Ruqyah alias jampi-jampi adalah perkara yang
telah ada di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan telah dilakukan
oleh kaum musyrikin. Hanya saja ruqyah mereka berisi kesyirikan dan kekafiran.
Adapun ruqyah dalam Islam adalah metode pengobatan yang menggunakan
Al-Qur’an, dan dzikir-dzikir yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam-, atau dzikir yang mengandung makna yang baik, tak menyelisihi
syariat.
Tujuan ruqyah untuk mengobati orang yang
sakit, dengan berbagai macam penyakitanya, baik yang medis atau non medis. Merebaknya
kegiatan ruqyah me-ruqyah perlu mendapatkan
tanggapan dan perhatian agar para pe-ruqyah tidak keliru dalam
melakukan ruqyah. Sebab, sering kita menemukan banyak terjadi
pelanggaran dalam kegiatan ini sehingga perlu kiranya mengetahui beberapa
perkara yang berkaitan dengan masalah ruqyah melalui fatwa-fatwa para ulama yang
tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa
Al-Iftaa’.
HUKUM
MENGHADIRKAN JIN
Sebagian orang yang terjun dalam ruqyah
melakukan sebuah dialog panjang berisi segala macam pertanyaan kepada JIN. Ini
merupakan perkara yang menyelisihi tuntunan ruqyah dalam syariat. Bahkan ada
diantara mereka yang mengambil janji dari jin agar jin itu tidak mengganggu
orang yang ia rasuki. Semua ini adalah penyelisihan terhadap sunnah Nabi -Shallallahu
alaihi wa sallam- dalam me-ruqyah. Sunnahnya, seseorang hanya disunnahkan
membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sampai jinnya keluar, dan sesekali memerintahkannya
keluar dari tubuh orang itu, bukan melakukan DIALOG dengan
segala macam tanya-jawab di dalamnya.
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah
(seperti, Syaikh bin Baaz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh
Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud -rahimahumullah-)
ditanya,
س3: ما حكم الدين في الذين
يقرءون على الناس بآيات الله الكريمة وبعضهم يحضرون ويشهدون الجن ويتعهدونهم بعدم
التعرض للشخص الذي يقرأ عليه هؤلاء؟
“Apa hukum agama terhadap orang-orang yang
membacakan ayat-ayat Allah yang mulia. Sebagian diantara mereka menghadirkan dan mempersaksikan JIN serta mengambil perjanjian dari para jin agar
tidak mengganggu lagi orang yang di-ruqyah?”
Para ulama itu menjawab,
ج3: رقية المسلم أخاه بقراءة
القرآن عليه مشروعة، وقد__أذن النبي صلى الله عليه وسلم في الرقية ما لم تكن شركا،
أما من يستخدم الجن ويشهدهم ويأخذ عليهم العهد ألا يمسوا هذا الشخص الذي قرأ عليه
القرآن ولا يتعرضوا له بسوء - فلا يجوز.
وبالله التوفيق. وصلى الله
على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم." اهـ من فتاوى اللجنة الدائمة - 1 (1/ 254_255)
“Ruqyah seorang muslim kepada saudaranya dengan membacakan
Al-Qur’an kepadanya adalah perkara yang disyariatkan. Sungguh
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengizinkan ruqyah selama bukan
kemusyrikan. Adapun orang yang menggunakan JIN, meminta persaksian mereka dan
mengambil janji dari mereka agar tidak lagi merasuki orang ini yang telah
di-ruqyah dengan Al-Qur’an dan tidak lagi mengganggunya dengan suatu keburukan,
maka semua ini TIDAK BOLEH, Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina
Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa
Al-Iftaa’ (1/254-255), cet. Balansiyah, 1421 H]
MENDATANGI DUKUN ATAU PARAMORMAL
Banyak diantara kaum muslimin bila ia
tertimpa penyakit, maka ia mendatangi para dukun atau paranormal.Semua ini
adalah kekeliruan, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang
untuk mendatangi para dukun. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ
عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى
مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Barang siapa yang mendatangi dukun atau
arraf (peramal) lalu membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah KAFIR
terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad". [HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/429/no.9532), Al-Hakim
dalam Al-Mustadrok (1/8/no.15), Al Baihaqi (7/198/no.16274),
dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al Albaniy dalam Shohih
At-Targhib (3047). Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah
Ad-Da’imah (misalnya, Syaikh bin Baaz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi dan
Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan -rahimahumullah-) ditanya tentang mendatangi orang yang dianggap "pintar" mengobati alias DUKUN. Para
ulama itu menjawab,
"ج1: يباح للمريض أن يتعالج من مرضه بالأدوية المباحة
وبالرقية الشرعية وبالأدعية المشروعة، ويحرم الذهاب إلى الكهان والمشعوذين الذين
يدعون علم المغيبات ويعملون الطلاسم والرقى الشركية، ولو كانوا ممن يسمى
سيدا." اهـ من فتاوى اللجنة الدائمة - 1 (1/ 262)
“Boleh bagi orang yang sakit untuk berobat
dari penyakitnya dengan menggunakan obat-obat halal, ruqyah yang disyariatkan
dan doa-doa yang disyariatkan.
HARAM mendatangi para dukun dan
paranormal yang mengaku tahu perkara gaib, membuat
rajah-rajah (jimat) dan melakukan jampi-jampi musyrik, walaupun mereka (para
dukun atau paranormal) itu termasuk orang yang dipanggil “sayyid”. Wabillahit
taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah
wa Al-Iftaa’ (1/262), cet. Balansiyah, 1421 H]
LARANGAN BERDUAAN DENGAN LAWAN JENIS SAAT MERUKYAH
Ada seorang yang pernah menikah dengan
seorang wanita. Tiba-tiba sang istri terkena penyakit jiwa sebanyak dua kali. Pertama
kalinya, ia dibawa oleh keluarganya kepada seorang dukun, tanpa
persetujuan suaminya.Berselang beberapa saat penyakitnya kambuh lagi sambil
berteriak-teriak. Akhirnya, sang suami berinisiatif mengobati sang istri dengan
metode ruqyah di sisi seorang tabib. Keluarga sang istri marah dan berisikeras
membawanya ke dukun. Sebab, si dukun mengelabui keluarga si istri bahwa
penyebab utama datangnya penyakit itu adalah sang suami. Fakta ini pernah
ditanyakan oleh sang suami kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah (seperti, Syaikh
bin Baaz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman
Al-Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud -rahimahumullah-) sambil meminta
solusi. Para ulama itu menjawab,
"ج: أحسنت بعلاجها بقراءة القرآن عليها ورقيتها بالأدعية
النبوية المأثورة، لكن يحرم خلوة الأجنبي الذي يرقيها بها،
ويحرم عليها أن تكشف شيئا من
عورتها أمامه أو يضع يده عليها،
ولو توليت علاجها بذلك أو
تولاه أحد محارمها كان أحوط،
ونرى أن تعالجها أيضا
بالمستشفى ونحوه عند دكتور الأمراض النفسية فإنه متخصص في علاج هذا المرض.
أما عرضها على الكهان
والذهاب بها إليهم للعلاج فممنوع؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: «من أتى عرافا
فسأله عن شيء لم__تقبل له صلاة أربعين ليلة» رواه مسلم في صحيحه،
ولقوله صلى الله عليه وسلم:
«من أتى كاهنا وصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد» صلى الله عليه وسلم
وفق الله الجميع لاتباع الحق
والتمسك به وترك المخالفة.
وبالله التوفيق. وصلى الله
على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم." اهـ من فتاوى اللجنة الدائمة - 1 (1/ 253_254)
“Anda sudah tepat dalam mengobatinya dengan membacakan Al-Qur’an
kepadanya dan doa-doa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang ternukil. Namun
HARAM (bagi si istri) berduaan dengan laki-laki asing yang me-ruqyah-nya. Juga
haram baginya untuk menyingkap sesuatu dari auratnya di depan orang itu. Haram
pula lelaki itu meletakkan tangannya pada diri si istri.
Andaikan anda (suami) yang menangani
terapinya sendiri, atau ditangani oleh salah seorang mahramnya si istri, maka
itu lebih hati-hati (lebih selamat dari pelanggaran). Juga dipandang perlunya
mengobati sang istri di rumah sakit dan semisalnya di sisi seorang dokter
spesialis penyakit jiwa, karena si dokter ini telah fokus dalam mengobati
penyakit semacam ini. Adapun membawanya kepada seorang dukun untuk
mengobatinya, maka perkara ini TERLARANG -(lalu para ulama itu
membawakan hadits-hadits larangan mendatangi para dukun yang telah kami
nukilkan di atas, _pen.)-.Semoga Allah memberikan taufiq kepada semua pihak
untuk mengikuti kebenaran, berpegang teguh dengannya dan meninggalkan segala
pelanggaran”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (1/253-254), cet.
Balansiyah, 1421 H]
MERUKYAH MENGGUNAKAN SURAH AL-FATIHAH DAN LAINNYA
Me-ruqyah dengan menggunakan
ayat-ayat Al-Qur’an (misalnya, Surah Al-Fatihah) adalah perkara yang BOLEH
dalam syariat kita. Ada yang pernah bertanya kepada Syaikh Abdur
Razzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan dan Syaikh Abdullah
bin Sulaiman bin Mani’ -rahimahumullah- dengan pertanyaan
berikut,
س: هل تلاوة سورة الإخلاص
والمعوذتين والفاتحة للاستشفاء حرام أم حلال، وهل فعل ذلك الرسول عليه الصلاة
والسلام أو أحد من السلف الصالح أفيدونا؟
“Apakah membaca Surah Al-Ikhlash,
Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan an-Naas) dan Al-Fatihah dalam pengobatan adalah
perbuatan yang haram atau halal. Apakah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa
sallam- atau seorang diantara As-Salaf Ash-Sholih pernah melakukannya. Tolong
berilah faedah kepada kami?”. Para ulama besar yang tergabung dalam Al-Lajnah
Ad-Da’imah tersebut menjawab,
"ج: إن تلاوة سورة الإخلاص والمعوذتين والفاتحة وغير هذه
السور من القرآن على المريض من الرقية الجائزة التي شرعها رسول الله صلى الله عليه
وسلم بفعله وبإقراره لأصحابه،
روى البخاري ومسلم في
صحيحيهما من طريق معمر عن الزهري عن عروة عن عائشة رضي الله عنها:
«أن النبي صلى الله عليه
وسلم كان ينفث على نفسه في المرض الذي مات فيه بالمعوذات - سورة الإخلاص
والمعوذتين –
فلما___ثقل كنت أنفث عليه
بهن وأمسح بيد نفسه لبركتها
قال معمر: فسألت الزهري كيف
ينفث؟ قال: كان ينفث على يديه ثم يمسح بهما وجهه»
وروى البخاري عن طريق أبي
سعيد الخدري رضي الله عنه :
«أن أناسا من أصحاب النبي
صلى الله عليه وسلم أتوا على حي من أحياء العرب فلم يقروهم، فبينما هم كذلك إذ لدغ
سيد أولئك،
فقال: هل معكم من دواء أو
راق؟ فقالوا: إنكم لم تقرونا، ولا نفعل حتى تجعلوا لنا جعلا،
فجعلوا لهم قطيعا من الشاء،
فجعل يقرأ بأم القرآن ويجمع بزاقه ويتفل فبرأ، فأتوا بالشاء،
فقالوا: لا نأخذه حتى نسأل
النبي صلى الله عليه وسلم، فسألوه فضحك،
وقال: وما أدراك أنها رقية،
خذوها واضربوا لي بسهم»
ففي الحديث الأول: قراءة
النبي صلى الله عليه وسلم على نفسه بالمعوذات في مرضه، وفي الثاني: إقراره للصحابة
على الرقية بالفاتحة.
وبالله التوفيق. وصلى الله
على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم." اهـ من فتاوى اللجنة الدائمة - 1 (1/
242_243)
“Sesungguhnya membacakan Surah Al-Ikhlash,
Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan an-Naas) dan Al-Fatihah serta yang lainnya dari
Al-Qur’an kepada orang yang sakit adalah termasuk ruqyah yang boleh,
disyariatkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melalui perbuatan
dan persetujuan beliau kepada para sahabatnya. Al-Bukhoriy dan Muslim
meriwayatkan dalam kitab Shohih milik mereka berdua dari jalur
Ma’mar dari az-Zuhri dari Urwah dari A’isyah -radhiyallahu anha-,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي
مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ
وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا فَسَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ كَيْفَ
يَنْفِثُ قَالَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى يَدَيْهِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ
“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah
meniup (saat me-ruqyah) dirinya ketika beliau sakit yang mengantarkan kepada
kematian, dengan membaca Al-Mu’awwidzat (Surah Al-Ikhlash, Al-Falaq dan
An-Naas). Tatkala beliau sudah kesusahan, maka aku yang meniup beliau dengan
membaca surat-surat itu dan aku usapkan tangan beliau sendiri karena
berkahnya”. Ma’mar berkata, “Aku bertanya kepada Az-Zuhri, “Bagaimana beliau
meniup?” Az-Zuhri menjawab, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meniup kedua
tangannya dan mengusapkan kedua tangannya pada wajahnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (7/22), Muslim (14/182: Al-Minhaj)
dan Abu Dawud (4/224)]
Al-Bukhoriy juga meriwayatkan sebuah hadits
dari jalur Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu anhu-,
أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ
الْعَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ
أُولَئِكَ فَقَالُوا هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ فَقَالُوا إِنَّكُمْ
لَمْ تَقْرُونَا وَلَا نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَجَعَلُوا
لَهُمْ قَطِيعًا مِنْ الشَّاءِ فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَيَجْمَعُ
بُزَاقَهُ وَيَتْفُلُ فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ فَقَالُوا لَا نَأْخُذُهُ
حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلُوهُ
فَضَحِكَ وَقَالَ وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي
بِسَهْمٍ
“Sesungguhnya ada beberapa orang dari
kalangan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi
suatu perkampungan diantara perkampungan-perkampungan orang Arab. Kaum itu
tidak mau menjamu para sahabat. Ketika demikian halnya, tiba-tiba pemimpin kaum
itu disengat kalajengking. Mereka (kaum itu) pun berkata, “Apakah ada
obat atau orang mampu me-ruqyah menyertai kalian”. Para sahabat menjawab,
“Sesungguhnya kalian tadi tak mau menjamu kami. Kami tak akan melakukan hal itu
(yakni, me-ruqyah) sampai kalian mau memberikan upah bagi kami. Merekapun
memberikan beberapa ekor kambing kepada para sahabat. Dia (Abu Sa’id Al-Khudri)
pun mulai membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah), mengumpulkan ludahnya dan meludahi
(tubuh pemimpin kaum itu). Akhirnya, ia pun sembuh. Kemudian kaum itu datang
membawa beberapa ekor kambing. Lalu para sahabat berkata, “Kami tak akan
mengambilnya sampai kami menanyai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-”. Mereka
pun bertanya kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tertawa seraya
bersabda, “Apakah kalian tak tahu bahwa ia (Al-Fatihah) adalah ruqyah? Ambillah
(kambing itu) dan berikan bagian untukku”. [HR.
Al-Bukhoriy dan
Muslim]
Jadi, di dalam hadits pertama terdapat
pembacaan (yakni, ruqyah) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- terhadap dirinya
dengan menggunakan Al-Mu’awwidzaat di saat beliau sakit; dalam hadits kedua,
persetujuan beliau kepada para sahabat dalam meruqyah dengan menggunakan
Al-Fatihah. Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi
wa shohbih ajma’in”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah
li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (1/242-243), cet.
Balansiyah, 1421 H]. Wallahu A'lam
*************************
*************************
Kontributor: Ustadh. Abdul Qodir Abu Fa’izah, Lc (Hafizhahullah). Editor: Ustaz Sofyan Kaoy Umar, MA, CPIF. Email: ustazsofyan@gmail.com
Comments
Post a Comment