktu selama tidak keluar dari batas syariat.

Sebenarnya terjadi perbedaan pendapat di antara ulama atau fuqaha dalam hal praktek pemilu, khususnya yang dipraktekkan di Indonesia maupun di dunia lain. Ada yang menyatakan bahwa pemilu adalah salah satu, bukan satu-satunya cara (uslûb), yang bisa digunakan untuk memilih para wakil rakyat yang duduk di majelis perwakilan atau untuk memilih penguasa. Sebagai salah satu cara, dalam pandangan Islam, tentu saja pemilu ini tidak wajib1.

Menurut pendapat ini tentu saja perlu dicari cara lain yang sesuai dengan syariat. Islam memberikan alternatif dalam pemilihan wakil rakyat yang akan duduk di majelis perwakilan maupun memilih penguasa untuk memimpin rakyatnya. Syariat tidak menentukan sistem apa yang digunakan, tetapi Islam memberikan pedoman dalam kehidupan bernegara. Agama Islam itu nasihat sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Agama itu nasihat. “Kami bertanya: “Untuk siapa ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan mereka semuanya (kaum muslim)”. (H.R. Muslim dari Tamîm al-Dârî). Hadits tersebut menunjukkan agar umat dalam setiap perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt., termasuk dalam melaksanakan pemilu.

Sebagaimmana dijelaskan dalam AlQuran: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (yaitu) ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya, melainkan ada didekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qâf [50]: 16-18) Allah SWT. telah menurunkan syariat untuk mengatur kehidupan umat manusia (rakyat), sehingga diterima atau tidaknya pertanggungjawaban tersebut ditentukan dengan syariat. Apabila sesuai dengan syariat, maka akan diterima, sebaliknya apabila tidak sesuai maka akan ditolak, sebagaimana Sabda Nabi Saw. bahwa “siapa saja yang melakukan amal perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntutan syariat maka perbuatan itu akan tertolak”. (H.R. Muslim).

Begitu juga dalam pelaksanaan pemilu di Indonesia, harus dilihat apakah sudah sesuai dengan syariat atau belum.

Hakikat Kedaulatan Rakyat.
Berbicara kedaulatan rakyat, berarti membicarakan tentang kekuasaan yang tertinggi ada pada rakyat sebagaimana dikemukakan di atas. Untuk mengimplementasikan kedaulatan rakyat maka harus dilaksanakan dengan pemilihan. Pemilihan semacam ini sebagai wujud dari demokrasi perwakilan yang dikenal selama ini, karena tidak mungkin semua rakyat dapat memimpin sehingga perlunya perwakilan umat/rakyat sebagai aspirasi rakyat. Kata ”kedaulatan” berasal dari bahasa Arab, yaitu dawlah atau dûlah, dalam kamus al-Zurjawî dikatakan bahwa secara harfiah dûlah atau dawlah berarti ”putaran atau giliran”2 . Kata dawlah memiliki dua bentuk yaitu: Pertama, dûlatan yang berarti beredar. Istilah ini dihubungkan dengan adanya larangan peredaran kekayaan hanya di antara orang kaya. Kedua, nudâwiluhâ yang berarti mempergantikan. Istilah ini berkaitan dengan adanya penegasan bahwa kekuasaan merupakan sesuatu yang harus digilirkan di antara umat3 .

Menurut sejarah peradaban Islam, kata dawlah dipergunakan untuk menunjuk pada pengertian rezim kekuasaan, seperti Daulah Bani Umayyah dan Daulah Bani ’Abbasiyyah4 . Masdar Farid Mas’udi menyatakan: “Kedaulatan sebagai konsep kekuasaan (sovereignty) untuk mengatur kehidupan ada yang bersifat terbatas (muqayyad), relatif (nisbî) dan ada yang tidak terbatas (ghayr muqayaad) atau mutlak (absout)”. Kedaulatan absolut adalah kedaulatan atas semua kedaulatan yang tidak dibatasi oleh kedaulatan pihak lain. Kedaulatan absolut hanya milik Allah Swt., untuk mengatur alam semesta melalui hukum alam-Nya dan mengatur kehidupan manusia melalui sinyal-sinyal hukum moral yang diilhamkan kepada setiap nurani (qalb) manusia atau diwahyukan melalui para nabi dan rasul-Nya, sedangkan dalam negara sebagai bangunan sosial dan proyek peradaban yang direkayasa oleh manusia dalam wilayah tertentu yang berdaulat adalah manusia secara kolektif sebagai khalifah-Nya5 . Makna kedaulatan dapat ditemukan dalam AlQur’an antara lain Q.S. Âli ’Imrân [3]: 26 yang artinya: ”Katakanlah: Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan...”6 . Dalam tafsir dan kajian yang lain terhadap ayat tersebut ada pula yang menerjemahkan sebagai ”Katakanlah Hai Tuhan Yang memiliki (sekalian) Kekuasaan,...”7 . Ada juga yang mengartikan ”Ia, Allah Tuhan yang berdaulat...”8 .

