Menghafal
al-Qur'an termasuk ibadah jika dilakukan ikhlas karena Allah dan bukan untuk
mengharapkan pujian di dunia. Bahkan salah satu ciri orang yang berilmu menurut
standar al-Qur'an adalah mereka yang memiliki hafalan al-Qur'an. Allah
berfirman,
بَلْ
هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ
بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
"Bahkan, Al
Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata, yang ada di dalam dada orang-orang yang
diberi ilmu..(QS. al-Ankabut: 49)". Allah memberikan banyak keutamaan bagi para
penghafal al-Qur'an, di dunia dan ahirat. Berikut diantaranya,
Pertama, dia
didahulukan untuk menjadi imam ketika shalat jamaah. Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَؤُمُّ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ
سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ … وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى
سُلْطَانِهِ…
"Yang paling
berhak jadi imam adalah yang paling banyak hafalan al-Quran-nya. Jika dalam
hafalan quran mereka sama, maka didahulukan yang paling paham dengan sunnah…
dan seseorang tidak boleh menjadi imam di wilayah orang lain". (HR. Ahmad 17526,
Muslim 1564, dan yang lainnya). Dari Ibnu Umar,
beliau bercerita, Ketika para muhajirin pertama tiba di Quba, sebelum
kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi imam mereka
shalat adalah Salim mantan budak Abu Hudzaifah. Dan beliau adalah orang paling
banyak hafalan qurannya. (HR. Bukhari 660)
Kedua, ketika
meninggal, dia didahulukan. Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan dua jenazah uhud dalam satu
kain kafan. Setiap hendak memakamkan, beliau tanya, “Siapa yang paling banyak
hafalan qurannya?”. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan
yang paling banyak hafalannya di posisi paling dekat dengan lahat. Lalu beliau
bersabda,
أَنَا
شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
"Saya akan
menjadi saksi bagi mereka kelak di hari kiamat". (HR.
Bukhari 1343 & Turmudzi 1053)
Ketiga, diutamakan
untuk menjadi pemimpin jika dia mampu memagangnya. Ketika Umar radhiyallahu
‘anhu menjadi khalifah, beliau menunjuk Nafi’ bin Abdul Harits untuk
menjadi gubernur di Mekah. Suatu ketika, Umar bertemu Nafi’ di daerah Asfan. “Siapa
yang menggantikanmu di Mekah?” tanya Umar. “Ibnu Abza.” Jawab Nafi’. “Siapa
Ibnu Abza?” tanya Umar. “Salah satu mantan budak di Mekah.” Jawab Nafi’. “Mantan
budak kamu jadikan sebagai pemimpin?” tanya Umar. “Dia hafal al-Quran, dan
paham tentang ilmu faraid.” Jawab Nafi’. Kemudian Umar mengatakan, bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ
اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya
Allah mengangkat sebagian kaum berkat kitab ini (al-Quran), dan Allah
menghinakan kaum yang lain, juga karena al-Quran.” (HR.
Ahmad 237 & Muslim 1934)
Keempat, kedudukan
hafidz al-Quran di surga, sesuai banyaknya ayat yang dia hafal. Dari Abdullah
bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
يُقَالُ
لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى
الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
Ditawarkan
kepada penghafal al-Qur'an, “Baca dan naiklah ke tingkat berikutnya. Baca dengan
tartil sebagaimana dulu kamu mentartilkan al-Quran ketika di dunia. Karena
kedudukanmu di surga setingkat dengan banyaknya ayat yang kamu hafal.” (HR. Abu
Daud 1466, Turmudzi 3162 dan dishahihkan al-Albani)
Kelima, ditemani
Malaikat. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ
الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ ،
وَمَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهْوَ عَلَيْهِ
شَدِيدٌ ، فَلَهُ أَجْرَانِ
"Orang yang
membaca dan menghafal al-Qur'an, dia bersama para malaikat yang mulia. Sementara
orang yang membaca al-Qur'an, dia berusaha menghafalnya, dan itu menjadi beban
baginya, maka dia mendapat dua pahala". (HR. Bukhari 4937)
Keenam, di akhirat,
akan diberi mahkota dan pakaian kemuliaan
Dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
يَجِىءُ
الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ
الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ
ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ
وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً
"Al-Quran akan
datang pada hari kiamat, lalu dia berkata, “Ya Allah, berikan dia perhiasan.”
