Islam
adalah agama sempurna. Diantara bukti kesempurnaannya adalah Islam
memerintahkan kepada umatnya yang telah mampu menikah untuk menikah. Pernikahan
akan berjalan dengan baik, jika pasangan suami istri memahami kewajibannya yang
menjadi hak pasangannya, kemudian melaksanakan kewajiban itu dengan
baik. Suami berkewajiban menafkahi istri dan anak-anaknya dengan baik dan
menjaga mereka dari siksa api neraka. Sedangkan istri berkewajiban mentaati
suaminya dalam perkara yang ma’ruf sesuai dengan kemampuannya. Jika istri
melakukan kewajibannya kepada suami dengan sebaik-baiknya, setelah mentaati
Allâh SWT, maka ia akan meraih surga-Nya. Sebagaimana diberitakan oleh Nabi
yang mulia di dalam haditsnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي
الله عنه قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا صَلَّتِ
الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ
بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata:, “Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika seorang wanita melaksanakan shalat lima
waktu, melaksanakan puasa pada bulannya, menjaga kemaluannya, dan mentaati
suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu mana saja ia kehendaki.” [HR
Ibnu Hibban, no. 4163. Hadits ini dinyatakan sebagai hadits hasan oleh yaikh Al-Albani dan dihukumi
sebagai hadits shahih oleh syaikh Syu’aib al-Arnauth]
ISTRI
NUSYUZ
Kehidupan
adalah ladang ujian, sedangkan akhirat merupakan saat memetik hasilnya.
Terkadang di dalam rumah tangga, seorang laki-laki diuji dengan kedurhakaan
istri. Di dalam istilah agama disebut dengan nusyûz. Wanita nusyûz kepada
suami artinya “membangkang dan bersikap buruk” (Lihat: Mu’jamul Wasith,
bab: na-sya-za) Para Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memberikan
definisi bahwa nusyûz adalah keluarnya istri dari keta’atan yang
wajib kepada suami (istri tidak menjalankan kewajiban taat kepada suami-red).Perbuatan nusyûz (dalam artian bersikap tidak baik),
sebenarnya bisa bersumber dari suami kepada istri atau sebaliknya, tetapi yang
terkenal adalah sikap buruk yang bersumber dari istri kepada suami.
[Lihat: al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, 40/284]
Para
Ulama menyatakan bahwa nusyûz termasuk perbuatan dosa, karena
istri menyelisihi kewajibannya untuk mentaati suami, padahal kedudukan suami
bagi istri itu sangat agung. Banyak keterangan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tentang hak suami yang begitu tinggi kepada istrinya, sebagaimana
hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَوْ كُنْتُ آمِرًا
أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا.
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
Beliau bersabda, “Kalau aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada
orang lain, maka tentu aku sudah memerintahkan para istri untuk sujud kepada
suaminya”. [HR. At-Tirmidzi, no. 1159. Syaikh Albani berkata, “Hadis hasan
shahih.”]
Bentuk-Bentuk
Nusyûz Dan Ancamannya
Nusyûz atau kedurhakaan
istri kepada suami sangat banyak bentuknya. Berikut ini di antara contohnya:
1.
Tidak Bersyukur Kepada Suami
Kebaikan
suami kepada istri itu begitu banyak. Mulai dari nafkah kepada keluarga, menjaga
anak istri, memberikan ketenangan dan ketentraman rumah tangga, dan lainnya.
Maka kewajiban istri adalah bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla kemudian
kepada suaminya. Tidak bersyukur kepada suami menjadi sebab kemurkaan Allâh
kepada seorang istri, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Nabi berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ
عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا
يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لَا تَشْكَرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لَا تَسْتَغْنِي
عَنْهُ
Dari
Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Allâh tidak akan melihat seorang istri yang tidak berterima
kasih kepada (kebaikan) suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya”. [HR. An-Nasa’i
dalam as-Sunan al-Kubra, no. 9086]
Bahkan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sikap istri yang tidak
bersyukur kepada suami merupakan sebab banyaknya wanita masuk neraka.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قِيلَ:
أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ،
لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا،
قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Dari
Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu , dia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Neraka telah diperlihatkan kepadaku, ternyata mayoritas penghuninya
adalah wanita, mereka kufur (mengingkari)”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ditanya, “Apakah mereka kufur (mengingkari) Allâh?” Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka mengingkari suami dan mengingkari perbuatan
kebaikan. Jika engkau telah berbuat kebaikan kepada seorang wanita (istri)
dalam waktu lama, kemudian dia melihat sesuatu (yang menyakitkannya-red)
darimu, dia berkata, “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu!”. [HR. Al-Bukhâri, no. 29
dan Muslim, no. 884]
Yang
dimaksud bersyukur kepada kebaikan suami bukan sekedar mengakui kebaikannya.
Sebab kata “syukur” di dalam Bahasa arab itu dilakukan oleh hati, lidah, dan
anggota badan. Oleh karena itu istri wajib mengakui berbagai kebaikan suami
dengan hatinya, mengungkapkan dengan lidahnya, dan melakukan segala yang
menyenangkan suaminya dengan anggota badannya.
2.
Menyakiti Suami
Termasuk
kewajiban istri adalah mentaati perintah suami dan menyenangkan ketika dilihat
suami. Ketika istri berbuat sebaliknya, yaitu menyakiti suami yang Mukmin,
dengan bentuk apapun, maka dia akan mendapatkan murka Allâh Azza wa Jalla ,
bahkan murka bidadari surga yang akan menjadi istrinya. Di dalam hadits shahih
disebutkan:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ،
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا، إِلاَّ
قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الحُورِ العِينِ: لاَ تُؤْذِيهِ، قَاتَلَكِ اللَّهُ،
فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
Dari
Mu’adz bin Jabal, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda,
“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari
kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya, semoga Allâh
memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu, hampir saja ia akan
meninggalkanmu menuju kepada kami.” [HR. At-Tirmidzi, no. 1174; Ibnu Majah, no. 2014. Hadits ini
dihukumi sebagai hadits shahih oleh syaikh al-Albani]
3.
Menolak Ajakan Suami
Istri
berkewajiban melayani suami sebatas kemampuannya asal bukan dalam perkara
maksiat. Termasuk ketika suami mengajaknya ke tempat tidurnya, maka istri tidak
boleh menolak.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ
امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا
المَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika seorang suami memanggil isterinya ke tempat tidurnya,
namun istrinya enggan (datang), lalu suami bermalam dalam keadaan marah
kepadanya, malaikat melaknat isteri itu sampai masuk waktu subuh.”[HR. Al-Bukhâri, no.
3237, 5193 dan Muslim, no. 1436]
Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini merupakan dalil tentang haramnya istri
menolak ajakan suami ke tempat tidur tanpa halangan syar’i. Dan haidh bukan
merupakan halangan menolak, sebab suami punya hak bersenang-senang dengan
istrinya di atas sarungnya (maksudnya boleh bersenang-senang selama bukan
jima’-pen)”. [Syarah Nawawi, 10/7-8]
4.
Keluar Rumah Tanpa Idzin
Seorang
istri tempatnya di rumah, dia tidak boleh keluar rumah kecuali dengan
izin suami. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ
الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ
تَطْهِيرًا
Dan
hendaklah kamu (para istri Nabi) tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allâh dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allâh
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya. [Al Ahzâb/33: 33]
Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa wanita tidak boleh
keluar rumah kecuali ada kebutuhan.” [Tafsir Al Quran Al Adzim, 6/408]
Syaikhul
Islam berkata, “Tidak halal bagi seorang istri keluar rumahnya tanpa izin
suaminya. Tidak halal bagi seorangpun menjemputnya dan menahannya dari
suaminya, baik dia sebagai wanita yang menyusui, atau sebagai dukun bayi
(bidan), atau pekerjaan lainnya. Jika dia keluar rumah tanpa izin suaminya,
berarti ia telah berbuat nusyûz (durhaka), bermaksiat kepada
Allâh dan Rasul-Nya, dan layak mendapat hukuman.” [Majmu’ Fatawa,
32/281]
Setelah
kita mengetahui hak besar suami atas istrinya, maka selayaknya para wanita
memperhatikannya, sehingga membawa kebahagiaan bagi keluarganya, Wallâhul
Musta’an. [Disalin
dari majalah As-Sunna
************************
************************
Kontribtor:: Ust. Abu Isma’il Muslim al-Atsari; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment