Pertanyaan ini menjadi
penting untuk dijawab bukan saja untuk meluruskan berbagai pemahaman tentang
Islam yang selama ini salah, keliru atau kurang sempurna, tapi juga untuk
membangun komitmen ke-Islaman yang lebih utuh dalam kehidupan sehari-hari kita.
Yang terjadi selama ini bukan saja adanya kesenjangan antara pemahaman Islam
generasi sekarang dengan pemahaman generasi sahabat Rasulullah saw tentang
Islam, tapi juga ada kesenjangan antara Islam yang kita yakini sebagai “agama
atau jalan hidup” dengan perilaku sehari-hari kita sebagai “kenyataan hidup.”
Dari akar katanya dalam
bahasa Arab, Islam mempunyai arti-arti berikut:ketundukan, penyerahan
diri, keselamatan, kedamaian, kesejahteraan. Makna ketundukan dan penyerahan
diri kita temukan, misalnya, dalam ayat ini: “Maka apakah mereka
mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nyalah tunduk
(menyerahkan diri)segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka
maupun terpaksa dan hanya kepada Allah lah mereka dikembalikan.” (QS: 3: 83)
Makna keselamatan kita
temukan, misalnya, dalam ayat ini : “….Dengan kitab itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari kegelapan menuju cahaya
yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus.” (QS: 5: 15-16)
Makna kedamaian kita
temukan, misalnya, dalam ayat ini : “Dan jika mereka condong kepada perdamaian,
maka condonglah kepadanya, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Dia Yang
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS: 8: 61)
Makna kesejahteraan kita
temukan, misalnya, dalam ayat ini: “Doa mereka di dalamnya ialah:
“Subhanakallahumma” (Maha Suci Allah yang telah menciptakan semua itu tidak
dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah), dan salam penghormatan mereka
ialah: “Salam” (kesejahteraan dan kesentosaan).Doa penutup mereka
ialah “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin”(segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam).” (QS: 10: 10).
Ber-Islam, dengan
begitu, berarti menundukkan dan menyerahkan diri sepenuh-penuhnya, secara
mutlak, kepada Allah swt untuk diatur sesuai dengan kehendak-Nya. Dan
kehendak-kehendak Allah swt itu tertuang secara utuh dalam agama yang Ia
turunkan kepada umat manusia, sebagai petunjuk abadi dalam menjalani kehidupan
mereka di muka bumi, melalui perantara seorang Rasul, Muhammad saw, yang
kemudian Ia beri nama “Islam.” Asas ketundukan dan penyerahan diri itu adalah
pengakuan yang tulus dari lubuk hati bahwa kita dan seluruh alam semesta adalah
ciptaan Allah swt. Karena itu Allah swt berhak mengatur segenap ciptaan-Nya
sesuai dengan kehendak-Nya. Selanjutnya Allah swt menjelaskan
kehendak-kehendak-Nya dalam dua bentuk:
Pertama, kehendak Allah swt
yang bersifat pasti, mutlak dan mengikat seluruh ciptaan-Nya, baik manusia
maupun alam. Inilah yang kemudian kita sebut dengan “Sunnah Kauniyah.” Dalam
pengertian ini, maka seluruh makhluk di jagad ini telah menyatakan ketundukan
dan penyerahan dirinya (ber-Islam) kepada Allah swt. Perhatikan firman Allah
swt ini : “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa
yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang-bintang, pohon-pohon,
binatang-binatang melata dan sebagian besar dari pada manusia? Dan banyak diantara
manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan
Allah maka tidak seorang pun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa
yang Dia kehendaki.” (QS: 22: 18),
Kedua, kehendak Allah swt
yang bersifat pilihan, berupa aturan-aturan dan pranata sistim bagi kehidupan
manusia. Inilah yang kemudian kita sebut “Syariat atau Agama.” Inilah yang
dimaksud Allah swt dalam firman-Nya : “Kemudian
kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama)
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.” (QS: 45:18)
Manusia dan alam tidak
bisa melepaskan diri dari kodrat sebagai ciptaan. Karena itu setiap penolakan
terhadap kehendak-kehendak Allah swt, baik yang “kauniyah” maupun yang
“syar’iyah”, selalu berarti pembangkangan terhadap Sang Pencipta, penyimpangan
dari garis kebenaran, isolasi dan benturan dengan alam. Ujung dari
pembangkangan itu adalah bahwa manusia selamanya akan tertolak oleh Allah, alam
semesta dan disharmoni dalam hubungan antar sesama manusia. Simaklah
bagaimana Allah menolak mereka: “Barangsiapa mencari agama selain Islam,
maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di
akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS: 3: 85)
Sekarang simaklah
bagaimana alam mengisolasi mereka : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari
langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami
siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: 7: 96): “Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, maka adalah ia seolah-olah
jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat
yang jauh.” (QS: 22: 31)
Akan tetapi, apabila
kehendak-kehendak Allah swt yang diturunkan dalam bentuk syariat atau aturan dan
pranata sistim bagi kehidupan manusia, maka itu berarti bahwa Islam – yang
kemudian menjadi nama bagi syariat tersebut – adalah jalan hidup, atau suatu
sistim yang diturunkan Allah agar manusia menata kehidupannya dengan sistim
itu. Jadi, Islam bukan hanya ritual-ritual belaka yang kita lakukan sebagai
sebentuk ketundukan kepada Allah swt. Islam jauh lebih luas dari sekedar ritual
belaka. Islam adalah sistim kehidupan yang lengkap dan paripurna serta bersifat
unversal. Ia mengatur kehidupan kita sejak kita bangun dari tidur sampai kita
tidur kembali. Ia menata kehidupan kita sebagai individu dan masyarakat. Menata
ibadah kita seperti ia menata ekonomi dan politik kita. Ia menata hukum kita
seperti ia menata kehidupan social budaya kita. Ia adalah Qur’an dan pedang,
masjid dan pasar, agama dan negara, iman dan ilmu, ibadah dan seni.
Allah S.W.T sebagai
pencipta manusia, maka Dia pulalah yang paling mengetahui apa yang dibutuhkan
manusia untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Maka hak prerogatif
Allah untuk mengatur manusia (Hakimiyyatullah) bukan saja datang kodrat-Nya
sebagai Pencipta, tapi juga pengetahuan dan keadilan-Nya. Dan karena itu pula,
penyerahan diri kita kepada-Nya bukan lahir dari pengakuan akan
kepenciptaan-Nya, tapi lahir dari pengetahuan kita tentang pengetahuan dan
keadilan-Nya serta ungkapan rasa syukur atas karunia terbesar-Nya, yaitu
agama Islam.
“Sesungguhnya
Al-Qur’an ini memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus” (QS: 17: 9) “Dan
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia akan terbebas dari rasa
takut dan tiada pula mereka akan bersedih.” (QS: 2: 38) “Dan berbuat baiklah
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” (QS: 28: 77).
KARAKTERISTIK
ISLAM
Sebagai sebuah sistim,
Islam mempunyai karakteristik yang membedakannya dengan sistim-sistim yang
lain. Karakteristik adalah ciri-ciri umum yang menjadi bingkai dari keseluruhan
ajaran Islam. Cara pandang Islam terhadap berbagai permasalahan eksistensial seperti
Tuhan, alam, manusia dan kehidupan, serta interpretasinya terhadap berbagai
peristiwa selamanya akan berada dalam bingkai ciri-ciri umum tersebut.
Karakteristik ini pula yang kemudian menjadi letak keunggulan Islam
terhadap sistim-sistim lainnya. Ciri-ciri umum tersebut adalah rabbaniyah,
syumuliyah, insaniyah, tsabat, tawazun, waqi’iyyah, ijabiyyah.