Selanjutnya kata ”rakyat” diartikan dengan segenap penduduk suatu negara (sebagai imbangan pemerintahan)9. Dalam bahasa Inggris diartikan dengan people, sedangkan dalam bahasa Arab dijumpai kata ra’iyyah yang mengacu pada pengertian masyarakat (rakyat). Pada dasarnya setiap negara akhirnya akan berbicara tentang rakyat, dan rakyat pada suatu negara adalah pemegang kekuasaan, artinya rakyat menjadi sumber kekuasaan dalam arti relatif. Moh. Hatta menyatakan bahwa kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rayat yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipercaya oleh rakyat. Dengan sendirinya di kemudian hari pimpinan pemerintahan di pusat dan daerah jatuh ke tangan pemimpin-pemimpin rakyat10.

Pemahaman tentang rakyat dalam kedaulatan rakyat berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat dan menempatkan kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Ajaran kedaulatan rakyat sebagai ajaran yang terakhir dipraktekkan pada negara-negara modern mendapatkan tempat yang baik, karena ajaran kedaulatan rakyat dapat dianggap sebagai ajaran yang terbaik selain ajaran kedaulatan yang lainnya. Oleh karena rakyat berdaulat atau berkuasa, maka segala aturan dan kekuasaan yang dijalankan oleh negara tidak boleh bertentangan dengan kehendak rakyat. Menurut ajaran ini, rakyat berdaulat dan berkuasa untuk menentukan bagaimana rakyat diperintah dalam rangka mencapai tujuan negara. Ajaran ini dipraktekkan pada negara-negara Barat yang bersifat individualistis karena menempatkan rakyat sebagai sesuatu yang tinggi, sehingga menurut mereka suara rakyat adalah suara Tuhan.

Akan tetapi dalam ajaran Islam bukan berarti rakyat yang berkuasa, tetapi ada hak Allah yang harus didahulukan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan atau hukum harus sesuai syariat. Seorang tokoh dan intelektual muslim, yaitu Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa: “Karena rakyat atau umat itu selalu terdiri atas manusia-manusia, dan karena manusia itu sebagai makhluk selalui daif atau lemah (Allah menyatakan di dalam AlQur’an insân dha’îf yang artinya manusia itu lemah), maka tentunya semua hasil atau produk daripada kedaulatan rakyat/umat itu selalu pula tidak dapat dijamin kebenarannya setiap waktu. Apalagi apabila ada ekses-ekses atau overacting yang lucu-lucu, sehingga dengan begitu tidak pula dapat dikatakan, bahwa kedaulatan rakyat itu selalu mengandung kekuasaan yang mutlak/ absolut benar. Dan karena yang mutlak benar itu adalah Allah, maka kedaulatan rakyat/umat itu, jika mau benar dan baik haruslah disesuaikan dan diarahkan kepada isi, maksud dan tujuan dari kedaulatan Allah, yang berkekuasaan penuh sepenuh-penuhnya atau mutlak)”.11

Menurut ajaran Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Kasman Singodimedjo, bahwa: “Allah Yang menciptakan dan Tuhan seru sekalian alam seisinya itu sungguh-sungguh mentolerir/mengizinkan adanya kedaulatan rakyat, adanya kedaulatan negara dan adanya kedaulatan hukum, yang tentunya di dalam arti terbatas, yaitu di dalam batas-batas keizinan Allah”12. Ekspresi berdaulatnya Allah tercermin dalam Q.S. al-Ahzâb [33]: 36 yang dapat diartikan bahwa: “jika Allah dan Rasul telah menetapkan suatu perkara (hukum), maka seorang mukmin atau mukminat tidak boleh menetapkan ketentuan lain menurut keinginannya sendiri”. Pendapat Kasman Singodimedjo yang tercermin dalam Q.S. al-Ahzâb [33]: 36 tersebut menunjukkan bahwa meskipun kedaulatan yang berarti rakyat yang berdaulat dalam arti rakyat yang mempunyai kekuasaan, tetapi masih ada yang lebih berdaulat atau berkuasa yaitu Allah SWT. Di sini suara rakyat bukanlah suara Tuhan, karena rakyat dapat saja melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan syariat.

Dengan demikian, dalam Islam kekuasaan politik hanya memiliki wewenang hukum untuk membuat produk hukum sebagai upaya menjalankan syariat. Persoalan kemudian adalah bagaimana Allah mengekspresikan kedaulatan-Nya di dunia nyata. AlQur’an menegaskan bahwa: “manusia di bumi adalah khilâfah (pengganti) Allah dengan tugas memakmurkan bumi dan kekuasaan yang dimiliki adalah amanah.”  Oleh karena itu dalam Islam, kedaulatan Tuhan merupakan sumber dari segala kedaulatan. Dalam pandangan Islam, kekuasaan yang dimiliki umat Islam bukanlah hak bawaan mereka sendiri, melainkan amanat dari Allah.13 Demikian juga Muhammad A. Al-Buraey menyatakan bahwa: “Pemerintahan dan penguasa hanya untuk Allah dan harus sesuai dengan syariat, tidak ada seorang pun atau kelompok yang memiliki hak untuk mengingkari Tuhan, kedaulatan hanya untuk Allah semata, legislasi juga hanya untuk Allah, sehingga pemerintahan negara Islam memperoleh keabsahannya hanya dengan melaksanakan hukum-hukum Allah atau syariah-Nya.”14

Beberapa ayat AlQur’an yang menjadi dalil dan landasan bahwa kedaulatan rakyat bersumber pada hukum Allah adalah Q.S. Fâthir [35]: 16-17, Q.S. al-Ma’ârij [70]: 40-41 dan Q.s. al-Furqôn [25]: 36-39 Dengan demikian, dipertegas oleh Kasman Singodimedjo bahwa: “Mengenai kedaulatan rakyat atau kedaulatan ummat, maka sesungguhnya rakyat atau umat itu tidak dapat dikatakan berdaulat di dalam arti berkuasa penuh, karena rakyat/ummat itu tetap saja terdiri atas manusiamanusia yang sifatnya daif atau lemah sebagai makhluk.15 Oleh karena rakyat atau umat tidak dapat berkuasa sepenuhnya dan mereka merasa perlu untuk memilih pemimpin di antara mereka secara bersama yang kemudian diwakilkan kepada para wakilnya yang akan duduk di pemerintahan, baik di legislatif maupun di eksekutif. Wakil-wakil rakyat tersebut harus menyalurkan aspirasi rakyat, aspirasi rakyat yang tentu yang sesuai dengan syariat, yang berarti pemimpin itu telah sungguh-sungguh hanya bertugas atas nama rakyat/umat yang sejalan dengan kehendak Tuhan”.

Dengan demikian, dikenallah pemilihan untuk memilih wakil-wakil rakyat/umat di antara mereka. Maka di dalam sejarah kebudayaan Islam sebenarnya sudah mengenal metode atau cara untuk memilih pemimpin umat, yang berbeda dengan metode yang sekarang dikenal yaitu pemilihan umum sebagai implementasi kedaulatan yang dimaksud menurut versi demokrasi Barat. Sejarah Pemilu dalam Peradaban Islam.
=====================
Pustaka Acuan:

A. Hassan, Al Furqon (Tafsir Al Qur’an), Jakarta: Tinta Mas, 1962.
Al-Buraey, Muhammad A., Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, Terjemahan Achmad Nashir Budiman, Jakarta: Rajawali Press, 1986, Cetakan Pertama.
Anshârî, al-, ‘Abd al-Hâmid, al-‘Âlam al-Islâmî bayna al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyah, Cairo, Dâr al-Fikr alIslam, 1922 H, Cetakan ke-1.
Asad, Muhammad, “Pemerintahan Islam dan AsasAsasnya”, dalam Salim Azzam (Editor), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, terjemahan Malikul Awwal dan Abu Jalil, Bandung: Mizan, 1983, Cetakan pertama.
Asshiddiqie, Jimly, “Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat”, dalam Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Editor: Sri Edi Swasono, Jakarta: Yayasan Bung Hatta, 2002.
Asshiddiqie, Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, Cet. Pertama.
Azzam, Salim, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1983.
Bayâtî, al-, Munîr, al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî. Baz, al-, Dâwud, Al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyyah alNiyâbiyyah, Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î, 2004.
Dabbûs, Shalâh al-Dîn, Al-Khalîfah Tawliyatuh wa ‘Azluh, Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah alJâmi’iyyah, t.t.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Hatta, Mohammad, Demokrasi Kita, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1977.
Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al Qur’an dan Terjemahannya, Medina Al-Munawwarah: Percetakan Raja Fahd, 1418.
Mas’udi, Masdar Farid, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, Jakarta: Alvabet, 2010.
 Mufti, Muhammad Ahmad, Mafâhîm Siyâsah Syar’iyyah, Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H.
Samuddin, Rapung, Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik, Jakarta: Gozian Press, 2013.
Singodimedjo, Kasman, Masalah Kedaulatan, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993.
 Thabarî, al-, Abû Ja’far, Târîkh al-Thabarî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1997.
Zaydan, ‘Abd al-Karîm, Makalah al-Dimuqratiyah wa Musyârakah al-Muslim fî al-Intikhâbât, Majallah al-Majma’ al-Fiqh al-Islâmî, Râbithah al-‘Âlam alIslâmî, Edisi X, 1426 H.

NOTES:
1 Dikutip dari Buletin Dakwah, Al-Islam, “Untuk Kita Renungkan”, Hizbut Tahrir Indonesia, Edisi 701 Tahun XIX 11 Jumadil Akhir 1435 H/11 April 2014 M.
2 Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Alvabet, 2010), h. 46.
3 Jimly Asshiddiqie, “Bung Hatta: Bapak Kedaulatan Rakyat”, dalam Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat, Editor: Sri Edi Swasono, (Jakarta: Yayasan Bung Hatta, 2002), h. 87.
4 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), Cet. Pertama, h. 87.
5 Masdar Farid Mas’udi, Syarah Konstitusi UUD 1945, h. 47.
6 Kementerian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, Al Qur’an dan Terjemahannya, (Medina AlMunawwarah: Percetakan Raja Fahd, 1418), h. 79.
7 A. Hassan, Al Furqon (Tafsir Al Qur’an), (Jakarta: Tinta Mas, 1962), h. 103.
8 Salim Azzam, Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, (Bandung: Mizan, 1983), h. 80.
9 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) h. 722.
10 Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1977), h. 89.
11 Kasman Singodimedjo, Masalah Kedaulatan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 40. 12 Kasman Singodimedjo, Masalah Kedaulatan, h. 24. 13 Muhammad Asad, “Pemerintahan Islam dan Asas-Asasnya”, dalam Salim Azzam (Editor), Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, terjemahan Malikul Awwal dan Abu Jalil, (Bandung: Mizan, 1983), Cetakan pertama, h. 80-81.
Penulis: Sodikin, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Jl. KH. Ahmad Dahlan, Cirendeu, Ciputat E-mail: sodikinsadali68@gmail.com
14 Muhammad A. Al-Buraey, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, Terjemahan Achmad Nashir Budiman, (Jakarta: Rajawali Press, 1986), Cetakan Pertama, h. 157.
15 Kasman Singodimedjo, Masalah Kedaulatan,, h. 54.
16 Dikutip ulang oleh Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik, (Jakarta: Gozian Press, 2013), Cetakan Pertama, h. 304-305.
17 Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, h. 304-305.
18 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1993), h. 23.
19 Hadis riwayat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Bâb Rajm al-Hublâ fî al-Zinâ Idzâ Ahshanat, No. 6830, sebagaimana dikutip oleh Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Panangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik, (Jakarta: Gozian Press, 2013), h. 306.
20 Hadis riwayat al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî,, No. 6781.
21 Abû Ja’far al-Thabarî, Târîkh al-Thabarî, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 75.
22 Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, h. 308 – 309.
23 Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, h. 309 – 310.
24 Rapung Samuddin, Fiqih Demokrasi, h. 311.
25 ‘Abd al-Hâmid al-Anshârî, al-‘Âlam al-Islâmî bayna al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyah, (Cairo, Dâr al-Fikr al-Islam, 1922 H), Cetakan ke1, h. 30 dan 324.
26 Muhammad Ahmad Mufti, Mafâhîm Siyâsah Syar’iyyah, (Amman: Dâr al-Basyîr, 1418 H), h. 50, lihat pula Munîr al-Bayâtî,al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî, h. 178 dan 325.
27 Munîr al-Bayâtî, al-Nizhâm al-Siyâsî al-Islâmî, h. 322 dan 325.
28 Shalâh al-Dîn Dabbûs, Al-Khalîfah Tawliyatuh wa ‘Azluh, (Iskandariyah: Muassasah al-Tsaqâfiyyah al-Jâmi’iyyah, t.t.), h. 243-244.
29 Dâwud al-Baz, Al-Syûrâ wa al-Dimuqrathiyyah al-Niyâbiyyah, (Iskandariyah: Dâr al-Fikr al-Jâmi’î, 2004) h. 153 dan 326-327.
30 ‘Abd al-Karîm Zaydan, Makalah al-Dimuqratiyah wa Musyârakah al-Muslim fî al-Intikhâbât, Majallah al-Majma’ al-Fiqh al-Islâmî, Râbithah al-‘Âlam al-Islâmî, Edisi X, 1426 H, h. 58-59 dan 327


*****************************

Oleh:  Sodikin; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com 

Comments

Popular posts from this blog

Darul Quran Mina (DQM)

Darul Qur'an Mina (DQM) Profil & Kegiatan Darul Qur'an Mina (DQM) Wakaf Bangunan DQM   Update Laporan Donasi Wakaf Bangunan DQM    Youtube DaQuMina Channel (Indonesia/Melayu)   Youtube DQM Channel (English)   Murattal & Tadabbur al-Quran:  Murattal al-Qur'an Berbagai Qari Masyhur (MP4)   Murattal Al-Quran Qari Utama (MP4)   The Glorious Noble Qur'an -Syaikh Abu Bakr Ash-Shatery, Eng Trans (MP4)   Tadabbur/Tafsir al-Quran (MP3 &MP4)   Tafsir Al-Quran   Ilmu al-Quran (Ulumul Quran) -MP4 Tajwid/Ilmu Tajwid    Belajar Membaca & Tadabbur al-Qur'an (Html,MP3 dan MP4)   Kajian Hadist (Study of Hadith)    Murattal al-Quran Semua List Qari Masyhur (MP3)   Murattal Al-Quran Semua Qori (MP3)   Perpustakaan Audio Quran MP3 Semua Qari   Murattal Al-Quran 30 Juz (MP3 Audio)   List Murattal Al-Qur'an (MP3 Audio) & Tafsir   Al-Quran Digital (Display Ayat dan Terjemahan), Murattal Oleh Syaikh Abdulrahman al-Ossi  

Update Laporan Donasi Wakaf Tanah & Bangunan Darul Quran Mina (DQM)

Update Laporan Wakaf  Bangunan Darul Quran Mina (DQM) Yayasan Pembangunan Islam Mina , SK Kementerian Hukum & HAM RI No. AHU.0006005.AH.01.04.2017 1. Kantor Pusat (HQ):  Alamat: Darul Quran Mina (DQM), Lampeuneurut Ujong Blang, Darul Imarah, Aceh Besar, INDONESIA 23352.  Kebutuhan Dana:  - Tanah seluas 364 M2 & 1 Unit Bangunan: Rp 998,000,000,- -  3 unit Balai Pengajian: Rp 26,600,000,- ************************************** Transfer Wakaf Bangunan DQM ke No Rekening (Acc): 📟 No. Acc Bank Aceh Syari'ah : 62002200105180 Kode Bank 116  (Swift Code: PDACIDJ1) 📟 No. Acc Bank Syariah Indonesia: 7147283126 Kode Bank 451  (Swift Code: BSMDIDJAXXX  ) 📟 No. Acc Bank CIMB Niaga Syariah: 761968078600 Kode Bank 022  (Swift Code: BNIAIDJA XXX ) Semuanya a.n: Sofyan Kaoy Umar  Konfirmasi setelah Transfer:  WA: +6281234582087 (Ust.Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF), Ketua Pengurus Yayasan Pembangunan Islam Mina Khusus  bagi  muhsinin Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia &am

Tafsir al-Quran

  TAFSIR AL-QUR'AN Bacaan Al-Quran (Al-Quran Recitation) Tafsir As-Su'udi, Al-Baghawi, Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, At-Thabari ( Arabic)   Al-Quran Terjemah Per Kata dan Tafsir (Kemenag RI, Jalalain, Ibn Katsir & Al-Misbah )   Al-Quran dan Terjemahannya (Indonesia & English, Bacaan Oleh Al-Afasi ), Tafsir Kemenag dan Aspek Terkait   Tafsir Kemenag RI, Bacaan Oleh Al-Husary Learn Quran Tafsir (Jalalain, Ibnu Katsir, Kemenag RI dan Al-Azhar )   TafsirWeb (Al-Muyassar, Al-Mukhtasar,  Al-Wajiz, As-Sa'di, Sawi , dll)    Tafsir al-Mukhtasar fi Al-Quran al-Karim (Indonesia)       Tafsir Hidayatul Insan - Al Ustadz Marwan Bin Musa   Belajar Al-Quran Kata Per Kata   Tafsir NU Online    Tafsir Al-Mukhtasar fi Al-Quran Karim (English)   Maududi Tafhimul Quran Tafsir (English)   Ibn Kathir Al-Quran Tafsir ( English )   Tafsir Ibn Katheer & Ma’arif ul-Quran (in English, Arabic, Urdu )      Tafsir Ibn Abbas (English)    Tafsir Kashani (English)   Tafsir Kashf Al-Asrar (English)