Lalu Allah berikan seorang hafidz al-Quran mahkota kemuliaan. Al-Quran meminta
lagi, “Ya Allah, tambahkan untuknya.” Lalu dia diberi pakaian perhiasan
kemuliaan. Kemudian dia minta lagi, “Ya Allah, ridhai dia.” Allah-pun
meridhainya. Lalu dikatakan kepada hafidz quran, “Bacalah dan naiklah, akan
ditambahkan untukmu pahala dari setiap ayat yang kamu baca". (HR.
Turmudzi 3164 dan beliau menilai Hasan shahih).
Ketujuh, al-Qur'an
memberi syafaat baginya. Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا
الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
"Rajinlah
membaca al-Quran, karena dia akan menjadi syafa'at bagi penghafalnya di hari
kiamat. (HR. Muslim 1910).
Kedelapan, orang tuanya
akan diberi mahkota cahaya kelak di akhirat. Dari Buraidah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من
قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء
الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال :
بأخذ ولدكما القرآن
Siapa yang
menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan
mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari.
Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan
dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi
pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah
mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).
Dalam riwayat
lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
يجيء
القرآن يوم القيامة كالرجل الشاحب يقول لصاحبه : هل تعرفني ؟ أنا الذي كنتُ أُسهر
ليلك وأظمئ هواجرك… ويوضع على رأسه تاج الوقار ، ويُكسى والداه حلَّتين لا تقوم
لهما الدنيا وما فيها ، فيقولان : يا رب أنى لنا هذا ؟ فيقال لهما : بتعليم ولدكما
القرآن
Al-Quran akan
datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada
penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di
malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu… ” kemudian diletakkan
mahkota kehormatan di kepalanya, dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah
yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan,
“Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab,
“Karena anakmu belajar al-Quran.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath 6/51, dan dishahihkan
al-Albani).
Setiap
Muslim pasti mendambakan bisa menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Bagaimana
tidak, begitu banyak kebaikan dan kemuliaan yang bisa didapat oleh para penjaga
ayat-ayat Allah ini. Minimal, jika bukan kita yang berhasil menghafalnya,
anak-anak kita kelak dapat mewujudkan harapan kita. Walaupun, bukan berarti
kita tidak berusaha. Karena Allah akan senantiasa melihat proses yang dilakukan
manusia dalam mencapai tujuannya. “Barangsiapa yang di dalam rongga mulutnya
tidak terdapat Al-Qur’an, maka ia bagaikan rumah yang bobrok.” (HR.
Tirmidzi). Untuk menghafal Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, tentu tidak
sembarangan. Ada adab-adab yang menyertainya. Berikut ini di antara
adab-adabnya:
1. Ikhlas, niatkan hanya untuk Allah. “Sesungguhnya
amal itu tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu tergantung pada
apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Tahsin tilawah agar semakin baik
bacaannya. “Akan dikatakan kepada ahli Qur’an pada hari kiamat : Bacalah,
naiklah (ke atas surga) dan bacalah dengan tartil sebagaimana kami dulu pernah
membacanya di dunia. Karena sesungguhnya kedudukan kamu di surga terdapat pada
akhir ayat yang kamu baca.” (HR. Bukhari Muslim)
3. Gunakan
satu jenis mushaf. Bagi penghafal Al-Qur’an menggunakan satu jenis mushaf akan
memudahkannya dalam menghafal. Letak ayat-ayat Al-Qur’an akan tersimpan dalam
ingatan kita. Maka jika mushafnya diganti, hafalan kita akan rusak dan
konsentrasi akan buyar.
4. Memilih waktu untuk menghafal Al-Qur’an.
“Ketahuilah bahwa untuk menghafal ada waktu-waktu yang tepat yang harus
diperhatikan dan adapun waktu yang terbaik adalah waktu subuh atau pagi.”
(Faqih wal Mutafaqih karya Khatib Al-Baghdadi jilid II hal 103)
5. Menghafal
diulang-ulang dan dipahami. Menghafal Al-Qur’an dengan cara memahami ayat-ayat
yang akan dihafal akan membantu penghafal dalam menguasai hafalannya.
6. Menghafal
dengan bimbingan Huffazh. Menghafal Al-Qur’an tidak bisa dilakukan sendirian.
Harus ada pembimbing (huffazh) yang siap menerima setoran, menyimak hafalan dan
menegur jika ada kesalahan.
7. Menghafal pada usia emas. “Barangsiapa
yang mempelajari (menghafal) Al-Qur’an pada waktu kecil maka Allah akan
menyatukan Al-Qur’an dengan darah dan dagingnya.” (HR. Bukhari)
8. Perhatian
khusus pada ayat-ayat serupa. Dari 6000 lebih ayat Al-Qur’an, ada banyak
diantaranya yang serupa. Sebaiknya penghafal Al-Qur’an memberikan perhatian
khusus terhadap ayat-ayat yang serupa lafadznya, agar hafalan menjadi baik dan
terhindar dari kesalahan-kesalahan.
9. Konsisten dalam menjaga hafalan. “Demi
diriku yang berada di tangan-Nya, sungguh Al-Qur’an itu lebih cepat hilangnya
daripada seekor unta dari tali ikatannya.” (Muttafaqun ‘alaih)
10. Menjaga
mata dan mulut. “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka dengarkanlah baik-baik
dan perhatikanlah supaya kamu sekalian mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf:
204)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam telah memberikan tips dalam menghafalkan Al Qur’an agar cepat
hafal dan tidak mudah hilang dari ingatan. Dicatat oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul
Lail (73),
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ
عِيَاضٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ”
إِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ
وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ
“
“Yunus bin Abdil A’la
menuturkan kepadaku, Anas bin ‘Iyadh mengabarkan kepadaku, dari Musa bin
‘Uqbah, dari Nafi’ dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam, beliau bersabda: ‘Jika seseorang shahibul Qur’an membaca Al
Qur’an di malam hari dan di siang hari ia akan mengingatnya. Jika ia tidak
melakukan demikian, ia pasti akan melupakannya‘”. Hadits ini dicatat juga
imam Muslim dalam Shahih-nya (789), oleh Abu ‘Awwanah dalam Mustakhraj-nya
(3052) dan Ibnu Mandah dalam Fawaid-nya (54). Hadits ini shahih
tanpa keraguan, semua perawinya tsiqah. Semuanya perawi
Bukhari-Muslim kecuali Yunus bin bin Abdil A’la, namun ia adalah perawi Muslim.
Beberapa faedah yang di dapat dari Hadis ini adalah:
1. Hafalan Al Qur’an perlu untuk dijaga secara konsisten setiap harinya. Karena jika tidak demikian akan, hilang dan terlupa. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
إنما مَثَلُ صاحبِ القرآنِ كمثلِ الإبلِ المعَقَّلَةِ . إن عاهد عليها أمسكَها . وإن أطلقها ذهبَت
“Permisalan Shahibul Qur’an itu seperti unta yang diikat. Jika ia diikat, maka ia akan menetap. Namun jika ikatannya dilepaskan, maka ia akan pergi” (HR. Muslim 789). Imam Al ‘Iraqi menjelaskan: “Nabi mengibaratkan bahwa mempelajari Al Qur’an itu secara terus-menerus dan membacanya terus-menerus dengan ikatan yang mencegah unta kabur. Maka selama Al Qur’an masih diterus dilakukan, maka hafalannya akan terus ada”. Beliau juga mengatakan: “dalam hadits ini ada dorongan untuk mengikat Al Qur’an dengan terus membacanya dan mempelajarinya serta ancaman dari melalaikannya hingga lupa serta dari lalai dengan tidak membacanya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101-102).
2. Kalimat فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ (membaca Al Qur’an di malam hari dan mengingatnya di siang hari) menunjukkan bahwa membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hendaknya dilakukan setiap hari.
3.Anjuran untuk terus mempelajari, membaca dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an secara konsisten, setiap hari, di seluruh waktu. Al Qurthubi menyatakan: “hal pertama yang mesti dilakukan oleh shahibul qur’an adalah mengikhlaskan niatnya dalam mempelajari Al Qur’an, yaitu hanya karena Allah ‘Azza wa Jalla semata, sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia mencurahkan jiwanya untuk mempelajari Al Qur’an baik malam maupun siang hari, dalam shalat maupun di luar shalat, agar ia tidak lupa” (Tafsir Al Qurthubi, 1/20).
4. Anjuran untuk lebih bersemangat membaca Al Qur’an di malam hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan (Qur’an) di waktu itu lebih kuat masuk hati” (QS. Al Muzammil).
5. Anjuran untuk muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an di siang hari dan malam hari.
Hadits di atas tidak membatasi membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hanya malam dan siang saja, namun sekedar irsyad (bimbingan) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam agar senantiasa melaukannya. Hadits riwayat Muslim di atas menunjukkan bahwa semakin sering membaca dan muraja’ah itu semakin baik dan semakin mengikat hafalan Al Qur’an. Dan pemilihan waktunya disesuaikan apa yang mudah bagi masing-masing orang. Syaikh Shalih Al Maghamisi, seorang pakar ilmu Al Qur’an, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab: “waktu menghafal yang utama itu tergantung keadaan masing-masing orang yang hendak menghafal. Adapun berdasarkan tajribat (pengalaman), waktu yang paling baik adalah setelah shalat shubuh”.
Hadits ini dalil bahwa shahibul qur’an, dengan segala keutamaannya, yang dimaksud adalah orang yang menghafalkan Al Qur’an, bukan sekedar membacanya. Al Imam Al Iraqi mengatakan: “yang zhahir, yang dimaksud shahibul qur’an adalah orang yang menghafalkannya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati”. Berdasarkan sabda nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله
“hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah”. Maksudnya yang paling hafal. Maka derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).
Al-Qur’an adalah kalamullah yang agung lagi tinggi, yang patut diagungkan dan ditinggikan. Al Qur’an adalah sebaik-baiknya bacaan yang mampu mengguncangkan hati bila diresapi dan dipahami. Al Qur’an adalah kekasih; selalu ingin didekatnya dan tak ingin menjauh darinya. Kekasih yang akan mampu memberi syafaat di alam akhirat nanti, itulah dia; Al Qur’an. Sesungguhnya Al Qur’an akan terus terjaga meski banyak musuh yang ingin meleburnya. Al Qur’an akan terus terlindungi meski musuh ‘kan selalu membenci isi di dalamnya. Al Qur’an ‘kan selalu suci, selalu tinggi, selalu terpuji, mulia tiada terkira, karena sang penjaga adalah Sang Pencipta. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami pula yang benar-benar akan memeliharanya,” (QS. Al-Hijr : 9).
Penjagaan Al Qur’an adalah bentuk kemuliaan, di mana jika Al-Qur’an adalah mulia, maka sang penjaganya akan mulia juga karenanya. Dan salah satu cara dari-Nya untuk selalu menjaga kalam agung-Nya adalah dengan memuliakan penghafal Al Qur’an.
Rasulullah SAW. bersabda: “Penghafal Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat, kemudian Al-Qur’an akan berkata: ’Wahai Tuhanku bebaskanlah dia.’ Kemudian orang itu dipakaikan mahkota kehormatan.” Al-Qur’an kembali meminta: ‘Wahai Tuhanku tambahkanlah.’ Maka orang itu dipakaikan jubah karomah. Kemudian Al Qur’an memohon lagi: ‘Wahai Tuhanku ridhoilah dia.’ Maka Allah pun meridhoinya. Dan diperintahkan kepada orang itu: ‘Bacalah dan terus naiki derajat-derajat Surga.’ Dan Allah menambahkan setiap ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan”. (HR. Tirmidzi).
Begitu agung dan mulianya penghafal Al Qur’an ini sampai-sampai Rasulullah SAW. mengabarkan betapa mulianya dirinya hingga Allah meridhainya untuk menaiki derajat-derajat Surga. Inilah kemuliaan yang sesungguhnya, manakala sang hamba mengagungkan penciptanya dengan menghafal kalam-Nya. Dan sesungguhnya menghafal Al Qur’an adalah identitas diri sebagai seorang yang mengaku bahwa dirinya adalah Muslim dan Muslimah. Karena Al Qur’an adalah jalan hidup yang akan menerangi setiap setapaknya. Jika seorang hamba tak mengenal bahkan tak mempunyai hafalan Al Qur’an padahal dia Muslim, mungkin jalan hidupnya akan terombang-ambing oleh keras dan hitamnya dunia. Orang semacam itu bagaikan rumah yang kumuh yang tak berpenghuni lagi ingin runtuh.
Rasulullah SAW. memberikan penghormatan kepada orang-orang yang mempunyai keahlian membaca dan menghafal Al Qur’an, memberi kabar tentang kedudukan mereka, dan keistimewahannya dari yang lain. Dari Abi Hurarirah r.a. ia berkata: “Rasulullah SAW. mengutus satu utusan yang terdiri dari beberapa orang. Kemudian Rasulullah SAW. mengecek kemampuan membaca dan hafalan Al Quran mereka: setiap laki-laki dari mereka ditanyakan sejauh mana hafalan Al Quran-nya”. Kemudian seseorang yang paling muda ditanya oleh Rasulullah SAW.: “Berapa banyak Al Quran yang telah engkau hafal, hai Fulan?” ia menjawab: aku telah hafal surah ini dan surah ini, serta surah Al Baqarah. Rasulullah SAW. kembali bertanya: “Apakah engkau hafal surah Al Baqarah?” Ia menjawab: Betul ya Rosulullah. Rasulullah SAW. bersabda: “Pergilah, dan engkau menjadi ketua rombongan itu!”. Salah seorang dari kalangan mereka yang terhormat berkata: Demi Allah, aku tidak mempelajari dan menghafal surah Al Baqarah semata karena aku takut tidak dapat menjalankan isinya. Mendengar komentar itu, Rasulullah SAW. bersabda: “Pelajarilah Al Quran dan bacalah, karena perumpamaan orang yang mempelajari Al Quran dan membacanya, adalah seperti tempat bekal perjalanan yang diisi dengan minyak misk, wanginya menyebar ke mana-mana. Sementara orang yang mempelajarinya kemudian ia tidur – dan dalam dirinya terdapat hapalan Al Quran – adalah seperti tempat bekal perjalanan yang disambungkan dengan minyak misk“. Inilah kemuliaannya, mereka didahulukan dan dihormati, serta membawa wangi minyak misk dalam setiap langkahnya.
Jika tadi kedudukan pada saat hidup, maka saat mati-pun, Rasulullah SAW. mendahulukan orang yang menghafal lebih banyak dari yang lainnya dalam kuburnya, seperti terjadi dalam mengurus syuhada perang Uhud. Rasulullah SAW. mengutus kepada kabilah-kabilah para penghafal Al Quran dari kalangan sahabat beliau, untuk mengajarkan mereka faridhah Islam dan akhlaknya, karena dengan hafalan mereka itu, mereka lebih mampu menjalankan tugasnya. Di antara sahabat itu adalah: tujuh puluh orang yang syahid dalam kejadian Bi`ru Ma`unah yang terkenal dalam sejarah. Mereka telah dikhianati oleh orang-orang musyrik dan terbunuh di sana.
Dan balasan Allah SWT. di akhirat tidak hanya bagi para penghafal dan ahli Al Quran saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya, dan ia dapat memberikan sebagian cahaya itu kepadanya dengan berkah Al Quran. Dari Buraidah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini? dijawab: “karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran”.Kedua orang itu mendapatkan kemuliaan dari Allah, karena keduanya berjasa mengarahkan anaknya untuk menghafal dan mempelajari Al Quran semenjak kecil.
Inilah kemuliaan-kemuliaan sang Hafidz dan Hafidzah, mereka patut ditinggikan, dijunjung tinggi martabatnya, karena apa? Karena di dalam hatinya ada kalam Allah yang tersimpan dan selalu mengikuti setiap langkah kakinya. Bahkan kemuliaanya pun merambah kepada kedua orang tua manakala mereka memerintahkan sang anak agar mempelajari dan menghafal kitab-Nya. Maka kita patut merenung sedalam mungkin, dan patut bertanya pada diri sendiri, “Di mana Al Qur’an-mu, Al Qur’an-ku? Di dalam hatimu ataukah hanya tergeletak dan berdebu di atas rak buku yang mengkilat dan biru” Maka semoga detik ini dan atas ridha-Nya kita memulai mengkaji dan menghafalnya; kitab agung kalam mulia dari-Nya. “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran?” (Al Qamar : 17).
Wallahu 'alam Bishhawab
********************
Kontributor: Ust Ammi Nur Baits, Ustazah Fauziya; Ust. Yulian Purnama; Rifki M Firdaus; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
1. Hafalan Al Qur’an perlu untuk dijaga secara konsisten setiap harinya. Karena jika tidak demikian akan, hilang dan terlupa. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
إنما مَثَلُ صاحبِ القرآنِ كمثلِ الإبلِ المعَقَّلَةِ . إن عاهد عليها أمسكَها . وإن أطلقها ذهبَت
“Permisalan Shahibul Qur’an itu seperti unta yang diikat. Jika ia diikat, maka ia akan menetap. Namun jika ikatannya dilepaskan, maka ia akan pergi” (HR. Muslim 789). Imam Al ‘Iraqi menjelaskan: “Nabi mengibaratkan bahwa mempelajari Al Qur’an itu secara terus-menerus dan membacanya terus-menerus dengan ikatan yang mencegah unta kabur. Maka selama Al Qur’an masih diterus dilakukan, maka hafalannya akan terus ada”. Beliau juga mengatakan: “dalam hadits ini ada dorongan untuk mengikat Al Qur’an dengan terus membacanya dan mempelajarinya serta ancaman dari melalaikannya hingga lupa serta dari lalai dengan tidak membacanya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101-102).
2. Kalimat فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ (membaca Al Qur’an di malam hari dan mengingatnya di siang hari) menunjukkan bahwa membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hendaknya dilakukan setiap hari.
3.Anjuran untuk terus mempelajari, membaca dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an secara konsisten, setiap hari, di seluruh waktu. Al Qurthubi menyatakan: “hal pertama yang mesti dilakukan oleh shahibul qur’an adalah mengikhlaskan niatnya dalam mempelajari Al Qur’an, yaitu hanya karena Allah ‘Azza wa Jalla semata, sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia mencurahkan jiwanya untuk mempelajari Al Qur’an baik malam maupun siang hari, dalam shalat maupun di luar shalat, agar ia tidak lupa” (Tafsir Al Qurthubi, 1/20).
4. Anjuran untuk lebih bersemangat membaca Al Qur’an di malam hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan (Qur’an) di waktu itu lebih kuat masuk hati” (QS. Al Muzammil).
5. Anjuran untuk muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an di siang hari dan malam hari.
Hadits di atas tidak membatasi membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hanya malam dan siang saja, namun sekedar irsyad (bimbingan) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam agar senantiasa melaukannya. Hadits riwayat Muslim di atas menunjukkan bahwa semakin sering membaca dan muraja’ah itu semakin baik dan semakin mengikat hafalan Al Qur’an. Dan pemilihan waktunya disesuaikan apa yang mudah bagi masing-masing orang. Syaikh Shalih Al Maghamisi, seorang pakar ilmu Al Qur’an, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab: “waktu menghafal yang utama itu tergantung keadaan masing-masing orang yang hendak menghafal. Adapun berdasarkan tajribat (pengalaman), waktu yang paling baik adalah setelah shalat shubuh”.
Hadits ini dalil bahwa shahibul qur’an, dengan segala keutamaannya, yang dimaksud adalah orang yang menghafalkan Al Qur’an, bukan sekedar membacanya. Al Imam Al Iraqi mengatakan: “yang zhahir, yang dimaksud shahibul qur’an adalah orang yang menghafalkannya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati”. Berdasarkan sabda nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله
“hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah”. Maksudnya yang paling hafal. Maka derajat surga yang didapatkan seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia, bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang. Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta” (Silsilah Ash Shahihah, 5/281).
Al-Qur’an adalah kalamullah yang agung lagi tinggi, yang patut diagungkan dan ditinggikan. Al Qur’an adalah sebaik-baiknya bacaan yang mampu mengguncangkan hati bila diresapi dan dipahami. Al Qur’an adalah kekasih; selalu ingin didekatnya dan tak ingin menjauh darinya. Kekasih yang akan mampu memberi syafaat di alam akhirat nanti, itulah dia; Al Qur’an. Sesungguhnya Al Qur’an akan terus terjaga meski banyak musuh yang ingin meleburnya. Al Qur’an akan terus terlindungi meski musuh ‘kan selalu membenci isi di dalamnya. Al Qur’an ‘kan selalu suci, selalu tinggi, selalu terpuji, mulia tiada terkira, karena sang penjaga adalah Sang Pencipta. “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami pula yang benar-benar akan memeliharanya,” (QS. Al-Hijr : 9).
Penjagaan Al Qur’an adalah bentuk kemuliaan, di mana jika Al-Qur’an adalah mulia, maka sang penjaganya akan mulia juga karenanya. Dan salah satu cara dari-Nya untuk selalu menjaga kalam agung-Nya adalah dengan memuliakan penghafal Al Qur’an.
Rasulullah SAW. bersabda: “Penghafal Al-Qur’an akan datang pada hari kiamat, kemudian Al-Qur’an akan berkata: ’Wahai Tuhanku bebaskanlah dia.’ Kemudian orang itu dipakaikan mahkota kehormatan.” Al-Qur’an kembali meminta: ‘Wahai Tuhanku tambahkanlah.’ Maka orang itu dipakaikan jubah karomah. Kemudian Al Qur’an memohon lagi: ‘Wahai Tuhanku ridhoilah dia.’ Maka Allah pun meridhoinya. Dan diperintahkan kepada orang itu: ‘Bacalah dan terus naiki derajat-derajat Surga.’ Dan Allah menambahkan setiap ayat yang dibacanya tambahan nikmat dan kebaikan”. (HR. Tirmidzi).
Begitu agung dan mulianya penghafal Al Qur’an ini sampai-sampai Rasulullah SAW. mengabarkan betapa mulianya dirinya hingga Allah meridhainya untuk menaiki derajat-derajat Surga. Inilah kemuliaan yang sesungguhnya, manakala sang hamba mengagungkan penciptanya dengan menghafal kalam-Nya. Dan sesungguhnya menghafal Al Qur’an adalah identitas diri sebagai seorang yang mengaku bahwa dirinya adalah Muslim dan Muslimah. Karena Al Qur’an adalah jalan hidup yang akan menerangi setiap setapaknya. Jika seorang hamba tak mengenal bahkan tak mempunyai hafalan Al Qur’an padahal dia Muslim, mungkin jalan hidupnya akan terombang-ambing oleh keras dan hitamnya dunia. Orang semacam itu bagaikan rumah yang kumuh yang tak berpenghuni lagi ingin runtuh.
Rasulullah SAW. memberikan penghormatan kepada orang-orang yang mempunyai keahlian membaca dan menghafal Al Qur’an, memberi kabar tentang kedudukan mereka, dan keistimewahannya dari yang lain. Dari Abi Hurarirah r.a. ia berkata: “Rasulullah SAW. mengutus satu utusan yang terdiri dari beberapa orang. Kemudian Rasulullah SAW. mengecek kemampuan membaca dan hafalan Al Quran mereka: setiap laki-laki dari mereka ditanyakan sejauh mana hafalan Al Quran-nya”. Kemudian seseorang yang paling muda ditanya oleh Rasulullah SAW.: “Berapa banyak Al Quran yang telah engkau hafal, hai Fulan?” ia menjawab: aku telah hafal surah ini dan surah ini, serta surah Al Baqarah. Rasulullah SAW. kembali bertanya: “Apakah engkau hafal surah Al Baqarah?” Ia menjawab: Betul ya Rosulullah. Rasulullah SAW. bersabda: “Pergilah, dan engkau menjadi ketua rombongan itu!”. Salah seorang dari kalangan mereka yang terhormat berkata: Demi Allah, aku tidak mempelajari dan menghafal surah Al Baqarah semata karena aku takut tidak dapat menjalankan isinya. Mendengar komentar itu, Rasulullah SAW. bersabda: “Pelajarilah Al Quran dan bacalah, karena perumpamaan orang yang mempelajari Al Quran dan membacanya, adalah seperti tempat bekal perjalanan yang diisi dengan minyak misk, wanginya menyebar ke mana-mana. Sementara orang yang mempelajarinya kemudian ia tidur – dan dalam dirinya terdapat hapalan Al Quran – adalah seperti tempat bekal perjalanan yang disambungkan dengan minyak misk“. Inilah kemuliaannya, mereka didahulukan dan dihormati, serta membawa wangi minyak misk dalam setiap langkahnya.
Jika tadi kedudukan pada saat hidup, maka saat mati-pun, Rasulullah SAW. mendahulukan orang yang menghafal lebih banyak dari yang lainnya dalam kuburnya, seperti terjadi dalam mengurus syuhada perang Uhud. Rasulullah SAW. mengutus kepada kabilah-kabilah para penghafal Al Quran dari kalangan sahabat beliau, untuk mengajarkan mereka faridhah Islam dan akhlaknya, karena dengan hafalan mereka itu, mereka lebih mampu menjalankan tugasnya. Di antara sahabat itu adalah: tujuh puluh orang yang syahid dalam kejadian Bi`ru Ma`unah yang terkenal dalam sejarah. Mereka telah dikhianati oleh orang-orang musyrik dan terbunuh di sana.
Dan balasan Allah SWT. di akhirat tidak hanya bagi para penghafal dan ahli Al Quran saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya, dan ia dapat memberikan sebagian cahaya itu kepadanya dengan berkah Al Quran. Dari Buraidah ia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Siapa yang membaca Al Quran, mempelajarinya dan mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari Kiamat, cahayanya seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan), yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami dipakaikan jubah ini? dijawab: “karena kalian berdua memerintahkan anak kalian untuk mempelajari Al Quran”.Kedua orang itu mendapatkan kemuliaan dari Allah, karena keduanya berjasa mengarahkan anaknya untuk menghafal dan mempelajari Al Quran semenjak kecil.
Inilah kemuliaan-kemuliaan sang Hafidz dan Hafidzah, mereka patut ditinggikan, dijunjung tinggi martabatnya, karena apa? Karena di dalam hatinya ada kalam Allah yang tersimpan dan selalu mengikuti setiap langkah kakinya. Bahkan kemuliaanya pun merambah kepada kedua orang tua manakala mereka memerintahkan sang anak agar mempelajari dan menghafal kitab-Nya. Maka kita patut merenung sedalam mungkin, dan patut bertanya pada diri sendiri, “Di mana Al Qur’an-mu, Al Qur’an-ku? Di dalam hatimu ataukah hanya tergeletak dan berdebu di atas rak buku yang mengkilat dan biru” Maka semoga detik ini dan atas ridha-Nya kita memulai mengkaji dan menghafalnya; kitab agung kalam mulia dari-Nya. “Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang-orang yang mengambil pelajaran?” (Al Qamar : 17).
Wallahu 'alam Bishhawab
********************
Kontributor: Ust Ammi Nur Baits, Ustazah Fauziya; Ust. Yulian Purnama; Rifki M Firdaus; Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF
Comments
Post a Comment