RABBANIYYAH
Rabbaniyyah adalah nisbat
kepada kata Rabb yang berarti Tuhan. Artinya Islam ini adalah agama atau jalan
hidup yang bersumber dari Tuhan. Ia bukan kreasi manusia,juga bukan kreasi nabi
yang membawanya. Maka Islam adalah jalan Tuhan. Tugas para nabi adalah
menerima, memahami dan menyampaikan ajaran itu kepada umat manusia : “Hai
Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya.” (QS: 5: 67)
Sumber ajaran merupakan
titik perbedaan paling signifikan antara berbagai ideologi. Sumber ajaran Islam
adalah Allah swt, Tuhan semesta alam, Tuhan yang menciptakan manusia dan yang
paling mengetahui hakikat manusia serta apa saja yang dibutuhkannya; kebutuhan
fisik, ruh dan akalnya. Ia adalah sumber yang terpercaya yang memiliki semua
hak dan kelayakan untuk mengatur manusia. Kekuatan sumber itu melahirkan rasa
aman untuk menerima kebenaran dan menghilangkan keraguan. Ia bukan
saja mambawa kebenaran mutlak, tapi juga terjaga validitasnya sepanjang masa.
“Kebenaran
itu datangnya dari Tuhanmu, maka janganlah kamu menjadi ragu (menerimanya).”
(QS: 2:147 ).
Semua ideologi lain
memiliki kelemahan mendasar karena sumbernya adalah manusia yang tidak pernah
bisa membebaskan diri dari hawa nafsu, katerbatasan, kelemahan dan
ketidakberdayaan. Ideologi manusia tidak pernah sanggup melampaui hambatan
ruang dan waktu dan dengan mudah menjadi usang dan dibuang ke ruang masa lalu
oleh ketidaksesuaian.
Syumuliah, artinya ajaran
ini mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia; dari pribadi, keluarga,
masyarakat hingga negara; dari sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan,
lingkungan, pendidikan hingga kebudayaan; dari etnis Arab ke Parsi hingga
seluruh etnis manusia, dari kepercayaan, sistim hingga akhlak; dari Adam hingga
manusia terakhir; dari sejak kita bangun tidur hingga kita tidur kembali; dari
kehidupan dunia hingga kehidupan akhirat. Jadi kecakupan Islam dapat kita dari
beberapa dimensi; yaitu dimensi waktu, dimensi demografis, dimensi
geografis dan dimensi kehidupan.
Yang dimaksud
dengan dimensi waktu adalah bahwa Islam telah
diturunkan Allah swt sejak Nabi Adam hingga mata rantai kenabian ditutup pada
masa Rasulullah Muhammad saw. Dan Islam bukan agama yang hanya diturunkan untuk
masa hidup Rasulullah saw, tapi untuk masa hidup seluruh umat manusia di muka
bumi :
“Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang rosul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa rosul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang,
maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. (QS: 3: 144)
Yang dimaksud dengan
dimensi demografis adalah bahwa Islam diturunkan untuk seluruh umat manusia
dengan seluruh etnisnya, dan bahwa mereka semua sama di mata Allah swt sebagai
ciptaan-Nya dan dibedakan satu sama lain karena asas ketakwaan :
“Hai
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS: 49: 13)
Dan
Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada seluruh umat manusia seluruhnya
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS: 34: 28)
Yang dimaksud dengan
dimensi geografis adalah bahwa ajaran Islam diturunkan untuk diterapkan di
seluruh penjuru bumi. Maka Islam tidak dapat diidentikkan dengan kawasan Arab
(Arabisme), karena itu hanya tempat lahirnya. Islam tidak mengenal sekat-sekat
tanah air, sama seperti ia tidak mengenal batasan-batasan etnis.
“Ingatlah
ketika Tuhamu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami, senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau
dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman; ”Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak kamu ketahui.” (QS: 2: 30)
“Al-Qur’an
itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam, (yaitu) Bagi siapa
di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (QS: 81: 27-28)
“Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (QS: 21: 107)
Yang dimaksud dengan
dimensi kehidupan adalah bahwa Islam membawa ajaran-ajaran yang terkait dengan
seluruh dimensi kehidupan manusia; sosial, ekonomi, politik, hukum, keamanan,
pendidikan, lingkungan dan kebudayaan. Itulah sebabnya Allah swt menyuruh
berislam secara kaffah, atau berislam dalam semua dimensi kehidupan kita.
”Hai
orang-orang yang berirman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya,
dan jangankah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya Syetan itu
adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS: 2: 208)
Ini pula yang dimaksud
Allah swt bahwa Ia telah menyempurnakan agama ini dan karena itu meridhoinya
sebagai agama terbaik bagi umat manusia :
“Hari
ini telah Ku-sempurnakan bagimu agamamu, dan Ku-sempurnakan nikmat-Ku
terhadapmu, dan Kuridhai Islam sebagai agamamu.” (QS: 5: 3)
Insaniyyah
Artinya bahwa ajaran
Islam mendudukan manusia pada posisi kunci dalam struktur kehidupan ini.
Manusia adalah pelaku yang diberi tanggungjawab dan wewenang untuk mengimplementasikan
kehendak-kehendak Allah swt dimuka bumi (khalifah). Maka Allah swt memberi
penghormatan tertinggi kepada manusia dalam firman-Nya :
“Dan
sesunguhnya kami telah muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami
ciptakan.” (QS: 17: 70)
Selanjutnya Allah swt
menyusun ajaran-ajaran Islam sedemikian rupa sesuai dengan fitrah dasar manusia
:
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas ) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. ( QS: 30:30)
Islam datang untuk
membebaskan umat manusia dari perbudakan sesama manusia. Di hadapan Rustum
menjelang Perang Qadisiyah, Rub’i bin ‘Amir menjelaskan misi itu ketika beliau
berkata: “Kami datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan
kepada manusia yang lain.”
Hak asasi manusia – dalam
semua bentuknya – merupakan bagian paling inheren dalam keseluruhan
ajaran-ajaran Islam. Hak-hak asasi itu merupakan seperangkat kondisi dan wilayah
kewenangan yang mutlak dibutuhkan manusia untuk menjalankan misinya dalam
kehidupan ini. “Sejak kapan kamu memperbudak manusia, padahal ibu-ibu mereka
telah melahirkan mereka dalam keadaan bebas?”, kata Umar Bin Khattab kepada
‘Amru Bin ‘Ash saat puteranya menampar wajah seorang warga Qibthy
(Kristen).
Tsabat dan Tathawwur
Tsabat artinya permanen,
sedang Tathawwur artinya pertumbuhan. Ciri permanensi adalah turunan
dari ciri Rabbaniyyah. Maksudnya adalah bahwa Islam membawa ajaran yang berisi
hakikat-hakikat besar yang bersifat tetap dan permanen dan tidak akan pernah
berubah dalam semua ruang dan waktu. Hakikat-hakikat itu melampaui batas-batas
ruang dan waktu serta bersifat abadi.
Seperti
hakikat abadi tentang wujud dan keesaan Allah, hakikat penyembahan kepada
Allah, hakikat alam sebagai ciptaan dan wadah fisik bagi kehidupan kita,
hakikat manusia sebagai makhluk yang paling terhormat karena misi khilafahnya,
hakikat iman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab suci dan takdir baik dan
buruk serta hari akhirat adalah syarat diterimanya semua amal manusia, hakikat
ibadah sebagai tujuan hidup manusia, hakikat aqidah sebagai ikatan komunitas
Muslim, hakikat duniasebagai tempat ujian, hakikat Islam sebagai agama
satu-satunya yang diterima Allah.
Semua
hakikat itu bersifat abadi dan permanen dan tidak berubah karena faktor ruang
dan waktu. Hakikat-hakikat dasar dan nilai-nilai itu bukan saja tidak dapat
berubah, tapi juga tidak mungkin bertumbuh; sebagaimana realitas dan pola-pola
kehidupan manusia terus berubah dan bertumbuh.
“Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas ) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (QS: 30:30).
Itu
sama sekali tidak berarti bahwa Islam mengebiri dan membekukan gerakan
pemikiran dan kehidupan secara keseluruhan. Yang dilakukan Islam hanyalah
memberi bingkai (frame of reference) di dalam mana pemikiran
dan kehidupan manusia bergerak dan bertumbuh. Dalam bingkai itulah kaum
Muslimin bergerak dan berkreasi, menghadapi tantangan perubahan hidup secara
pasti dan elastis, bermetamorfosis secara teratur dan terarah, bertumbuh secara
dinamis dan terkendali.
Bingkai
seperti ini mutlak dibutuhkan untuk menciptakan rasa aman dan kepastian,
keterarahan dan keutuhan, konsistensi dan kesinambungan. Kalau ada rahasia di
balik soliditas dunia Islam selama lebih dari seribu tahun, itu karena
adanya frame of reference tersebut. Itu kekuatan ideologi dan
spiritual yang senantiasa memproteksi Islam dari penyimpangan dan
keusangan.
“Andai
kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi
ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada
mereka kebanggaan tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu. (QS: 23:
71)
TAWAZUN
Artinya
keseimbangan. Ajaran-ajaran Islam seluruhnya seimbang dan memberi porsi kepada
seluruh aspek kehidupan manusia secara proporsional. Tidak ada yang berlebihan
atau kekurangan, tidak ada perhatian yang ekstrim terhadap satu aspek dengan
mengorbankan aspek yang lain. Karena semua aspek itu adalah satu kesatuan dan
menjalankan fungsi yang sama dalam struktur kehidupan manusia.
Ada
keseimbangan antara bagian-bagian yang bersifat fisik (zahir) dan metafisik
(gaib) dalam keimanan. Ada keseimbangan antara kecondongan kepada materialisme
dan spiritualisme dalam kehidupan. Ada keseimbangan antara aspek ketegasan
hukum dan persuasi moral dalam bernegara. Ada keseimbangan antara Sunnah
Kauniyah yang eksak dan pasti dengan kehendak Allah yang tetap bebas dan tidak
terbatas (seperti dalam kasus istri nabi Ibrahim yang melahirkan di usia yang
sangat tua, atau Maryam yang melahirkan tanpa proses biologis normal, atau
pendinginan api bagi Ibrahim dan lainnya, semua ini tanpa harus mengganggu
kepastian gerak alam yang dapat diobservasi oleh manusia secara empiris). Ada
keseimbangan antara ibadah yang bersifat mahdhah (khusus) dengan ibadah dengan
wilayah yang luas.
“Dan
segala sesuatunya Kami ciptakan dengan kadarnya masing-masing.” (QS 54:49)
“Engkau
takkan penah menemukan pada ciptaan Allah Yang Maha Pengasih sesuatu yang tidak
seimbang.” (QS: 67: 3).
Ciri
keseimbangan ini telah memproteksi Islam dari keterpecahan dan dikhotomi yang
selalu ada dalam ideologi lainnya. Ada spiritualisme yang ekstrim dalam gereja
di abad pertengahan, tapi juga ada materialisme yang ekstrim pada kaum sekuler.
Ada porsi kelompok yang berlebihan dan sosialisme, tapi juga ada porsi individu
yang ekstrim dalam kapitalisme liberal. Ini menciptakan
pertentangan-pertentangan dalam struktur ideologi dan senantiasa mewariskan
kegoncangan psikologis akibat ketidakutuhan dalam diri pada pemeluknya.
WAQI’IYYAH
Artinya realisme. Islam
diturunkan untuk berinteraksi dengan realitas-realitas obyektif yang
nyata-nyata ada sebagaimana ia adanya. Selain itu ajaran-ajarannya didesign
sedemikian rupa yang memungkinkannya diterapkan secara nyata dalam kehidupan
manusia. Ia bukan nilai-nilai ideal yang enak dibaca tapi tidak dapat
diterapkan. Ia merupakan idealisme yang realistis, tapi juga realisme yang
idealis.
Tuhan adalah realitas
obyektif yang benar-benar wujud dan wujud-Nya diketahui melalui
ciptaan-Nya dan kehendak-Nya diketahui melalui gerakan alam. Alam dan manusia
juga realitas obyektif.
“Sesungguhnya
Allah menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. Dia mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (Yang
memiliki sifat-sifat) demikianlah ialah Allah, maka mengapa kamu masih
berpaling. Dia menyingsingkan pagi dan manjadikan malam untuk
beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah
ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS: 6: 95-96)
Tapi
konsep Islam juga didesign sesuai dengan realitas obyektif manusia, kondisi
ruang dan waktu yang melingkupinya, hambatan internal dan eksternalnya, potensi
ril yang dimiliki manusia untuk menjalani hidup. Islam memandang manusia dengan
segala kekuatan dan kelemahannya; dengan ruh, akal dan fisiknya; dengan
harapan-harapan dan ketakutannya; dengan mimpi dan keterbatasannya. Lalu
berdasarkan itu semua Islam menyusun konsep hidup ideal yang dapat
diimplementasikan dalam kehidupan nyata manusia dengan segenap potensi yang
dimilikinya. Islam bukan idealisme yang tidak mempunyai akar dalam kenyataan.
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”.(QS: 2:
286.)
IJABIYYAH
Artinya
sikap positif dalam menjalani kehidupan sebagai lawan dari pesimisme dan
fatalisme. Keimanan bukanlah sesuatu yang beku dan kering yang tidak sanggup
menggerakkan manusia. Keimanan adalah sumber tenaga jiwa yang mendorong manusia
untuk merealisasikan kebaikan dan kehendak Allah dalam kehidupan ril. Islam
memandang bahwa keimanan yang tidak dapat mendorong manusia untuk bekerja
mengeksplorasi potensi alam dan potensi dirinya untuk menciptakan kehidupan
yang lebih baik, adalah keimanan yang negatif dan fatal.
Itulah
sebabnya Islam memberi penghargaan besar kepada kerja sebagai bukti sikap
positif dan dinamika dalam mengelola kehidupannya. Allah swt berfirman:
“Katakanlah:
“Bekerjalah kamu! Nanti Allah akan menyaksikan pekerjaanmu bersama Rasul-Nya
dan orang-orang yang beriman.” (QS: 9:105 ).
Bacaan yang dianjurkan :
1. Dasar-dasar Islam; Abul A’la Al Maududi
2. Petunjuk Jalan; Sayyid Qutb
3. Al Islam; Said Hawwa
4. Karakteristik Islam; DR. Yusuf Al Qardhawi
5. Salah Paham Terhadap Islam; Muhammad Qutb
6. Komitmen Muslim; DR. Fathi Yakan
7. Benarkah Kita Muslim; Muhammad Qutb
8. Prinsip-prinsip Islam Untuk Kehidupan; DR. Abdullah Al Muslih
9. La Ilaha Illallah Sebagai Aqidah, Syariah dan Sistim Kehidupan; Muhamad Qutb
10. Al Ubudiyah; Ibnu Taimiyah
********************************
Kontributor: Ust Abu Mujahid. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umat, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
1. Dasar-dasar Islam; Abul A’la Al Maududi
2. Petunjuk Jalan; Sayyid Qutb
3. Al Islam; Said Hawwa
4. Karakteristik Islam; DR. Yusuf Al Qardhawi
5. Salah Paham Terhadap Islam; Muhammad Qutb
6. Komitmen Muslim; DR. Fathi Yakan
7. Benarkah Kita Muslim; Muhammad Qutb
8. Prinsip-prinsip Islam Untuk Kehidupan; DR. Abdullah Al Muslih
9. La Ilaha Illallah Sebagai Aqidah, Syariah dan Sistim Kehidupan; Muhamad Qutb
10. Al Ubudiyah; Ibnu Taimiyah
********************************
Kontributor: Ust Abu Mujahid. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umat, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment