Dalam banyak ayat,
Allah Ta’ala menyeru dan mengajak hamba-Nya untuk merenungkan dan memikirkan
penciptaan langit dan bumi, serta makhluk-Nya yang ada di dalam keduanya. Allah
Ta’ala mengabarkan bahwa mereka telah disiapkan dan disediakan untuk
kemaslahatan dan keberlangsungan hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Dia telah
menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai
rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.” (QS.
Al-Jatsiyah 45: 13). Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala mengabarkan
kepada kita bahwa Dia telah menciptakan besi dengan kekuatan yang besar untuk
kita manfaatkan. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ
“Dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi
manusia.” (QS. Al-Hadiid [57]: 25). Ayat ini adalah isyarat dari Allah
Ta’ala agar kita berpikir dan berinovasi, sehingga dapat mengambil manfaat dari
besi yang telah Allah Ta’ala ciptakan. Allah Ta’ala tidak menyebutkan lebih
detil lagi, bagaimanakah cara dan metode agar manusia dapat memanfaatkan besi?
Untuk keperluan apa saja besi itu dapat dipergunakan dan dimanfaatkan? Allah
Ta’ala hanya menyebutkan bahwa besi itu memiliki banyak manfaat bagi manusia.
Ini adalah isyarat dari Allah Ta’ala bahwa tugas kita selanjutnya sebagai hamba
adalah memikirkan dan mempelajari bagaimana besi tersebut dapat dimanfaatkan,
yaitu dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait
dengannya. Ini adalah metode Al-Qur’an dalam membimbing manusia agar
menggunakan akal dan pikiran untuk berinovasi dan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Hal ini berbeda
dengan perintah-perintah dalam agama, dimana Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an dan
juga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merinci
dengan detail syariat-Nya. Bagaimanakah tatacara ibadah shalat, ketentuan
zakat, dan juga rincian syariat yang lainnya. Sehingga tidak ada ruang bagi
akal untuk berinovasi dalam syariat-Nya karena hal itu akan menjerumuskan ke
dalam bid’ah. Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullahu
Ta’ala menyebutkan dua faidah quraniyyah atau dua faidah ilmu dari
ayat-ayat seperti di atas.
Faidah
pertama, dengan merenungkan ayat-ayat tersebut, kita mengetahui
kesempurnaan dan keagungan sifat Allah Ta’ala, juga nikmat-nikmat Allah Ta’ala
yang sedemikian banyak bagi manusia. Hal ini telah banyak disebutkan oleh para
ulama rahimahumullah, dan masing-masing menyebutkan faidah pertama
ini sesuai dengan ilmu yang telah sampai kepada mereka dan yang telah mereka
pahami.
Faidah
ke dua, kita memikirkan dan merenungkan ayat tersebut, kemudian
mengambil manfaat yang beragam dari makhluk Allah Ta’ala yang telah Dia
ciptakan. Allah Ta’ala menciptakan bumi, air, tumbuh-tumbuhan, barang tambang,
dan yang lainnya, untuk kita manfaatkan dengan menghasilkan produk yang
bermanfaat.
Oleh karena itu,
seluruh ilmu duniawi yang berkaitan dengan hal ini dengan beragam jenisnya
(pertambangan, perminyakan, pertanian, perikanan, peternakan, teknologi
industri, dan sebagainya), termasuk di dalamnya. Syaikh ‘Abdurrahman bin
Naashir As-Sa’di rahimahullahu Ta’ala kemudian berkata,“Hal ini menunjukkan bahwa mempelajari
teknologi dan penemuan terkini termasuk dalam perkara yang dituntut oleh
syariat, sebagaimana hal itu juga perkara yang dituntut sebagai sebuah
keharusan oleh akal. Dan hal itu termasuk dalam jihad di jalan Allah Ta’ala dan
termasuk dalam ilmu Al-Qur’an.
Sesungguhnya
Al-Qur’an mengingatkan para hamba bahwa Allah Ta’ala menciptakan besi dengan
kekuatan yang hebat dan bermanfaat bagi manusia; dan Allah Ta’ala sediakan
untuk manusia apa saja yang ada di bumi. Maka wajib atas manusia untuk berusaha
agar meraih manfaat-manfaat dari semua itu melalui cara yang paling mudah. Hal
ini telah dikenal melalui penelitian, dan juga termasuk dalam ayat
Al-Qur’an.” (Al-Qawa’idul hisaan, hal. 105).
Semoga ilmuwan
kaum muslimin dapat termotivasi untuk terus bersemangat dalam meneliti dan
berinovasi sehingga hasil penemuannya dapat dimanfaatkan seluas-luasnya untuk
kemaslahatan umat manusia.
Sebagaimana yang
kita ketahui, hukum mempelajari ilmu agama (ilmu syar’i) adalah kewajiban atas
setiap muslim (fardhu ‘ain). Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut
ilmu (agama) itu wajib atas setiap muslim.” (HR.
Ibnu Majah no. 224. Dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani). Ilmu syar’i
adalah ilmu tentang agama Allah Ta’ala, yaitu ilmu yang bersumber dari kitabullah
(Al-Qur’an) dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah).
Lalu, bagaimana dengan ilmu duniawi (ilmu sains)? Apakah mempelajari
ilmu-ilmu tersebut menjadi tidak berpahala alias perbuatan sia-sia? Jika mendatangkan
kebaikan untuk umat Islam, hukum mempelajari ilmu duniawi adalah Fardhu
Kifayah. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin -rahimahullahu Ta’ala-
pernah ditanya, ”Apakah (mempelajari)
ilmu seperti ilmu kedokteran dan industri termasuk tafaqquh fid diin (mempelajari agama Allah Ta’ala,
pen.)?”. Beliau -rahimahullahu Ta’ala- menjawab, “Ilmu-ilmu tersebut
tidaklah termasuk dalam ilmu agama (tafaqquh fid diin). Karena dalam
ilmu-ilmu tersebut tidaklah dipelajari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Akan tetapi, ilmu tersebut termasuk dalam
ilmu yang dibutuhkan oleh umat Islam. Oleh karena itu, sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya mempelajari ilmu industri (teknologi), kedokteran,
teknik, geologi, dan semisal itu, termasuk dalam fardhu kifayah.
Bukan karena ilmu-ilmu tersebut termasuk dalam ilmu syar’i (ilmu agama yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, pen.), akan tetapi karena tidaklah maslahat bagi umat (Islam) ini bisa terwujud
kecuali dengan mempelajari ilmu-ilmu tersebut”. Oleh karena itu, aku
ingatkan kepada saudara-saudaraku yang sedang mempelajari ilmu-ilmu tersebut
agar mereka niatkan untuk dapat memberikan manfaat bagi kaum muslimin dan
meningkatkan (derajat) umat Islam.” (Kitaabul ‘Ilmi, 1/125,
Maktabah Syamilah).
Di tempat yang
lain, beliau -rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Dan sungguh banyak ulama telah menyebutkan bahwa mempelajari ilmu
industri (teknologi) termasuk fardhu kifayah. Hal ini karena manusia harus
(tidak boleh tidak) memiliki ilmu tersebut untuk dapat memasak (menyiapkan
makanan, pen.), minum, atau perkara-perkara lainnya yang dibutuhkan. Jika tidak
ditemukan orang yang menekuni ilmu tersebut, maka hukum mempelajarinya menjadi
fardhu kifayah.” (Kitaabul ‘Ilmi, ½, Maktabah
Syamilah).
Syaikh
‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di -rahimahullahu Ta’ala- berkata, ”(Yang dimaksud dengan) fardhu kifayah, (yaitu) jika sejumlah orang dalam jumlah yang
mencukup telah melaksanakan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban bagi
yang lainnya. Jika tidak ada satu pun orang yang melaksanakannya, maka semua
orang yang memiliki kemampuan (untuk melaksanakan kewajiban tersebut, pen.)
menjadi berdosa.” Al-Qawaa’id
wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal. 39 (cet. Maktabah As-Sunnah). Kesimpulannya,
hukum mempelajari ilmu duniawi (sains) sangat tergantung pada tujuan, apakah
untuk tujuan kebaikan atau tujuan yang buruk. (Kitaabul
‘Ilmi, 1/2 (Maktabah Syamilah). Oleh
karena itu, ketika ilmu duniawi menjadi sarana untuk menegakkan kewajiban dalam
agama, maka hukum mempelajari ilmu tersebut juga wajib. Dan ketika menjadi
sarana untuk menegakkan perkara yang hukumnya sunnah dalam agama, maka hukum
mempelajarinya juga sunnah.
Ketika menjelaskan
kaidah fiqhiyyah,
الوسائل لها أحكام المقاصد
“Hukum
sarana itu sebagaimana hukum tujuan.” Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di
-rahimahullahu Ta’ala- berkata, “Tercakup dalam kaidah pokok ini adalah
wajibnya mempelajari ilmu industri (teknologi) yang dibutuhkan oleh manusia
dalam perkara agama dan dunia mereka, baik perkara yang kecil maupun yang
besar.” (Al-Qawaa’id wal Ushuul Al-Jaami’ah, hal.
38).
Sebagian dari
penuntut ilmu agama di zaman ini mungkin ada yang mengeluh karena biaya
menuntut ilmu yang mahal. Misalnya ketika ada kursus bahasa Arab, sebagian
peserta mengeluh biaya daftarnya yang mahal (padahal sebenarnya murah, hanya
saja mereka membandingkan dengan beberapa kursus yang gratis atau hanya bayar
sukarela saja). Kita perlu menghilangkan “mindset” bahwa belajar ilmu
agama itu pasti gratis terus dan tidak memerlukan harta. Ketahuilah bahwa yang
namanya ilmu itu perlu juga pengorbanan harta baik banyak maupun sedikit. Sebagaimana
perkataan Imam Syafi’i bahwa menuntut ilmu itu perlu bekal berupa harta:
أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ
عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ
ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌوَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ
أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانِ
Saudaraku,
engkau tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara: Akan aku
kabarkan padamu perinciannya degan jelas: Kecerdasan, kemauan keras, semangat,
bekal cukup (harta), Bimbingan ustadz dan waktu yang lama [Diwan
Syafi’i]
Agar bisa
memotivasi kita supaya “tidak terlalu pelit” mengeluarkan harta untuk belajar
agama, mari kita lihat bagaimana semangat para ulama dahulu. Mereka rela
mengorbankan harta yang banyak bahkan ada yang sampai tidak punya harta sama
sekali karena untuk menuntut ilmu agama alias bangkrut. Syu’bah, beliau
berkata,
مَنْ طَلَبَ الْحَدِيثَ أَفْلَسَ
“Barangsiapa
yang menuntut ilmu hadist/belajar agama maka akan bangkrut” [Jaami’u
bayaanil ‘ilmi wa fadhlihi I/410 no.597]. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لَا يَصْلُحُ طَلَبُ الْعِلْمِ إِلَا لِمُفْلِس
“Tidak
layak bagi orang yang menuntut ilmu kecuali orang yang siap
miskin/bangkrut” [Al-Jami’ liakhlaqir rawi, 1/104 no.71]. Imam
Malik bin Anas rahimahullah berkata,
لا يبلغ أحد من هذا العلم ما يريد حتى يضربه الفقر ويؤثره
على كل شئ
“Seseorang
tidak akan mencapai ilmu ini sesuai dengan apa yang diharapkan sehingga ia
menjadi fakir dan berpengaruh kepada semuanya.” [Al-Majmu’
1/35]. Yang cukup terkenal adalah kisah ulama menuntut ilmu sampai-sampai harus
menjual atap rumah mereka. Ibnu Al-Qasim berkata,
قال ابن القاسم: أفضى بمالك طلب العلم إلى أن نقض سقف بيته
فباع خشبه، ثم مالت عليه الدنيا
“Mencari
ilmu juga menyebabkan Imam Malik membongkar atap rumahnya dan menjual kayunya.
Kemudian setelah itu dunia berdatangan kepadanya.” [Tartibul
Madarik 1/31]. Al-Khatib al-Baghdadi membawakan riwayat,
أنفق ابن عائشة على إخوانه أربع مائة ألف دينار في الله،
حتى التجأ إلى أن باع سقف بيته
“Ibnu
Aisyah membelanjakan harta untuk saudara-saudaranya sebanyak empat ratus dinar,
hingga ia menjual atap rumahnya.” [Tarikh Baghdadi 12/17]. Muhammad bin Salam
berkata,
أنفقت في طلب العلم أربعين ألفا، وأنفقت في نشره أربعين
ألفا، وليت ما أنفقت في طلبه كان في نشره
“Aku
ketika menuntut ilmu menghabiskan 40.000 dinar dan untuk menyebarkannya 40.000,
dinar sekiranya kuhabiskan ketika mencarinya, kuhabiskan ketika
menyebarkannya.” [Tarikh Baghdadi 12/17]
Dan sebuah kisah
nyata terkenal di mana Ibu dari Rabi’ah Ar-ra’yi guru Imam Malik menghabiskan
30.000 dinar untuk pendidikan anaknya, tatkala suaminya pulang dan menagih
harta yang di titip terjadi perbincangan,
فقالت أمه: أيما أحب إليك ثلاثون ألف دينار، أَوْ هذا
الَّذِي هو فيه من الجاه، قَالَ: لا وَالله إِلا هذا، قالت: فإني قد أنفقت المال
كله عَلَيْهِ، قَالَ: فوالله ما ضيعته
“Ibu
Rabi’ah berkata kepada suaminya, ‘Mana yang engkau sukai antara 30.000 dinar
atau kedudukan yang dia (anakmu) peroleh?’ Suaminya berkata, ‘Demi Allah aku
lebih suka yang ini (kedudukan ilmu anaknya)’, Ibu Rabi’ah berkata, ‘Saya telah
menghabiskan seluruh harta tersebut untuk mendapatkan seperti sekarang ini’
Suaminya berkata, ‘Demi Allah, engkau tidak menyia-nyiakannya.’ [Tarikh
Baghdad 9/414]
Kisah-kisah ulama
salaf selalu menarik untuk disimak, apalagi dalam kisah-kisah mereka tersebut
tergambar potret keteladanan dalam semangat mencari ilmu dan kemudian
mengamalkannya. Berikut ini disampaikan beberapa contoh teladan salaf dalam
mengamalkan ilmu yang telah mereka peroleh.
Diriwayatkan oleh
Bukhari (no. 6318) dan Muslim (no. 2727), dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu, ketika menceritakan kisah Fathimah binti Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Suatu hari, Fathimah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk meminta diberi pembantu (budak).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada
anaknya, Fathimah,
أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى مَا هُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ
خَادِمٍ؟ إِذَا أَوَيْتُمَا إِلَى فِرَاشِكُمَا، أَوْ أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا،
فَكَبِّرَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَسَبِّحَا ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَاحْمَدَا
ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، فَهَذَا خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ
“Maukah kalian
berdua aku tunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik dari seorang pembantu? Jika
kalian hendak tidur, ucapkanlah takbir 33 kali, tasbih 33 kali, dan tahmid 33
kali. Hal itu lebih baik dari seorang pembantu.” ‘Ali berkata,فَمَا تَرَكْتُهَا بَعْدُ“Aku tidak pernah meninggalkan amal itu setelahnya (setelah
‘Ali mendengarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Ditanyakan kepada
‘Ali bin Abi Thalib, وَلاَ
لَيْلَةَ صِفِّينَ؟“Tidak pula ketika
malam perang Shiffin?” Yaitu peperangan yang masyhur, yang terkadang
melalaikan seseorang dari berdzikir kepada Allah Ta’ala. ‘Ali
menjawab, وَلاَ
لَيْلَةَ صِفِّينَ
“Tidak
pula (aku tinggalkan) ketika perang Shiffin.” (HR. Bukhari no. 5362 dan
Muslim no. 80)
Dari Abu Dawud bin
Abu Hindun, dari Nu’man bin Salim, dari ‘Amr bin Aus, beliau berkata, “Anbasah
bin Abu Sufyan menceritakan kepadaku dengan berbisik-bisik ketika beliau sakit
yang menyebabkan beliau meninggal dunia, beliau berkata, “Aku mendengar Ummu
Habibah berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِي يَوْمٍ
وَلَيْلَةٍ، بُنِيَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa
mendirikan shalat dua belas rakaat sehari semalam, akan dibangun untuknya rumah
di surga.” Ummu Habibah berkata,
فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak
pernah meninggalkannya sejak aku mendengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.” ‘Anbasah berkata,
فَمَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ أُمِّ
حَبِيبَةَ
“Aku tidak
pernah meninggalkannya sejak aku mendengar dari Ummu Habibah.”
‘Amr bin Aus
berkata,
مَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ عَنْبَسَةَ
“Aku tidak
pernah meninggalkannya sejak aku mendengar dari ‘Anbasah.” Nu’man bin Salim
berkata,
مَا تَرَكْتُهُنَّ مُنْذُ سَمِعْتُهُنَّ مِنْ عَمْرِو بْنِ
أَوْسٍ
“Aku tidak
pernah meninggalkannya sejak aku mendengar dari ‘Amr bin Aus.” (HR. Muslim
no. 728)/ Inilah gambaran semangat yang tinggi dalam bersegera untuk
mengamalkan ilmu yang mereka peroleh dan merutinkan amal tersebut.
Diriwayatkan dari
sahabat Abu Hurairah radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau
berkata, “Kekasihku berwasiat kepadaku
tentang tiga hal, yang tidak pernah aku tinggalkan sampai aku mati,
صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَصَلاَةِ
الضُّحَى، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Puasa tiga
hari setiap bulan, shalat dhuha, dan tidur setelah menunaikan shalat witir.”
(HR. Bukhari no. 1178). GAmbaran ini adalah sama persis dengan hadits yang
diriwayatkan dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, beliau
berkata,
أَوْصَانِي حَبِيبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِثَلَاثٍ، لَنْ أَدَعَهُنَّ مَا عِشْتُ
“Kekasihku
berwasiat kepadaku tentang tiga hal, yang tidak pernah aku tinggalkan selama
aku hidup.” Kemudian beliau menyebutkan tiga hal di atas. (HR. Muslim no.
722)
‘Umar bin Abu Salamah radhiyallahu
‘anhuma berkata, “Saat aku masih kecil, aku berada dalam pengasuhan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Pada saat makan bersama
beliau), tanganku menjelajah ke mana-mana di wadah makanan. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,
يَا غُلَامُ ! سَمِّ اَللَّهَ , وَكُلْ بِيَمِينِكَ ,
وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anak
kecil, bacalah bismillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan
yang ada di dekatmu.” (HR. Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022).Dalam
riwayat Bukhari terdapat tambahan bahwa ‘Umar bin Abu Salamah radhiyallahu
‘anhuma berkata,
فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ
“Aku
terus-menerus makan dengan model seperti itu setelahnya.” Lihatlah
bagaimana seorang anak kecil yang diasuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, lalu ditegur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali
saja, dan beliau bersegera mengingat teguran tersebut dan
melaksanakannya sejak saat itu juga. Tidak perlu menunggu sampai ditegur dua,
tiga, empat kali dan seterusnya. Kalau kita melihat sejarah perjalanan para
ulama salaf setelah sahabat radhiyallahu Ta’ala ‘anhum, maka
kita akan jumpai semangat yang sama sebagaimana semangat para sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sufyan Ats-Tsauri rahimahullahu
Ta’ala berkata,
ما بلغني حديث عن رسول الله صلى الله عليه و سلم إلا عملت
به
“Tidaklah
sampai sebuah hadits kepadaku dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kecuali aku mengamalkannya.” Ibnul Qayyim rahimahullahu
Ta’ala menceritakan keadaan gurunya, yaitu Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullahu Ta’ala, ketika beliau menyebutkan
hadits yang diriwayatkan oleh Abu ‘Umamah, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَرَأَ آيَةَ الْكُرْسِيّ فِي دُبُرِ الصّلَاةِ
الْمَكْتُوبَةِ كَانَ فِي ذِمّةِ اللّهِ إلَى الصّلَاةِ الْأُخْرَى
“Barangsiapa
membaca ayat kursi pada akhir shalat wajib (maksudnya, setelah salam) maka dia
berada dalam jaminan Allah sampai shalat berikutnya.” Ibnul
Qayyim berkata, “Telah sampai kepadaku dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
bahwa beliau berkata,
مَا تَرَكْتُهَا عَقِيبَ كُلّ صَلَاةٍ
‘Aku
tidak pernah meninggalkannya setiap kali selesai shalat.’” (Zaadul
Ma’aad, 1/285).Juga diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu
Ta’ala, penulis kitab hadits Al-Musnad. Dan kita
mengetahui betapa tebal dan betapa banyak hadits yang ada di kitab Al-Musnad. Imam
Ahmad rahimahullahu Ta’ala berkata, “Tidaklah aku menulis
suatu hadits, kecuali aku mengamalkannya. Sampai-sampai aku mendengar bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dan memberikan juru bekam upah satu
dinar, lalu aku pun berbekam dan memberikan upah satu dinar kepada juru bekam.”
Dalam masalah meninggalkan larangan, generasi
salaf adalah sebaik-baik generasi dalam memberikan contoh dan teladan bagi
generasi belakangan (khalaf). Terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (no. 6647) dan Muslim (no. 1646) dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ
“Sesungguhnya Allah melarang kalian dari
bersumpah dengan (menyebut) nama bapak-bapak kalian.” Sebagaimana yang
disebutkan dalam sebagian riwayat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendengar ‘Umar bersumpah dengan menyebut nama bapaknya. Dan
perlu diketahui, perkara ini adalah kebiasaan mereka di masa jahiliyyah sebelum
datangnya Islam. Mereka sudah terbiasa melakukan hal ini, lisan mereka seolah
sudah otomatis bersumpah dengan menyebut nama bapak-bapak mereka ketika
bersumpah.
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَنْهَاكُمْ أَنْ تَحْلِفُوا بِآبَائِكُمْ
“Sesungguhnya Allah melarang kalian dari
bersumpah dengan (menyebut) nama bapak-bapk kalian.”
Lalu ‘Umar mengatakan,
فَوَاللَّهِ مَا حَلَفْتُ بِهَا مُنْذُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ذَاكِرًا وَلاَ آثِرًا
“Demi Allah, aku tidak pernah lagi bersumpah
dengannya sejak aku mendengar (larangan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, baik bersumpah sendiri atau mengutip sumpah orang lain.”Lihatlah
bagaimana keteguhan ‘Umar bin Khaththab untuk bersegera mematuhi larangan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal sumpah dengan
menyebut nama selain Allah tersebut sudah mendarah daging dalam diri dan lisan
mereka ketika masih di masa jahiliyyah. Bahkan hanya sekedar mengutip ucapan
sumpah orang lain pun ‘Umar tidak mau, supaya dia tidak kembali lagi kepada
kebiasaannya yang dulu.
Contoh menakjubkan lainnya adalah sebagaimana
yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (no. 4617) dan
Muslim (no. 1980) dari sahabat Anas radhiyallahu Ta’ala ‘anhu, ketika
beliau menjadi budak (pembantu) Abu Thalhah. Pada suatu hari, Anas menuangkan
khamr sebelum datangnya larangan minum khamr. Ketika sedang menuangkan khamr,
datanglah seseorang yang mengabarkan bahwa khamr telah diharamkan. Pada saat
itu juga, mereka memerintahkan untuk segera menumpahkan semua khamr, padahal
jiwa-jiwa mereka sangat terpaut dengan minum khamr dan minum khamr juga menjadi
kebiasaan mereka sehari-hari. Namun, mereka tinggalkan itu semua seketika itu
juga, dan hari itu menjadi hari terakhir mereka mengkonsumsi khamr.
Gambaran keteladanan lainnya adalah yang
terdapat dalam Shahih Muslim (no. 2090) dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
Ta’ala ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat cincin terbuat dari emas yang dipakai di tangan seorang
laki-laki. Melihat hal itu, Rasulullah mencabut cincin itu dan melemparkannya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ
فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ
“Salah seorang di antara kalian sengaja
mengambil bara api dari neraka, kemudian memakainya di tangannya.”
Setelah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pergi, dikatakan kepada seseorang tadi,
خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ
“Ambillah cincinmu lagi dan manfaatkanlah.”,
Maksudnya, jual saja cincin tersebut dan
hasil penjualannya bisa diberikan ke keluargamu. Ini adalah pemanfaatan yang
pada asalnya diperbolehkan (mubah). Namun, laki-laki tersebut berkata,
لَا وَاللهِ، لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Tidak, demi Allah, aku tidak akan
mengambilnya lagi selamanya. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melemparkannya.” Laki-laki tersebut menolak untuk mengikuti
saran yang diberikan kepadanya, meskipun saran itu adalah hal yang mubah. Hal
ini dia lakukan semata-mata karena sangat perhatian dengan teguran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Referensi:
1. Kitab Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 23-28
2. Kitab Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 29-32
3. Kitab Al-Qawa’idul hisaan al-muta’alliqati bi tafsiir Al-Qur’an, Al-Qawa’idul hisaan al-muta’alliqati bi tafsiir Al-Qur’an, penerbit Daar Thaybah Suriah, cetakan pertama tahun 1434)
******************************
1. Kitab Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 23-28
2. Kitab Tsamaratul ‘Ilmi Al-‘Amalu, karya Syaikh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr, hal. 29-32
3. Kitab Al-Qawa’idul hisaan al-muta’alliqati bi tafsiir Al-Qur’an, Al-Qawa’idul hisaan al-muta’alliqati bi tafsiir Al-Qur’an, penerbit Daar Thaybah Suriah, cetakan pertama tahun 1434)
******************************
Kontributor: Muhammad Saifuddin Hakim; dr Raehanul Bahraen; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Comments
Post a Comment