Termasuk
iman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah beriman bahwa hanya Allâh
Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui seluruh perkara ghaib. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
“Katakanlah,
‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah..” [An-Naml/27: 65]
Kemudian
terkadang Allâh Azza wa Jalla memberitahukan sebagian perkara ghaib itu
kepada rasul yang Dia kehendaki lewat wahyu-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا
يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا ﴿٢٦﴾ إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ
مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“(Dia
adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka
sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di
belakangnya“. [Al-Jinn/72: 26-27]. Yang
dimaksud perkara ghaib yaitu perkara yang tidak dapat dijangkau oleh panca
indra manusia. (Lihat: ‘Alamus Sihr, hal: 263, karya Dr. Umar
Sulaiman Al-Asyqar).
Dan
ada lima kunci perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allâh. Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ
الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا
تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ
وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan
pada sisi Allâh-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan,
dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan
tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah
atau yang kering, melaimkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). [Al-An’am/6: 59].
Syaikh Shâlih al-Fauzan hafizhahullâh menyatakan bahwa firman
Allâh “Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri”, maka
barangsiapa mengaku-ngaku mengetahui sesuatu darinya, dia telah kafir”. (Syarah
Aqidah Washitiyah, hlm: 105; karya Syaikh Shâlih al-Fauzan; penerbit Darul
‘Aqidah). Lima kunci perkara ghaib ini dijelaskan oleh Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam haditsnya yang shahih, sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَفَاتِحُ
الْغَيْبِ خَمْسٌ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Dari
Abdullâh bin Umar, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Kunci-kunci semua yang ghaib ada lima, (beliau membaca ayat, surat Luqman: 34):
Sesungguhnya Allâh, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari
Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam
rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan
diusahakannya besok.Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia
akan mati.Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. [HR. Al-Bukhari,
no: 4627]
Syaikh
Shâlih al-Fauzan hafizhahullah menyatakan, “Maka barangsiapa
mengaku-ngaku (mengetahui) perkara ghaib dengan sarana apa saja –selain yang
dikecualikan oleh Allâh kepada para rasul-Nya (lewat wahyu-Nya)- maka dia
pendusta, kafir. Baik hal itu dengan sarana membaca telapak tangan, gelas,
perdukunan, sihir, perbintangan/zodiak, atau lainnya”. [Lihat: Kitab
at-Tauhid, hlm. 30, karya Syeikh Shâlih al-Fauzan, penerbit Darul Qosim,
cet: 2, th: 1421 H / 2000 M]
Beliau
juga berkata: “Maka barangsiapa mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib atau
membenarkan orang yang mengaku-ngaku hal itu, maka dia musyrik, kafir. Karena
dia mengaku-ngaku menyekutui Allâh dalam perkara yang termasuk
kekhususan-kekhusuanNya”. (Lihat: Kitab at-Tauhid, hlm. 31, karya
Syeikh Shâlih al-Fauzan, penerbit Darul Qosim)
Karena
yang mengetahui perkara ghaib hanya Allâh, maka syari’at Islam melarang umatnya
mendatangi dukun. Yang dimaksudkan dukun di sini adalah yang bahasa arabnya
adalah kâhin atau ‘arrâf. Yaitu orang yang
mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib, apa yang akan terjadi, tempat barang
hilang, pencuri barang, isi hati orang, dan semacamnya. Walaupun di masyarakat
dikenal dengan sebutan kyai, orang pintar, orang tua, atau lainnya. Imam
Al-Khaththâbi rahimahullah berkata, “‘Arrâf adalah orang yang
mengaku mengetahui tempat barang yang dicuri, tempat barang hilang, dan
semacamnya”. (Syarah Nawawi, 7/392)
Mendatangi
dukun seperti ini haram hukumnya. Barangsiapa mendatanginya dan bertanya
kepadanya, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima oleh Allâh Azza wa
Jalla. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا
فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa
mendatangi ‘arrâf lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, tidak akan diterima
darinya shalat 40 hari. [HR. Muslim, no: 2230]. Maksud “tidak akan diterima
darinya shalat 40 hari”, yaitu tidak ada pahala baginya, walaupun shalatnya
sah di dalam menggugurkan kewajibannya, dan dia tidak harus mengulanginya. Dalam
hadits lain, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَتَى حَائِضًا أَوْ
امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا أَوْ كَاهِنًا فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Barangsiapa
mendatangi (yakni menggauli/mengumpuli) wanita haidh atau mendatangi (yakni
menggauli/mengumpuli) wanita pada duburnya atau mendatangi kâhin (dukun),
maka dia telah kafir kepada (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepada Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. [HR. Tirmidzi; Abu Dawud; dll]. Kafir di sini maksudnya
kafir kecil yang tidak mengeluarkan dari Islam, dengan dalil shalatnya tidak
diterima 40 hari. Karena seandainya kafir besar yang mengeluarkan dari Islam,
maka shalatnya seumur hidupnya tidak diterima, wallâhu a’lam.
Syaikh
Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa bertanya kepada
‘arrâf (dukun) dan semacamnya ada beberapa macam:
1. Sekedar
bertanya saja. Ini hukumnya haram. Berdasarkan hadits: “Barangsiapa mendatangi ‘arrâf…”. Penetapan
hukuman terhadap pertanyaannya menunjukkan terhadap keharamannya. Karena tidak
ada hukuman kecuali terhadap perkara yang diharamkan.
2. Bertanya
kepada dukun, meyakininya, dan menganggap (benar) perkataannya. Ini kekafiran, karena
pembenarannya terhadap dukun tentang pengetahuan ghaib, berarti mendustakan
terhadap Al-Qur’an.
3. Bertanya
kepada dukun untuk mengujinya, apakah dia orang yang benar atau pendusta, bukan
untuk mengambil perkataannya. Maka ini tidak mengapa, dan tidak termasuk (larangan) dalam hadits
(di atas). Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada
Ibnu Shayyad untuk mengujinya.
4. Bertanya
kepada dukun untuk menampakkan kelemahan dan kedustaannya.
Ini
terkadang (hukumnya) wajib atau dituntut. [Diringkas dari Al-Qaulul
Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid 2/49, karya Syeikh al-‘Utsaimin, penerbit:
Darul ‘Ashimah, cet: 1, th: 1415 H]
Telah
nyata larangan agama Islam, tetapi mengapa banyak orang yang percaya terhadap
perkataan dukun? Ternyata sebagian manusia itu terpedaya dengan sebab perkataan
dukun itu terkadang sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya sebagian dukun itu
meminta pertolongan kepada jin untuk mengetahui pencuri, tempat barang hilang,
dan sebagainya. Jin-jin itu juga memberitahukan bahwa Fulan akan datang hari
ini atau besok, bahwa Fulan datang dengan keperluan ini atau itu, dan
semacamnya. Jika kâhin berkata benar, dalam perkara yang akan
terjadi, maka itu adalah satu kalimat dari jin hasil copetan dari malaikat.
Atau
dukun mengucapkan kalimat-kalimat umum yang bisa ditafsirkan dengan semua
kejadian. Atau mereka bersandar kepada pengalaman dan kebiasaan, atau
persangkaan. Namun sesungguhnya kebenaran dari perkataan dukun itu sangat
sedikit dibandingkan dengan kebohongannya. Hal ini juga disebutkan di dalam
hadits-hadits shahih yang lain, antara lain sebagai berikut:
عَنْ عُرْوَةَ يَقُولُ
قَالَتْ عَائِشَةُ سَأَلَ أُنَاسٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ الْكُهَّانِ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسُوا بِشَيْءٍ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَإِنَّهُمْ
يُحَدِّثُونَ أَحْيَانًا الشَّيْءَ يَكُونُ حَقًّا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنْ الْجِنِّ يَخْطَفُهَا
الْجِنِّيُّ فَيَقُرُّهَا فِي أُذُنِ وَلِيِّهِ قَرَّ الدَّجَاجَةِ فَيَخْلِطُونَ
فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائَةِ كَذْبَةٍ
Dari
‘Urwah, dia mengatakan: ‘Aisyah berkata: “Orang-orang bertanya kepada
Rasulûllâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang para kahin, maka Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada mereka: “Mereka tidak
benar/batil”. Para Sahabat mengatakan: “Wahai Rasûlullâh, sesungguhnya para
kahin itu terkadang menceritakan sesuatu yang menjadi kenyataan”. Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah satu kalimat dari jin, jin
mencopet kalimat itu lalu membisikkannya pada telinga wali (kekasih)nya seperti
berkoteknya ayam. Kemudian para kahin itu mencampur pada kalimat itu lebih dari
seratus kedustaan”. [HR.
Muslim, no. 2228]
Dari
penjelasan ini kita mengetahui bahaya perdukunan, semoga Allâh selalu menjaga
kita dari kesesatan-kesesatan. Aamîn. Wallâhu al-Musta’an.
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XXI/1439H/2017M
***************************
Oleh: Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment