Skip to main content

Islam, Iman dan Ihsan


ISLAM, IMAN dan IHSAN



Sejarah perkembangan pemikiran Islam dipandu oleh dua arah angin yang berhembus, baik dari arah Timur (Muslim) maupun dari arah Barat (Orientalis) yang berakibat pada terjadinya “problematika epistemologi”. Arah angin dari Timur telah membentuk kodifikasi dan kalsifikasi berbagai keilmuan yang awalnya (zaman Rasul dan sahabat) hanya dikenal dengan sebutan al-fiqh (i.e., doa Rasululllah kepada pamannya Ibn Abbas: allahumm faqqih-hu fi al-din wa allim-hu al-ta’wil) yang nota benenya merujuk kepada ilmu tentang syariat Islam dengan seluruh aspeknya (Islam, Iman dan Ihsan). 

Meskipun demikian, kodifikasi yang terjadi ini tidaklah dapat dikatakan salah secara total, khususnya jika dilihat dari perspektif tujuannya yang memberi kemudahan umat untuk menyelami dan mengidentifikasi ilmu-ilmu Islam. Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, kodifikasi bertanggung jawab pada lahirnya individu-individu Muslim yang tidak komprehensive tetapi parsial dalam memahami Islam, seolah-olah Islam dapat dipahami, terlebih diamalkan, misalnya, dengan hanya memahami ilmu fiqh tanpa iman atau ilmu tauhid dan tanpa ihsan atau ilmu tasawwuf. Ironisnya, keilmuan Islam yang disebut terakhir ini, menurut pemahaman sebahagian umat, kononnya dipelajari sebaik saja individu telah berusia lanjut atau paling tidak setelah dewasa. Parahnya, tasawwuf dicurigai sebagai “sesuatu” yang alien, bahkan dianggap sebagai ajaran sempalan Islam.

Meskipun demikian, untuk tidak mendiskualifikasi kerja-cerdas (ijtihad) para ulama terdahulu terkait dengan kodifikasi ilmu, dan sememangnya tulisan ini tidak bermaksud demikian, melainkan bermaksud mengingatkan bahwa untuk menjadi insan paripurna (insan kamil) seorang Muslim seharusnya tidak parsial dalam ilmu, tetapi komprehensif dengan pengertian menguasai dan pakar dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, khususnya ilmu fardu ain, sehingga pada gilirannya, mengimplementasikan Islam pada titik kulminasi dengan pengertian mensejatikan aspek islam, iman dan ihsan.

Selanjutnya, arah angin yang berhembus dari Barat telah membentuk sebuah persepsi bahwa keilmuan dalam Islam, tidak dapat tidak, mesti terpengaruh dari tradisi keilmuan Yunani (Greek dan Latin) atau bahkan dari tradisi agama Yahudi dan Nasrani. Persepsi sedemikian lahir dari prejudisme theory of influence yang menegaskan bahwa yang datang kemudian sudah pasti dipengaruhi oleh yang datang terlebih dahulu. Akibatnya, tradisi keilmuan dalam Islam tidak memiliki identitas. Dalam ungkapan langsung yang sederhana: tidak ada “Ekonomi Islam”, tidak ada “Filsafat Islam”, tidak ada “Psikologi Islam” dan simpulnya, tidak ada keilmuan yang dapat disandarkan dengan kata Islam.

Theory of influence yang disinggung sebelumnya tidak dapat disederhanakan dengan memahaminya secara literal, i.e., pengaruh mempengaruhi atau presisinya dunia Barat mempengaruhi dunia Timur. Lebih dari itu, teori ini melahirkan implikasi-implikasi yang esensinya menunjukkan bahwa dari segala aspek, Barat adalah superior, penguasa, dan kelas wahid, sedang Timur, termasuk Islam adalah inferior, terjajah dan kelas kedua. Hal demikian inilah yang kemudian dikampanyekan, disusupkan dan bahkan, diproyeksikan (pem-Barat-an), sehingga menjadikan Barat seolah-olah statue atau idol di mana dunia selainnya harus berkiblat, meniru, dan membeo Barat.

Istilah-istilah seperti “dewesternisasi,” “dekolonialisasi,” “desekularisasi,” “islamisasi” dan lain sebagainya merupakan istilah-istilah yang lahir sebagai upaya membendung westernisasi atau pembaratan. Dunia Timur yang sadar “identitas” memahami betul bahwa betapa selama ini, jati diri, harkat dan martabat mereka telah terinjak-injak akibat dari maha proyek ini.

Dalam filsafat agama, theory of influence ini kemudian mempengaruhi banyak ahli, khususnya orientalis. Bukti nyata dari itu adalah lahirnya ide “kesatuan agama” yang mereka istilahkan dengan the Transendent Unity of Religion yang berhembus dari arah angin Jerman, dipelopori oleh Frithjof Schuon (diamini oleh banyak intelektual Muslim di berbagai seantero dunia, di antaranya Syed Hossein Nasr). Ide ini kemudian melahirkan banyak turunan, yang masyhur dari mereka adalah “pluralisme.” Di Indonesia ada Islam “L,” Islam “M,” dan baru-baru ini ada Islam “N.”

***********************************


Kontributor: Baharuddin Abdul Rahman; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com

Comments

Popular posts from this blog

Darul Quran Mina (DQM)

Darul Qur'an Mina (DQM) Profil & Kegiatan Darul Qur'an Mina (DQM) Wakaf Bangunan DQM   Update Laporan Donasi Wakaf Bangunan DQM    Youtube DQM Channel (English)   Youtube Kajian Tafsir   Youtube Belajar Bahasa Arab   Murattal & Tadabbur al-Quran:  Murattal al-Qur'an Berbagai Qari Masyhur (MP4)   Murattal Al-Quran Qari Utama (MP4)   The Glorious Noble Qur'an -Syaikh Abu Bakr Ash-Shatery, Eng Trans (MP4)   Tadabbur/Tafsir al-Quran (MP3 &MP4)   Tafsir Al-Quran   Ilmu al-Quran (Ulumul Quran) -MP4 Tajwid/Ilmu Tajwid    Belajar Membaca & Tadabbur al-Qur'an (Html,MP3 dan MP4)   Kajian Hadist (Study of Hadith)    Murattal al-Quran Semua List Qari Masyhur (MP3)   Murattal Al-Quran Semua Qori (MP3)   Perpustakaan Audio Quran MP3 Semua Qari   Murattal Al-Quran 30 Juz (MP3 Audio)   List Murattal Al-Qur'an (MP3 Audio) & Tafsir   ...

Explanation of Hadith Sahih al-Bukhari Based on Fath al-Bari

  Explanation of Hadith Sahih al-Bukhari   Based on Fath al-Bari Ibn Hajar Biography of Imam al-Bukhari    Biography of Ibn Hajar Asqalaani   Explanation Based on Fath al-Bari Ibn Hajar:  1       2     3       4       5       6      7       8       9       10       11       12       13       14      15       16      17     19     20      21      22      23       24      25       26       27       28       29       30&31    

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap (PDF dan CHM)

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap (PDF dan CHM) Untuk bisa memahami Qur’an dengan utuh, kita sangat memerlukan bantuan buku tafsir yang berisikan penjelasan dari para sahabat Nabi dan para ulama setelahnya tentang makna dan kandungan al-Qur’an. Mengapa? Sebab tidak bisa dan tidak boleh kita menafsirkan al-Qur’an sendiri tanpa bimbingan para ulama. Sebab tanpa bimbingan mereka kita bisa tersesat jauh dari jalan yang benar.  Untuk memahami al-Qur’an bisa saja kita mencoba untuk menerjemahkannya kata per kata sendiri, tanpa merujuk ulama atau buku tafsir yang mu’tabar (dikenal dan diakui validitasnya), akan tetapi bagaimana kalau ternyata yang kita pahami itu salah? Bagaimana kalau ternyata yang kita pahami bertentangan dengan apa yang dipahami oleh para sahabat Nabi dan para ulama? Nah karenanya, untuk memahami al-Qur’an gunakankan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Salah satunya yang cukup terkenal adalah Tafsir Ibnu Katsir, yang merupakan salah satu kitab tafs...