Ahli Al-Qur'an
Siapa tidak ingin menjadi ahli al-Qur’an?
Inilah kedudukan hamba yang paling mulia dan tinggi di sisi Allâh Azza wa Jalla
. Cukuplah Hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan
agungnya kedudukan ini: Dari Anas bin Mâlik beliau berkata: Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ:
هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
“Sesungguhnya di antara manusia ada yang
menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat Radhiyallahu anhum bertanya,
“Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang
dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan di sisi-Nya[1]. Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan
dan kemuliaan orang-orang yang menjadi ahli al-Qur’an, karena mereka disebut
sebagai ‘ahli Allâh’. Artinya merekalah para wali (kekasih)
Allâh Azza wa Jalla yang sangat dekat dan istimewa di sisi-Nya, sebagaimana
seorang manusia dekat dengan ‘ahli’ (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk
pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka.[2]
Keutamaan dan kemuliaan besar ini tentu
menjadikan setiap orang yang beriman kepada Allâh Azza wa Jalla dan hari akhir,
berusaha untuk mengejar dan meraihnya. Apalagi Allâh Azza wa Jalla telah
menjanjikan bahwa al-Qur’an akan Allâh Subhanahu wa Ta’ala jadikan mudah
sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman, termasuk dalam
hal memahami kandungannya dan meraih kemuliaan sebagai ahlinya. Allâh Azza wa
Jalla berfirman:
وَلَقَدْ
يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Qur’an
untuk peringatan atau pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil
pelajaran?” [Al-Qamar/54:17]. Syaikh ‘Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna
ayat ini: Sungguh Kami telah menjadikan al-Qur’an yang mulia itu mudah,
lafazhnya mudah untuk dihafalkan dan disampaikan (kepada orang lain), juga
(kandungan) maknanya mudah untuk dipahami dan dimengerti. Karena al-Qur’an
adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar (kandungan)
maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan
diri (bersungguh-sungguh mempelajari)nya, Allâh Azza wa Jalla akan memudahkan
baginya dan meringankannya (untuk mencapai) tujuan tersebut”. Peringatan
atau pelajaran (yang dimaksud dalam ayat ini) meliputi semua bentuk peringatan
atau pelajaran bagi manusia, (baik itu) berupa (penjelasan) halal dan haram,
hukum-hukum perintah dan larangan, hukum-hukum balasan (ganjaran pahala atau
siksaan di akhirat), nasehat-nasehat dan perenungan, keyakinan-keyakinan yang
bermanfaat serta berita-berita yang benar.
Oleh karena itu, ilmu (tentang) al-Qur’an,
(baik dalam hal) menghafalnya atau memahami tafsirannya, adalah ilmu yang
paling mudah dan paling tinggi (kedudukannya dalam Islam) secara mutlak. Inilah
ilmu yang bermanfaat, jika seorang hamba (bersungguh-sungguh) mempelajarinya
maka dia akan ditolong (dimudahkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk memahaminya).
Salah seorang Ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan mengatakan, “Apakah ada
orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari al-Qur’an)
sehingga Allâh Azza wa Jalla akan menolongnya?. Oleh karena itu, Allâh mengajak
(memotivasi) para hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh)
mempelajari al-Qur’an, dalam firman-Nya (di akhir ayat ini):
فَهَلْ
مِنْ مُدَّكِرٍ
Cukuplah firman Allâh Azza wa Jalla berikut
ini untuk menunjukkan betapa tinggi kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang
dianugerahi pemahaman al-Qur’an yang benar:
قُلْ
بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا
يَجْمَعُونَ
“Katakanlah, “Dengan karunia Allâh dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira
(berbangga), karunia Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa (kesenangan
duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)” [Yûnus/10:58]. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan
orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan
anugerah yang Allâh Azza wa Jalla limpahkan kepada mereka. Anugerah yang berupa
pemahaman terhadap al-Qur’an dan kesempurnaan iman. Dan Allâh Azza wa Jalla
menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan lebih mulia dari semua
kesenangan dunia yang diperebutkan oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allâh”
dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan”,
sedangkan “Rahmat Allâh” ditafsirkan dengan “al-Qur’an”. Keduanya (yaitu
keimanan dan al-Qur-an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh,
sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang
dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan keduanya
merupakan ilmu yang paling tinggi dan amal yang paling utama.[4]
Dalam sebuah hadits yang shahih, dari ‘Utsman
bin ‘Affân Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
خَيْرُكُمْ
مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang
mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (kepada orang lain)’[5]. Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya
keutamaan orang yang mempelajari al-Qur’an, mempelajari cara membacanya
dengan tajwid yang benar, memahami kandungannya dan berusaha
menghafalnya dengan baik, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, agar
petunjuk dan kebaikan yang terkandung di dalamnya tersebar dan di amalkan
manusia. Bahkan sebagian dari Ulama mengatakan bahwa “barangsiapa mengikhlaskan
niatnya dan selalu menyibukkan diri dengan mempelajari al-Qur’an dan
mengajarkannya, maka termasuk ke dalam golongan para Nabi Alaihissallam
(pengikut para Nabi Alaihissallam yang setia).”[6]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata,
“Barangsiapa mempelajari al-Qur’an maka akan tinggi kedudukannya.”[7].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mempelajari
dan mengajarkan al-Qur’an (dalam hadits ini) mencakup mempelajari dan
mengajarkan lafazhnya, juga mempelajari dan mengajarkan kandungan maknanya.”[8].
Dan masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang menjelaskan hal ini, cukuplah ayat dan hadits di atas sebagai contoh
yang menggambarkan betapa agung kedudukan orang yang memahami al-Qur’an.
Agungnya kedudukan orang yang memahami
al-Qur’an, juga semakin terlihat jelas dengan merenungkan besarnya fungsi
diturunkannya al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sumber petunjuk dalam
kebaikan dan obat penyakit hati manusia. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا
فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang
kepadamu nasehat atau pelajaran dari Rabbmu (al-Qur’an) dan penyembuh bagi
penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi
orang-orang yang beriman” [Yûnus/10:57]. Dalam ayat ini, Allâh
Azza wa Jalla mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan kepada para
hamba-Nya, yaitu al-Qur’an yang mulia. Karena di dalam al-Qur’an terdapat nasehat untuk
menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu
kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta
penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu
bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti al-Qur’an ke
jalan yang bisa mengantarkannya ke surga, serta sebab-sebab untuk
mendapatkan rahmat Allâh Azza wa Jalla yang terkandung di
dalamnya.[9]
Dalam ayat lain, Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّ
هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ
الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada
orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang besar” [Al-Isrâ’/17:9]. Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dalam
ayat ini) Allâh Azza wa Jalla mengabarkan tentang kemuliaan dan keagungan
al-Qur’an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk menuju (jalan) yang paling lurus
dan paling mulia dalam keyakinan, amal dan akhlak. Sehingga barangsiapa
mengikuti petunjuk yang diserukan dalam al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang
yang paling sempurna, paling lurus dan paling terbimbing dalam segala
urusannya.”[10]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan
tingginya kedudukan dan sempurnanya petunjuk al-Qur’an dalam semua kebaikan dan
keutamaan. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak
ada satu kitabpun di kolong langit yang mengandung bukti-bukti dan argumentasi
tentang perkara-perkara mulia yang dituntut (dalam Islam), yaitu tauhid,
penetapan sifat-sifat Allâh, hari kebangkitan dan kenabian, juga sanggahan
terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang rusak,
tidak ada satupun yang seperti al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an menjamin dan
menanggung semua itu dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, paling masuk
akal, serta paling jelas penjabarannya. Maka al-Qur’an merupakan obat penyembuh
yang sejati bagi penyakit-penyakit syubhat (kerancuan
dalam memahami Islam) dan keragu-raguan.”
Namun, semua itu bergantung pada pemahaman
dan penghayatan terhadap kandungan makna al-Qur’an. Barangsiapa dinugerahkan
oleh Allâh Azza wa Jalla hal itu, maka dia akan dapat memandang (dan dapat
membedakan) kebenaran dan kebatilan secara jelas dengan hatinya, sebagaimana
dia bisa memandang (dan bisa membedakan dengan jelas) siang dan malam hari.”[11]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika kamu ingin mendapatkan manfaat dari
(petunjuk) al-Qur’an, maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan menyimaknya,
fokuskanlah pendengaranmu, serta hadirkanlah dirimu sebagaimana hamba Allâh
(Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menerima al-Qur’an ini
menghadirkan dirinya (ketika diturunkan al-Qur’an kepada Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sesungguhnya al-Qur’an ini (sejatinya)
merupakan petunjuk bagimu dari Allâh melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu
‘alaihi wa sallam”[12].
Petunjuk dan manfaat al-Qur’an sebagai nasehat dan peringatan, hanya akan Allâh
Azza wa Jalla anugerahkan kepada hamba-Nya yang memiliki hati yang hidup (sehat
dan jauh dari kotoran penyakit hati) dan terbuka untuk menerima petunjuk-Nya.
Sebagaimana makna firman-Nya:
إِنَّ
فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ
شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
(kisah-kisah dalam al-Qur’an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi
orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup/bersih) atau yang
mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya” [Qâf/50:37]
Juga firman-Nya:
إِنْ
هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ ﴿٦٩﴾ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ
الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ
al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran
dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan
kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab)
terhadap orang-orang kafir [Yâsîn/36:69-70]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang
dimaksud dengan hati (dalam ayat) ini adalah hati yang hidup (bersih dari
noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan atau
petunjuk) dari Allah." (13).
Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan makna dan kandungan al-Qur’an ke dalam
hati, ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan manfaat dan nasehat dari
petunjuk al-Qur’an. Dengan inilah Allâh Subhanahu wa Ta’ala memuji para
hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya:
بَلْ
هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا
الظَّالِمُونَ
“Sebenarnya, al-Qur’an itu adalah ayat-ayat
yang jelas di dalam dada (hati) orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang
mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim” [al-‘Ankabût/29: 49]. Upaya ini tidak lain
adalah berusaha membaca al-Qur’an dengan memahami maknanya, merenungkan
kandungnya dan menghayati petunjuknya, sebagaimana ucapan Imam Ibnul Qayyim
yang kami nukilkan di atas, “ … namun semua (manfaat dan petunjuk al-Qur’an)
itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna
al-Qur’an.”[14]
Oleh karena itu, orang-orang yang hati mereka
hidup dengan iman kepada Allâh Azza wa Jalla , mereka inilah yang akan
bertambah kuat dan sempurna keimanan dan kebaikan dalam diri mereka setiap kali
mereka mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan bentuk dzikir
kepada Allâh Azza wa Jalla yang paling agung, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّمَا
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا
تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
adalah mereka yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan
apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan hanya kepada Allâh mereka bertawakkal" [al-Anfâl/8:2]
Maka orang yang beriman dengan benar adalah
orang yang ketika berdzikir kepada Allâh Azza wa Jalla , hatinya menjadi takut
dan tunduk kepada-Nya. Ini akan menjadikannya selalu menjauhi perbuatan maksiat
kepada-Nya. Karena bukti terbesar rasa takut yang benar kepada Allâh adalah
menjadikan orang tersebut menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.
“Dan apabila dibacakan kepada mereka
ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka”. Karena orang yang beriman
ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an, dia benar-benar mendengarkannya
dengan seksama dan menghadirkan hatinya untuk merenungkan kandungannya. Ketika
itulah imannya bertambah dan semakin kuat. Karena dengan merenungkan
kandungannya dia akan mendapatkan penjelasan hal-hal yang tidak diketahuinya
sebelumnya, mengingatkan akan kelalaiannya, menumbuhkan motivasi kebaikan dalam
dirinya, semangat untuk mengejar kemuliaan di sisi Allâh Subhanahu wa Ta’ala
dan rasa takut terhadap siksa-Nya. Semua perkara ini akan menumbuhkan dan
menyempurnakan keimanannya”[15]
Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan
direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab
kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang kami
turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna)
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]. Imam al-Hasan al-Bashri
berkata, “Demi Allâh! Bukanlah mentadabburi al-Qur’an dengan (hanya)
dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum
(kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata, “Aku telah
membaca al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi
terhadap al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya.”[16]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Memperhatikan (merenungkan) al-Qur’an,
artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta
menfokuskan pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan)
diturunkannya al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman
dan penghayatan.”[17]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Inilah hikmah diturunkannya
al-Qur’an, agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, sehingga mereka bisa
menyimpulkan ilmu-ilmunya, serta mengamati rahasia dan hikmahnya. Maka dengan
merenungkan, menghayati dan memikirkan (kandungan) al-Qur’an berulang kali,
akan diraih keberkahan dan kebaikannya. Ini menunjukkan anjuran untuk
merenungkan (makna) al-Qur’an, bahkan ini termasuk amal (shaleh) yang paling
utama dan sesungguhnya membaca al-Qur’an yang disertai perenungan terhadap
maknanya lebih utama dari pada membacanya dengan cepat tanpa disertai
perenungan.”[18]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah
berkata, “Mentadabburi (merenungkan dan menghayati) al-Qur’an termasuk
cara dan sarana terbesar untuk menumbuhkan dan menguatkan keimanan”. Allâh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كِتَابٌ
أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو
الْأَلْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab (al-Qur-an) yang
kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna)
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran [Shâd/38:29]. Maka mengeluarkan
keberkahan al-Qur’an, yang terpenting di antaranya adalah menumbuhkan keimanan,
cara dan metodenya adalah dengan merenungkan dan menghayati ayat-ayatnya.”[19].
Inilah metode para Sahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
para Tabi’in(generasi setelah para Sahabat Radhiyallahu anhum)
ketika mempelajari dan mendalami al-Qur’an.
Imam Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Habib
as-Sulami al-Kûfi rahimahullah berkata, “Kami
mempelajari al-Qur’an dari suatu kaum (para Sahabat Radhiyallahu anhum);
‘Utsmân bin ‘Affân Radhiyallahu anhu, ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu
dan selain mereka berdua. Mereka menyampaikan kepada kami bahwa dulunya ketika
mereka mempelajari (al-Qur’an) dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewati ayat-ayat tersebut sampai
memahami kandungan isinya, dalam ilmu dan amal. Mereka berkata, “kami (dulu)
belajar al-Qur’an, memahami kandungannya dan pengamalannya secara keseluruhan.”[20]
Di dalam al-Qur’an, Allâh Azza wa Jalla
menerangkan keburukan besar pada diri orang-orang munafik, yaitu hati mereka
yang tertutup untuk menerima kebenaran. Karena mereka berpaling dari
merenungkan dan menghayati kandungan al-Qur’an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَفَلَا
يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Apakah mereka tidak mentadabbur (merenungkan
kandungan makna) al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk
menerima kebenaran)? [Muhammad/47:24]. Syaikh Abdurrahman
as-Sa’di rahimahullah berkata, “Arti ayat
ini, apakah orang yang berpaling (munafik) itu tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) al-Qur’an dan tidak
menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka (mau) mentadabburinya, maka al-Qur’an akan
membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua
keburukan, mengisi hati mereka dengan iman (kepada Allâh Azza wa Jalla ) dan
jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi (di
sisi Allâh Azza wa Jalla ) dan karunia yang sangat agung (dari-Nya). Al-Qur’an
akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada (keridhaan)
Allâh, kepada surga disertai (penjelasan tentang) hal-hal yang menyempurnakan
kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya. Al-Qur’an juga
menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab (neraka) dan hal-hal yang harus
dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allâh (dengan menjeaskan)
nama-nama-Nya (yang maha indah), sifat-sifat-Nya (yang maha sempurna) dan
kebaikan-Nya (yang maha agung). Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka
untuk (meraih) pahala yang besar (di sisi-Nya) dan menjadikan mereka takut akan
siksaan-Nya yang pedih.”[21]
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الَّذِينَ
آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ
بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Orang-orang yang telah kami beri (turunkan)
al-kitab (al-Qur’an) kepada mereka, mereka mentilawah (membaca)nya dengan
tilawah yang sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan
barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi
(dunia dan akhirat)” [Al-Baqarah/2:121]. Ketika menjelaskan
firman Allâh Azza wa Jalla di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tilâwah al-Qur’an
meliputi tilâwah (membaca)
lafazhnya dan tilâwah (memahami)
makna (kandungan)nya. Tilâwah makna
al-Qur-an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilâwah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami
kandungan al-Qur-an merekalah ahli al-Qur’an, yang dipuji di dunia dan
akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti
(petunjuk) al-Qur’an.”[22]
Inilah makna hadits yang disebutkan di awal
tulisan ini: Dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu beliau berkata: Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ
لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ:
هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ
“Sesungguhnya di antara manusia ada yang
menjadi ‘ahli’ Allâh”. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasûlullâh! Siapakah mereka?’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli al-Qur’an,
(merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allâh dan diistimewakan
di sisi-Nya. Ahli al-Qur’an adalah orang-orang
beriman yang berusaha menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami
dan mengamalkan kandungannya, jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal
lafazhnya.[23].
Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela dan melaknat
orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak
membaca al-Qur’an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat
dari petunjuknya.[24] Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَقْرَءُونَ
الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ
“Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca
(menghafal) al-Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka[25]. Inilah makna ucapan dari salah seorang
ulama Salaf yang berkata, “Terkadang ada
orang yang (pandai) membaca al-Qur’an, tapi al-Qur’an (justru) melaknat
dirinya”[26].
Dalam hal ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tujuan dari membaca al-Qur’an adalah untuk memahami, merenungkan,
mendalami (kandungan maknanya) dan mengamalkannya. Adapun membaca dan
menghafalnya adalah sarana untuk (memahami) isinya, sebagaimana ucapan salah
seorang Ulama salaf: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah
bacaannya sebagai amalan. Oleh karena itu, (yang disebut) ahli
al-Qur-an adalah orang-orang yang memahami isinya dan mengamalkan
(petunjuk)nya, meskipun mereka tidak menghafalnya di luar kepala. Adapun
orang yang menghafal al-Qur’an, tapi tidak memahami (kandungan)nya dan tidak
mengamalkan petnjuknya, maka dia bukanlah ahli al-Qur-an, meskipun
dia mampu menegakkan huruf-hurufnya (lafazhnya) seperti tegaknya anak
panah…Juga dikarenakan keimanan adalah amalan yang paling utama, sedangkan
memahami dan merenungkan al-Qur’an inilah yang membuahkan iman. Adapun hanya
sekedar membacanya tanpa memahami dan merenungkannya, maka ini bisa dilakukan
oleh orang yang shaleh maupun jahat, dan orang yang beriman maupun munafik”,
sebagaimana sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَثَلُ
الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا
طَيِّبٌ وَلَا طَعْمَ لَهَا
“Perumpamaan orang munafik yang membaca
al-Qur’an adalah seperti (tumbuhan) raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit’[27]
Semoga kita lebih semangat dan
bersungguh-sungguh dalam membaca al-Qur’an, berusaha menghafalnya dan memahami
kandungan maknanya, untuk memudahkan kita – dengan izin Allâh Azza wa Jalla –
merenungkan dan menghayati isinya yang merupakan sebab utama untuk menumbuhkan
dan menyempurnakan keimanan kita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ
هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ
الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan
petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada
orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala
yang agung” [al-Isrâ’/17:9]. Kita memohon kepada
Allâh Azza wa Jalla dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya
yang Maha Sempurna, agar Dia menjadikan kita semua sebagai Ahli Al-Qur’an.
Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan do’a.
[Disalin kembali dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun XIX/1436H/2015 dengan sedikit perubahan dan penyesuaian)
---------------------
Footnote
[1] HR Ahmad, 3/127; Ibnu Mâjah, 1/78; dan al-Hâkim, 1/743; Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrîj al-Ihyâ 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafâ’, hlm. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.
Footnote
[1] HR Ahmad, 3/127; Ibnu Mâjah, 1/78; dan al-Hâkim, 1/743; Hadits ini dinyatakan hasan oleh Imam al-‘Iraqi (Takhrîj al-Ihyâ 1/222) dan as-Sakhawi (Kasyful khafâ’, hlm. 292), dan dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim dan Syaikh al-Albani.
[15] Lihat keterangan Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di
dalam tafsir beliau Taisîrul Karîmir Rahmân, hlm. 315
[20] Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah dalam Daqâ-iqut Tafsîr (2/227) dan adz-Dzahabi
dalam Siyar A’lâmin Nubalâ’, 4/269
[27] Kitab Zâdul Ma’âd, 1/323.
Hadits di atas riwayat al-Bukhari, no. 5111 dan Muslim, no. 797
*******************************************
Kontributor: Ustadh Abdullah Taslim al-Buthoni, Lc, MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
*******************************************
Kontributor: Ustadh Abdullah Taslim al-Buthoni, Lc, MA. Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment